Kaskus

Story

mullupusAvatar border
TS
mullupus 
Bukan Surat Kabar
Bukan Surat Kabar


Pada suatu senja yang muram aku mencoba belajar untuk mengerti, tentang diri yang beberapa hari terakhir dikunjungi oleh hati yang sedikit membenci. Telah kuberitakan sebuah kabar dari rasa kecewaku, juga kepada mereka yang maklum akan hal itu.

Aku, seorang yang berjuang bersama tulisan dan pengalaman-pengalaman, tapi melawan pun aku tak mampu. Tentu aku tak ingin disamaratakan dengan kaum wanita. Mereka sudah diakui lewat emansipasi, setelah R.A. Kartini juga menggunakan tulisan sebagai alat memperjuangkan hak-haknya. Lain pula aku; aku, seorang lelaki, dengan berbagai macam gengsi dan tak ada hak apa-apa untuk menuntut kebenaran. Aku hanya punya kewajiban menerima segala kenyataan, walau kenyataan yang pahit sekalipun. Dan kebenaran, yang ramai orang-orang perbincangkan, adalah semacam benang kusut yang dirajut sendiri oleh penjahitnya.

Nah, membahas soal penjahit, aku juga memiliki cerita mengenai hal tersebut. Kurang lebih dari dua bulan yang lalu ada kejadian yang membuat aku bertanya-tanya: Kok bisa? Kok orang semulia itu bisa didatangi ketua rukun tetangga setempat?

Begini ceritanya:

Sekitar pukul delapan malam aku kembali lagi ke rumah dan tak jadi bertemu dengan sahabatku sedari masa kanak-kanak. Ia sedang tidak ada di rumahnya, maka itu aku pulang ke rumah tanpa timbul prasangka buruk tentang seorang sahabat.

Saat ingin tiba di rumah, aku berpapasan dengan Pak RT juga satu orang yang aku ketahui: dia adalah mantan bendahara RT. Mereka berdua baru saja keluar dari rumah tetangga di sebelah kanan rumahku. Seperti habis menghadiri rapat bersama Pak Lurah, muka mereka tampak sesak oleh pikiran masing-masing, lantas aku pun juga tak jadi memberikan sapaan. Setidak-tidaknya aku tersenyum kepada Pak RT, tentu sebagai warga bukan sebagai budak negara. Ya, sebagaimana warga negara yang baik, yang tahu terimakasih kepada pemimpinnya. Pemimpin, ya, bukan badut sirkus!

Rupa-rupanya ibu telah menunggu aku di ambang pintu. Aku digiringnya masuk ke dalam rumah dan mengambil tempat duduk sendiri, sementara ibu duduk di bangku panjang tempat biasa kami sekeluarga menyambut para tamu. Ibu langsung memulai percakapan tentang kejadian yang baru saja dialami oleh konfeksi tas di sebelah rumah. Pak RT bersama seorang yang rambutnya telah putih itu memberikan teguran terhadap pemilik konfeksi. Aku tetap mendengarkan pendapat-pendapat ibuku dengan cermat. Informasi bukan didapatkannya dari mencuri dengar, melainkan dari para pekerja konfeksi itu sendiri; saat mereka jajan di warung sembako kecil-kecilan milik keluargaku.

“Kata Pak S yang tinggal di depan konfeksi, keluarga mereka terganggu oleh bau lem yang menyengat. Tapi ibu heran, soalnya Pak RT menegur tetangga sebelah karena masalah suara—yang menurut ibu sih, ndak terlalu berisik. Kan kita juga nyaman-nyaman saja, toh? Malahan menurut ibu, justru pemilik rumah yang terganggu itu lebih mengganggu karena mereka main kartu gaple hingga larut malam.” ucap ibu.

“Pemilik konfeksi di sebelah bukan cuma menolong para tetangga yang berasal dari kampungnya, tapi juga membantu mengurangi angka pengangguran yang ada di Indonesia ini. Nah, kamu kan sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, ndak perlu kamu mempermasalahkan kalau ada suara sedikit berisik dari para pekerja di sebelah ya?” Aku mengangguk tanda setuju.

Tak lama kemudian, beberapa dari pekerja kembali jajan di rumahku, juga aku menanyai mereka tentang kebenaran informasi itu.

“Iya, Mas, kemarin sih memang agak berisik karena betulin talang air. Biar tas-tas yang sudah jadi dan siap dibawa ke pemesan ndak kebasahan.” kata salah seorang dari mereka dalam Jawa.

“Sekarang Pak Bos meminta kami untuk berhenti bekerja sejenak. Jam dua belas malam juga sudah ndak boleh bekerja lagi, sementara masih banyak tas yang perlu diselesaikan dalam waktu dekat ini.” tambah pekerja yang lain, juga dalam Jawa.

Aku menyahuti mereka sesuai bahasa yang digunakan. Dalam hati aku bisa merasakan bagaimana perasaaan para pekerja di sebelah rumah. Jauh-jauh dari kampung, baru tinggal sebulan lebih dari rumah yang baru saja dibeli oleh pemilik konfeksi, dan muncul masalah yang sungguh miring keadilannya. Tiba-tiba aku ingin sekali menemui Pak RT, namun terpaksa aku batalkan niat itu karena kembali teringat dengan pesan ibu. Barangkali nanti aku bisa menuliskan tentang lingkungan di rumahku, yang juga bagian dari Ibu Kota Jakarta, bagian dari negara bernama Indonesia.

Pukul sepuluh malam. Sebuah sepeda motor maticberhenti di depan rumahku. Kutengok lewat kaca jendela dari tempatku biasa menulis, ternyata itu sahabatku sedari masa kanak-kanak. Aku pun segera menemui dan menyalaminya. Kami berbincang banyak hal tentang kesibukan masing-masing, termasuk tentang naskah bukuku yang gagal diterbitkan oleh penerbit besar. Sahabatku ini pandai sekali menghibur. Dia membawa aku tenggelam dalam kelucuan-kelucuan di masa yang silam. Namun ketika aku bercerita bahwa ada yang tidak beres di lingkungan rumah, percakapan mulai berubah menjadi serius.

“Ya begitulah, Mul, kalau cuma asyik dengan kepentingan sendiri. Orang bisa sampai lupa dengan lingkungan di sekitarnya. Coba lihat sahabat kita yang satu itu, mana mau dia berkumpul bersama kita? Orangtuanya lebih percaya berkumpul bersama aki-aki. Main gaple, tertawa keras-keras—tentu berbeda dengan kita yang beda derajatnya ini.” ujar sahabatku.

“Terus bagaimana pendapat lo, Nuy, tentang konfeksi tas di sebelah?”

“Gue rasa orang-orang cuma belum terbiasa aja. Coba mereka udah tinggal cukup lama di sini. Kan kayak kita aja waktu nongkrong di rumah gue, mana ada yang berani menegur? Sama juga kayak mereka yang lagi main gaple. Cuma bedanya kita masih muda, sedangkan mereka udah aki-aki! Hahaha…”

Aki-aki! Aku pun ikut tertawa mendengar kalimat terakhirnya. Tanpa terasa waktu telah menunjukan pukul setengah dua belas malam, maka kami berdua akhirnya berpisah dan ditutup oleh tawa yang tak mau kalah dengan mereka yang masih asyik bermain kartu gaple.

Begitulah cerita tentang lingkungan di sekitarku. Sebenarnya di lingkungan tempatku tinggal ini tidak bisa dikatakan kompleks ataupun perumahan mewah. Sudah umum jika bertahan hidup di Jakarta: yang kaya semakin kepengin kaya, yang miskin berusaha untuk menjadi kaya, dan yang masih waras tetap bersikap sederhana. Ah, jadi teringat lagi dengan pengalamanku waktu masih sekolah dulu!

Semasa kelas XII SMK, aku pernah PKL (Praktik Kerja Langsung) di kecamatan tempatku tinggal. Tugasku hanya mencatat surat-surat yang masuk, sesekali diminta pergi ke tukang fotokopi yang ada di luar kecamatan, dan tak jarang melayani masyarakat mengurus surat keterangan belum menikah. Aku kira melayani masyarakat adalah tugas yang mulia. Ya, aku kira, namun ada saja pegawai yang pamrih terhadap pekerjaannya. Seolah-olah meminta tanda tangan dengan syarat lengkap menjadi momok yang menakutkan, lantas waktu PKL pun aku menemukan sogok-menyogok antara masyarakat dengan pegawai, atau pegawai dengan pegawai yang lain. Tapi seolah sudah biasa terjadi, maka sekretaris pegawai yang aku kerja di tempatnya juga kerap kali menasihatiku untuk tidak berbuat demikian. Tenang saja, Bu, nasihat-nasihatmu akan selalu aku ingat meskipun aku tak mendapatkan nilai yang baik di mata atasan ibu.

Kini aku sudah lulus sekolah, Bu, sudah mau naik ke tingkat semester dua di tempat perkuliahanku. Kalau saja ibu tahu, aku juga telah sempat bekerja menjadi pelayan di sebuah kafe, lalu karena tak jelas pembagian tugasnya kemudian aku dipindahkan ke bagian belakang sebagai pembuat kue donat. Di sana aku juga diajari bikin kopi pakai mesin, namun itu tak lama karena aku dimutasi ke restoran dan menjadi tukang cuci piring. Bayangkan, Bu, aku juga membayangkan jika restoran yang sudah punya nama itu memakai mesin cuci piring supaya lebih memudahkan para pekerjanya. Tapi ternyata aku sendiri yang mencuci piring, gelas, mangkuk sup, sendok, garpu, dan alat-alat makan lainnya secara manual. Coba tebak, Bu, berapa jumlah yang harus aku cuci dalam sehari bekerja di hari Minggu? Bisa sampai dua ribu! Betapa aku rela membiarkan kedua tangan yang biasa aku pakai buat menulis ini jadi keriput karena bergelut dengan air dan sisa-sisa makanan para pengunjung restoran.

Alhasil aku tak betah jadi babu, juga keluar setelah dipindahkan lagi menjadi tukang bikin berbagai aneka bentuk roti. Aku juga pernah bekerja jadi orang kantoran, Bu, orang kantoran yang kerjanya memanipulasi pajak dan laporan keuangan perusahaan. Penghinaan yang paling aku rasakan adalah saat pertama kali diinterviu oleh pemilik kantor akuntan publik itu. Seorang pekerja diminta menilai aku juga saat aku diinterviu. Dan setelah aku tahu, pekerja tersebut tak lain ialah adik sepupu calon bosku. Bagaimana aku tak merasa dihina? Mereka berdua berdiskusi menggunakan bahasa Mandarin, Bu, percis dengan tampang mereka yang punya garis keturunan keluarga Cina. Tak sampai dua bulan aku bekerja di tempat itu. Aku dipecat secara terhormat lantaran jatuh sakit selama seminggu.

Setiap hari dari rumahku ke daerah Harmoni. Sungguh jarak itu cukup jauh kalau sedang dilanda kemacetan yang dicampur oleh langit yang kadang kala juga ikut menangis. Namun aku bersyukur karena tak lagi jadi karyawan di kantor—sebab kalau diusut lebih jauh—ternyata ketua partai yang ramai di surat kabar, yang korupsi daging sapi impor, masih ada kaitannya dengan kantor tempatku dulu bekerja. Korupsi! Begitu mudahkah mengubah angka-angka di laporan keuangan dan mengecilkan pajak yang memang sudah semestinya dibayar oleh tiap-tiap perusahaan? Ah, aku tak tahu, juga tak ingin sok tahu terhadap masalah yang bukan menjadi milikku.

Aku sudah dipecat secara terhormat.

Jadi kenyataan Jakarta, yang aku baca dari DJAKARTA karya Pramoedya Ananta Toer, kini paling tidak mewakili kepahitan-kepahitan yang ada. Menulislah, buat dirimu merasa bahagia. Dan untuk apa kau menulis, kalau tak untuk menghapus sakit hati dan kekecewaan? Sekalipun perasaan itu membekas di dalam ingatan, semua orang pasti pernah juga merasakannya. Sebentar lagi bukuku akan terbit, maka aku pun tak ingin berlama-lama mengingat penolakan dan penjiplakan yang pernah menimpa diriku juga tulisan-tulisanku. Sudah dijiplak, sudah ditolak penerbit besar, kenapa pula aku harus merasa kecewa yang berlarut-larut? Kan kelak 1-2 bulan lagi bukunya terbit?

Mereka bilang hanya orang-orang besar saja yang bisa memenangkan sejarah. Lupa ada orang-orang kecil, yang juga ingin berbagi kepada dunia. Sejarah, cerita, dan hitam-putih kehidupan. Dulu kubanggakan cinta sebagaimana aku tergila-gila dengan seorang wanita. Kini semakin tua semakin buta; mana cinta mana derita. Dari cinta aku belajar: di mata Tuhan, semua manusia sama. Dari derita aku pun belajar: ternyata juga ada serigala berwujud manusia. Dan ketika uang tak lagi mampu membeli dunia beserta isinya, yang telah diciptakan Tuhan sebelum manusia itu sendiri ada:

Selamat! Makan tuh duit!

Kampung Makasar, 2014
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.6K
3
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan