Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

majhulainAvatar border
TS
majhulain
KORBAN IKLAN KB “DUA ANAK CUKUP”
Just share gan...

Sore itu saya bersama istri dan anak saya pertama berkemas-kemas untuk berangkat ke rumah sakit anak yang terletak di daerah Benowo, Surabaya. Anak saya pertama masih berusia sekitar tiga tahun waktu itu. Kami ke rumah sakit anak untuk memeriksakan kandungan istri saya yang sudah menginjak bulan ke-7. Sesampainya di rumah sakit istri saya langsung diperiksa dengan alat USG.

Sambil memperlihatkan monitor gambar yang tidak jelas dokter nampak senang dan berkata bahwa kandungan istri saya dalam keadaan baik dan janin di dalamnya sehat. Kemudian dengan tersenyum dokter itu kembali berkata dengan nada bahagia, “Anak ibu laki-laki, ini kelihatan burungnya” katanya sambil menunjukkan gambar di monitor yang samar-samar itu.

Kemudian dokter itu menoleh ke anak saya yang pertama, yang juga laki-laki. Tiba-tiba saja dokter itu berubah raut mukanya, seolah-olah mengerti bahwa berita anak saya dalam kandungan laki-laki bukanlah berita gembira bagi kami. Sayapun juga khilaf waktu itu masih terpengaruh oleh iklan KB, dua anak cukup, dan biasanya ada gambar iklan yang menunjukkan dua anak laki-laki dan perempuan digandeng oleh kedua orangtuanya. Karena pengaruh iklan itu, waktu itu saya juga berkeinginan agar saya cukup punya dua anak saja, satu laki-laki dan satu perempuan. Tak terasa ada perasaan kecewa mengalir dalam diri saya mendengar berita anak saya kedua laki-laki.

Anak saya kedua lahir pada pukul dua dini hari. Proses kelahiran berjalan dengan sangat lancar dan cepat. Alhamdulillah. Benar-benar proses kelahiran yang tidak merepotkan, karena istri saya melahirkan di bidan di tetangga dekat rumah.

Anak saya kedua inipun tumbuh dengan sehat, montok. Namun ada sedikit perbedaan dengan anak saya yang pertama yang saya rasakan waktu ia masih usia kurang satu tahun. Ia lebih suka bermain sendiri dan agak cuek ketika saya ajak bercanda. Semakin besar perbedaan itu semakin nampak, ia suka menjerit dan menangis dengan suara keras, sehingga membuat kami orangtuanya merasa jengkel. Kami baru sadar tentang apa yang terjadi pada anak saya yang kedua ini setelah ia jatuh sakit, dan ternyata ia sakit asma. Ia dirawat selama sepuluh hari di rumah sakit William Booth.

Setelah keluar dari rumah sakit anak saya menjadi kurus bahkan sampai sekarang. Ia masih sering berteriak dan menangis dengan suara keras yang cumiakkan telinga atau bahkan memilukan. Saya juga kadang khilaf, karena kesibukan saya adakalanya saya menanggapinya dengan marah.

Sampai suatu malam saya merenung dan berkata di dalam hati,”Jangan-jangan perkembangan anak saya yang kedua ini kurang bagus dibandingkan dengan anak saya yang pertama karena salah saya sendiri sebagai orangtua. Jangan-jangan saya selama ini tidak menunjukkan rasa kasih sayang saya seperti kepada anak saya yang pertama. Jangan-jangan anak saya yang masih bayi itu beranggapan bahwa kami kurang memberikan penerimaan yang sebaik-baiknya terhadap kehadirannya di tengah-tengah kami?”

Menyadari hal itu, maka hari-hari berikutnya saya berusaha sebisa mungkin merubah sikap saya terhadap anak saya yang kedua itu. Saya pajang gambar anak saya ketika ia masih gemuk motok di monitor komputer saya. Saya ajak ia bercanda. Saya ajak ia berjalan-jalan ke Mall, ke tempat bermain. Saya belikan mainan kesukaannya.

Namun memperbaiki sesuatu yang sudah terlanjur salah memang tidaklah mudah. Dan ketika penyakit asma anak saya kambuh, seringkali pada malam hari saya berdzikir dan berdoa begitu lama, dan seringkali diringi dengan air mata yang berlinang, “Yaa Allah … tumbuhkanlah, mekarkanlah, besarkanlah rasa cinta kasih saya kepada anak saya yang kedua, ampunilah perlakukan saya selama ini terhadap anak saya, sehatkanlah dia, sembuhkanlah dia, ….”

Syukurlah, akhir-akhir ini hampir tidak pernah lagi penyakit asma anak saya itu kambuh. Bahkan saya kadang bersyukur, ternyata anak kami yang kedua ini begitu cerdas. Pada usianya sekitar 3 tahun, ia sudah membuat saya heran. Pada usia itu ia telah menguasai permainan Tangram, adalah sejenis puzzle yang dipelajari anak saya pertama ketika mengikuti lomba di Hi-Tech Mall tanpa ada yang mengajari.

Bukan hanya itu, hari berikutnya ia nampak asyik menata puzzle gambar hewan seperti harimau, burung, kelinci yang berserakan dikembalikan lagi ke bentuk semula. Ia pun sangat menyukai mainan bongkar pasang, seperti robot-robotan. Maka hampir semua jenis robot-robotan yang disukainya itu saya belikan. sampai saya kadang saya bingung, mana yang belum dipunyai anak saya itu. Oleh karena itu kadang saya membelikan robot-robotan yang ternyata ia sudah punya.

Pengalaman ini menyadarkan saya, jangan pernah terlintas dalam diri sendiri untuk kurang penerimaan terhadap kelahiran anak, apapun keadaannya. Oleh karena itu ketika istri saya hamil lagi, saya benar-benar menetralkan dan menenteramkan hati saya, “Saya ikhlas, saya berserah diri pada Mu Yaa Allah … apapun jenis kelamin anak saya yang akan lahir” kebetulan menjelang anak saya yang ketiga lahir saya sudah belajar ilmu pengembangan diri, ilmu pernafasan, hypnosis dan parenting. Dan alhamdulillah, ketika anak saya ketiga lahir, saya melihat auranya begitu indah. Ia nampak tenang, seperti seorang yang sedang meditasi. Jangan-jangan itu karena terpengaruh kebiasaan saya selama ia dalam dalam perut ibunya, yaitu latihan pernafasan, meditasi dan dzikir.


Bukan ane gan, itu dari teman ane di sini
0
5K
38
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan