- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
dr. Nafsiah Mboi dan Kiprahnya dalam Penanggulangan HIV AIDS
TS
Dhuwur.kali
dr. Nafsiah Mboi dan Kiprahnya dalam Penanggulangan HIV AIDS
Kemenkes: Pekan Kondom Nasional bukan program pemerintah
______
Sindonews.com - Seketaris Jendral (Sekjen) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Supriyantoro mengatakan, bahwa Menteri Kesehatan sudah mengatakan, program Pekan Kondom Nasional (PKN) bukan menjadi program Kemenkes tetapi swasta.
"Bu Menkes kirim email kepada saya dan disana dikatakan bahwa itu bukan program kita tetapi swasta yaitu DKT dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)," tandas dia saat dihubungi KORAN SINDO, Senin, 2 Desember 2013
Menurut dia, beberapa kegiatan yg baru pada tahun ini seperti mobil yg bergambar artis Julia Perez dg gaya yg sensasional sudah diminta untuk 'dimasukan' dan tidak dipergunakan. Dalam hal ini perayaan PKN sudah menjadi kegiatan yg rutin dilakukan sejak 2007 lalu.
"Jika memang ada pembagian kondom, itu bukan rekomendasi dari kami. Jika dibagi di kalangan kampus, dimana? Beritahu kami tempatnya karena mereka ngakunya tidak," kata dia.
Meningkatkan pengatahuan, lanjut dia, dilakukan dg menyebarkan famplet dan ceramah-ceramah yg dilakukan di sekolah maupun di universitas. Hal ini dirasa menjadi efektif karena generasi muda harus mengatahui bahaya HIV dan cara penularanya. Selain itu mengajak masyarakat luas untuk meningkatkan pengatahuan dan bahaya akan HIV menjadi penting dilakukan.
"Kita bagikan famplet yg berisi resiko tinggi bahaya HIV/AIDS bukan membagikan kondom," pungkas nya.
Lanjut dia, kehiatan tersebut bukan menjadi tanggung jawba pemerintah. Pasalnya, hal tersebut merupakan teknis dan menjadi tanggung jawab masing-masing. Maka dg pendidikan melalui pamflet yg diberikan kiranya masyarakat dapat meninggalkan perilaku beresiko tinggi.
"Kita tetap lakukan upaya promosi dan pencegahan. Jika sudah diberitahukan bahayanya dan sudah dilarang hal itu menjadi tanggunh jawab masing-masing," tegas dia.
sumur
Meskipun PKN bukan programnya pemerintah, tapi ane salut buat kiprahnya Bu Nafsiah Mboi dalam penanggulangan HIV AIDS dari tahun ke tahun. nih buktinya gan:
tmbahan
______
ternyata program KONDOMISASI sudah dicanangkan sejak lama
______
Sindonews.com - Seketaris Jendral (Sekjen) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Supriyantoro mengatakan, bahwa Menteri Kesehatan sudah mengatakan, program Pekan Kondom Nasional (PKN) bukan menjadi program Kemenkes tetapi swasta.
"Bu Menkes kirim email kepada saya dan disana dikatakan bahwa itu bukan program kita tetapi swasta yaitu DKT dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)," tandas dia saat dihubungi KORAN SINDO, Senin, 2 Desember 2013
Menurut dia, beberapa kegiatan yg baru pada tahun ini seperti mobil yg bergambar artis Julia Perez dg gaya yg sensasional sudah diminta untuk 'dimasukan' dan tidak dipergunakan. Dalam hal ini perayaan PKN sudah menjadi kegiatan yg rutin dilakukan sejak 2007 lalu.
"Jika memang ada pembagian kondom, itu bukan rekomendasi dari kami. Jika dibagi di kalangan kampus, dimana? Beritahu kami tempatnya karena mereka ngakunya tidak," kata dia.
Meningkatkan pengatahuan, lanjut dia, dilakukan dg menyebarkan famplet dan ceramah-ceramah yg dilakukan di sekolah maupun di universitas. Hal ini dirasa menjadi efektif karena generasi muda harus mengatahui bahaya HIV dan cara penularanya. Selain itu mengajak masyarakat luas untuk meningkatkan pengatahuan dan bahaya akan HIV menjadi penting dilakukan.
"Kita bagikan famplet yg berisi resiko tinggi bahaya HIV/AIDS bukan membagikan kondom," pungkas nya.
Lanjut dia, kehiatan tersebut bukan menjadi tanggung jawba pemerintah. Pasalnya, hal tersebut merupakan teknis dan menjadi tanggung jawab masing-masing. Maka dg pendidikan melalui pamflet yg diberikan kiranya masyarakat dapat meninggalkan perilaku beresiko tinggi.
"Kita tetap lakukan upaya promosi dan pencegahan. Jika sudah diberitahukan bahayanya dan sudah dilarang hal itu menjadi tanggunh jawab masing-masing," tegas dia.
sumur
Meskipun PKN bukan programnya pemerintah, tapi ane salut buat kiprahnya Bu Nafsiah Mboi dalam penanggulangan HIV AIDS dari tahun ke tahun. nih buktinya gan:
Spoiler for th 1996:
DIDISKRIMINASI - Ketika memberikan penyuluhan dan advokasi tentang AIDS di kompleks pramuriaan Tanjung Elmo, tak jauh dari Jayapura,dr Nafsiah Mboi menyaksikan suasana diskriminasi. Para pekerja seks dijadikan obyek penyuluhan dibiarkan terpanggang matahari, sementara para pejabat berteduh di bawah teratak bertulis "Pengidap HIV dan Penderita AIDS tidak Boleh Didiskriminasikan".PENGANTAR REDAKSI
Tanggal 12-13 Maret ini di Surabaya berlangsung Seminar Nasional "Masalah Etika HIV/ AIDS" yg diadakan oleh Hotline Service Surya, antara lain membahas agama, moral, gender, pramuriaan, media massa dan kaitannya dg wabah AIDS. Menurut rencana, akan tampil pula sebagai pembicara Lidia dari Kabupaten Sambas Kalimantan Barat yg merupakan pengidap HIV pertama di Indonesia yg berani tampil di depan publik.
Berikut ini sebuah laporan tentang sisi lain pramuriaan yg sering dituding sebagai "biang penularan" HIV.
LEBIH dari satu jam 300-an wanita muda itu dikumpulkan di pekarangan, duduk tertib di atas kursi plastik, sementara terik matahari sore itu masih cukup menyengat. Pekarangan yg cukup luas itu dikelilingi belasan rumah tempat para wanita itu bekerja atau "dikaryakan". Di hadapan mereka, duduklah para pejabat sipil dan militer Kecamatan Sentani Kabupaten Jayapura dan pejabat kesehatan propinsi Irian Jaya, semuanya terlindung teratak beratap terpal dan duduk di kursi berjok empuk.
"Saya tidak suka cara seperti ini. Mereka adalah rakyat kita, tak pantas diperlakukan seperti terdakwa massal begini," desah dr Nafsiah Mboi MPH, anggota Komisi VIII DPR, tamu VIP yg ditunggu-tunggu dari Jakarta. Sementara para wanita muda itu adalah pekerja seks yg terpaksa harus mengadu nasib jauh dari kampung halaman mereka di Jawa Timur ke kompleks pramuriaan Tanjung Elmo, 16 kilometer barat ibu kota ropinsi Irian Jaya.Dr Nafsiah pun tak mau duduk dan enggan berbicara dg mikrofon di bawah teratak yg telah disediakan panitia. Ia malah berbaur dg para wanita yg menjadi "obyek penyuluhan" acara seremonial ini. Dg mengidentifikasi diri sebagai sesama wanita dan sesama warga Indonesia, cairlah suasana yg semula kaku menjadi acara yg penuh canda dan tawa. Tak lupa, dr Nafsiah membagi-bagi T-shirt atau topi kepada mereka yg bisa menjawab pertanyaan dg benar. "Sebagian besar dari kalian di sini dari Jawa ya? Kita sama-sama wanita, kita sama-sama bangsa Indonesia. Cuma kita yg bisa menjaga kesehatan kita sendiri, bukan orang lain. Kalau ada yg sakit di antara kalian, pasti sudah ditendang dari sini," kata dr Nafsiah, tanpa sungkan meskipun acara bincang-bincangnya disaksikan oleh para pemilik rumah yg mempekerjakan para wanita tadi."Siapa di sini yg nanti mau kimpoi?" tanya dr Nafsiah. Hampir semuanya mengangkat tangan."Mau punya anak?" Bagaikan koor, semuanya menjawab, "mau". "Bagus. Kalau bisa kalian ngemong anak yg sehat. Kalau kalian kena GO, anak bisa buta, kalau kena sifilis, anak bisa lahir cacat. Kalau kena virus papiloma, kalian bisa kena kanker mulut rahim dan tak bisa punya anak. Tapi yg sekarang belum ada obatnya adalah AIDS. Kalau kita sudah kena GO atau sifilis, kita 20 kali lebih gampang tertular virus penyebab AIDS. Dan sekali kita tertular virus HIV, kita akan bisa menularkan seumur hidup. Kalau kita kena AIDS, kita akan dibuang dan dikejar-kejar wartawan," tutur dr Nafsiah.
***
"MENGAPA wanita lebih gampang tertular AIDS?" tanyanya. Beberapa jawaban salah, sampai tiba giliran ada yg menjawab, "Karena kelamin wanita berbentuk wadah." Tepuk tangan, dekapan dan sebuah T-shirt pun diberikan untuknya. Walaupun kerentanan wanita terhadap infeksi HIV bukan hanya sekadar soal faktor biologis, tapi juga soal status sosial dan gender wanita yg umumnya masih lebih rendah dibanding kaum pria, serta ketidakmampuan mereka mengontrol agar tidak terinfeksi oleh kaum pria.Para wanita pekerja seks dan para istri umumnya tak berdaya meminta pelanggan atau suami mereka untuk menggunakan kondom.Dr Nafsiah pun menanyakan siapa yg tahu cara memasang kondom dg benar. "Ayo, siapa mau maju ke depan? Memakai kondom itu gampang-gampang susah lho," katanya sambil mengeluarkan peraga kayu berbentuk penis. Maka meledaklah tawa semua yg hadir, dan wanita wakil yg tampil pun tersipu-sipu malu. Tapi ia ternyata berhasil memasang kondom dg benar, walaupun cukup susah payah. Dan sebuah topi pun diberikan kepadanya. Wanita muda ini dg berani menjawab bahwa ia akan menolak langganannya jika tak mau menggunakan kondom."Ini benar sekali, kita tidak tahu siapa yg membawa HIV dalam tubuhnya. Jadi biar dg petugas, polisi, pacar atau wartawan, kita tetap perlu pakai kondom. Kita semua di sini berhak atas kesehatan," katanya.
Luar biasa. Nafsiah Mboi, anggota parlemen yg juga Wakil Ketua Komisi Global Kesehatan Wanita WHO ini tidak saja tangkas berbicara di fora nasional dan internasional seperti ketika bersanding dg Ny Hillary Clinton di Konferensi Dunia Keempat tentang Wanita (FWCW) di Beijing 5 September 1995, tapi ia juga tidak kikuk "turba" di kompleks pramuriaan di propinsi paling timur Indonesia. Ia memberikan advokasi langsung kepada mereka yg selalu dituding sebagai "sumber penularan" HIV/AIDS. Ia berpendapat, AIDS bisa berjangkit baik akibat hubungan seks komersial maupun seks casual, dan tidak menanyakan agama, jenis kelamin, golongan, status dan pendidikan pengidapnya. Dikatakan, walaupun sebenarnya cukup terlambat, Indonesia beruntung sejak Juni 1994 sudah memiliki Strategi Nasional Penanggulangan AIDS, yg antara lain mencantumkan klausul "Masyarakat umum perlu dibekali dg informasi dasar tentang HIV/ AIDS yg pada hakekatnya sama untuk semua orang, mencakup cara-cara penularan, kemungkinan dampaknya (bagi perorangan, keluarga dan bangsa), cara-cara pencegahan untuk melindungi diri dan orang lain". Ada pula klausul "Berbagai permasalahan seperti meningkatkan kemampuan dan ketrampilan wanita untuk mendiskusikan serta ber"negosiasi" tentang hal-hal yg berkaitan dg hubungan seksual, perlindungan anak-anak terhadap eksploitasi seksual, penyediaan dan pemanfaatan kondom dan lain-lain, merupakan unsur-unsur yg penting dalam pelaksanaan yg efektif dari kebijaksanaan ini". Jelaslah upaya advokasi dan penyuluhan yg dilakukan dr Nafsiah Mboi di Tanjung Elmo dan di berbagai tempat di Indonesia bukanlah upaya "kondomisasi" dalam konotasi yg negatif, karena ia justru memasyarakatkan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS, termasuk kedua klausul di atas. Pada setiap kesempatan ia selalu mengkampanyekan kerentanan kaum wanita dan anak-anak dalam epidemi AIDS.
DALAM Rapat Dengar Pendapat Umum antara Komisi VIII DPR-RI dan 331 LSM Peduli AIDS di Jakarta, 4 Maret lalu, muncul pendapat cukup menyentak dari Esthi Susanti Hudiono, Direktur Hotline Service Surya Surabaya, sebuah LSM AIDS yg banyak melakukan program penjangkauan (outreach) terhadap para wanita pekerja seks di Surabaya. "Saya pribadi tak setuju praktek pramuriaan karena tidak sesuai dg moral dan ajaran agama. Tapi dg kaca mata moral pula, kita tak merelakan pada orang yg mati kelaparan. Jadi yg lebih struktural adalah mencegah pramuriaan dg menyejahterakan desa-desa kita," ujarnya.
Upaya yg dilakukan belasan anak buahnya adalah bersama-sama memberdayakan para wanita pekerja seks di Surabaya. "Kami hanya membantu mereka untuk merebut martabat mereka kembali sebagai wanita Betapa pun mereka adalah warga Indonesia," kata Esthi.
Upaya yg dilakukan LSM seperti Hotline Surya membantu sebagian warga masyarakat agar tidak tertular HIV dan juga agar tidak menjadi penular HIV ke ibu-ibu rumah tangga sebenarnya hanyalah memperkecil dampak malapetaka AIDS yg sudah pasti terjadi di Indonesia. Di sini masalah moral lalu menjadi nisbi... (ij)
Tanggal 12-13 Maret ini di Surabaya berlangsung Seminar Nasional "Masalah Etika HIV/ AIDS" yg diadakan oleh Hotline Service Surya, antara lain membahas agama, moral, gender, pramuriaan, media massa dan kaitannya dg wabah AIDS. Menurut rencana, akan tampil pula sebagai pembicara Lidia dari Kabupaten Sambas Kalimantan Barat yg merupakan pengidap HIV pertama di Indonesia yg berani tampil di depan publik.
Berikut ini sebuah laporan tentang sisi lain pramuriaan yg sering dituding sebagai "biang penularan" HIV.
LEBIH dari satu jam 300-an wanita muda itu dikumpulkan di pekarangan, duduk tertib di atas kursi plastik, sementara terik matahari sore itu masih cukup menyengat. Pekarangan yg cukup luas itu dikelilingi belasan rumah tempat para wanita itu bekerja atau "dikaryakan". Di hadapan mereka, duduklah para pejabat sipil dan militer Kecamatan Sentani Kabupaten Jayapura dan pejabat kesehatan propinsi Irian Jaya, semuanya terlindung teratak beratap terpal dan duduk di kursi berjok empuk.
"Saya tidak suka cara seperti ini. Mereka adalah rakyat kita, tak pantas diperlakukan seperti terdakwa massal begini," desah dr Nafsiah Mboi MPH, anggota Komisi VIII DPR, tamu VIP yg ditunggu-tunggu dari Jakarta. Sementara para wanita muda itu adalah pekerja seks yg terpaksa harus mengadu nasib jauh dari kampung halaman mereka di Jawa Timur ke kompleks pramuriaan Tanjung Elmo, 16 kilometer barat ibu kota ropinsi Irian Jaya.Dr Nafsiah pun tak mau duduk dan enggan berbicara dg mikrofon di bawah teratak yg telah disediakan panitia. Ia malah berbaur dg para wanita yg menjadi "obyek penyuluhan" acara seremonial ini. Dg mengidentifikasi diri sebagai sesama wanita dan sesama warga Indonesia, cairlah suasana yg semula kaku menjadi acara yg penuh canda dan tawa. Tak lupa, dr Nafsiah membagi-bagi T-shirt atau topi kepada mereka yg bisa menjawab pertanyaan dg benar. "Sebagian besar dari kalian di sini dari Jawa ya? Kita sama-sama wanita, kita sama-sama bangsa Indonesia. Cuma kita yg bisa menjaga kesehatan kita sendiri, bukan orang lain. Kalau ada yg sakit di antara kalian, pasti sudah ditendang dari sini," kata dr Nafsiah, tanpa sungkan meskipun acara bincang-bincangnya disaksikan oleh para pemilik rumah yg mempekerjakan para wanita tadi."Siapa di sini yg nanti mau kimpoi?" tanya dr Nafsiah. Hampir semuanya mengangkat tangan."Mau punya anak?" Bagaikan koor, semuanya menjawab, "mau". "Bagus. Kalau bisa kalian ngemong anak yg sehat. Kalau kalian kena GO, anak bisa buta, kalau kena sifilis, anak bisa lahir cacat. Kalau kena virus papiloma, kalian bisa kena kanker mulut rahim dan tak bisa punya anak. Tapi yg sekarang belum ada obatnya adalah AIDS. Kalau kita sudah kena GO atau sifilis, kita 20 kali lebih gampang tertular virus penyebab AIDS. Dan sekali kita tertular virus HIV, kita akan bisa menularkan seumur hidup. Kalau kita kena AIDS, kita akan dibuang dan dikejar-kejar wartawan," tutur dr Nafsiah.
***
"MENGAPA wanita lebih gampang tertular AIDS?" tanyanya. Beberapa jawaban salah, sampai tiba giliran ada yg menjawab, "Karena kelamin wanita berbentuk wadah." Tepuk tangan, dekapan dan sebuah T-shirt pun diberikan untuknya. Walaupun kerentanan wanita terhadap infeksi HIV bukan hanya sekadar soal faktor biologis, tapi juga soal status sosial dan gender wanita yg umumnya masih lebih rendah dibanding kaum pria, serta ketidakmampuan mereka mengontrol agar tidak terinfeksi oleh kaum pria.Para wanita pekerja seks dan para istri umumnya tak berdaya meminta pelanggan atau suami mereka untuk menggunakan kondom.Dr Nafsiah pun menanyakan siapa yg tahu cara memasang kondom dg benar. "Ayo, siapa mau maju ke depan? Memakai kondom itu gampang-gampang susah lho," katanya sambil mengeluarkan peraga kayu berbentuk penis. Maka meledaklah tawa semua yg hadir, dan wanita wakil yg tampil pun tersipu-sipu malu. Tapi ia ternyata berhasil memasang kondom dg benar, walaupun cukup susah payah. Dan sebuah topi pun diberikan kepadanya. Wanita muda ini dg berani menjawab bahwa ia akan menolak langganannya jika tak mau menggunakan kondom."Ini benar sekali, kita tidak tahu siapa yg membawa HIV dalam tubuhnya. Jadi biar dg petugas, polisi, pacar atau wartawan, kita tetap perlu pakai kondom. Kita semua di sini berhak atas kesehatan," katanya.
Luar biasa. Nafsiah Mboi, anggota parlemen yg juga Wakil Ketua Komisi Global Kesehatan Wanita WHO ini tidak saja tangkas berbicara di fora nasional dan internasional seperti ketika bersanding dg Ny Hillary Clinton di Konferensi Dunia Keempat tentang Wanita (FWCW) di Beijing 5 September 1995, tapi ia juga tidak kikuk "turba" di kompleks pramuriaan di propinsi paling timur Indonesia. Ia memberikan advokasi langsung kepada mereka yg selalu dituding sebagai "sumber penularan" HIV/AIDS. Ia berpendapat, AIDS bisa berjangkit baik akibat hubungan seks komersial maupun seks casual, dan tidak menanyakan agama, jenis kelamin, golongan, status dan pendidikan pengidapnya. Dikatakan, walaupun sebenarnya cukup terlambat, Indonesia beruntung sejak Juni 1994 sudah memiliki Strategi Nasional Penanggulangan AIDS, yg antara lain mencantumkan klausul "Masyarakat umum perlu dibekali dg informasi dasar tentang HIV/ AIDS yg pada hakekatnya sama untuk semua orang, mencakup cara-cara penularan, kemungkinan dampaknya (bagi perorangan, keluarga dan bangsa), cara-cara pencegahan untuk melindungi diri dan orang lain". Ada pula klausul "Berbagai permasalahan seperti meningkatkan kemampuan dan ketrampilan wanita untuk mendiskusikan serta ber"negosiasi" tentang hal-hal yg berkaitan dg hubungan seksual, perlindungan anak-anak terhadap eksploitasi seksual, penyediaan dan pemanfaatan kondom dan lain-lain, merupakan unsur-unsur yg penting dalam pelaksanaan yg efektif dari kebijaksanaan ini". Jelaslah upaya advokasi dan penyuluhan yg dilakukan dr Nafsiah Mboi di Tanjung Elmo dan di berbagai tempat di Indonesia bukanlah upaya "kondomisasi" dalam konotasi yg negatif, karena ia justru memasyarakatkan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS, termasuk kedua klausul di atas. Pada setiap kesempatan ia selalu mengkampanyekan kerentanan kaum wanita dan anak-anak dalam epidemi AIDS.
DALAM Rapat Dengar Pendapat Umum antara Komisi VIII DPR-RI dan 331 LSM Peduli AIDS di Jakarta, 4 Maret lalu, muncul pendapat cukup menyentak dari Esthi Susanti Hudiono, Direktur Hotline Service Surya Surabaya, sebuah LSM AIDS yg banyak melakukan program penjangkauan (outreach) terhadap para wanita pekerja seks di Surabaya. "Saya pribadi tak setuju praktek pramuriaan karena tidak sesuai dg moral dan ajaran agama. Tapi dg kaca mata moral pula, kita tak merelakan pada orang yg mati kelaparan. Jadi yg lebih struktural adalah mencegah pramuriaan dg menyejahterakan desa-desa kita," ujarnya.
Upaya yg dilakukan belasan anak buahnya adalah bersama-sama memberdayakan para wanita pekerja seks di Surabaya. "Kami hanya membantu mereka untuk merebut martabat mereka kembali sebagai wanita Betapa pun mereka adalah warga Indonesia," kata Esthi.
Upaya yg dilakukan LSM seperti Hotline Surya membantu sebagian warga masyarakat agar tidak tertular HIV dan juga agar tidak menjadi penular HIV ke ibu-ibu rumah tangga sebenarnya hanyalah memperkecil dampak malapetaka AIDS yg sudah pasti terjadi di Indonesia. Di sini masalah moral lalu menjadi nisbi... (ij)
Spoiler for th 1999:
Surat terbuka dalam rangka Malam Renungan AIDS 1999
dari Ibu Nafsiah Mboi
Saudara Saudariku yg tercinta,
Pada tanggal 16 Mei 1999, di seluruh dunia akan dinyalakan lilin-lilin untuk memperingati sesama yg telah meninggal karena AIDS, dan menyatakan kepedulian dan kesetiakawanan kita terhadap mereka yg saat ini hidup dg HIV/AIDS.
Tema Malam Renungan AIDS (Candlelight Memorial) tahun ini adalah: membangun solidaritas dunia melawan ketidakadilan dan rasa takut menuju kehidupan tanpa AIDS.
Dalam diriku timbul pertanyaan: apakah lilin-lilin akan menyala tahun ini di Ambon, di Timor Timur, Kalimantan, dan daerah-daerah lain, dimana telah terjadi kerusuhan-kerusuhan, dimana saudara/saudari dan anak-anak kita menderita karena ketidakadilan dan perasaan takut yg mencekam? Dg sepenuh hati saya doakan semoga jawabannyu adalah - "ya" -- mungkin lilin-lilin menyala di jendela-jendela rumah, di persimpangan jalan, di tangga mesjid dan gereja, di depan pintu kantor-kantor, toko-toko, dimana saja!! Kita butuhkan terang, kita butuhkan harapan, dan lilin di daerah dimana terjadi kekerasan akan memberikan pijar yg khusus di tahun 1999 ini. Mengapa harapan saya begitu besar? 3 tahun yg lalu, bulan Mei 1996, saya diundang ke Ambon, dan saya mengalami Malam Renungan AIDS dalam suatu kebersamaan ekumenis yg penuh inspirasi, dan kasih. Saya masih ingat, ada orang-orang muda dan tua, ibu-ibu rumah tangga, pemuka-pemuka agama dan masyarakat, para pejabat dan anak-anak sekolah. Malam itu kita memperingati semua mereka, laki-laki, perempuan dan anak-anak di seluruh dunia, yg telah meninggal karena AIDS. Kita satukan doa-doa kita, dipimpin secara bergantian oleh alim ulama dan pemuka agama dan berbagai agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kita bernyanyi bersama, kita tertawa dan kita berikrar untuk bekerjasama melawan ketidak-tahuan, diskriminasi dan ketidakadilan yg menyebabkan epidemi AIDS menyebar dg cepat, yg menciptakan jurang pemisah antara sesama manusia, dan menyebabkan sesama kita yg hidup dg HIV/AIDS memikul beban sosial dan psikologis yg melampaui peri kemanusiaan.
Malam itu, saya memberikan paparan tentang HIV/AIDS dan saya bersyukur, karena pertanyaan banyak, yg sebagian besar berasal dari kaum muda yg ingin tahu, terbuka dan mau belajar. Suasana yg akrab, penuh
persaudaraan masih teringat olehku sampai hari ini.
Dg tulus kuharap, bahwa dalam saat-saat yg sulit ini, kita akan ingat kembali, bahwa pengalaman saling percaya dan kebersamaan itu merupakan kekuatan yg dapat membantu kita dalam menyambung kembali ikatan-ikatan keakraban yg telah putus oleh desas desus, rasa takut dan kekerasan. Janganlah biarkan kesempatan ini berlalu tak bermakna! Marilah kita jadikan tanggal 16 Mei, Candlelight Memorial 1999, sebagai awal yg baru.
Nyalakanlah lilin-lilinmu, dan berikanlah terang kepada sesama dan kepada kita sekalian. Pada saat menyalakan lilin, nyatakanlah pada dirimu: "Saya adalah bagian dan cahaya ini. Saya adalah bagian dan persaudaraan di dunia yg bersatu melawan diskriminasi, ketidakadilan dan kekerasan yg menyebabkan ketakutan. Bersama dg saudara saudariku di seluruh dunia, saya menjunjung tinggi toleransi, hak asasi manusia dan solidaritas terhadap sesama. Saya membela hak setiap laki-laki, perempuan dan anak, untuk hidup dg harga din, kepercayaan diri dan harkat martabat yg tinggi".
Bila teman masih ragu-ragu memilih antara menyalakan lilin atau "menunggu saat yg lebih baik", saya mohon ingatlah anak-anak kita di semua daerah dimana terjadi kerusuhan dan kekerasan. Anak-anak tidak "menunggu sampai saat lebih baik", mereka bertumbuh dan berkembang sekarang !! Mereka melihat, mendengar dan belajar --dan sadar atau tidak, semua itu terpateri dalam hati dan benaknya. Karena itu, kalau teman memilih untuk menyalakan lilin, nyalakanlah itu bersama seorang anak. Bicaralah pada anak itu. Katakan padanya mengapa kau nyalakan lilin itu, apa artinya bagimu, apa maknanya bagi dunia, apa artinya lilin menyala bagi mereka yg ketakutan, yg menderita, yg mengalami ketidakadilan dan merasa sendiri. Beri kesempatan anak itu hidup dan bangga akan perbuatannya yg menunjukkan keberanian, kasih dan solidaritas. Janganlah membiarkan anak-anak dalam kesendirian, gemetar ketakutan atau justru membalas dg kekerasan karena kehilangan arah.
Sejak tahun 1983, Candlelight Memorial merupakan simbol dari penyembuhan, harapan dan kebersamaan dalam mobilisasi global melawan AIDS. Semoga pesan dan lilin-lilin yg dinyalakan malam itu, melenyapkan kegelapan dan cahayanya bersinar jauh ke masa depan, untuk setiap orang yg hidup dg HIV/AIDS, dan saudara dan saudari kita, tua dan muda di Timor Timur, Maluku, dan semua daerah yg mengalami penderitaan. Sambil
menyalakan him, marilah kita saling mendoakan, semoga Tuhan yg Maha Pengasih dan Penyayang selalu menyertai kita dan tidak akan membiarkan satu orangpun dalam kesendirian, dan ketakutan. Amin.
Jakarta, Mei 1999
Nafsiah Mboi
----------------------------------
Chris W. Green ([EMAIL PROTECTED])
Jakarta, Indonesia
Tel: +62-21 846-3029 Fax: +62-21 846-1247
See more: http://www.mail-archive.com/dokter@i.../msg00858.html
dari Ibu Nafsiah Mboi
Saudara Saudariku yg tercinta,
Pada tanggal 16 Mei 1999, di seluruh dunia akan dinyalakan lilin-lilin untuk memperingati sesama yg telah meninggal karena AIDS, dan menyatakan kepedulian dan kesetiakawanan kita terhadap mereka yg saat ini hidup dg HIV/AIDS.
Tema Malam Renungan AIDS (Candlelight Memorial) tahun ini adalah: membangun solidaritas dunia melawan ketidakadilan dan rasa takut menuju kehidupan tanpa AIDS.
Dalam diriku timbul pertanyaan: apakah lilin-lilin akan menyala tahun ini di Ambon, di Timor Timur, Kalimantan, dan daerah-daerah lain, dimana telah terjadi kerusuhan-kerusuhan, dimana saudara/saudari dan anak-anak kita menderita karena ketidakadilan dan perasaan takut yg mencekam? Dg sepenuh hati saya doakan semoga jawabannyu adalah - "ya" -- mungkin lilin-lilin menyala di jendela-jendela rumah, di persimpangan jalan, di tangga mesjid dan gereja, di depan pintu kantor-kantor, toko-toko, dimana saja!! Kita butuhkan terang, kita butuhkan harapan, dan lilin di daerah dimana terjadi kekerasan akan memberikan pijar yg khusus di tahun 1999 ini. Mengapa harapan saya begitu besar? 3 tahun yg lalu, bulan Mei 1996, saya diundang ke Ambon, dan saya mengalami Malam Renungan AIDS dalam suatu kebersamaan ekumenis yg penuh inspirasi, dan kasih. Saya masih ingat, ada orang-orang muda dan tua, ibu-ibu rumah tangga, pemuka-pemuka agama dan masyarakat, para pejabat dan anak-anak sekolah. Malam itu kita memperingati semua mereka, laki-laki, perempuan dan anak-anak di seluruh dunia, yg telah meninggal karena AIDS. Kita satukan doa-doa kita, dipimpin secara bergantian oleh alim ulama dan pemuka agama dan berbagai agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kita bernyanyi bersama, kita tertawa dan kita berikrar untuk bekerjasama melawan ketidak-tahuan, diskriminasi dan ketidakadilan yg menyebabkan epidemi AIDS menyebar dg cepat, yg menciptakan jurang pemisah antara sesama manusia, dan menyebabkan sesama kita yg hidup dg HIV/AIDS memikul beban sosial dan psikologis yg melampaui peri kemanusiaan.
Malam itu, saya memberikan paparan tentang HIV/AIDS dan saya bersyukur, karena pertanyaan banyak, yg sebagian besar berasal dari kaum muda yg ingin tahu, terbuka dan mau belajar. Suasana yg akrab, penuh
persaudaraan masih teringat olehku sampai hari ini.
Dg tulus kuharap, bahwa dalam saat-saat yg sulit ini, kita akan ingat kembali, bahwa pengalaman saling percaya dan kebersamaan itu merupakan kekuatan yg dapat membantu kita dalam menyambung kembali ikatan-ikatan keakraban yg telah putus oleh desas desus, rasa takut dan kekerasan. Janganlah biarkan kesempatan ini berlalu tak bermakna! Marilah kita jadikan tanggal 16 Mei, Candlelight Memorial 1999, sebagai awal yg baru.
Nyalakanlah lilin-lilinmu, dan berikanlah terang kepada sesama dan kepada kita sekalian. Pada saat menyalakan lilin, nyatakanlah pada dirimu: "Saya adalah bagian dan cahaya ini. Saya adalah bagian dan persaudaraan di dunia yg bersatu melawan diskriminasi, ketidakadilan dan kekerasan yg menyebabkan ketakutan. Bersama dg saudara saudariku di seluruh dunia, saya menjunjung tinggi toleransi, hak asasi manusia dan solidaritas terhadap sesama. Saya membela hak setiap laki-laki, perempuan dan anak, untuk hidup dg harga din, kepercayaan diri dan harkat martabat yg tinggi".
Bila teman masih ragu-ragu memilih antara menyalakan lilin atau "menunggu saat yg lebih baik", saya mohon ingatlah anak-anak kita di semua daerah dimana terjadi kerusuhan dan kekerasan. Anak-anak tidak "menunggu sampai saat lebih baik", mereka bertumbuh dan berkembang sekarang !! Mereka melihat, mendengar dan belajar --dan sadar atau tidak, semua itu terpateri dalam hati dan benaknya. Karena itu, kalau teman memilih untuk menyalakan lilin, nyalakanlah itu bersama seorang anak. Bicaralah pada anak itu. Katakan padanya mengapa kau nyalakan lilin itu, apa artinya bagimu, apa maknanya bagi dunia, apa artinya lilin menyala bagi mereka yg ketakutan, yg menderita, yg mengalami ketidakadilan dan merasa sendiri. Beri kesempatan anak itu hidup dan bangga akan perbuatannya yg menunjukkan keberanian, kasih dan solidaritas. Janganlah membiarkan anak-anak dalam kesendirian, gemetar ketakutan atau justru membalas dg kekerasan karena kehilangan arah.
Sejak tahun 1983, Candlelight Memorial merupakan simbol dari penyembuhan, harapan dan kebersamaan dalam mobilisasi global melawan AIDS. Semoga pesan dan lilin-lilin yg dinyalakan malam itu, melenyapkan kegelapan dan cahayanya bersinar jauh ke masa depan, untuk setiap orang yg hidup dg HIV/AIDS, dan saudara dan saudari kita, tua dan muda di Timor Timur, Maluku, dan semua daerah yg mengalami penderitaan. Sambil
menyalakan him, marilah kita saling mendoakan, semoga Tuhan yg Maha Pengasih dan Penyayang selalu menyertai kita dan tidak akan membiarkan satu orangpun dalam kesendirian, dan ketakutan. Amin.
Jakarta, Mei 1999
Nafsiah Mboi
----------------------------------
Chris W. Green ([EMAIL PROTECTED])
Jakarta, Indonesia
Tel: +62-21 846-3029 Fax: +62-21 846-1247
See more: http://www.mail-archive.com/dokter@i.../msg00858.html
Spoiler for th 2006:
Awal epidemi HIV dan AIDS di Indonesia (1987): Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan 24 tahun yg lalu (1987). Antara tahun 1987 dan 1997, peningkatan infeksi tampak lambat, upaya penanggulangan pun sangat terbatas dan terutama terfokus di sektor kesehatan. Pada bulan Mei 1994 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yg pertama di Indonesia ditetapkan dg Keputusan Presiden 36/19941, yg kemudian disusul dg Strategi Nasional Penanggulangan AIDS yg pertama (bulan Juni 1994).
Epidemi makin berkembang dan upaya penanggulangannya (1994 – 2004): Pada pertengahan tahun 1990an, tampak peningkatan yg tajam dalam penularan di kalangan pengguna napza suntik (penasun). Lingkungan sosial dan legal yg mengkriminalisasi penasun, menyebabkan sebagian besar menyuntik secara sembunyi-sembunyi dg berbagi alat suntik. Hal ini berdampak negatif pada semua orang yg terlibat maupun pada penyebaran infeksi HIV. Pada tahun 1993 di kalangan penasun hanya 1 orang yg ditemukan HIV positif (di Jakarta), pada bulan Maret 2002 sudah dilaporkan 116 kasus AIDS karena penggunaan napza suntik di 6 provinsi. Pada akhir tahun 2004 dilaporkan 2.682 orang dg AIDS dari 25 provinsi (kumulatif), diantaranya: 1844 adalah ODHA baru: 649 orang stadium HIV dan 1.195 AIDS baru. Sebanyak 824 orang (68,95% dari AIDS yg baru dilaporkan) adalah akibat penggunaan napza suntik.
Pada tahun yg sama, selain di kalangan penasun, data surveilans di kalangan orang yg berisiko terinfeksi HIV akibat gaya hidup atau pekerjaannya : pekerja seks perempuan, laki-laki dan waria, laki-laki yg seks dg laki-laki (LSL), dan pasangan masing-masing – semua juga menunjukkan peningkatan HIV secara signifikan. Antara tahun 2003 dan 2004 jumlah infeksi baru HIV dan kasus AIDS yg dilaporkan meningkat hampir 4 kali lipat (3,81 kali) antara lain karena meningkatnya sarana testing dan konseling, kemampuan mendiagnosa dan pelaporan yg lebih baik, terutama di Jawa, Bali dan beberapa provinsi lain di luar Jawa. Epidemi HIV di Indonesia “beralih” dari klasifikasi “epidemi tingkat rendah” menjadi “epidemi terkonsentrasi” – dimana prevalensi HIV di kalangan penduduk risiko tinggi sudah mencapai > 5%.
Epidemi HIV di Provinsi Papua menunjukkan perkembangan yg berbeda dg provinsi lain. Walaupun penduduknya hanya 1% dari penduduk Indonesia, namun dalam bulan Desember 2004 HIV kumulatif yg dilaporkan di Papua berjumlah 19,1% dari seluruh infeksi baru di Indonesia.6 Selain itu, penularan utama HIV secara nasional disebabkan oleh penggunaan napza suntik, namun lebih dari 90% infeksi HIV di Papua disebabkan karena hubungan seks berisiko. Tantangan yg sangat besar untuk penanggulangan AIDS di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat adalah masalah komunikasi, transportasi serta infrastruktur kesehatan dan masyarakat yg sangat terbatas.
Perpres 75/2006, tahap baru dalam upaya penanggulangan AIDS nasional: Dalam bulan Desember 2005, setelah mendengar penjelasan dari Wakil Ketua Pokja Komitmen Sentani dan staf sekretariat KPA Nasional, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat yg baru, Ir Aburizal Bakrie berkesimpulan, bahwa AIDS bukan merupakan persoalan lokal, tetapi merupakan ancaman serius terhadap pembangunan bangsa Indonesia secara nasional; dg perkataan lain, upaya penanggulangan yg terpencar-pencar, terbatas dan tak terkoordinasi tidak akan mampu mengendalikan epidemi HIV dan AIDS di Indonesia. Atas dasar analisa tersebut, beliau berkesimpulan bahwa perlu ada perubahan dalam status, keanggotaan maupun tata kerja dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN).
Enam bulan kemudian pada tanggal 13 Juli 2006, ditetapkanlah Peraturan Presiden no 75/ 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. KPAN yg baru ditugaskan untuk “meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yg lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi” (Ps 1). KPAN berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden (Ps 2) – dg demikian meningkatkan posisi KPAN sebagai bagian dari aparat pembangunan bangsa yg mempunyai tanggung jawab secara nasional. Berbeda dg KPAN sebelumnya, KPAN dalam Perpres 75/2006 lebih inklusif dg penambahan anggota selain dari sektor pemerintah sipil dan militer, juga dari organisasi ODHA nasional, perwakilan dari komunitas LSM AIDS, dan organisasi profesi dan sektor swasta. Dr Nafsiah Mboi, salah seorang anggota KPAN ditetapkan sebagai sekretaris penuh waktu merangkap sebagai Kepala Sekretariat KPAN dan Ketua Tim Pelaksana KPAN. Permenkokesra no. 5/ 2007 menetapkan masa jabatan sekretaris KPAN selama 5 tahun (2006 – 2011) dan hanya bisa diperpanjang selama maksimum 1 masa bakti (5 tahun) lagi.
- See more at: http://www.aidsindonesia.or.id/conte....4jOc58Py.dpuf
Epidemi makin berkembang dan upaya penanggulangannya (1994 – 2004): Pada pertengahan tahun 1990an, tampak peningkatan yg tajam dalam penularan di kalangan pengguna napza suntik (penasun). Lingkungan sosial dan legal yg mengkriminalisasi penasun, menyebabkan sebagian besar menyuntik secara sembunyi-sembunyi dg berbagi alat suntik. Hal ini berdampak negatif pada semua orang yg terlibat maupun pada penyebaran infeksi HIV. Pada tahun 1993 di kalangan penasun hanya 1 orang yg ditemukan HIV positif (di Jakarta), pada bulan Maret 2002 sudah dilaporkan 116 kasus AIDS karena penggunaan napza suntik di 6 provinsi. Pada akhir tahun 2004 dilaporkan 2.682 orang dg AIDS dari 25 provinsi (kumulatif), diantaranya: 1844 adalah ODHA baru: 649 orang stadium HIV dan 1.195 AIDS baru. Sebanyak 824 orang (68,95% dari AIDS yg baru dilaporkan) adalah akibat penggunaan napza suntik.
Pada tahun yg sama, selain di kalangan penasun, data surveilans di kalangan orang yg berisiko terinfeksi HIV akibat gaya hidup atau pekerjaannya : pekerja seks perempuan, laki-laki dan waria, laki-laki yg seks dg laki-laki (LSL), dan pasangan masing-masing – semua juga menunjukkan peningkatan HIV secara signifikan. Antara tahun 2003 dan 2004 jumlah infeksi baru HIV dan kasus AIDS yg dilaporkan meningkat hampir 4 kali lipat (3,81 kali) antara lain karena meningkatnya sarana testing dan konseling, kemampuan mendiagnosa dan pelaporan yg lebih baik, terutama di Jawa, Bali dan beberapa provinsi lain di luar Jawa. Epidemi HIV di Indonesia “beralih” dari klasifikasi “epidemi tingkat rendah” menjadi “epidemi terkonsentrasi” – dimana prevalensi HIV di kalangan penduduk risiko tinggi sudah mencapai > 5%.
Epidemi HIV di Provinsi Papua menunjukkan perkembangan yg berbeda dg provinsi lain. Walaupun penduduknya hanya 1% dari penduduk Indonesia, namun dalam bulan Desember 2004 HIV kumulatif yg dilaporkan di Papua berjumlah 19,1% dari seluruh infeksi baru di Indonesia.6 Selain itu, penularan utama HIV secara nasional disebabkan oleh penggunaan napza suntik, namun lebih dari 90% infeksi HIV di Papua disebabkan karena hubungan seks berisiko. Tantangan yg sangat besar untuk penanggulangan AIDS di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat adalah masalah komunikasi, transportasi serta infrastruktur kesehatan dan masyarakat yg sangat terbatas.
Perpres 75/2006, tahap baru dalam upaya penanggulangan AIDS nasional: Dalam bulan Desember 2005, setelah mendengar penjelasan dari Wakil Ketua Pokja Komitmen Sentani dan staf sekretariat KPA Nasional, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat yg baru, Ir Aburizal Bakrie berkesimpulan, bahwa AIDS bukan merupakan persoalan lokal, tetapi merupakan ancaman serius terhadap pembangunan bangsa Indonesia secara nasional; dg perkataan lain, upaya penanggulangan yg terpencar-pencar, terbatas dan tak terkoordinasi tidak akan mampu mengendalikan epidemi HIV dan AIDS di Indonesia. Atas dasar analisa tersebut, beliau berkesimpulan bahwa perlu ada perubahan dalam status, keanggotaan maupun tata kerja dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN).
Enam bulan kemudian pada tanggal 13 Juli 2006, ditetapkanlah Peraturan Presiden no 75/ 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. KPAN yg baru ditugaskan untuk “meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yg lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi” (Ps 1). KPAN berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden (Ps 2) – dg demikian meningkatkan posisi KPAN sebagai bagian dari aparat pembangunan bangsa yg mempunyai tanggung jawab secara nasional. Berbeda dg KPAN sebelumnya, KPAN dalam Perpres 75/2006 lebih inklusif dg penambahan anggota selain dari sektor pemerintah sipil dan militer, juga dari organisasi ODHA nasional, perwakilan dari komunitas LSM AIDS, dan organisasi profesi dan sektor swasta. Dr Nafsiah Mboi, salah seorang anggota KPAN ditetapkan sebagai sekretaris penuh waktu merangkap sebagai Kepala Sekretariat KPAN dan Ketua Tim Pelaksana KPAN. Permenkokesra no. 5/ 2007 menetapkan masa jabatan sekretaris KPAN selama 5 tahun (2006 – 2011) dan hanya bisa diperpanjang selama maksimum 1 masa bakti (5 tahun) lagi.
- See more at: http://www.aidsindonesia.or.id/conte....4jOc58Py.dpuf
tmbahan
______
ternyata program KONDOMISASI sudah dicanangkan sejak lama
Diubah oleh Dhuwur.kali 05-12-2013 07:00
0
2.6K
Kutip
25
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan