- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Jenderal Soedirman : Kisah Panglima Besar Pejuang Bersahaja
TS
alfaman46
Jenderal Soedirman : Kisah Panglima Besar Pejuang Bersahaja
WELCOME TO MY THREAD
jangan lupa cendol ya gan
dan jangan dikasih ini gan
dan yang terakhir
berhubungan sekarang hari pahlawan neh ane ulas tentang salah satu tokoh pahlawan gan yang sering kita temukan nama jalan besar diindonesia, jendral soedirman cekidottt
bersambung dibawah >>
jangan lupa cendol ya gan
dan jangan dikasih ini gan
dan yang terakhir
berhubungan sekarang hari pahlawan neh ane ulas tentang salah satu tokoh pahlawan gan yang sering kita temukan nama jalan besar diindonesia, jendral soedirman cekidottt
Spoiler for Asal-usul Keluarga Jenderal Soedirman:
Soedirman lahir pada Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Purbalingga. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita asal Purwokerto, istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula. Soedirman diurus dan tinggal di rumah asisten wedana di Rembang, Raden Tjokrosoenarjo dan istri Toeridowati. Bayi laki-laki itu diberi nama Soedirman.
Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang, Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati. Data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya itu.Setelah Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya. Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluarganya, termasuk Soedirman dan orang tuanya, pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah selatan pusat Kota Cilacap, Jawa Tengah.Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di Cilacap pada sekitar 1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.
Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang, Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati. Data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya itu.Setelah Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya. Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluarganya, termasuk Soedirman dan orang tuanya, pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah selatan pusat Kota Cilacap, Jawa Tengah.Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di Cilacap pada sekitar 1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.
Spoiler for Bintang Lapangan Sepak Bola:
Soedirman memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh pendidikan formal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh tahun. Di sekolah milik pemerintah ini, ia dikenal sebagai murid yang sangat rajin, berdisiplin, dan pandai.
Di sekolah inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olahraga kegemarannya: sepak bola. saking piawainya memainkan si kulit bundar, Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang dijuluki si bintang lapangan.soedirmanmenguasai betul aturan dan tata cara permainan bola sepak. Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur, Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit
Di sekolah inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olahraga kegemarannya: sepak bola. saking piawainya memainkan si kulit bundar, Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang dijuluki si bintang lapangan.soedirmanmenguasai betul aturan dan tata cara permainan bola sepak. Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur, Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit
Spoiler for Kisah Asmara di Wiworo Tomo:
Kisah asmara Soedirman dan Alfiah dimulai di Perkumpulan Wiworo Tomo, Cilacap. Soedirman tersohor sebagai pemain sepak bola dan pemain tonil atau teater. Dia dijuluki Kajine karena alim. Tatkala menjadi ketua, Soedirman memilih Alfiah sebagai bendahara Perkumpulan.Soedirman menaksir Alfiah bermula dari kebiasaan Soedirman berkunjung ke rumah Sastroatmodjo, orang tua Alfiah. Silaturahmi itu berkedok koordinasi internal Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Adapun orang tua Alfiah pengurus Muhammadiyah.
Spoiler for Di Sekolah, Jenderal Soedirman Dijuluki Kaji:
Soedirman dikenal sebagai sosok yang tak segan membantu teman-temannya dalam hal apa pun, termasuk pelajaran. Ia sangat antusias mengikuti pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan agama Islam. Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji.Soedirman lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun setelahnya dan lulus pada 1935.
Bersekolah di MULO merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.
Bersekolah di MULO merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.
Spoiler for Soedirman Berhenti Mengajar Demi Berjuang:
Nama Soedirman di mata para pejuang kemerdekaan tak sekadar panglima. Dia juga simbol untuk terus melawan penjajah. Soedirman, yang seorang pendidik, memutuskan untuk berhenti mengajar dan memilih turun ke medan perang.Dalam edisi khusus tentang Soedirman di majalah TEMPO, Senin, 12 November 2012, tergambarkan keputusan Soedirman membangkitkan semangat para muridnya.
Dua lelaki tegap memasuki sebuah kelas di Sekolah Rakyat Kepatihan, Cilacap, Jawa Tengah. Pelajaran aljabar di dalam kelas langsung berhenti. Kalender saat itu menunjuk akhir 1943. Bersama wali kelas Sukarno, keduanya berdiri di depan 30-an murid kelas lima.
Seorang di antaranya maju mendekati meja paling depan. Sosok itu kemudian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas, mengucap salam, lalu memperkenalkan diri. “Saya Soedirman dan ini Pak Isdiman.”
Seorang murid yang duduk di bagian belakang kelas, Soedirman Taufik, setengah kaget. Namanya sama dengan pria di depan kelas itu. Seperti teman-temannya, bocah sepuluh tahun itu hanya tertegun.
“Saya mau pamit akan berjuang bersama Dai Nipon,” ujar pria di depan kelas. Pria berpeci hitam, berkemeja putih kusam, dan celana krem panjang sedikit di bawah lutut itu melanjutkan kalimatnya. “Saya minta pangestu, semoga berhasil. Anak-anak yang sudah besar nanti juga harus berjuang. Membela negara.”
Serentak murid-murid menjawab, “Nggih, Pak!” Kunjungan berakhir. Soedirman menyalami para murid sebelum meninggalkan ruangan sambil melambaikan tangan. Isdiman, yang tak berujar sepatah kata pun, mengikuti di belakangnya.
Berselang 69 tahun, Taufik–Juni lalu genap 79 tahun–masih ingat betapa gaduh kelasnya ketika dia bersama kawan-kawan cumiikkan salam perpisahan sekaligus doa. “Selamat berjuang, Pak! Semoga berhasil!” katanya kepada Tempo, Ahad lalu. Beberapa tahun setelah kejadian itu, nama kedua pria yang berpamitan tadi muncul sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Soedirman kelak menjadi jenderal, Panglima Besar TNI, diangkat pada Juni 1947. Adapun Letnan Kolonel Isdiman gugur sebagai Komandan Resimen 16/II Purwokerto, dua tahun sebelumnya, dalam pertempuran melawan tentara sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah.
Dua lelaki tegap memasuki sebuah kelas di Sekolah Rakyat Kepatihan, Cilacap, Jawa Tengah. Pelajaran aljabar di dalam kelas langsung berhenti. Kalender saat itu menunjuk akhir 1943. Bersama wali kelas Sukarno, keduanya berdiri di depan 30-an murid kelas lima.
Seorang di antaranya maju mendekati meja paling depan. Sosok itu kemudian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas, mengucap salam, lalu memperkenalkan diri. “Saya Soedirman dan ini Pak Isdiman.”
Seorang murid yang duduk di bagian belakang kelas, Soedirman Taufik, setengah kaget. Namanya sama dengan pria di depan kelas itu. Seperti teman-temannya, bocah sepuluh tahun itu hanya tertegun.
“Saya mau pamit akan berjuang bersama Dai Nipon,” ujar pria di depan kelas. Pria berpeci hitam, berkemeja putih kusam, dan celana krem panjang sedikit di bawah lutut itu melanjutkan kalimatnya. “Saya minta pangestu, semoga berhasil. Anak-anak yang sudah besar nanti juga harus berjuang. Membela negara.”
Serentak murid-murid menjawab, “Nggih, Pak!” Kunjungan berakhir. Soedirman menyalami para murid sebelum meninggalkan ruangan sambil melambaikan tangan. Isdiman, yang tak berujar sepatah kata pun, mengikuti di belakangnya.
Berselang 69 tahun, Taufik–Juni lalu genap 79 tahun–masih ingat betapa gaduh kelasnya ketika dia bersama kawan-kawan cumiikkan salam perpisahan sekaligus doa. “Selamat berjuang, Pak! Semoga berhasil!” katanya kepada Tempo, Ahad lalu. Beberapa tahun setelah kejadian itu, nama kedua pria yang berpamitan tadi muncul sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Soedirman kelak menjadi jenderal, Panglima Besar TNI, diangkat pada Juni 1947. Adapun Letnan Kolonel Isdiman gugur sebagai Komandan Resimen 16/II Purwokerto, dua tahun sebelumnya, dalam pertempuran melawan tentara sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah.
Spoiler for Cacat Kaki, Soedirman Sempat Pesimis Jadi Tentara:
Kebesaran nama Panglima Jenderal TNI Soedirman bisa dilihat dari kisahnya yang terungkap di buku-buku sejarah. Namun sebenarnya di balik perjuangannya dengan bertandu, Seodirman sempat ketakutan menjadi tentara karena kondisi kakinya. Bukan tanpa alasan jika Soedirman tak percaya diri menjadi tentara. Kakinya pernah terkilir pada saat main sepak bola. Hal itu membuat sambungan tulang lutut kirinya bergeser. Siti Alfiah juga menyatakan sangat mengkhawatirkan kondisi suaminya. Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, Soekanto menuliskan dialog pasangan suami-istri ini pada saat Soedirman ingin menjadi tentara. Menjelang tengah malam satu hari pada 1944, Soedirman menyampaikan rencana bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (Peta). “Jadi, Mas mau jadi tentara?” kata Siti Alfiah. Soedirman mengangguk, seolah meminta pengertian dari sang istri.
Tak langsung mengiyakan, Siti mencecar Soedirman. Dia menanyakan soal mata kiri Soedirman yang kurang terang. “Lalu, kaki Mas yang terkilir sewaktu main bola itu….”
“Tidak apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya,” katanya. “Saya harap Ibu berhati mantap.” Soedirman lalu pergi mengambil wudhu dan berjalan ke kamar untuk salat tahajud.
Pilihan menjadi prajurit diambil setelah sekolah Muhammadiyah, tempat Soedirman mengajar, ditutup tentara Jepang. Sekolah itu dianggap bentukan kolonial Belanda. Achmad Dimyati, rekan sesama guru, menyampaikan ketertarikan penguasa militer Kabupaten Cilacap merekrut Soedirman. “Mungkin Dik Dirman akan diangkat menjadi sangikai Karesidenan Banyumas, semacam perwakilan rakyat,” kata Dimyati.
Dimyati berusaha meyakinkan bahwa Soedirman bisa menjadi penghubung antara tentara Jepang dan penduduk Karesidenan Banyumas. Dia berpendapat Jepang lebih baik daripada Belanda.
Nyatanya, Soedirman tak langsung tertarik. Dia menilai Belanda dan Jepang sama-sama orang asing yang menjajah. Jepang dinilainya memerlukan tenaga pribumi hanya karena beberapa jabatan penting kosong ditinggal orang-orang Belanda.
Toh, Soedirman diterima di kesatuan militer. Ia mendapat jabatan sangikai, yang bertugas mendampingi tentara Jepang mengambil hati penduduk agar mau menyerahkan padi. Namun, dengan bahasa Jawa, Soedirman meminta rakyat agar mendahulukan kebutuhan mereka sebelum menyetorkan padi ke tentara Jepang.
Tak langsung mengiyakan, Siti mencecar Soedirman. Dia menanyakan soal mata kiri Soedirman yang kurang terang. “Lalu, kaki Mas yang terkilir sewaktu main bola itu….”
“Tidak apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya,” katanya. “Saya harap Ibu berhati mantap.” Soedirman lalu pergi mengambil wudhu dan berjalan ke kamar untuk salat tahajud.
Pilihan menjadi prajurit diambil setelah sekolah Muhammadiyah, tempat Soedirman mengajar, ditutup tentara Jepang. Sekolah itu dianggap bentukan kolonial Belanda. Achmad Dimyati, rekan sesama guru, menyampaikan ketertarikan penguasa militer Kabupaten Cilacap merekrut Soedirman. “Mungkin Dik Dirman akan diangkat menjadi sangikai Karesidenan Banyumas, semacam perwakilan rakyat,” kata Dimyati.
Dimyati berusaha meyakinkan bahwa Soedirman bisa menjadi penghubung antara tentara Jepang dan penduduk Karesidenan Banyumas. Dia berpendapat Jepang lebih baik daripada Belanda.
Nyatanya, Soedirman tak langsung tertarik. Dia menilai Belanda dan Jepang sama-sama orang asing yang menjajah. Jepang dinilainya memerlukan tenaga pribumi hanya karena beberapa jabatan penting kosong ditinggal orang-orang Belanda.
Toh, Soedirman diterima di kesatuan militer. Ia mendapat jabatan sangikai, yang bertugas mendampingi tentara Jepang mengambil hati penduduk agar mau menyerahkan padi. Namun, dengan bahasa Jawa, Soedirman meminta rakyat agar mendahulukan kebutuhan mereka sebelum menyetorkan padi ke tentara Jepang.
bersambung dibawah >>
0
2.5K
Kutip
9
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan