Bencana banjir terus mengancam Ibu Kota Jakarta. Akhir pekan lalu, hujan yang tidak berhenti mengguyur membuat sebagian wilayah Jakarta kembali dilanda banjir. Jakarta membutuhkan waduk dan embung-embung untuk mencegah banjir yang menyengsarakan banyak warga.

Itulah yang membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menormalisasi waduk-waduk yang masih ada. Waduk Pluit dikembalikan fungsinya sebagai penampungan air yang masuk ke Jakarta sebelum dibuang ke laut. Di Jakarta Timur, Waduk Ria-Rio juga direncanakan untuk dikembalikan sebagai tempat penampungan air.

Namun kita melihat tidak mudah untuk mempertahankan waduk yang ada di Jakarta. Tekanan penduduk membuat pemerintah provinsi harus berjuang keras untuk menormalisasi waduk. Penentangan bukan hanya berasal dari warga kelas bawah, tetapi juga warga kelas atas.

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo harus berhadapan dengan keluarga mantan Wakil Presiden Adam Malik untuk mengembalikan Waduk Ria-Rio. Pihak keluarga Adam Malik merasa bahwa kawasan waduk sudah menjadi milik mereka dan tidak mau untuk dijadikan waduk.

Inilah ekses dari reformasi. Kebebasan yang tidak terbatas membuat kita seperti tidak mengenal kepentingan umum. Atas nama hak pribadi, kepentingan umum pun harus dikorbankan.

Hal itulah yang juga kita rasakan ketika pemerintah dari tiga provinsi, yaitu Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat duduk bersama untuk membahas bagaimana mencegah terjadinya banjir. Ketika banjir melanda bukan hanya warga Jakarta yang menderita, tetapi juga warga Banten yang tinggal di Tangerang dan warga Jawa Barat yang tinggal di Bekasi.

Atas dasar itulah muncul gagasan bersama untuk membangun waduk yang baru. Salah satunya waduk di Ciawi yang memungkinkan air dari Bogor ditahan terlebih dahulu sebelum dialirkan ke sungai-sungai yang melintasi Jakarta, Bekasi, dan Tangerang.

Kesepakatan pada tingkat pimpinan daerah sudah tercapai. Masing-masing provinsi menyediakan anggaran untuk pembangunan waduk agar masyarakat di ketiga wilayah mereka tidak terus menerus menjadi korban dari bencana banjir.

Apakah rencana tersebut bisa segera dilaksanakan? Harapan itu sepertinya harus kandas di tengah jalan. Pembangunan waduk tidak mungkin dilaksanakan karena biaya yang harus dikeluarkan tidak mungkin terbayarkan.

Masyarakat di Ciawi melihat pembangunan waduk sebagai kesempatan bisnis. Para pemilik lahan yang akan dijadikan waduk sudah mematok harga Rp15 juta per meter persegi lahan. Dengan harga tanah semahal itu, maka biaya pembangunan waduk akan melonjak tajam.

Gubernur Jokowi sudah mengatakan bahwa DKI Jakarta tidak sanggup untuk membayar tanah semahal itu. Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus bisa menjelaskan kegunaan dari waduk dan membujuk warga untuk tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Itulah tantangan pembangunan yang kita hadapi pascareformasi. Banyak hal yang tidak bisa lagi dikendalikan. Semua menjadi cenderung egois dan tidak bisa melihat kepentingan bersama yang lebih besar.

Bahkan pada semua tingkatan, kita menghadapi masyarakat yang menjadikan materi sebagai berhala baru. Kita cenderung menjadi manusia yang tamak apabila sudah berhubungan dengan yang namanya materi.

Semua itu tidak bisa disalahkan kepada masyarakat. Teladan yang diberikan oleh para elite menjadikan materi sebagai segala-galanya. Ukuran keberhasilan dinilai dari banyaknya materi yang didapatkan, bukan lagi atas karya yang dihasilkan.

Ketika hedonisme menjadi gaya hidup, jangan salahkan apabila semua orang berperilaku seperti itu. Semua orang berlomba untuk menjadi kaya raya, tanpa peduli bagaimana proses untuk menjadi kaya raya dilewati.

Lemahnya kepemimpinan membuat orang merasa boleh berbuat apa saja. Sekarang kita berada dalam kondisi di mana manusia menjadi serigala bagi yang lainnya. Semua ini sangat membahayakan masa depan bangsa ini, apabila tidak bisa segera kita tata kembali. Inilah yang harus membangkitkan kesadaran kita bersama untuk menata kembali kehidupan bangsa ini.