Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

majhulainAvatar border
TS
majhulain
Dr Ayu Dibui, Senior Protes
IDI Sulut: Dokter Pantang Langgar Sumpah dan Janji

MANADO — Ditetapkan masuk dalam daftar pencairan orang (DPO), satu dari tiga terpidana kasus malpraktek kedokteran, dr Dewa Ayu Sasiary Prawani diamankan di Balikpapan, Kaltim, Jumat (8/11) pekan lalu. dr Ayu diamankan Tim Gabungan Satgas Kejagung bersama Kejari Manado dan Kejari Balikpapan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati, di jalan Imam Bonjol No 1, Kota Balikpapan, Jumat pukul 11.04 Wita. Tim juga sedang mencari keberadaan dua dokter lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian. Ketiga dokter spesialis kandungan ini terpidana dalam kasus dugaan malpraktek terhadap korban Julia Fransiska Makatey (25). "Satgas Kejagung bersama tim berhasil mengamankan buron asal Kejari Sulawesi Utara bernama dr Dewa Ayu Sasiary Prawani. Eksekusi dilakukan terhadap Ayu setelah putusan inkrah oleh Mahkamah Agung," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Setia Untung Ari Muladi Jakarta, Jumat (8/11) petang.

Dr Ayu ditangkap karena terlilit kasus tindak pidana perbuatan kealpaannya yang menyebabkan matinya orang lain. Dewa Ayu dijebloskan ke tahanan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Mahkamah Agung, Nomor 365.K/Pid/2012 tertanggal 18 September 2012. "Dokter Dewa Ayu dijatuhi pidana penjara selama sepuluh bulan," beber Untung.

Kasus yang terjadi April 2010 silam itu, menurut Kepala Seksi Pidana Umum Kajari Manado Meidiani Muhamad SH, telah mendapat kekuatan hukum tetap dari MA. “Sudah dikeluarkan panggilan selama tiga kali, namun mereka tak datang juga. Kami berharap secepatnya kedua pelaku bisa ditangkap. Kalau ada info dari masyarakat, tolong beritahu ke Kejari atau Kejati,” harap Meidiani. Sedangkan dr Dewa Ayu saat ini ditahan di Rutan Malendeng.

Meidiani menambahkan, sebelumnya tiga terpidana ini meminta izin untuk melanjutkan kuliah saat mereka ditetapkan sebagai tersangka. “Tetapi justru melarikan diri,” jelasnya.

Penangkapan ini ramai di kalangan dokter di Sulut. Menurut mereka secara medis prosedur, tiga dokter ini sudah benar. Malah upaya membela tiga dokter ini terus dilakukan. Salah satunya adalah ungkapan di media sosial dari sejumlah senior di departemen Obstetri Ginekologi (Obsgin) atau kebidanan dan kandungan Fakultas Kedokteran Unsrat menyesalkan penangkapan ini.

Dr Joice Sondakh SpOG dalam status Facebook-nya menuliskan keluh kesahnya yang menimpa juniornya itu. “Saya, selaku kakak alumni dari dr. Ayu, SpOG merasa sangat terpukul dengan kejadian penangkapan adik kami itu di saat dia sedang kerja di RS. Apakah adik kami itu penjahat? Apakah seorang dokter yang melakukan operasi SC, kemudian pasiennya meninggal disebabkan Emboli Air Ketuban dikatakan malpraktek? Ahli mana yang dapat menjelaskan ini sebagai malpraktek?

Kami sudah berupaya membela, tapi apalah daya, karena kami tidak tahu bersilat lidah baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. Kami hanya tahu kerja, melayani dan melayani, tanpa harus berpikir dibayar atau tidak. Apalagi adik kami itu, saat kejadian dia masih berstatus residen yang nota bene hanya kerja tanpa berharap untuk dibayar. Kenapa ada orang yang berpikiran jahat, menyalahkan adik-adik kami itu dengan tudingan malpraktek, sengaja menghilangkan nyawa pasien. Coba teman-teman, para facebooker membaca tentang Emboli Air Ketuban dan memberikan tanggapan sehubungan dengan dugaan malpraktek terhadap adik-adik kami (dr. Ayu dkk). Apakah ada unsur kesengajaan disini???

Tolong bantu kami para Iluni Obsgin FK. Unsrat Manado dalam menolong adik- adik kami ini. Semua jalan sudah ditempuh, tapi akhirnya harus berakhir dengan penangkapan. Apakah kasus ini bukan merupakan salah satu bentuk pelecehan profesi kedokteran, khususnya di bidang kebidanan dan kandungan? Bantu kami untuk membebaskan adik- adik kami. GBU all. Salam Iluni Obsgin FK Unsrat Manado.”

OPERASI SESUAI PROSEDUR
Sementara itu, Prof dr Najoan ‘Nan’ Warouw SpOG (K), konsultan ketiga dokter tersebut, menjelaskan, dia bukan pihak yang bertanggung jawab atas malpraktek yang diduga dilakukan oleh tiga dokter muda itu. “Saya bukan penanggung jawab mereka, saya hanya sebagai tempat konsultasi mereka. Jika ada yang mereka perlu konsultasikan, baru mereka datang. Yang perlu masyarakat ketahui ketiga dokter ini sudah kompeten dan sudah bisa melakukan operasi. Saat itu bukan mereka tidak minta izin ke keluarga, namun kondisi korban harus segera dilakukan operasi,” ungkap Warouw.

Terpisah, satu dari tiga kuasa hukum ketiga dokter ini Jerry Tambun SH LLM SJP menjelaskan malpraktek kedokteran itu jika dokter melakukan tindakan yang tak masuk standar profesi. “Kelalaian hukum berbeda dengan kelalaian medis. Kelalaian medis di mana kelalaian dokter melakukan penyimpangan standar profesi, sedangkan kelalaian hukum karena kurang hati-hatinya dokter yang menyebabkan orang lain luka berat atau mati,” tukasnya. Dia menambahkan, yang menentukan standar profesi adalah masyarakat profesi kedokteran, sedangkan kelalaian hukum selalu mengacu pada pasal kelalaian KUH Pidana.

Lanjutnya, keadilan formal dan substansi sering berbeda, dan kasus Emboli Air Ketuban adalah satu dari 100 ribu kasus yang terjadi dalam medis. “Saya perlu menekankan jika penahanan klien kami tidak pernah diberitahukan kepada pihak pengacara. Saya rasa ini keliru karena tidak serta merta Kejaksaan melakukan tuntutan. Saya menyarankan, hukum di negara ini harus dilakukan perubahan dari segi standar dan substansi. Dalam kasus ini, saya rasa hukum tidak etis dan harus ada perubahan paradigma di masyarakat tentang medis,” jelasnya, ketika dihubungi tadi malam.

Sebelumnya Tambun juga menyayangkan fakta-fakta yang beredar di kalangan masyarakat, tidak berimbang. “Selama ini yang diketahui orang hanyalah perbuatan klien kami yang dituduh melakukan malpraktek. Padahal, ada fakta-fakta lain yang tidak dikemukakan, seperti riwayat medis korban,” tandasnya.

Tambun menceritakan, korban pernah punya sejarah medis yang sama di Papua. Kala itu, dia harus menjalani operasi yang sama, dan selamat. Bedanya, kala itu janin dalam kandungannya yang gugur.

“Perlu diketahui, sebelum Almarhumah dibawa ke rumah sakit, dia sudah lebih dulu dirawat di Puskesmas Bahu. Dan saat ditangani klien kami, air ketubannya sudah pecah. Dalam kondisi tersebut, hanya ada dua pilihan, yakni diselamatkan atau mati. Akan tetapi, begitu dibedah, dr Ayu juga kaget karena mendapati darah Almarhum sudah berwarna hitam. Diduga, selain disebabkan adanya gelembung-gelembung udara, Almarhumah sudah komplikasi dalam anestesi,” bebernya.

Dengan situasi tersebut, lanjutnya, dr Ayu cs langsung melakukan penanganan, meskipun golden period-nya sangat singkat. “Mereka langsung menangani sesuai dengan mekanisme dan SOP. Namun, kenyataannya berkata lain. Dokter bukan Tuhan. Itu harus diingat,” tegasnya.

Selain fakta di atas, ketiga penasehat hukum tersebut juga menyayangkan jika selama ini keluarga korban mengesampingkan itikad baik dari para terpidana.

“Kan sudah ada upaya ganti rugi. Keluarga korban sudah menerima uang 50 juta sebagai santunan. Selain itu, operasi yang dilakukan terbilang berhasil, karena sampai saat ini kondisi janin yang dilahirkan dalam keadaan sehat. Anaknya saat ini sudah berumur sekitar tiga tahun,” imbuhnya.

DOKTER JADI SERBA SALAH
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sulut dr BJ Waleleng SpPD mengatakan, pada prinsipnya hasil yang diambil juga berdasarkan putusan pada saat sidang. “Saat di Pengadilan Tinggi kan sudah dipanggil saksi ahli, dan sudah diputuskan apa yang dilakukan telah sesuai prosedur. Namun berlanjut dengan permohonan banding ke Mahkamah Agung, dan dikabulkan,” ujarnya. “Sekarang, kalau masyarakat selalu menuntut kesuksesan dalam penanganan, justru akan menimbulkan krisis kepercayaan terhadap dokter. Jika demikian, otomatis juga dokter akan ragu untuk melakukan pelayanan, dan jika semua dokter menjadi ragu untuk melakukan pelayanan, kan masyarakat juga yang susah,” jelasnya panjang lebar.

Kondisi saat ini, katanya, penghargaan yang diberikan kepada dokter itu tidak sesuai dengan risiko yang dokter bisa alami. “Jadi, masyarakat juga harus jeli melihat hal ini. Tak jarang kita menemukan kondisi pasien yang 50 : 50. Jika kita tolak, kita sudah melanggar sumpah dan janji kita sebagai dokter. Namun jika kita terima, masyarakat atau keluarga menuntut kesempurnaan untuk menanganinya,” ujarnya. “Jika kita melihat profesionalisme dan pembayaran di Singapura harga medisnya bisa sampai delapan sampai sepuluh kali lipat, namun jarang sekali orang Indonesia yang menggugat pihak RS,” ujar Waleleng sembari mengusulkan perlu adanya judicial review untuk aturan malpraktek kedokteran itu.

OPERASI TANPA PERSETUJUAN KELUARGA
Sementara pihak keluarga korban, menceritakan kronologi persalinan tersebut. “Tidak ada proses diagnosa ataupun pemeriksaan yang menunjang lainnya, tiba-tiba dokter mengatakan korban sudah meninggal,” ujar ibu korban, Minggu (10/11).

Kronologinya: pertama korban dibawa ke Puskesmas Bahu pada pukul 7 pagi, kemudian dirujuk ke RS Prof Dr RD Kandou. Sekira pukul 3 sore (15.00), keluarga diminta untuk menyiapkan perlengkapan bayi. Anehnya sekira pukul 19.00, ayah korban tak sengaja melihat anaknya didorong petugas RS menuju ke kamar operasi, juga tanpa konfirmasi pihak keluarga.

“Kami pun sontak bertanya kepada para petugas RS tentang kondisi anak kami dan kenapa harus dibawa ke kamar operasi. Kami mendapat jawaban bahwa korban perlu penanganan intensif namun kondisinya baik-baik saja. Kami juga bertanya soal bayi yang dilahirkan, petugas hanya menjawab bahwa belum diadakan proses persalinan,” imbuhnya.

Di saat keluarga sedang membereskan perlengkapan di kamar rawat inap, seorang petugas datang mengabari keluarga bahwa korban telah meninggal dunia. Sementara itu, tindakan operasi yang dilakukan para dokter tanpa sepengetahuan, serta persetujuan dari pihak keluarga.

“Saat kami menanyakan soal konfirmasi dengan keluarga untuk dilakukan proses operasi, para dokter yang menangani mengatakan bahwa sudah ditandatangani oleh korban,” ungkapnya.

Ibu korban menambahkan, banyak keanehan terjadi dalam proses operasi tersebut. “Mereka melakukan operasi tanpa dibimbing oleh dokter penanggung jawab dr Nan Warouw. Yang melakukan operasi hanya ketiga dokter co-ass yakni dr Dewa Ayu, dr Hendy Simajuntak, dan dr Siagian,” imbuhnya.(***)

sumber: http://www.mdopost.com/
Diubah oleh majhulain 15-11-2013 14:44
0
3.9K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan