- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Cintaku, Asaku...


TS
cute.chrysalis
Cintaku, Asaku...
halo halo Agan dan Aganwati yang baik hati. mohon ijin posting karya ane disini yaa... kalo dirasa bagus mohon komentarnya, tapi kalo jelek mohon jangan dicaci
ane cuma pengen karya ane ada yang ngebaca, biar nggak jamuran di harddisk ane 


Quote:
Part 1
“Metaaaaaa… bangun dooooonk!!!” teriakan Ovy seketika melengking kencang dari balik pintu kamarku. Dengan malas aku pun beranjak dari singgasanaku, siang ini.
“Berisik lo!” komentarku begitu membuka pintu dan Ovy pun langsung menyeruak masuk. Makhluk yang satu ini emang nggak pernah bisa sopan kalo di kamarku.
“Yaelah Tuan Putri, jam segini baru melek, apa kata dunia?!” cerocosnya sambil mencari-cari remote TV-ku.
Aku yang lebih dulu menemukan remote itu terjepit di sela-sela tempat tidurku langsung menyerahkannya pada sahabatku itu. “Dunia bilang, ‘Selamat pagi, Tuan Putri…’” jawabku berkelakar yang diikuti tawa geli Ovy.
“Pulang jam berapa lo semalem, Ta?” tanyanya sambil melirikku sebentar, di tengah perhatiannya pada layar TV.
“Jam 6 tadi,” jawabku sebelum menyalakan sebatang rokok black menthol favoritku.
“Gila! Jam 6 pagi??? Ngapain aja lo sama si Genta???” tanya Ovy lagi, penasaran. Kali ini sambil benar-benar mengalihkan pandangannya dari TV untuk menginterogasiku.
“Au ah!” balasku singkat. Malas rasanya mengingat kejadian semalam, sakit hati rasanya mengingat Genta, laki-laki yang pernah mencintaiku setengah mati dan pernah juga kusia-siakan setengah hidupku. Dan sekarang, I’m truly madly deeply regret it. Haiiiish…
“Ta…? Lo bisa cerita sama gue koq kalo lo lagi sedih ato gimana-gimana karena Genta,” ujar Ovy, kali ini dengan nada simpatik demi melihatku termangu dalam kediamanku, hanya sesekali menghisap batang rokokku dan menghembuskan kembali asapnya.
“Menurut lo perasaan Genta ke gue selama ini gimana sih, Vy?”
Ovy tercekat mendengar pertanyaanku. “Gue rasa sih dia masih suka sama lo, dari jaman jebot lo berdua baru kenalan, ampe sekarang. Bahkan biarpun lo pernah tolak dia tapi kayaknya dia masih aja merhatiin lo. Iya kan?” jawabnya kemudian.
Aku mengangguk mengiyakan. Genta memang special. Pertemuan kami berawal 3 tahun lalu menjelang wisudaku. Hari itu seorang teman kampus memperkenalkan kami pada acara gladi resik wisuda di kampusku. Dan Genta ternyata adalah alumni kampusku juga, anak jurusan tetangga yang usianya berjarak 3 tahun denganku. Perkenalan itu berbuah keberuntungan bagiku, karena saat aku dan Ovy diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta di kota ini, Genta menjadi malaikat penyelamat bagi kami berdua yang membantu segala macam kebutuhan kami saat pindahan. Ujung-ujungnya aku tau, ternyata Genta bekerja di perusahaan yang sama dengan kami. Benar-benar sebuah kebetulan yang manis, hingga akhirnya aku menyadari perasaannya padaku. Ya, sosok lembut dan penyayang itu jatuh cinta padaku.
“Gue kira sih juga begitu,” balasku tak bersemangat.
“Terus???” tanya Ovy masih penasaran.
“Genta mo merit, Vy…” jawabku sambil menenggelamkan puntung rokokku ke dalam asbak setelah isapan terakhir.
“What???” Ovy terkejut tak menyangka.
“Metaaaaaa… bangun dooooonk!!!” teriakan Ovy seketika melengking kencang dari balik pintu kamarku. Dengan malas aku pun beranjak dari singgasanaku, siang ini.
“Berisik lo!” komentarku begitu membuka pintu dan Ovy pun langsung menyeruak masuk. Makhluk yang satu ini emang nggak pernah bisa sopan kalo di kamarku.
“Yaelah Tuan Putri, jam segini baru melek, apa kata dunia?!” cerocosnya sambil mencari-cari remote TV-ku.
Aku yang lebih dulu menemukan remote itu terjepit di sela-sela tempat tidurku langsung menyerahkannya pada sahabatku itu. “Dunia bilang, ‘Selamat pagi, Tuan Putri…’” jawabku berkelakar yang diikuti tawa geli Ovy.
“Pulang jam berapa lo semalem, Ta?” tanyanya sambil melirikku sebentar, di tengah perhatiannya pada layar TV.
“Jam 6 tadi,” jawabku sebelum menyalakan sebatang rokok black menthol favoritku.
“Gila! Jam 6 pagi??? Ngapain aja lo sama si Genta???” tanya Ovy lagi, penasaran. Kali ini sambil benar-benar mengalihkan pandangannya dari TV untuk menginterogasiku.
“Au ah!” balasku singkat. Malas rasanya mengingat kejadian semalam, sakit hati rasanya mengingat Genta, laki-laki yang pernah mencintaiku setengah mati dan pernah juga kusia-siakan setengah hidupku. Dan sekarang, I’m truly madly deeply regret it. Haiiiish…
“Ta…? Lo bisa cerita sama gue koq kalo lo lagi sedih ato gimana-gimana karena Genta,” ujar Ovy, kali ini dengan nada simpatik demi melihatku termangu dalam kediamanku, hanya sesekali menghisap batang rokokku dan menghembuskan kembali asapnya.
“Menurut lo perasaan Genta ke gue selama ini gimana sih, Vy?”
Ovy tercekat mendengar pertanyaanku. “Gue rasa sih dia masih suka sama lo, dari jaman jebot lo berdua baru kenalan, ampe sekarang. Bahkan biarpun lo pernah tolak dia tapi kayaknya dia masih aja merhatiin lo. Iya kan?” jawabnya kemudian.
Aku mengangguk mengiyakan. Genta memang special. Pertemuan kami berawal 3 tahun lalu menjelang wisudaku. Hari itu seorang teman kampus memperkenalkan kami pada acara gladi resik wisuda di kampusku. Dan Genta ternyata adalah alumni kampusku juga, anak jurusan tetangga yang usianya berjarak 3 tahun denganku. Perkenalan itu berbuah keberuntungan bagiku, karena saat aku dan Ovy diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta di kota ini, Genta menjadi malaikat penyelamat bagi kami berdua yang membantu segala macam kebutuhan kami saat pindahan. Ujung-ujungnya aku tau, ternyata Genta bekerja di perusahaan yang sama dengan kami. Benar-benar sebuah kebetulan yang manis, hingga akhirnya aku menyadari perasaannya padaku. Ya, sosok lembut dan penyayang itu jatuh cinta padaku.
“Gue kira sih juga begitu,” balasku tak bersemangat.
“Terus???” tanya Ovy masih penasaran.
“Genta mo merit, Vy…” jawabku sambil menenggelamkan puntung rokokku ke dalam asbak setelah isapan terakhir.
“What???” Ovy terkejut tak menyangka.
Quote:
Part 2
“Vy, ntar jam 7an diajakin karaoke sama Trio Libels,” ujarku sembari menyembulkan kepalaku ke arah kamar Ovy. Kami berdua tinggal serumah di kontrakan ini. Selain teman kuliah, aku dan Ovy juga bekerja di kantor yang sama di kota ini.
“Siapa yang bikin acara?” tanya Ovy exciting. Dia memang paling suka kalo diajakin karaoke. Maklum, obsesinya jadi penyanyi pernah harus tertahan di salah satu babak dalam audisi awal program pencarian bakat, haha…
“Erdi barusan bbm-in gue, katanya Mas Andi ultah trus mo traktir kita nyanyi,” jawabku.
“Dijemput ato jalan sendiri neh???” tanyanya lagi.
“Lo tanya sendiri aja deh soal teknisnya, gue mo mandi dulu,” balasku sambil berlalu. Aku pun segera mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Acara sama Trio Libels artinya adalah pergi bersama 3 cowok, yaitu Genta, Erdi dan Mas Andi yang ketiganya duduk di ruangan yang sama di kantor kami. Saking homonya mereka, kemana-mana selalu bertiga, kami memberikan julukan itu pada mereka.
“Taaaa, si Erdi tu belom pernah kesini yaaa???” teriak Ovy dari kamarnya.
“Beloooom! Lo suruh Genta aja yang jemput kita,” balasku dari kamar mandi. Tebakku sekarang pasti si Ovy lagi telfon Erdi untuk negosiasi masalah jalan ke mall tempat kami mo karaoke jam 7 nanti.
Nggak lama giliran ponselku yang berdering. Kebiasaanku kalo ke kamar mandi selalu membawa HP membuat panggilan itu tak perlu waktu lama untuk kujawab.
“Iya, Ta?” sapaku saat mengetahui panggilan itu dari Genta.
“Kamu nanti perginya mo jalan sendiri sama Ovy atau mau dijemput?” tanya Genta to the point. Mungkin Trio Libels lagi ngumpul buat diskusi sekarang ini.
“Kalo bisa dijemput ya boleh sih, tau sendiri kan aku paling males parkirnya kalo di mall?!” jawabku.
“Ya udah kalo gitu nanti biar Erdi yang jemput kalian ya, aku nyusul kesananya,” balasnya.
“Jadi bukan kamu yang jemput? Erdi kan nggak tau rumah kita?!” tawarku dengan nada sedikit kecewa.
“Aku masih ada urusan, Ta. Makanya nanti aku nyusul, nggak lama koq. Kalian berempat duluan aja. Nggak papa kan?” balasnya lagi.
“Oke deh, tapi jangan lupa jelasin banget sama Erdi alamat kita, biar dia nggak nyasar,” ujarku menurut.
Dan akhirnya kami berempat sudah terdampar di room ini. Sebuah karaoke room berukuran VIP, padahal rencananya yang mau show kan cuma kami berlima, kecuali si Erdi mo koprol kali.
Setengah jam berlalu, hampir satu jam Genta belum muncul juga. Entah sudah berapa batang rokok yang kuhisap sejak tadi. Erdi sedang berduet dengan Ovy, aku pun mencolek bahu Mas Andi.
“Genta kemana sih, Mas? Lama bener?” teriakku pada Mas Andi.
“Tadi katanya masih ke rumah bos, ada urusan!” jawab Mas Andi sambil berteriak juga.
“Malem minggu gini ngurusin kerjaan???” tanyaku lagi sambil geleng-geleng kepala. Mas Andi cuma nyengir lebar. Yang kutahu sejak awal memang atasan Genta sangat percaya dan all out kalo sama Genta. Udah terkenal banget deh kalo Genta itu anak emas sekaligus tangan kanan bosnya, jadi wajar kali ya kalo weekend gini dia masih juga harus disibukkan dengan perintah atasan.
Nggak lama setelah itu sosok yang kunanti datang juga, akupun bisa tersenyum dan lepas dari rasa BT. Genta langsung duduk di sampingku dan merebut batang rokok di tanganku lalu mematikannya di dalam asbak.
“Kapan sih kamu mo berenti merokok?” ucapnya pelan di telingaku.
Aku cuma tersenyum, kemudian dia mengucek-ucek poniku dengan gemas.
Ada yang berbeda dari Genta malam ini. Biasanya dia itu nggak suka nyanyi kalo di tempat karaoke kayak begini. Dia lebih suka menyuruhku bernyanyi dan mendengarkan suaraku. Tapi malam ini malah dia ngajakin aku duet lagu kesukaannya, “Broken” dari Sheeter feat Amy Lee. Aku pun dengan senang hati menurutinya, karena kalopun aku menolak dia pasti akan memaksaku.
Sekitar jam 10an kami pun keluar dari room.
“Udah makan, Ta?” tanya Genta sambil menarik tanganku yang hendak berjalan mendahuluinya.
“Belom. Kamu?”
“Makan dulu yuk! Ntar biar aku aja yang anter kamu pulang,” ucapnya lagi.
“Yang lain gimana? Pada mo makan juga atau gimana?” balasku sambil melihat semua orang, dan entah kenapa dengan tatapan nakal mereka bertiga kompak menjawab, “Kalian makan berdua aja deh, kita bikin kloter sendiri.
”Deal. Aku makan sama Genta, sementara Ovy kupercayakan pada Erdi dan Mas Andi soal makan malamnya termasuk mengantar Ovy pulang.
Mobil Genta menepi di salah satu outlet fastfood favorit kami dulu. Sudah lama rasanya kami nggak kesini berdua, dan malam ini rasanya kami seperti kembali ke masa lalu. Menu favoritnya masih sama, kalo disini Genta nggak pernah makan nasi! Dia masih saja beranggapan kentang goreng lebih baik buat dietnya. Gue aja yang cewek nggak pake diet-dietan!
“Udah lama ya nggak kesini?” aku membuka pembicaraan. Yang kutau selama ini memang Genta tipe orang yang irit ngomong, dan dia suka banget kalo aku nyerocos dan menghidupkan obrolan.
“Aku masih sering kesini koq,” balasnya sambil tersenyum.
“Sama siapa? Trio Libels?” tanyaku cepat.
“Sendiri,” jawabnya singkat sambil memandangku. Aku manyun.
Bisa berdekatan lagi dengannya, kadang menimbulkan sebuah perasaan bersalah di hatiku. Dulu kami memang dekat, bahkan sangat dekat. Aku menyadari perasaan special yang Genta berikan untukku, sementara aku sendiri, entahlah… Aku bahagia bila bersamanya, Genta adalah sosok yang lembut, dewasa, penyayang, meski kadang over protektif. Dia sangat peduli padaku dan kadang perlakuan itu membuatku takut menyakitinya. Aku seringkali merasa laki-laki ini terlalu baik untukku dan aku merasa tak pantas untuknya. Sampai suatu hari, sebuah tugas di luar kantor mengenalkanku pada sosok Iwan yang akhirnya menjadi kekasihku, hanya 3 hari sebelum Genta menyatakan cintanya padaku.
“Mantanmu itu masih ganggu kamu?” tanyanya tiba-tiba.
Aku tersedak mendengar nada pedas dalam kata “mantan” yang Genta ucapkan. Segera dia menjulurkan gelas softdrink-ku untuk kuminum.
“Dia punya nama, Ta…” balasku setelah puas terbatuk-batuk.
“Nggak penting aku sebut namanya,” balasnya masih ketus.
Aku menghela nafas panjang sebelum meletakkan makananku dan menyalakan sebatang rokok. Genta tak berkomentar, hanya terus memandangiku. “Paling nggak dia udah tau sekarang ada kamu di dekatku, jadi dia nggak berani hubungin aku lagi,” jawabku pelan.
“Baguslah. Dia kira kita pacaran ya?” tanyanya lagi.
Aku tersenyum, tak menjawab.
“Kamu udah ngantuk belum?” tanya Genta lagi.
“Kenapa?” tanyaku setelah menggeleng.
“Ke pantai yuk!” ajaknya yang kuikuti dengan senang hati.
“Vy, ntar jam 7an diajakin karaoke sama Trio Libels,” ujarku sembari menyembulkan kepalaku ke arah kamar Ovy. Kami berdua tinggal serumah di kontrakan ini. Selain teman kuliah, aku dan Ovy juga bekerja di kantor yang sama di kota ini.
“Siapa yang bikin acara?” tanya Ovy exciting. Dia memang paling suka kalo diajakin karaoke. Maklum, obsesinya jadi penyanyi pernah harus tertahan di salah satu babak dalam audisi awal program pencarian bakat, haha…
“Erdi barusan bbm-in gue, katanya Mas Andi ultah trus mo traktir kita nyanyi,” jawabku.
“Dijemput ato jalan sendiri neh???” tanyanya lagi.
“Lo tanya sendiri aja deh soal teknisnya, gue mo mandi dulu,” balasku sambil berlalu. Aku pun segera mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Acara sama Trio Libels artinya adalah pergi bersama 3 cowok, yaitu Genta, Erdi dan Mas Andi yang ketiganya duduk di ruangan yang sama di kantor kami. Saking homonya mereka, kemana-mana selalu bertiga, kami memberikan julukan itu pada mereka.
“Taaaa, si Erdi tu belom pernah kesini yaaa???” teriak Ovy dari kamarnya.
“Beloooom! Lo suruh Genta aja yang jemput kita,” balasku dari kamar mandi. Tebakku sekarang pasti si Ovy lagi telfon Erdi untuk negosiasi masalah jalan ke mall tempat kami mo karaoke jam 7 nanti.
Nggak lama giliran ponselku yang berdering. Kebiasaanku kalo ke kamar mandi selalu membawa HP membuat panggilan itu tak perlu waktu lama untuk kujawab.
“Iya, Ta?” sapaku saat mengetahui panggilan itu dari Genta.
“Kamu nanti perginya mo jalan sendiri sama Ovy atau mau dijemput?” tanya Genta to the point. Mungkin Trio Libels lagi ngumpul buat diskusi sekarang ini.
“Kalo bisa dijemput ya boleh sih, tau sendiri kan aku paling males parkirnya kalo di mall?!” jawabku.
“Ya udah kalo gitu nanti biar Erdi yang jemput kalian ya, aku nyusul kesananya,” balasnya.
“Jadi bukan kamu yang jemput? Erdi kan nggak tau rumah kita?!” tawarku dengan nada sedikit kecewa.
“Aku masih ada urusan, Ta. Makanya nanti aku nyusul, nggak lama koq. Kalian berempat duluan aja. Nggak papa kan?” balasnya lagi.
“Oke deh, tapi jangan lupa jelasin banget sama Erdi alamat kita, biar dia nggak nyasar,” ujarku menurut.
Dan akhirnya kami berempat sudah terdampar di room ini. Sebuah karaoke room berukuran VIP, padahal rencananya yang mau show kan cuma kami berlima, kecuali si Erdi mo koprol kali.
Setengah jam berlalu, hampir satu jam Genta belum muncul juga. Entah sudah berapa batang rokok yang kuhisap sejak tadi. Erdi sedang berduet dengan Ovy, aku pun mencolek bahu Mas Andi.
“Genta kemana sih, Mas? Lama bener?” teriakku pada Mas Andi.
“Tadi katanya masih ke rumah bos, ada urusan!” jawab Mas Andi sambil berteriak juga.
“Malem minggu gini ngurusin kerjaan???” tanyaku lagi sambil geleng-geleng kepala. Mas Andi cuma nyengir lebar. Yang kutahu sejak awal memang atasan Genta sangat percaya dan all out kalo sama Genta. Udah terkenal banget deh kalo Genta itu anak emas sekaligus tangan kanan bosnya, jadi wajar kali ya kalo weekend gini dia masih juga harus disibukkan dengan perintah atasan.
Nggak lama setelah itu sosok yang kunanti datang juga, akupun bisa tersenyum dan lepas dari rasa BT. Genta langsung duduk di sampingku dan merebut batang rokok di tanganku lalu mematikannya di dalam asbak.
“Kapan sih kamu mo berenti merokok?” ucapnya pelan di telingaku.
Aku cuma tersenyum, kemudian dia mengucek-ucek poniku dengan gemas.
Ada yang berbeda dari Genta malam ini. Biasanya dia itu nggak suka nyanyi kalo di tempat karaoke kayak begini. Dia lebih suka menyuruhku bernyanyi dan mendengarkan suaraku. Tapi malam ini malah dia ngajakin aku duet lagu kesukaannya, “Broken” dari Sheeter feat Amy Lee. Aku pun dengan senang hati menurutinya, karena kalopun aku menolak dia pasti akan memaksaku.
Sekitar jam 10an kami pun keluar dari room.
“Udah makan, Ta?” tanya Genta sambil menarik tanganku yang hendak berjalan mendahuluinya.
“Belom. Kamu?”
“Makan dulu yuk! Ntar biar aku aja yang anter kamu pulang,” ucapnya lagi.
“Yang lain gimana? Pada mo makan juga atau gimana?” balasku sambil melihat semua orang, dan entah kenapa dengan tatapan nakal mereka bertiga kompak menjawab, “Kalian makan berdua aja deh, kita bikin kloter sendiri.
”Deal. Aku makan sama Genta, sementara Ovy kupercayakan pada Erdi dan Mas Andi soal makan malamnya termasuk mengantar Ovy pulang.
Mobil Genta menepi di salah satu outlet fastfood favorit kami dulu. Sudah lama rasanya kami nggak kesini berdua, dan malam ini rasanya kami seperti kembali ke masa lalu. Menu favoritnya masih sama, kalo disini Genta nggak pernah makan nasi! Dia masih saja beranggapan kentang goreng lebih baik buat dietnya. Gue aja yang cewek nggak pake diet-dietan!
“Udah lama ya nggak kesini?” aku membuka pembicaraan. Yang kutau selama ini memang Genta tipe orang yang irit ngomong, dan dia suka banget kalo aku nyerocos dan menghidupkan obrolan.
“Aku masih sering kesini koq,” balasnya sambil tersenyum.
“Sama siapa? Trio Libels?” tanyaku cepat.
“Sendiri,” jawabnya singkat sambil memandangku. Aku manyun.
Bisa berdekatan lagi dengannya, kadang menimbulkan sebuah perasaan bersalah di hatiku. Dulu kami memang dekat, bahkan sangat dekat. Aku menyadari perasaan special yang Genta berikan untukku, sementara aku sendiri, entahlah… Aku bahagia bila bersamanya, Genta adalah sosok yang lembut, dewasa, penyayang, meski kadang over protektif. Dia sangat peduli padaku dan kadang perlakuan itu membuatku takut menyakitinya. Aku seringkali merasa laki-laki ini terlalu baik untukku dan aku merasa tak pantas untuknya. Sampai suatu hari, sebuah tugas di luar kantor mengenalkanku pada sosok Iwan yang akhirnya menjadi kekasihku, hanya 3 hari sebelum Genta menyatakan cintanya padaku.
“Mantanmu itu masih ganggu kamu?” tanyanya tiba-tiba.
Aku tersedak mendengar nada pedas dalam kata “mantan” yang Genta ucapkan. Segera dia menjulurkan gelas softdrink-ku untuk kuminum.
“Dia punya nama, Ta…” balasku setelah puas terbatuk-batuk.
“Nggak penting aku sebut namanya,” balasnya masih ketus.
Aku menghela nafas panjang sebelum meletakkan makananku dan menyalakan sebatang rokok. Genta tak berkomentar, hanya terus memandangiku. “Paling nggak dia udah tau sekarang ada kamu di dekatku, jadi dia nggak berani hubungin aku lagi,” jawabku pelan.
“Baguslah. Dia kira kita pacaran ya?” tanyanya lagi.
Aku tersenyum, tak menjawab.
“Kamu udah ngantuk belum?” tanya Genta lagi.
“Kenapa?” tanyaku setelah menggeleng.
“Ke pantai yuk!” ajaknya yang kuikuti dengan senang hati.
0
1.8K
Kutip
8
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan