avvmassAvatar border
TS
avvmass
Harimau Jawa Diyakini Masih Ada
Spoiler for "NO REPOST":

Diklaim punah, pakar meyakini harimau jawa akan ditemukan kembali. Inilah catatan penelusurannya.

Spoiler for "harimau jawa":


Spoiler for "harimau jawa":


“Kami masih meyakini Harimau Jawa belum punah, dan 2014 ini adalah tahun resolusi semoga bisa terbukti bahwa harimau Jawa masih ada.”

Semangat inilah yang memantik sejumlah peneliti, akademisi, bersama dinas terkait yang masih meyakini keberadaan harimau Jawa di tanah asalnya, dalam sebuah kegiatan bernama “Sarasehan Harimau Jawa 2013” yang diselenggarakan oleh Balai Taman Nasional Meru Betiri (BTNMB).

Pembahasan terfokus pada karnivora besar endemik hutan Jawa yang sudah diklaim punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) yaitu harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dan akhir kegiatan ini menghasilkan rekomendasi bahwa harimau Jawa masih diyakini masih ada alias belum punah.

Menurut Wahyu Giri Prasetya, peneliti harimau jawa, harimau loreng (jawa) tergolong karnivora besar dengan sebaran geografis sangat luas. Membentang dari lembah Tigris di Siberia hingga di Rusia Timur, lalu di India kecuali Sri Lanka, kemudian di Indocina dan semenanjung Malaya—hingga di kepulauan Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Bali.

Satwa ini dianggap berasal dari lembah Tigris kemudian menyebar hingga ke Bali melewati rentang waktu ribuan tahun. Adanya perubahan tinggi permukaan air laut dan fragmentasi antarpopulasi, menjadikan spesies harimau loreng dikenal dengan 8 subspesies. Saat ini tiga subspesies, yaitu harimau kaspia, harimau bali dan harimau jawa sudah dianggap punah.

Wahyu Giri Prasetya dalam presentasinya memaparkan bahwa harimau jawa belum bisa dikatakan punah. Dalam materinya fakta temuan selain dari foto masih ditemukan. Laporan pembunuhan dan sisa pembunuhan masih terus didapat.

Selain itu, metode pemantauan konvensional ada banyak kelemahan. Contohnya, pemasangan kamera di TN Meru Betiri masih dalam jumlah yang terbatas sekali, dan tidak dilakukan penelitian dalam 2 kali siklus umur secara terus menerus, dan juga lokasi penelitian yang ada masih terbatas di Meru Betiri.

Pada tahun 1974, penelitian Seidensticker dan Sujono di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur memperkirakan Harimau Jawa tinggal 3-4 ekor. Berikutnya riset WWF di tempat yang sama tahun 1994, ternyata melaporkan hasil nihil. Kamera jebak sistem injak yang dipasang tidak memotret satu pun sosok harimau jawa. Selama ini TNMB terlanjur ditetapkan menjadi habitat terakhir harimau jawa. Sehingga, kesimpulan punah muncul. Pada Desember 1996, CITES memutuskan vonis punah.

Jika mengacu pada Steidensticker & Soejono, yang menyatakan punah pada tahun 1976 di Suaka Margasatwa Meru Betiri. Dengan usia harimau berkisar 25 tahun dikalikan dua umur rata-rata, maka harimau jawa baru bisa dikatakan punah pada tahun 2026. “Jadi terlalu dini dan tak kuat dasar pernyataan punah bagi harimau Jawa,” kata Wahyu Giri.

Ia menambahkan bahwa info juga yang sering salah kaprah, bahwa WWF seolah memasang 20 kamera, tetapi sebenarnya hanya memasang sepuluh kamera yang dipasang dalam dua periode.

Untuk melawan pernyataan punah dari IUCN memang tidaklah mudah. Saat ini memang bukan era jejak, tapi era foto.

Didik Raharyono yang juga peneliti harimau Jawa dan penulis buku Berkawasan Harimau bersama Alam kepada Mongabay-Indonesia memaparkan perkara kepunahan harimau jawa ternyata bukan soal sepele. Selama ini antara “masyarakat ilmiah” dan masyarakat sekitar hutan terjadi perdebatan.

Para ahli menyatakan harimau Jawa telah punah, menyusul saudara dekatnya, harimau bali (Panthera tigris balica). Dasarnya adalah berbagai penelitian yang dilakukan tidak pernah lagi menemukan sosok wujudnya.

Dalam artikel yang ditulis Didik Raharyono berjudul “Sejarah Penyelamatan Harimau Jawa Dan Masa Depannya di Meru Betiri” dijelaskan bahwa harimau loreng hampir mendiami seluruh Pulau Jawa yang berselimutkan hutan tropis lembap. Hanya saja setelah kebijakan tanam paksa dari kolonial Belanda, merombak hutan tropis dataran rendah —habitat ideal bagi harimau loreng— menjadi perkebunan tebu dan jati, terjadi konflik dengan satwa liar.

Di tahun 1971 Hoogerwerf meneliti SM Meru Betiri menggunakan metode pengamatan lapangan dan menyatakan masih eksisnya harimau Jawa di kawasan ini. Lalu Steidensticker mempertajam penelitian guna penguatan status konservasinya di tahun 1976 menggunakan metode amatan lapang. Berikut penelitian oleh Silva IPB tahun 1987 yang juga masih mencatat temuan cakaran, feses, serta jejak harimau loreng dengan metode amatan lapang.

Banyak bukti-bukti keberadaan harimau loreng di beberapa hutan di pegunungan Jawa.

Spoiler for "bukti-bukti":


Catatan Didik Raharyono dalam penelusuran dan investigasi harimau jawa sudah dimulai sejak November 1997 di Taman Nasional Meru Betiri (TMMB) yang dilakukan oleh BTNMB, PIPA, dan MMB.

Tahun 1999, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jatim II, MMB, FK3I, merambah kawasan Gunung Merapi Ungup-ungup, Ijen, Rante, Panataran, dan Raung. Hasil penelusuran tersebut ditemukan bukti keberadaan harimau jawa di Gunung Raung, Panataran, dan Ijen berdasarkan temuan rambut yang terselip di luka cakaran dan kotoran.

Pada April 1999, Pendidikan Lingkungan Kapai membongkar kelebatan hutan Gunung Slamet sisi Barat dan Selatan selama 15 hari. Hasil temuan berupa cakaran di pohon dengan rambut yang terselip, juga kotoran dan jejak. Keberadaan harimau jawa di Gunung Slamet diperkuat oleh penuturan masyarakat: pekuncen yang telah membunuh si harimau loreng tahun 1997. Rambut dari kulit harimau loreng sisa pembunuhan tahun 1997 berhasil diidentifikasi menggunakan mikroskop elektron sebagai rambut harimau jawa.

Data lainnya didapat dalam pemantauan yang dilakukan bulan Februari sampai Maret 2000 di Gunung Slamet selama satu bulan penuh. Meskipun perjumpaan langsung dengan harimau jawa belum terjadi, setidaknya cakaran dan rambutnya diklaim berhasil ditemukan. Keyakinan tersebut dikuatkan penduduk pengambil kayu di hutan bahwa harimau loreng sering mengikuti jalan setapak yang dibuatnya. Saat berpapasan terlihat acuh, oleh penduduk harimau loreng disebut 'macan budeg'.

Desember 2000 ditelusuri informasi perjumpaan harimau loreng di Gunungkidul bersama Jagawana dari BKSDA Yogyakarta. Bukti temuan menunjukkan bekas aktivitas macan tutul. Namun beberapa kepala dusun menyakini bahwa masih sering dijumpai harimau loreng saat musim kemarau atau ketika ada warga yang meninggal. Lama penungguan di makam yang baru dikubur berkisar dari 7 sampai 20 hari. Keberadaan harimau loreng di Gunungkidul dikuatkan oleh temuan cakaran di batu cadas penutup mulut song Bejono di Ponjong yang menjadi tempat persembunyiannya.

Agustus 2001, lewat informasi terbunuhnya harimau loreng di lereng Utara Gunung Muria Jawa Tengah, mandor PT Perhutani meyakini masih melihat tulang belulang loreng yang baru saja dibantai warga. Data penguat terakhir adalah penuturan dari Pecinta Alam UMK saat melakukan pengembaraan di lereng selatan Gunung Muria, berpapasan dengan harimau loreng bertubuh besar dan sempat disaksikan oleh satu regu yang terdiri dari 6 orang.

Pecinta Alam dari Solo (Dinamik Faperta UNS) melaporkan pernah berpapasan dengan macan loreng di Lawu tahun 1998 dan disaksikan semua anggota tim SRU sekitar 5 orang saat berlatih SAR.

Tahun 2004 juga dijumpai feses harimau jawa dengan diameter sekitar 7 cm dan tahun 2006 ada kesaksian perjumpaan dari TNI.

Tahun 2008 ditemukan sampel kulit harimau loreng yang dibunuh dari Jawa Tengah. Tahun 2008 juga menjumpai sisa kuku yang masih ada darah milik harimau jawa yang dibunuh di wilayah Jawa barat.

Tahun 2009 didapat sampel kulit lagi harimau yang dibunuh di Jawa Timur. Secara mikroskopis, untuk rambutnya sudah menunjuk ke harimau loreng dan bukan tutul; tetapi perlu analisis lebih lanjut ke tingkat DNA, yang saat ini sedang dipersiapkan.

“Tahun 2013 ini, bahkan kami mendapatkan potongan bulu harimau jawa, dari Jawa Timur,” kata Didik.

Penelitian murni anak negeri

Penelitian dan temuan terkait harimau jawa oleh peneliti dalam negeri seperti yang terus dilakukan Didik dan Wahyu Giri Prasetya sangat sulit mendapatkan kepercayaan dari peneliti dan lembaga Internasional.

Wahyu Giri menjelaskan, para peneliti asing seakan telah lupa ketika masuk hutan minta dipandu, dan siapa pemandunya, jika bukan warga lokal dan anak negeri.

Yang perlu diingat bahwa keabsahan hasil telitian bukan oleh siapa yang melakukan, tapi pada teknik dan prosedur. “Kenapa prasangka yang diutamakan, kenapa tidak ditanya bagaimana cara kami mendapatkan rambut tersebut di hutan,” kata Wahyu Giri.

“Pengamatan harimau jawa sudah seharusnya dilakukan masyarakat Jawa sendiri, peneliti dan instansi terkait tanpa harus tergantung kepada peneliti asing,” tutup Didik Raharyono.

(Tommy Apriando/Mongabay Indonesia)

SUMUR 1
SUMUR 2
Spoiler for Berkenan:

Spoiler for Ini thread pertama ane, tolong jangan...:

emoticon-I Love Indonesia
Diubah oleh avvmass 15-01-2014 15:07
tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
7.5K
45
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan