Kaskus

News

dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
T. B. Simatupang: Ketua Dewan Gereja Yang Ikut Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
T. B. Simatupang: Ketua Dewan Gereja Yang Ikut Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI (1948-1949) dan Kepala Staf Angkatan Perang RI (1950-1954), ini pensiun dini dari dinas militer karena prinsip yang berbeda dengan Presiden Soekarno. Lalu orang yang selalu merasa berutang ini pun mengisi hari-harinya menjadi aktivis gereja. Sampai kemudian menjadi Ketua Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (1959-1984), Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Asia dan Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia.

Yogya, 19 Desember 1948, dinihari. ''Saya tengah rebahan di dipan dan belum melepas pakaian, ketika menjelang matahari terbit itu terdengar suara pesawat berdesingan di udara,'' tutur Simatupang, yang di belakangan hari menjadi sesepuh Dewan Gereja Indonesia. ''Saya menoleh ke atas dari jendela, saya lihat pesawat terbang dengan tanda-tanda Belanda. Ngayogyakarta Hadiningrat, ibu kota Republik pujaan kita, telah diserang.''

Renungan Simatupang tentang serangan mendadak Belanda atas Yogya di pagi hari itu kemudian ia tuturkan kembali dalam bukunya, Laporan dari Banaran: ''Apakah pagi ini lonceng matinya Republik sedang dibunyikan? Atau apakah Republik kita akan lulus dalam ujian ini?'' Pada saat yang sama, pertanyaan- pertanyaan itu ia jawab sendiri: ''Itu bergantung pada diri kita sendiri, kita yang menyebut diri kaum Republiken. Hari ujian bagi kita telah tiba. Apakah kita loyang? Apakah kita emas?''

Pagi itu juga, tanpa mandi atau sekadar cuci muka, Simatupang -- yang beberapa hari sebelumnya sibuk sebagai penasihat militer delegasi RI dalam perundingan-perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville dan lantas aktif pula dalam perundingan lanjutannya di Kaliurang, 24 kilometer di utara Yogya -- dengan sigap menghubungi kawan-kawan seperjuangannya untuk menentukan langkah. Keadaan memang gawat. Yogya jatuh. Presiden, wakil presiden, dan para pemimpin lainnya telah ditawan Belanda. Seperti prajurit-prajurit yang lain, Simatupang kemudian bergerilya.

Selama beberapa minggu perang rakyat, sebelum keadaan teratur, Pak Sim -- panggilan akrab Simatupang -- sering diolok-olok sebagai ''diplomat kesasar''. Habis, selama itu ia hampir tidak lepas dari setelan celana abu-abu dan kemeja buatan luar negeri. Bukannya apa-apa, ''Tapi pakaian itulah yang menempel di tubuh saya ketika berangkat bergerilya,'' katanya. Pakaian itu memang ''seragam'' Pak Sim yang khusus ia kenakan selama mengikuti perundingan dengan pihak Belanda, di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara.

Di masa Kemerdekaan ia sempat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang RI. Sebelum pensiun, 1959, pangkat terakhirnya letnan jenderal. ''Saya pensiun oleh karena tidak dapat lagi bekerja sama dengan Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno,'' tutur Pak Sim dalam bukunya, Iman Kristen dan Pancasila (BPK Gunung Mulai, 1984).

Pensiun ternyata bukan berarti istirahat baginya. Pak Sim aktif dalam lembaga pedidikan (sempat menjadi Ketua Yayasan dan Pembinaan Manajemen, misalnya) dan dalam organisasi keagamaan. Ia menjalani kehidupan reflektif di DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia) -- sekarang PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia). ''. di DGI ., mungkin saya akan bisa memberikan sumbangan yang kecil dalam pengembangan landasan-landasan etik teologi bagi tanggung jawab Kristen di suatu masa .,'' kata Pak Sim.

Oleh Th. Sumartana, intelektual muda dari kalangan Kristen, Pak Sim disebut, ''Teoretikus oikumenis pertama yang lahir dari lingkungan gereja-gereja di Indonesia setelah Kemerdekaan.

Pak Sim lahir sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara, di tengah keluarga dengan tradisi Gereja Lutheran yang saleh dan tetap kuat memegang adat Batak. Ayahnya, Simon Mangaraja Soaduan Simatupang, terakhir bekerja sebagai pegawai PTT. Pak Sim betah berlama-lama membaca, atau menulis sesuatu, dan selalu tidak lepas dari kaca mata. Ia ayah empat orang anak, satu di antaranya telah meninggal. Istrinya, Sumarti Budiardjo, kebetulan adik kawan seperjuangannya, Ali Budiardjo. Pak Sim dan Bu Sumarti sudah mulai akrab sewaktu berlangsung Konperensi Meja Bundar.

Pak Sim masih setia melakukan lari pagi, dan selalu minum air putih sesudahnya.

Teguh pada Prinsip dan Iman

Pria kelahiran Sidikalang, Raja Pejuang Batak melawan Kolonialis Belanda Sumatera Utara, 28 Januari 1920 ini adalah seorang perwira tinggi militer ahli strategi perang sekaligus diplomat ulung. Ia 'dilahirkan' sejarah menjadi perwira, awalnya hanya untuk mematahkan mitos yang ditebar gurunya ketika sedang menempuh studi setingkat SLTA di AMS, Jakarta. Sang guru, seorang keturunan Belanda selalu berkata kepada Simatupang dan siswa pribumi lain bahwa Indonesia tidak mungkin bersatu dan memiliki angkatan perang untuk merdeka.

Mitos dimunculkan sang guru dengan mengedepankan bukti keanekaragaman penduduk dan berhasilnya setiap perlawanan lokal ditumpas Belanda.

Peristiwa pendudukan Belanda oleh Jerman di tahun 1940 pada awal-awal Perang Dunia II akhirnya memaksa Belanda membuka kesempatan pendidikan Akademi Militer Kerajaan Belada di Hindia Belanda, sebagai kepanjangan KMA Breda berlokasi di Bandung, Jawa Barat. KMA Breda Bandung didirikan sebagai persiapan rencana pembebasan Negeri Kincir Angin itu dari Nazi Jerman kelak, dengan memberi kesempatan kepada penduduk pribumi menjadi perwira dengan sejumlah persyaratan masuk yang sudah diperingan tentang kesetiaan kepada Kerajaan Belanda.

Hari itu, 10 Mei 1940 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenburg melalui pidato radio memberitahukan bahwa Jerman telah menyerang Negeri Belanda. Di akhir pidatonya ia menyerukan agar semua golongan di Hindia Belanda berdiri di belakang Pemerintah Belanda dalam keadaan yang sangat sulit secara bersatu dan setia.

Demikian pula pidato radio dari Panglima Eskader Angkatan Laut Belanda di Hindia Belanda, Laksamana Helfrich, yang menyerukan kepada para pendengar agar mempersiapkan diri mengambil bagian dalam upaya pembebasan Negeri Belanda di waktu yang akan datang. Dalam pidato Helfrich, yang tetap terpaku dalam ingatan Simatupang hingga akhir hayat, disebutkan, "Uw naam zal blijven voortleven onder de bevrijders van Nederland". Yang artinya, "Nama Anda akan hidup terus di antara para pembebas Negeri Belanda." Kalimat itu serta merta "diterjemahkan" Simatupang menjadi heroik berbunyi, "Nama Anda akan hidup terus di antara para PEMBEBAS INDONESIA".

Catatan pidato radio kedua petinggi Pemerintahan Hindia Belanda itu dituangkan TB Simatupang dalam buku memoar pribadinya, "Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos: Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas Bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa dan Negara," diterbitkan bersama oleh harian umum "Suara Pembaruan" dan Pustaka Sinar Harapan, di Jakarta, tahun 1991.

Setelah melewati berbagai tahapan seleksi ketat secara berjenjang selama berbulan-bulan Simatupang akhirnya diterima sebagai kadet taruna, bersama sedikit saja warga pribumi lain yang lulus untuk menggenap total 150 kadet taruna yang diterima LMA Bandung. Ratusan taruna lain adalah warga Belanda totok dan Belanda keturunan. Sesuai kebutuhan perang, semua perwira KMA Breda Bandung diproyeksikan siap dimobilisasi ke daratan Eropa. Karena itu latihan praktek-praktek kemiliteran sangat dominan diajarkan pada tahun-tahun pertama dan kedua, padahal Simatupang sudah sangat menunggu-nunggu tibanya pelajaran teoritis tentang strategi militer dan taktik perang.

Keahlian berpikir tentang strategi militer dan taktik perang lebih dibutuhkan Simatupang mengingat tujuan orisinilnya sesungguhnya adalah untuk membuktikan ketidakbenaran mitos ketidakmampuan Indonesia memerdekakan diri dan membangun angkatan perang yang tangguh.

Masuk Lembaga Gereja

Simatupang pada akhirnya bukan hanya berhasil mematahkan mitos sang penjajah. Bahkan, ia sendiri berkesempatan menduduki jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), antara tahun 1950-1954, berpangkat Letnan Jenderal TNI dalam usia relatif masih sangat muda, 30 tahun.

Sayangnya Simatupang harus pensiun dini pada usia 39 tahun dari dinas kemiliteran, di tahun 1959, dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI, menyandang jabatan terakhir Penasehat Militer Departemen Pertahanan (tahun 1954-1959). Alasannya karena sudah tidak dapat lagi bekerja sama dengan Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Presiden Soekarno. Hal itu diakui Simatupang sebagaimana tertuang dalam buku karangannya, "Iman Kristen dan Pancasila" terbitan BPK Gunung Mulia, tahun 1984.

Usai membuktikan keteguhan prinsipnya di bidang kemiliteran dengan cara mundur, Simatupang lantas menunjukkan keteguhan hati yang lain yakni kekuatan iman. Ia mengabdikan diri di lembaga Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI, sekarang PGI atau Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia). Di DGI penganut agama Kristen dengan tradisi Gereja Lutheran yang saleh sekaligus pemegang kuat adat Batak, ini mengimani mungkin akan bisa memberikan sumbangan yang kecil dalam pengembangan landasan-landasan etik teologi bagi tanggungjawab Kristen di suatu masa.

Keterlibatan Simatupang di lembaga dan organisasi gereja agaknya adalah jalan pilihan terbaik sekaligus kehendak Tuhan. Itu bukan pelarian dari seorang jenderal ahli strategi perang, yang walau menjabat sebagai penasehat.

Menteri pertahanan namun nasehatnya tak pernah dimintakan. Simatupang yang memiliki kesempatan bermukim di tanah Batak hanya pada 17 tahun pertama usianya, dari 70 tahun masa kehidupannya sebelum meninggal dunia 1 Januari 1990 di Jakarta, telah merasakan dan menyaksikan sendiri betapa pekabaran injil yang terjadi di tanah Batak telah membawa banyak kemajuan. Khususnya pada era Dr. Ingwer Ludwig Nommensen seorang misionaris warga Jerman yang lalu dijuluki sebagai Rasul Bangsa Batak. Kemajuan yang dialami bangsa Batak terjadi terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.

Simatupang menyebutkan, dua peristiwa penting Perang Paderi sebagai bentuk perlawanan Tuanku Ulama, Pejuang perang paderi Imam Bonjol dari Padang melawan Belanda, serta wafatnya Raja Raja Pejuang Batak melawan Kolonialis Belanda Sisingamangaraja XII sebagai lambang penolakan bangsa Batak atas penjajahan Belanda, ia meninggal di Sionomhudon Dairi tahun 1907, telah membuka jalan bagi terbukanya sikap bangsa Batak menerima perubahan. Tuanku Ulama, Pejuang perang paderi Imam Bonjol telah sempat menanamkan pengaruh agama Islam bagi sebagian bangsa Batak, itu adalah bukti awal bangsa Batak telah mau terbuka menerima perubahan dari kehidupan yang sebelumnya animisme atau memuja dewa. Sebab jauh sebelum itu telah datang pertamakali dua misionaris dari Amerika Serikat yakni Munson dan Lyman, yang sayang keduanya mengalami kehidupan martir mati terbunuh di Lobupining.

Sumatupang duduk di berbagai lembaga kekristenan antara lain sebagai Ketua DGI sepanjang tahun 1959-1984, Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Asia, Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia, Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI), dan terakhir Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MP-PGI) sejak tahun 1984 hingga akhir hayat. Simatupang sempat pula menjadi Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM).
Diubah oleh dragonroar 01-01-2014 15:28
0
4.1K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan