Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Dj.FikryAvatar border
TS
Dj.Fikry
Mengenang Jasa Telepon Umum...





















Sekarang Sudah Tiada Dan Dirusak Oleh Orang2 Jail emoticon-Mad (S)




















Quote:



JAKARTA, KOMPAS.com - Masih ingat telepon umum? Fasilitas umum ini banyak berjasa dan pernah menjadi bagian dari kehidupan rakyat negeri ini. Namun, kala teknologi komunikasi maju pesat, telepon umum terbengkalai dan kini nyaris sekarat.

Aktris kawakan Widyawati ingat betul ketika mendiang suaminya, Sophan Sophiaan, selalu meneleponnya setiap kali bepergian. Sebelum ada telepon seluler, setiap tiba di tempat tujuan, yang dilakukan Sophan pertama kali adalah mencari telepon umum. Sophan mengabarkan bahwa ia tiba di tempat tujuan dengan selamat.

”Bagi kami, komunikasi sangat penting. Apalagi dengan kesibukan yang luar biasa. Suami saya sering pergi ke luar kota dan luar negeri untuk shooting atau untuk urusan pekerjaan saat menjadi anggota DPR,” kenang Widyawati yang bersama Sophan tampil dalam film Pengantin Remaja (1971) itu.

Bukan hanya suami, anak Widyawati juga mengabarkan segala sesuatu ke rumah melalui telepon umum. Dia sendiri menggunakan telepon umum ketika bepergian ke luar negeri, juga untuk memberi kabar bahwa dia sudah tiba di negara tujuan.

Tidak hanya memberi kenangan manis, telepon umum juga memberi kenangan buruk bagi ibu dua anak ini. Ia dan suaminya pernah mengalami teror lewat telepon pada awal 2000-an. Dalam sehari, bisa ada 10 kali telepon masuk, tetapi tidak ada yang bicara.

”Sepertinya teror itu terkait aktivitas politik suami saya. Kami coba melacak dibantu polisi. Sebagian besar penelepon menggunakan telepon umum,” ungkap Widyawati.

Berjasa

Telepon umum koin mulai diperkenalkan pada tahun 1981. Pada kurun masa 1983-1988 tercatat terpasang sebanyak 5.724 unit. Telepon umum kartu mulai digunakan pada 1988. Mulai terpasang sebanyak 95 unit, jumlahnya meningkat pesat menjadi 7.835 unit pada 1993.

Keberadaan telepon umum benar-benar berguna bagi khalayak, termasuk mahasiswa. Artis dan produser Olga Lydia (38), misalnya, termasuk pengguna setia telepon umum. Saat-saat kuliah di Jurusan Teknik Sipil Universitas Parahyangan, Bandung, pada kurun waktu 1994-1999, ia biasa pergi ke telepon umum beramai-ramai dengan teman satu kosnya. Ia mencari tempat telepon umum yang sepi, tapi banyak teleponnya supaya tidak perlu antre. ”Kami bertiga masing-masing bisa ngobrol 20-30 menit tidak diburu-buru orang di belakangnya,” tuturnya.

Telepon umum memang sahabat mahasiswa. Indriyani (36) menceritakan dulu ketika menyusun skripsi, dia menelepon responden dari telepon umum. Saat itu, dia memilih lobi Bank CIC di sebelah Plaza Senayan, Jakarta. ”Di sana enak, telepon umumnya banyak dan ruangannya dingin lagi,” kenangnya.

Meski banyak jasanya dan relatif murah, tapi ada-ada saja pengguna yang nakal. Telepon umum juga melahirkan ”kenakalan” yang berbasis pengiritan. Ada yang melubangi koin, lalu memasangkan benang pada lubang tersebut. Dengan cara itu, koin bisa dipakai berulang-ulang. Ada lagi akal-akalan dengan cara mengisolasi lubang di kartu telepon sehingga pulsa yang terbaca di telepon masih penuh.

Bram (36), pegawai bank swasta di Jakarta, bercerita tentang pengalamannya dengan telepon umum sekitar 16 tahun lalu semasa kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah. Di asrama perguruan tinggi itu ada sebuah telepon umum kartu yang digunakan semua penghuni asrama secara gratis dengan cara tertentu. Namun, Bram sempat enggan karena khawatir akan ketahuan. ”Tapi, setelah sekian lama kok enggak ketahuan juga, saya jadi tertarik mencoba. Apalagi saya waktu itu pacaran jarak jauh, pacar di Jakarta,” kata Bram.

Bram pun belajar teknik menyiasati telepon kartu tersebut. Dengan cara itu, Bram bisa gratis menelepon pacar di Jakarta dalam waktu cukup lama.

Meski kini telepon umum langka dan sulit ditemui, masyarakat menganggap keberadaan telepon umum tetap penting dan relevan. Di saat darurat, ponsel kehabisan baterai atau pulsa dan harus menghubungi seseorang, telepon umum dapat diandalkan menjadi penyelamat.

”Saya pernah kehabisan baterai dan harus kasih kabar orang rumah. Cari-cari telepon umum enggak ada yang bisa. Kalau seperti itu, kerasa banget telepon umum masih sangat dibutuhkan. Harusnya masih tetap ada, ya,” ujar Florentina, karyawan sebuah bank swasta di Jakarta.

Benda koleksi

Telepon umum yang pernah berjaya itu kini menjadi benda sejarah. Kartu telepon menjadi koleksi langka. Banyak orang yang memburunya untuk melengkapi seri tertentu, terutama kartu edisi terbatas. Harga kartu telepon pun melonjak. Satu kartu limited edition ditawarkan Rp 500.000 hingga Rp 1 juta.

Olga Lydia, misalnya, mengumpulkan kartu telepon yang pernah ia gunakan. Biasanya, kartu telepon dibuat berseri dan dengan edisi yang terbatas. Ada juga fungsi edukasi dan kandungan nilai sejarah di dalamnya. Sejumlah koleksi masuk edisi terbatas, misalnya Air Show 1996 yang menggambarkan seri pesawat terbang Indonesia.

”Awalnya, saya hanya berpikir sayang kalau kartu telepon yang sudah habis pulsanya dibuang begitu saja. Akhirnya, setiap kartu yang pulsanya nol saya koleksi, terus tukar-menukar sama teman kuliah,” ujarnya.

Olga yang mengoleksi kartu telepon sejak kuliah juga memiliki kartu telepon edisi terbatas dari Australia, Thailand, dan Singapura. Selain berburu sendiri, ia juga titip kepada teman yang ke luar negeri agar membawakan kartu telepon. ”Semua istimewa,” ujarnya.

Selain Olga, Irmawan, warga Denpasar, Bali, juga mengoleksi kartu telepon. Bahkan, ia memasarkan koleksinya melalui situs jual beli di internet. Ada sekitar 80 kartu telepon yang ia kumpulkan pada saat bekerja di Singapura pada tahun 1996.

Menurut sejarawan Universitas Indonesia, JJ Rizal, telepon umum merupakan artefak sejarah, simbol modernitas, simbol kota. Ia memaparkan, Raden Ajeng Kartini dalam surat-suratnya menggambarkan zaman baru diwarnai modernitas yang ditandai dengan perkembangan kereta api, jaringan jalan yang luas, telepon, dan telegraf.

Simbol modernitas, termasuk telepon, semasa penjajahan Belanda kebanyakan menjadi milik kaum elite. Ketika muncul telepon umum, di benak masyarakat luas, telepon bukan lagi simbol elitis. Lalu datang masa ketika orang sudah memiliki telepon pribadi (ponsel). Saat itu telepon umum ditinggalkan dan bahkan tidak dirawat. ”Telepon umum sifatnya tidak personal, tidak individual. Orang tidak merasa memiliki,” ujar Rizal.
Kondisi itu diperburuk dengan kebiasaan sebagian besar masyarakat yang sangat mementingkan tampilan ketimbang fungsi. Keberadaan telepon umum yang kini terkesan dibiarkan mati perlahan-lahan seharusnya tetap dipertahankan. (SF)









Gw Jujur Aja Secara Pribadi...Gw Tinggal Asli Di Jakarta...Gw Pecinta Telpon Umum...Yg Ada Dibeberapa Kota2 Besar Dijakarta Dan Kampung2 Kecil..

Dulu Sekitar Tahun 1999 Kalo Tidak Salah,Dulu Masih Inget Suka Tel Temen Sekolah Pakai Uang 50 Perak Hahaha..Sampei Akhirnya 100 Rupiah Bisa Buat Tel Sekitar 30 Menit...

Dan Sangat Mudah Sekali Kalo Kita Inget Menghubungin Temen,Sodara Dan Kerabat2 Kerja...

Tetapi Akhir2 Semenjak Perkembangan Semakin Pesat...Ada Hp.Smartphone Canggih Dll...Tel Umum Saat Ini Sudah Dilupakan Dan Dari Pihak Telkom Pun Sudah Pasrah Begitu Saja...

Jadi Kalo Menurut Saya Kalo Kita Tidak Mendukung Penuh Bisa2 Punah Sudah Telpon Umum (KOIN).

Semoga Jadi Suka Duka Dan Kenangan Indah ^^ emoticon-Sorryemoticon-Sorry




Quote:


Quote:


Quote:


Diubah oleh Dj.Fikry 05-01-2014 08:00
0
6.8K
53
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan