Kaskus

Story

sansan_okeAvatar border
TS
sansan_oke
Kunang Kening Kenangan
Arloji di tangannya mati, kedua jarumnya tak lagi memperlihatkan detak sedetikpun. Sesosok pria dengan langkah lunglai menyisiri trotoar di pinggiran salah satu sudut kota. Nafasnya tersengal, tapi bukan karena berlari. Matanya sembab, bukan sebab cipratan hujan. Entahlah, jalan setapak menuju taman berlentera favoritnya, terlihat seperti mengarah ke surga, saat itu ..

Hari tak lagi terang, mentari sudah menenggelamkan dirinya sejak senja tadi. Sejak sang pria masih berada di pantai tempat ia pernah menertawakan hidup bersama seseorang, yang me-mati-kan arlojinya, melembabkan kedua matanya, melambatkan denyut nadinya. Ia pernah mendengar beberapa teman berbicara soal patah hati, sontak ia menebak mungkin itu adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang tengah ia rasakan. Namun, sepertinya ada yang salah. Bukan. Ini bukan patah hati. Ini lebih terasa seakan seluruh anggota tubuhmu remuk, patah, runtuh, hingga kau lelah merintih tanpa ada seorang pun yang mendengarmu.

Hening. Kini hanya terdengar suara jangkrik yang meramaikan sepinya taman hijau ini. Sang pria tadi terduduk lesu, bersandar, entah ia tertidur di bangku tua itu, atau ia hanya hendak melepaskan jiwa dari tubuhnya yang terlalu lelah menerima kenyataan. Samar kedua matanya masih terbuka, lemah, perlahan menatap ke arah lentera yang masih menyala, meski redup, di bawah pohon rindang berukuran besar yang ranting dan dedaunannya merambat jauh dari batang, seakan ingin merangkul sang pria agar tak terus menerus mengiba, pun mengusir sedikit hawa sejuk yang sedari tadi menggerogoti tubuhnya.

Lentera yang ditatapnya, dikerumuni sekumpulan kunang-kunang yang menyala kuning, bak lampion-lampion yang melayang indah, memukau mata siapapun kala itu. Kedua tangan sang pria saling memeluk, mungkin dingin terlalu erat menusuk, hingga ke dalam rusuk. Sepintas, terdengar samar suara-suara yang kembali mengiang di telinganya. Suara seseorang yang ia hafal betul siapa. Suara yang kerap meledakkan tawanya dulu, melengkungkan senyum di pinggiran bibirnya suatu kala, pun membasahi sudut kedua matanya, kini.

“Mungkin, apa yang pernah dikatakan Ibu, benar adanya. Terkadang, tidak semua hal yang kita ingini, bisa kita miliki. Dan Tuhan lebih paham, apa yang benar-benar kita butuhkan, sebab itu Dia seringkali mengambil apa yang menurut-Nya tak pantas, lalu menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.”

Sang pria tertunduk, pandangannya semakin sayu. Sayup terdengar isak tangisnya, sembari tertawa. Entah bagaimana, ia mampu melakukannya. Keningnya mengerucut, kembali ia ingat pada suara yang tadi merambati rongga telinganya. Suara seseorang yang memecahkan satu-satunya hati yang ia miliki menjadi kepingan-kepingan tak beraturan.

“Sayang, kamu pasti bakal nemuin yang lebih baik dari aku. Kita bukan gagal, kita hanya belum mendapat restu dari orangtua, yang juga bentuk restu dari Tuhan. Aku hanya tak ingin melangkahi takdir. Kedua orangtuaku masih belum bisa menerimamu, pun Jarak yang membentangkan dirinya begitu angkuh, menelan hidup-hidup harapan kita hingga mati tak bersisa. Kumohon, jangan pernah mencariku lagi, kecuali Tuhan yang meminta kita dengan caranya sendiri. Selamat tinggal.”

“Klik!”. dari ujung telfon terdengar “tut, tut, tut,” seirama denyut nadinya yang seakan mengerucut. Wajahnya pucat pasi, mulutnya seakan ingin berontak, berteriak, tapi bahkan untuk mendesah pun ia tak lagi punya tenaga. Sore itu, sebelum langkah gontainya menuju taman kota hingga larut malam, menempuh puluhan kilometer trotoar yang terputus-putus seperti dengus nafas dan kisah cintanya. Sang pria merasa dunianya mulai menyempit, meski semesta mengaku luas.

Awan pekat yang dilindungi hitamnya langit, diam-diam bersembunyi menjatuhkan bulir-bulir hujan. Sang pria berdiri dari tempat duduknya, lututnya berderit, bak kehilangan tumpuan, hampir ia terjatuh tapi masih mampu berdiri. Seraya menatap langit, dan menelan beberapa tetes anak-anak hujan. Ia berbicara kepada Tuhan ..

“Jika dia yang kau datangkan untukku, dulu. Bukanlah orang yang akan menemaniku nanti, Tuhan. Seharusnya Kau tak mempertemukan kami. Hati yang kau tanamkan dalam tubuhku, bukankah untuk bisa merasakan rasa, Tuhan? Selain pedih, apa yang Kau pikir menggumpali hatiku kini? Adilkah jika dia yang sudah ku anggap sebagai hidup, lalu kau ambil kembali sesuka-Mu?”

“Tuhan, kapanpun Kau sempat, setidaknya kabulkan do’aku. Kumohon kembalikan dia padaku, meski hanya berupa kenang, pada sebuah kening.”

(Bersambung) ...
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
853
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan