- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
5 Poin Mengapa Indonesia Gagal Mendapat Emas
TS
djhar
5 Poin Mengapa Indonesia Gagal Mendapat Emas
Indonesia kalah (lagi). Sejarah mencatatkan bahwa dua kali masuk final SEA Games di 1997 dan 2011 selalu berakhir dengan kekalahan. Tahun ini "prestasi" tersebut pun terulang kembali. Indonesia gagal mendapatkan balas dendam atas kekalahan 1-4 di fase grup, dan RD tak berhasil mengalahkan Kiatisuk Senamuang. Ya, emas itu pun akhirnya digondol Thailand.
Untuk lengkapnya, cek [URL="http://sport.detik..com/aboutthegame/read/2013/12/22/161309/2448886/1480/5-poin-mengapa-indonesia-gagal-mendapat-emas?b99220170"]dimari[/URL] gan.
Untuk lengkapnya, cek [URL="http://sport.detik..com/aboutthegame/read/2013/12/22/161309/2448886/1480/5-poin-mengapa-indonesia-gagal-mendapat-emas?b99220170"]dimari[/URL] gan.
Quote:
Indonesia kalah (lagi). Sejarah mencatatkan bahwa dua kali masuk final SEA Games di 1997 dan 2011 selalu berakhir dengan kekalahan. Tahun ini "prestasi" tersebut pun terulang kembali. Indonesia gagal mendapatkan balas dendam atas kekalahan 1-4 di fase grup, dan RD tak berhasil mengalahkan Kiatisuk Senamuang. Ya, emas itu pun akhirnya digondol Thailand.
Tanpa harus berendah diri, mesti diakui bahwa semalam Thailand memang pantas jadi juara. Mereka tampil lebih terorganisir dan dengan visi bermain yang lebih jelas.
Di babak pertama, saat tujuan mereka adalah menyerang Indonesia, maka ke-sebelas pemain dapat menerapkan taktik Kiatisuk dengan baik. Di babak kedua, saat mereka berniat mempertahankan keunggulan, rapatnya barisan gelandang dan lini pertahanan Thailand, mampu membuat para punggawa 'Garuda Muda' frustrasi.
Lalu apa sebenarnya yang membuat Indonesia gagal mendapat emas? Berikut lima poin analisa kegagalan Garuda menurut kami.
"Tidak Jelas"-nya Rizky Pellu
Salah satu sektor yang patut disorot atas gagalnya Indonesia meraih emas adalah sisi kiri pertahanan. Dapat dikatakan, area tersebut merupakan titik lemah pertahanan Indonesia. Catatan khusus patut disematkan kepada Rizky Pellu. Peran pemain asal klub Pelita Bandung Raya ini tampil kurang maksimal.
Dua hal yang menjadikan berkurangnya kinerja Pellu adalah pergerakannya yang tanggung, baik dalam bertahan maupun menyerang. Berduet dengan Dedi Kusnandar menjadi poros ganda, Pellu kerap terlihat meninggalkan posnya. Akan tetapi, pergerakan Pellu cenderung bertabrakan dengan pemain lain dan tidak membuka ruang, membuat usahanya dalam membantu membangun serangan berjalan percuma.
Sering majunya Pellu juga memaksa Fandi Eko untuk turun menutup ruang yang ditinggalkan. Akibatnya, ketika bola berhasil direbut dan dikuasai Indonesia, aliran bola mandek karena tidak ada pemain yang mampu mengatur serangan. Fandi Eko kerap gagal mengalirkan bola menuju Pellu karena pergerakan Pellu yang tanggung.
Selain itu, ketika Indonesia menerima serangan pun Pellu kerap terlambat turun untuk menutup posnya. Bahkan, pressing yang dilakukannya pun terlihat minim pada laga ini.
Dengan kondisi ini, praktis Dedi Kusnandar terpaksa berkerja sendirian dalam menahan gempuran Thailand. Usaha Ramdani Lestaluhu dan Fandi Eko untuk turut membantu menutup pos yang ditinggalkan Pellu pun sering gagal karena kemampuan bertahan mereka yang memang kurang baik.
Secara umum, dapat dikatakan pergerakan Rizky Pellu yang tanggung baik dalam menyerang maupun bertahan membuat skema Indonesia menjadi kacau.
Kalah Menghadapi Gelandang Tengah Thailand
Di samping skema Indonesia yang kacau akibat tanggungnya pergerakan pemain, peran gelandang tengah Thailand patut mendapatkan kredit khusus. Terlebih tiga gelandang Thailand, yaitu Pokklaw A Nan (10), Thitiphan Puangjan (7), dan Charyl Yannic Cappuys (12).
Dapat dikatakan, ketiga pemain tersebut memiliki tipikal permainan yang sama. Ketiganya memiliki kemampuan yang sama-sama baik dalam hal menyerang maupun bertahan.
Ketika bertahan, ketiga gelandang tersebut mampu tampil solid dengan bermain rapat dengan berada di depan 4 bek sejajar Thailand. Karena rapatnya posisi gelandang, maka tak salah apabila mereka mampu memaksa Indonesia untuk bermain melebar dengan mengandalkan sayap.
Sialnya lagi bagi Indonesia, meski diarahkan menuju sayap, disiplinnya Theerathon Bunmathan (3) dan Atit Daosawang (8) dalam menjaga kadalaman garis pertahanan membuat Indonesia tidak memiliki pilihan serangan.
Kembali ke peran ketiga gelandang Thailand. Ketika menyerang, trio gelandang itu pun mampu tampil ciamik di sepertiga area lapangan akhir. Ketiganya mampu menguasai bola dengan mengirimkan umpan through-pass ataupun operan-operan pendek yang menghubungkan antara sayap-sayap dan striker Thailand.
Faktor gelandang bertahan Indonesia, yang hanya meninggalkan Dedi Kusnandar seorang di belakang, turut mempermudah penguasaan bola Thailand di sepertiga area akhir.
Transisi yang baik dari bertahan menuju serangan ataupun sebaliknya mampu membuat lini tengah Indonesia kesulitan. Dengan pertahanan yang rapat, gelandang Indonesia kebingungan dalam mengalirkan bola ke depan. Dengan serangan kolektif, Thailand mampu membuat Indonesia kesulitan dalam merebut penguasaan bola.
Bahkan, serangan kolektif Thailand mampu membuahkan hasil atas gol yang dicetak oleh Sarawut Masuk. Berawal dari lepasnya penguasaan bola oleh Ramdani Lestaluhu, Thailand langsung menggencarkan serangan balik lewat Theerathon Bunmathan. Selanjutnya pemain bernomor punggung 3 tersebut langsung memberikan bola kepada Pokklaw (10).
Lalu, Pokklaw memberikan passing pendek kepada Thitiphan, yang kemudian diteruskan kepada Surawut. Kombinasi passing antara Thitiphan dan Surawut mampu menghasilkan peluang matang di depan gawang Indonesia.
Surawut yang hanya tinggal berhadapan dengan Kurnia Meiga mampu mengkonversi bola terobosan lewat udara dari Thitipan menjadi sebuah gol. Gol ini akhirnya menjadi gol penentu bagi kemenangan Indonesia.
Aliran Bola dari Belakang Terhenti
Faktor lain penyebab serangan Indonesia tak berkembang adalah keengganan Dedi Kusnandar dalam mengalirkan bola ke depan. Terlebih pada babak kedua, ketika Thailand mengendurkan serangannya dan pressing terhadap Dedi Kusnandar menjadi minim.
Meskipun minim tekanan, hal tersebut tidak membuat Dedi hendak mengalirkan bola ke lini depan. Ketika bola berada pada penguasaannya, ia lebih memilih untuk memberikan bola tersebut kepada Syaifuddin ataupun Andri Ibo. Akibatnya, passing-passing pendek hanya terjadi di antara ketiga pemain tersebut.
Oleh karena itu, pada akhirnya kedua bek tengah Indonesia-lah yang terpaksa mengirimkan umpan ke depan dengan gunakan umpan lambung. Akibatnya, aliran bola Indonesia dari belakang pun kerap tidak tepat sasaran dan mampu diantisipasi oleh para pemain Thailand.
Tanggung jawab Dedi Kusnandar, yang seharusnya mampu mengalirkan bola ke depan secara masif, seolah dialihkan kepada Andri Ibo yang notabene tidak memiliki kemampuan umpan panjang sebaik Dedi. Keengganan Dedi Kusnandar dalam mengirimkan bola ini pula yang sebenarnya juga membuat serangan Indonesia terhenti.
Telat Menghentikan Theeraton Bunmathan
Tidak sulit rasanya jika harus memilih siapa pemain Thailand yang paling berpengaruh di SEA Games 2013. Selain karena Theeraton adalah kapten tim, pengaruhnya terhadap Thailand secara permainan juga terlihat sepanjang turnamen. Secara sederhana, pemain 23 tahun ini tangguh dalam bertahan, fasih dalam menyerang, dan bahkan terkadang menjadi playmaker!
Posisi sebenarnya memang seorang bek kiri, namun secara fungsi perannya lebih dari itu. Theeraton menjadi orang pertama yang sering kali mendapat bola dari kiper Thailand. Itu artinya pemain ini adalah inisiasi serangan awal tim Gajah Putih, dan bukan bek tengah.
Tempo serangan Thailand juga bergantung kepadanya, apakah akan menggunakan serangan balik cepat atau menunggu momentum, jika skema taktik Thailand belum terbangun sempurna.
Seperti terlihat pada babak pertama, serangan Indonesia yang relatif seimbang melalui sayap kiri dan kanan. Seringnya Alfin kehilangan bola di area yang dikuasai oleh Theeraton ini membuat Theeraton seakan mendapat suplai bola yang cukup (dari kegagalan Alfin).
Setelah turun minum, Indonesia lebih fokus menyerang melalui sayap kiri dengan duet Ramdhani, Diego, dan Pahabol. Ini membuat Theeraton relatif lebih tidak banyak melakukan aksi, dan pemain ini juga menjadi minim mendapatkan bola.
Sementara itu, fullback kanan Thailand, lebih sering menghentikan serangan dengan menggunakan clearance. Akibatnya, serangan Thailand pun tidak tertata rapih dan penguasaan bola menjadi milik Indonesia secara penuh.Sayangnya hal ini tidak dilakukan Indonesia dari babak pertama.
Tidak Belajar dari Pengalaman
Kritik pedas ditujukan kepada Timnas U-23 yang berlaga di SEA Games 2013, terutama pada fase grup saat dihajar Thailand 1-4. Namun perlahan semua kritik tersebut menguap tatkala kita mampu mengalahkan tuan rumah Myanmar, serta juara bertahan Malaysia.
Sebenarnya komentar negatif terhadap tim ini ada jauh sebelum itu. Selama masa persiapan yang tidak pendek untuk ukuran sebuah tim nasional, kritik ini sudah ada.
Mulai dari melawan tim besar Chelsea bulan Juli silam. Pada pasca-pertandingan tersebut, Jose Mourinho sendiri yang mengatakan, pemain harus bermain dengan kebanggaan jika memang bermain melawan tim yang jauh lebih kuat. Masih ada banyak uji coba lain dan beberapa turnamen seperti Islamic Solidarity Games (ISG) dan MNC Cup.
Banyak yang mengatakan bahwa tim sudah berkembang saat SEA Games. Namun, bukankah melakukan perbaikan saat turnamen bukankah hal yang penuh dengan risiko? Jika boleh berandai, hasil lain mungkin bisa didapat jika kita belajar jauh sebelum itu.
Timnas U-23 juga tidak belajar dari kegagalan secara detil. Dalam partai krusial seperti final SEA Games, tim yang mampu bermain lebih detail, harusnya dapat merespons permainan secara lebih baik.
Jika Anda perhatikan, saat pemain Indonesia mendapat sepak pojok, ke mana arah bola sering diarahkan? Bola diarahkan tepat di depan penjaga gawang Thailand, tubuh kimpoi Shinawatra yang tinggi menjulang akan dengan mudah memotong bola hasil sepak pojok tersebut. Namun, kondisi ini terus-menerus berulang.
Aksi menggiring bola yang kelewat batas bahkan sudah melekat pada tim ini sejak lama. Hal yang menunjukan betapa mereka tidak memperhatikan kritik yang dilontarkan. Dalam pertandingan semalam, aksi ini dengan mudah dipatahkan oleh tiga gelandang Thailand.
Perubahan permainan memang ditunjukan di 3 pertandingan terakhir. Tapi, apakah hal ini terlambat? Yang jelas jika perubahan permainan tersebut sudah dilakukan sejak lama, strategi yang ada seharusnya bisa lebih rapi dan terpola dengan baik karena melewati persiapan yang matang.
Masyarakat Indonesia terlanjur mendengar ucapan janji medali emas yang akan dibawa pulang kembali ke Indonesia, setelah 22 tahun lamanya singgah di tim-tim lawan.
Perak memang prestasi. Tapi, jika kita mensyukuri begitu saja hasil yang didapat kali ini, dengan mengatakan bahwa kita harus bangga karena pemain bekerja keras, maka sama saja kita mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu juara. Kita hanya perlu bekerja keras dan bukan bekerja secara cerdas.
Bagaimanapun juga, sejarah tidak mengabadikan nama mereka yang hanya bekerja keras.
Tanpa harus berendah diri, mesti diakui bahwa semalam Thailand memang pantas jadi juara. Mereka tampil lebih terorganisir dan dengan visi bermain yang lebih jelas.
Di babak pertama, saat tujuan mereka adalah menyerang Indonesia, maka ke-sebelas pemain dapat menerapkan taktik Kiatisuk dengan baik. Di babak kedua, saat mereka berniat mempertahankan keunggulan, rapatnya barisan gelandang dan lini pertahanan Thailand, mampu membuat para punggawa 'Garuda Muda' frustrasi.
Lalu apa sebenarnya yang membuat Indonesia gagal mendapat emas? Berikut lima poin analisa kegagalan Garuda menurut kami.
"Tidak Jelas"-nya Rizky Pellu
Salah satu sektor yang patut disorot atas gagalnya Indonesia meraih emas adalah sisi kiri pertahanan. Dapat dikatakan, area tersebut merupakan titik lemah pertahanan Indonesia. Catatan khusus patut disematkan kepada Rizky Pellu. Peran pemain asal klub Pelita Bandung Raya ini tampil kurang maksimal.
Dua hal yang menjadikan berkurangnya kinerja Pellu adalah pergerakannya yang tanggung, baik dalam bertahan maupun menyerang. Berduet dengan Dedi Kusnandar menjadi poros ganda, Pellu kerap terlihat meninggalkan posnya. Akan tetapi, pergerakan Pellu cenderung bertabrakan dengan pemain lain dan tidak membuka ruang, membuat usahanya dalam membantu membangun serangan berjalan percuma.
Sering majunya Pellu juga memaksa Fandi Eko untuk turun menutup ruang yang ditinggalkan. Akibatnya, ketika bola berhasil direbut dan dikuasai Indonesia, aliran bola mandek karena tidak ada pemain yang mampu mengatur serangan. Fandi Eko kerap gagal mengalirkan bola menuju Pellu karena pergerakan Pellu yang tanggung.
Selain itu, ketika Indonesia menerima serangan pun Pellu kerap terlambat turun untuk menutup posnya. Bahkan, pressing yang dilakukannya pun terlihat minim pada laga ini.
Dengan kondisi ini, praktis Dedi Kusnandar terpaksa berkerja sendirian dalam menahan gempuran Thailand. Usaha Ramdani Lestaluhu dan Fandi Eko untuk turut membantu menutup pos yang ditinggalkan Pellu pun sering gagal karena kemampuan bertahan mereka yang memang kurang baik.
Secara umum, dapat dikatakan pergerakan Rizky Pellu yang tanggung baik dalam menyerang maupun bertahan membuat skema Indonesia menjadi kacau.
Kalah Menghadapi Gelandang Tengah Thailand
Di samping skema Indonesia yang kacau akibat tanggungnya pergerakan pemain, peran gelandang tengah Thailand patut mendapatkan kredit khusus. Terlebih tiga gelandang Thailand, yaitu Pokklaw A Nan (10), Thitiphan Puangjan (7), dan Charyl Yannic Cappuys (12).
Dapat dikatakan, ketiga pemain tersebut memiliki tipikal permainan yang sama. Ketiganya memiliki kemampuan yang sama-sama baik dalam hal menyerang maupun bertahan.
Ketika bertahan, ketiga gelandang tersebut mampu tampil solid dengan bermain rapat dengan berada di depan 4 bek sejajar Thailand. Karena rapatnya posisi gelandang, maka tak salah apabila mereka mampu memaksa Indonesia untuk bermain melebar dengan mengandalkan sayap.
Sialnya lagi bagi Indonesia, meski diarahkan menuju sayap, disiplinnya Theerathon Bunmathan (3) dan Atit Daosawang (8) dalam menjaga kadalaman garis pertahanan membuat Indonesia tidak memiliki pilihan serangan.
Kembali ke peran ketiga gelandang Thailand. Ketika menyerang, trio gelandang itu pun mampu tampil ciamik di sepertiga area lapangan akhir. Ketiganya mampu menguasai bola dengan mengirimkan umpan through-pass ataupun operan-operan pendek yang menghubungkan antara sayap-sayap dan striker Thailand.
Faktor gelandang bertahan Indonesia, yang hanya meninggalkan Dedi Kusnandar seorang di belakang, turut mempermudah penguasaan bola Thailand di sepertiga area akhir.
Transisi yang baik dari bertahan menuju serangan ataupun sebaliknya mampu membuat lini tengah Indonesia kesulitan. Dengan pertahanan yang rapat, gelandang Indonesia kebingungan dalam mengalirkan bola ke depan. Dengan serangan kolektif, Thailand mampu membuat Indonesia kesulitan dalam merebut penguasaan bola.
Bahkan, serangan kolektif Thailand mampu membuahkan hasil atas gol yang dicetak oleh Sarawut Masuk. Berawal dari lepasnya penguasaan bola oleh Ramdani Lestaluhu, Thailand langsung menggencarkan serangan balik lewat Theerathon Bunmathan. Selanjutnya pemain bernomor punggung 3 tersebut langsung memberikan bola kepada Pokklaw (10).
Lalu, Pokklaw memberikan passing pendek kepada Thitiphan, yang kemudian diteruskan kepada Surawut. Kombinasi passing antara Thitiphan dan Surawut mampu menghasilkan peluang matang di depan gawang Indonesia.
Surawut yang hanya tinggal berhadapan dengan Kurnia Meiga mampu mengkonversi bola terobosan lewat udara dari Thitipan menjadi sebuah gol. Gol ini akhirnya menjadi gol penentu bagi kemenangan Indonesia.
Aliran Bola dari Belakang Terhenti
Faktor lain penyebab serangan Indonesia tak berkembang adalah keengganan Dedi Kusnandar dalam mengalirkan bola ke depan. Terlebih pada babak kedua, ketika Thailand mengendurkan serangannya dan pressing terhadap Dedi Kusnandar menjadi minim.
Meskipun minim tekanan, hal tersebut tidak membuat Dedi hendak mengalirkan bola ke lini depan. Ketika bola berada pada penguasaannya, ia lebih memilih untuk memberikan bola tersebut kepada Syaifuddin ataupun Andri Ibo. Akibatnya, passing-passing pendek hanya terjadi di antara ketiga pemain tersebut.
Oleh karena itu, pada akhirnya kedua bek tengah Indonesia-lah yang terpaksa mengirimkan umpan ke depan dengan gunakan umpan lambung. Akibatnya, aliran bola Indonesia dari belakang pun kerap tidak tepat sasaran dan mampu diantisipasi oleh para pemain Thailand.
Tanggung jawab Dedi Kusnandar, yang seharusnya mampu mengalirkan bola ke depan secara masif, seolah dialihkan kepada Andri Ibo yang notabene tidak memiliki kemampuan umpan panjang sebaik Dedi. Keengganan Dedi Kusnandar dalam mengirimkan bola ini pula yang sebenarnya juga membuat serangan Indonesia terhenti.
Telat Menghentikan Theeraton Bunmathan
Tidak sulit rasanya jika harus memilih siapa pemain Thailand yang paling berpengaruh di SEA Games 2013. Selain karena Theeraton adalah kapten tim, pengaruhnya terhadap Thailand secara permainan juga terlihat sepanjang turnamen. Secara sederhana, pemain 23 tahun ini tangguh dalam bertahan, fasih dalam menyerang, dan bahkan terkadang menjadi playmaker!
Posisi sebenarnya memang seorang bek kiri, namun secara fungsi perannya lebih dari itu. Theeraton menjadi orang pertama yang sering kali mendapat bola dari kiper Thailand. Itu artinya pemain ini adalah inisiasi serangan awal tim Gajah Putih, dan bukan bek tengah.
Tempo serangan Thailand juga bergantung kepadanya, apakah akan menggunakan serangan balik cepat atau menunggu momentum, jika skema taktik Thailand belum terbangun sempurna.
Seperti terlihat pada babak pertama, serangan Indonesia yang relatif seimbang melalui sayap kiri dan kanan. Seringnya Alfin kehilangan bola di area yang dikuasai oleh Theeraton ini membuat Theeraton seakan mendapat suplai bola yang cukup (dari kegagalan Alfin).
Setelah turun minum, Indonesia lebih fokus menyerang melalui sayap kiri dengan duet Ramdhani, Diego, dan Pahabol. Ini membuat Theeraton relatif lebih tidak banyak melakukan aksi, dan pemain ini juga menjadi minim mendapatkan bola.
Sementara itu, fullback kanan Thailand, lebih sering menghentikan serangan dengan menggunakan clearance. Akibatnya, serangan Thailand pun tidak tertata rapih dan penguasaan bola menjadi milik Indonesia secara penuh.Sayangnya hal ini tidak dilakukan Indonesia dari babak pertama.
Tidak Belajar dari Pengalaman
Kritik pedas ditujukan kepada Timnas U-23 yang berlaga di SEA Games 2013, terutama pada fase grup saat dihajar Thailand 1-4. Namun perlahan semua kritik tersebut menguap tatkala kita mampu mengalahkan tuan rumah Myanmar, serta juara bertahan Malaysia.
Sebenarnya komentar negatif terhadap tim ini ada jauh sebelum itu. Selama masa persiapan yang tidak pendek untuk ukuran sebuah tim nasional, kritik ini sudah ada.
Mulai dari melawan tim besar Chelsea bulan Juli silam. Pada pasca-pertandingan tersebut, Jose Mourinho sendiri yang mengatakan, pemain harus bermain dengan kebanggaan jika memang bermain melawan tim yang jauh lebih kuat. Masih ada banyak uji coba lain dan beberapa turnamen seperti Islamic Solidarity Games (ISG) dan MNC Cup.
Banyak yang mengatakan bahwa tim sudah berkembang saat SEA Games. Namun, bukankah melakukan perbaikan saat turnamen bukankah hal yang penuh dengan risiko? Jika boleh berandai, hasil lain mungkin bisa didapat jika kita belajar jauh sebelum itu.
Timnas U-23 juga tidak belajar dari kegagalan secara detil. Dalam partai krusial seperti final SEA Games, tim yang mampu bermain lebih detail, harusnya dapat merespons permainan secara lebih baik.
Jika Anda perhatikan, saat pemain Indonesia mendapat sepak pojok, ke mana arah bola sering diarahkan? Bola diarahkan tepat di depan penjaga gawang Thailand, tubuh kimpoi Shinawatra yang tinggi menjulang akan dengan mudah memotong bola hasil sepak pojok tersebut. Namun, kondisi ini terus-menerus berulang.
Aksi menggiring bola yang kelewat batas bahkan sudah melekat pada tim ini sejak lama. Hal yang menunjukan betapa mereka tidak memperhatikan kritik yang dilontarkan. Dalam pertandingan semalam, aksi ini dengan mudah dipatahkan oleh tiga gelandang Thailand.
Perubahan permainan memang ditunjukan di 3 pertandingan terakhir. Tapi, apakah hal ini terlambat? Yang jelas jika perubahan permainan tersebut sudah dilakukan sejak lama, strategi yang ada seharusnya bisa lebih rapi dan terpola dengan baik karena melewati persiapan yang matang.
Masyarakat Indonesia terlanjur mendengar ucapan janji medali emas yang akan dibawa pulang kembali ke Indonesia, setelah 22 tahun lamanya singgah di tim-tim lawan.
Perak memang prestasi. Tapi, jika kita mensyukuri begitu saja hasil yang didapat kali ini, dengan mengatakan bahwa kita harus bangga karena pemain bekerja keras, maka sama saja kita mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu juara. Kita hanya perlu bekerja keras dan bukan bekerja secara cerdas.
Bagaimanapun juga, sejarah tidak mengabadikan nama mereka yang hanya bekerja keras.
0
2.2K
Kutip
9
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan