- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
DIA...DIA...DIA.....


TS
tabitamom
DIA...DIA...DIA.....
Ane cuma mau share karya ane yang ane pernah ikutin lomba nulis novel di salah satu situs novel online. Alhamdulillah bisa masuk 20 besar
Cerita ini 25% fiktif belaka, 25% pengalaman TS, 25% pengalaman orang-orang dalam cerita, 25% harapan TS
Jadi intinya, kalau ada yang merasa kok ceritanya kayak pernah ngalamin, mungkin ente temen ane dulu
Cekidot aja
Part 2
Part 3
Part 4
PART 5
Part 6

Cerita ini 25% fiktif belaka, 25% pengalaman TS, 25% pengalaman orang-orang dalam cerita, 25% harapan TS

Jadi intinya, kalau ada yang merasa kok ceritanya kayak pernah ngalamin, mungkin ente temen ane dulu

Cekidot aja

Spoiler for part 1:
Sebuah Kisah Perjuangan Kemerdekaan
20 Oktober 2011
Di mataku hanya ada dia. Mau aku melihat ke kiri, ke kanan, ke depan ke belakang, yang ada hanya dia. Siapapun yang aku hadapi, mau ganteng, cantik, jelek, setengah hancur, atau lumayan bikin muntah, tetap saja bagiku seindah dia. Siapapun yang melihatku, aku tak pernah melihat mereka. Karena aku hanya melihat dia.
Begitu juga di otakku. Dia ada di setiap lipatan otak. Dia juga telah menggantikan semua fungsi neurotransmitter. Dia ada di semua ujung sinaps. Entah aku sedang berpikir tentang kuliah, dosen galak, sampai tak punya uang, tetap saja dia ada nangkring di otakku.
Dia…dia…dia…. Sehebat itukah dia? Aku gila, hampir gila dibuatnya. Padahal dia tidak berbuat apa-apa. Dia tidak pernah merayuku, menggodaku, memanggilku, tersenyum padaku, bahkan melihatku pun dia tak pernah. Lalu apa yang bisa membuatku sampai jatuh cinta setengah hidup seperti ini?
Aku rasa, empat tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk menyembuhkan kegilaanku padanya. Tapi ternyata kegilaan ini berubah menjadi rasa seperti candu. Ketertarikan terhadap seseorang bisa memicu otak menghasilkan neurotransmitter seperti orang yang nyabu. Rasanya nikmat dan menyenangkan sehingga ingin terus melakukannya.
Tapi kalau dipikir-pikir, sama sekali tidak ada stimulus yang bisa membuatku kecanduan. Lalu ini apa? Jangan-jangan, ini adalah hukum karma bagiku. Kesalahanku empat tahun lalu berimbas sampai saat ini. Tuhan pasti terkekeh melihatku kelimpungan menghadapi perasaanku yang kubuat-kubuat empat tahun lalu. Layaknya yang dikatakan Andrea Hirata “Tuhan tahu, tapi menunggu”. Dan inilah waktu yang ditunggu-tunggu Tuhan untuk membalas keisenganku dulu.
Minggu depan umurku genap 22 tahun. Sebenarnya berapapun umurku minggu depan itu tak berpengaruh apa-apa pada jalan pikiranku. Karena tetap saja pikiranku ada di jalannya seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi yang membuat usia 22 begitu merisaukan pikiranku adalah ultimatum dari Bunda. Anak gadisnya ini tak pernah sekalipun punya pacar. Sungguh memalukan nama Bundaku yang dulu seorang mantan Gadis Desa. Hufh…. Kata Bunda, kalau sampai umur 22 aku tak punya pacar maka Bunda akan turun tangan. Itu artinya aku akan dikenalkan dengan cowok pilihan Bunda. Itu bahasa halusnya, konkritnya sih dijodohkan.
Rasanya aku tak sudi pacaran pertama kali dengan cowok yang sama sekali tidak ku kenal. Walaupun aku kenal sekalipun aku tak sudi. Aku harus bilang “tidak” demi kemerdekaanku sebagai wanita dewasa awal. Aku hanya sudi dijodohkan dengan dia.
Tapi bagaimana harus bilang pada Bunda. Kalau hanya ditertawakan itu tak masalah. Tapi kalau aku sampai dihujat, itu yang jadi super masalah. Kata Bunda, anak gadis itu tidak pantas mengejar-ngejar cowok. Hmm…tapi rasanya aku tidak pernah mengejar-ngejarnya, aku hanya menunggu. Berharap dia tahu sendiri perasaanku. Ach…aku tahu dulu dia tahu perasaanku tapi aku tidak yakin kalau dia tahu bahwa sampai sekarang aku masih tergila-gila padanya.
Tuhan…ampunilah hambamu ini. Aku sudah lelah main-main terus. Sampai di sini dan ampunilah dosaku. Kalau tahu begini jadinya, dulu aku tidak akan pernah main-main dengan perasaan orang lain. Sekarang aku dipermainkan perasaanku sendiri.
*******
20 Juli 2007
“Hari ini terakhir kalinya aku akan tes untuk jadi Paskib. Do’ain aku ya supaya lolos.” Wajah sumringah Fadil tampak jelas dipertontonkan padaku, walaupun dia sedang bicara di depan kelas. Dalam hati, aku meng-Amini seAmin-aminya. Baguslah kalau dia sampai diterima jadi Paskib, itu berarti dia akan dikarantina selama hampir sebulan. Dan itu artinya hidupku tenang dunia akhirat, siang dan malam.
Sungguh menyebalkan, sepanjang dia bicara di depan, matanya tertuju padaku. Dan semua orang pasti menyadarinya. Dila menyenggol bahuku. “Lihat tuh, pangeranmu lagi ngomong. Gak bangga apa punya pacar anak Paskib? Hehe….” Aku tahu dia hanya meledekku. Sementara mulutku sudah monyong-monyong.
“Aku gak setuju”, celetuk Osha dari belakang. Aku tersenyum sambil mengacungkan jempol. Kini giliran muka Dila yang ditekuk. “Pokoknya aku gak setuju kalau Nadia jadian sama Fadil, mendingan Nadia jadian sama Pak Darman. Haha….” Kini Dila dan Kia ikut terkekeh-kekeh.
“Yah…mungkin sekiranya Ananda Nadia ada yang ingin disampaikan kepada Ananda Fadil.”, tiba-tiba yang punya nama memanggilku. Gara-gara ketiga kunyuk-kunyuk ini aku dipanggil Pak Darman. Fadil yang masih ada di depan melemparkan senyuman manis kepadaku. Namun bagiku itu seperti racun yang bisa membuatku diabetes.
“Gak ada, Pak.”
“Masa sama pacar sendiri gak memberi semangat.” Giliran Kia yang nyelonong ngomong sampai membuat anak-anak lainnya pada surak-surak. “Cieh…cieh….”
“Anjrit….”, kataku lirih pada Kia. Dia malah terkekeh-kekeh.
Sementara Fadil tertunduk sambil senyum-senyum. “Loh, sekiranya Ananda Fadil sudah pacaran sama Ananda Nadia to?” Pak Darman malah menambah perkara.
Di kelas ini sama sekali tidak ada yang mendukungku untuk membela diri. Mereka sepertinya menikmati kehadiranku sebagai bahan lelucon di kelas. Tapi di ujung depan sana, aku melihat satu orang yang tidak ikut tertawa. Dia malah tertunduk. Sepertinya aku tahu perasaanya.
Akhirnya, kelas hari ini berakhir juga. Aku sudah siap menghujat ketiga temanku itu. Mataku sudah melotot bak kodok kejepit pintu lift. “Ampun….” Dila berakting seolah-olah sedang dihadang penjahat dan diminta kegadisannya.
“Nyebelin banget, tau gak sih!!!” mukaku sudah merah padam, mereka malah cekikikan. Kia beringsut ke bangku sebelah. “Fadil…tolong aku dong!!”
Aku melirik mereka berdua. Tapi segera aku buang pandangan dari mereka. Aku tidak mau Fadil melihat mataku. Aku benci jika dia menatap mataku. Seperti apapun modelnya, dia akan menyukai caraku memandangnya. Bahkan ketika mataku belekan pun mungkin dia akan tetap menyukai mataku.
“Aku pulang dulu aja. Ternyata memang benar kalau cuma Ayah dan Bunda yang sayang sama aku. Wuekk….” Aku meraih tasku dan segera menghilang dari pandangan makhluk-makhluk pembuat onar ini.
Apa coba yang ada dalam otak teman-temanku itu. Huh…padahal mereka tahu aku sama sekali tidak suka pada Fadil. Dan aku juga tahu kalau mereka juga tak akan setuju kalau aku jadian dengan Fadil. Terus ngapain mereka ngeledekin aku terus? Ih…sebel…sebel…sebel…..
“Nad…. Tunggu sebentar.” Sebuah suara yang aku sudah hafal betul terdengar dari belakangku. Sebenarnya, aku bisa saja terus berjalan dan pura-pura tidak mendengarnya. Tapi entah kenapa kali ini otakku tak kuasa memberi komando pada kakiku.
Aku berhenti tanpa menoleh. Tepat berhenti di depan pintu perpustakaan keramat. Terdengar suara langkah kaki yang dipercepat. Saat dia melewatiku, aku bisa mencium aroma minyak wanginya yang sudah tercampur keringat sejak 6 jam yang lalu. Sejenak aku menarik napas dalam, menghirupnya. Tapi segera aku sadar, tepatnya menyadarkan diri kalau itu bagaikan bau kentut babi. Anggap saja seburuk itu, sehingga tak pantas untuk kunikmati.
Senyumnya muncul secepat kilat menggantikan wajah kelelahan di hadapanku. “Terimakasih kamu udah mau nunggu.” Aku masih bisa mendengar suara engahan napasnya karena berlari mengejarku menuruni 2 lantai.
Aku tidak yakin bagaimana ekspresiku saat itu. Pokonya aku berusaha semampuku untuk memasang wajah jutek. Walau kata teman-temanku, wajahku akan terlihat seperti anak kecil minta netek daripada orang jutek. Tapi dia malah mengembangkan senyumnya yang bagaikan penyebab utama diabetes itu.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Penting. Paling nggak, ini penting bagiku.”
Oh…Tuhan, apa tidak ada kata-kata lain selain itu. Dalam sebulan ini saja aku sudah mendengarnya sebanyak 3 kali. Sungguh miskin perbendaharaan kata laki-laki ini.
“Udah tahu! Kayak biasanya kan?”, aku sudah bosan jika harus mendengar kata-kata selanjutnya. Aku juga sudah hafal dialog berikutnya.
Tapi dia menggeleng. “Aku yakin kamu pasti sudah tahu perasaanku. Walau aku gak tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu tentang aku.” Jiah…bahkan di otakku pun tidak pernah nyelip namamu.
“Aku tahu kamu sudah bosan dengan kelakuanku.” Nah…itu sadar. Ngapain diterusin?
“Tapi aku mohon kasih aku kesempatan sekali ini saja.” Kayaknya kalimat itu sudah pernah diucapakan 3 bulan yang lalu. Hmm….
“Kalau aku ketrima jadi Paskib, aku akan dikarantina hampir sebulan. Selama itu…. Ehm….” Selama itu hidupku tentram damai sehat wal afiat sejahtera jasmani rohani.
“Selama itu, kamu bisa berpikir tenang tentang aku. Mungkin selama ini aku terus mengejarmu sampai kamu gak bisa berpikir tentang keberadaanku. Jadi waktu aku pergi, mungkin kamu bisa menyadari arti kehadiranku di sampingmu.” Sumpah, aku sama sekali gak ngeh apa yang diomongin. Kalau ini sih kebanyakan kosakata.
“Kalau sampai saatnya aku balik, kamu udah nemuin cowok yang kamu cintai, aku bisa terima. Entah itu aku atau bukan. Aku janji kalau itu bukan aku, aku gak akan gangguin dan ngejar-ngejar kamu lagi.”
Aku mendongakkan kepala. Mataku berbinar-binar. Inilah yang kutunggu selama 4 bulan ini. Tapi ternyata itu berakibat fatal.
“Aku suka mata itu. Aku pasti akan merindukan mata itu.”
Aku segera memalingkan muka. “Bagus kalau begitu. Aku harap kamu bisa pegang janji.” Kini aku bicara dengan ketus.
“Tapi lebih baik kamu benar-benar bertemu dengan orang yang benar-benar kamu cintai. Jangan cuma pura-pura menyukai seseorang hanya untuk menghindariku. Kalau itu terjadi, izinkan aku tetap seperti ini, sampai kamu bilang “ya” sama aku.”
Entah kenapa kali ini cara bicaranya berbeda. Kurasa seperti sedang mengancam. Aku meliriknya. Mata itu seperti menyala-nyala. Dia tak pernah seperti itu. Seharusnya tidak seperti itu di depanku.
Dia masih saja menatapku tajam. Aku hanya bisa melirik. Kali ini lidahku kaku. Seperti orang yang tak bisa teriak ketika melihat setan. Seperti itulah aku saat ini.
Aku membuang pandangan jauh ke pintu perpustakaan. Sesosok cowok berbadan tinggi tegap ada di ambang pintu sedang memandang kami. Dia melihat kami secara bergantian. Ingin aku berhambur dan memeluknya. Tapi aku ini siapanya?
*********
23 Juli 2007
“Aku ditrima jadi Paskib dan besok akan mulai dikarantina.” Cowok berbadan tegap itu tiba-tiba muncul dihadapanku. Dia duduk di bangku depanku. Pagi-pagi dia sudah menyambangi kelasku demi mengatakan kabar ini padaku. Hal yang aneh.
“Selamat ya kalau gitu.” Kataku enteng. Aku juga bingung mau ngomong apa lagi. Kehadirannya yang mendadak membuatku tak bisa mengatur napas. Dia tersenyum sumringah, tepatnya pongah. Seperti biasanya dia selalu menunjukkan kehebatannya.
“O ya, Fadil juga ketrima kan?”
Hmm…bikin males saja. Sebenarnya sejak pengumuman hari Sabtu kemarin, Fadil langsung SMS aku untuk memberikan kabar super gembira ini. Dia juga cerita kalau Rama diterima jadi Paskib.
“He’eh.” Jawabku setengah berdehem. Rama tersenyum lagi. Tapi kali ini bukan senyum pongah. Entah untuk apa dia menunjukkan senyum seperti itu.
“Yah, sayangnya aku ketrima juga.” Dia masih tersenyum seperti itu.
Sayangnya, otakku yang diciptakan dengan setengah hati ini tak menyadari dan sama sekali tak paham dengan kelakuan Rama hari ini.
“Ya udah. Aku balik ke kelasku dulu ya.” Rama berdiri dan berlalu sambil melambaikan tangan diiringi senyum itu lagi.
Dila, Osha dan Kia ngowoh kayak orang bego melihat peristiwa tadi. Aku hanya bisa mengangkat bahu untuk menjawab keingintahuan mereka.
“CLBK ya?” Kia langsung nembak.
“Kayaknya sih gitu.” Dila menimpali dengan muka sok serius.
“Aku gak setuju kalau Nadia jadian sama Rama.” Begitu mengucapkan itu, kepala Osha langsung ditoyor kedua teman sehabitatnya itu.
“Osha ini, sama Fadil gak setuju, Rama juga, semuanya gak setuju. Jangan-jangan Nadia mau dipacarin sendiri.” Kata Kia masih noyor kepala Osha.
Aku tertawa melihat kelakuan teman-temanku itu. Fadil? Rama? Tiba-tiba aku ingat hari Jumat kemarin. Rama berdiri di depan pintu perpustakaan. Sepertinya dia medengar semua yang kami bicarakan. Tapi apa maksud kedatangannya pagi ini. Tidak mungkin cuma salam perpisahan atau sekedar menyombongkan diri.
Belum selesai otakku berpikir, Fadil datang dengan senyumnya dan cerita tentang kebanggannya. Ketiga temanku itu menanggapinya dengan gembira. Entah mereka benar-benar antusias atau tidak. Tapi sesekali mereka melirik ke arahku sambil senyum-senyum..
Tunggu saja Fadil, ketika kamu pulang kamu akan kaget mendengar kabar tentangku. Dan kamu Rama, lihatlah aku tanpamu bisa menemukan kebahagiaanku sendiri. Setelah tanggal 17 Agustus 2007, maka itulah hari kemerdekaanku.
***********
20 Oktober 2011
Di mataku hanya ada dia. Mau aku melihat ke kiri, ke kanan, ke depan ke belakang, yang ada hanya dia. Siapapun yang aku hadapi, mau ganteng, cantik, jelek, setengah hancur, atau lumayan bikin muntah, tetap saja bagiku seindah dia. Siapapun yang melihatku, aku tak pernah melihat mereka. Karena aku hanya melihat dia.
Begitu juga di otakku. Dia ada di setiap lipatan otak. Dia juga telah menggantikan semua fungsi neurotransmitter. Dia ada di semua ujung sinaps. Entah aku sedang berpikir tentang kuliah, dosen galak, sampai tak punya uang, tetap saja dia ada nangkring di otakku.
Dia…dia…dia…. Sehebat itukah dia? Aku gila, hampir gila dibuatnya. Padahal dia tidak berbuat apa-apa. Dia tidak pernah merayuku, menggodaku, memanggilku, tersenyum padaku, bahkan melihatku pun dia tak pernah. Lalu apa yang bisa membuatku sampai jatuh cinta setengah hidup seperti ini?
Aku rasa, empat tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk menyembuhkan kegilaanku padanya. Tapi ternyata kegilaan ini berubah menjadi rasa seperti candu. Ketertarikan terhadap seseorang bisa memicu otak menghasilkan neurotransmitter seperti orang yang nyabu. Rasanya nikmat dan menyenangkan sehingga ingin terus melakukannya.
Tapi kalau dipikir-pikir, sama sekali tidak ada stimulus yang bisa membuatku kecanduan. Lalu ini apa? Jangan-jangan, ini adalah hukum karma bagiku. Kesalahanku empat tahun lalu berimbas sampai saat ini. Tuhan pasti terkekeh melihatku kelimpungan menghadapi perasaanku yang kubuat-kubuat empat tahun lalu. Layaknya yang dikatakan Andrea Hirata “Tuhan tahu, tapi menunggu”. Dan inilah waktu yang ditunggu-tunggu Tuhan untuk membalas keisenganku dulu.
Minggu depan umurku genap 22 tahun. Sebenarnya berapapun umurku minggu depan itu tak berpengaruh apa-apa pada jalan pikiranku. Karena tetap saja pikiranku ada di jalannya seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi yang membuat usia 22 begitu merisaukan pikiranku adalah ultimatum dari Bunda. Anak gadisnya ini tak pernah sekalipun punya pacar. Sungguh memalukan nama Bundaku yang dulu seorang mantan Gadis Desa. Hufh…. Kata Bunda, kalau sampai umur 22 aku tak punya pacar maka Bunda akan turun tangan. Itu artinya aku akan dikenalkan dengan cowok pilihan Bunda. Itu bahasa halusnya, konkritnya sih dijodohkan.
Rasanya aku tak sudi pacaran pertama kali dengan cowok yang sama sekali tidak ku kenal. Walaupun aku kenal sekalipun aku tak sudi. Aku harus bilang “tidak” demi kemerdekaanku sebagai wanita dewasa awal. Aku hanya sudi dijodohkan dengan dia.
Tapi bagaimana harus bilang pada Bunda. Kalau hanya ditertawakan itu tak masalah. Tapi kalau aku sampai dihujat, itu yang jadi super masalah. Kata Bunda, anak gadis itu tidak pantas mengejar-ngejar cowok. Hmm…tapi rasanya aku tidak pernah mengejar-ngejarnya, aku hanya menunggu. Berharap dia tahu sendiri perasaanku. Ach…aku tahu dulu dia tahu perasaanku tapi aku tidak yakin kalau dia tahu bahwa sampai sekarang aku masih tergila-gila padanya.
Tuhan…ampunilah hambamu ini. Aku sudah lelah main-main terus. Sampai di sini dan ampunilah dosaku. Kalau tahu begini jadinya, dulu aku tidak akan pernah main-main dengan perasaan orang lain. Sekarang aku dipermainkan perasaanku sendiri.
*******
20 Juli 2007
“Hari ini terakhir kalinya aku akan tes untuk jadi Paskib. Do’ain aku ya supaya lolos.” Wajah sumringah Fadil tampak jelas dipertontonkan padaku, walaupun dia sedang bicara di depan kelas. Dalam hati, aku meng-Amini seAmin-aminya. Baguslah kalau dia sampai diterima jadi Paskib, itu berarti dia akan dikarantina selama hampir sebulan. Dan itu artinya hidupku tenang dunia akhirat, siang dan malam.
Sungguh menyebalkan, sepanjang dia bicara di depan, matanya tertuju padaku. Dan semua orang pasti menyadarinya. Dila menyenggol bahuku. “Lihat tuh, pangeranmu lagi ngomong. Gak bangga apa punya pacar anak Paskib? Hehe….” Aku tahu dia hanya meledekku. Sementara mulutku sudah monyong-monyong.
“Aku gak setuju”, celetuk Osha dari belakang. Aku tersenyum sambil mengacungkan jempol. Kini giliran muka Dila yang ditekuk. “Pokoknya aku gak setuju kalau Nadia jadian sama Fadil, mendingan Nadia jadian sama Pak Darman. Haha….” Kini Dila dan Kia ikut terkekeh-kekeh.
“Yah…mungkin sekiranya Ananda Nadia ada yang ingin disampaikan kepada Ananda Fadil.”, tiba-tiba yang punya nama memanggilku. Gara-gara ketiga kunyuk-kunyuk ini aku dipanggil Pak Darman. Fadil yang masih ada di depan melemparkan senyuman manis kepadaku. Namun bagiku itu seperti racun yang bisa membuatku diabetes.
“Gak ada, Pak.”
“Masa sama pacar sendiri gak memberi semangat.” Giliran Kia yang nyelonong ngomong sampai membuat anak-anak lainnya pada surak-surak. “Cieh…cieh….”
“Anjrit….”, kataku lirih pada Kia. Dia malah terkekeh-kekeh.
Sementara Fadil tertunduk sambil senyum-senyum. “Loh, sekiranya Ananda Fadil sudah pacaran sama Ananda Nadia to?” Pak Darman malah menambah perkara.
Di kelas ini sama sekali tidak ada yang mendukungku untuk membela diri. Mereka sepertinya menikmati kehadiranku sebagai bahan lelucon di kelas. Tapi di ujung depan sana, aku melihat satu orang yang tidak ikut tertawa. Dia malah tertunduk. Sepertinya aku tahu perasaanya.
Akhirnya, kelas hari ini berakhir juga. Aku sudah siap menghujat ketiga temanku itu. Mataku sudah melotot bak kodok kejepit pintu lift. “Ampun….” Dila berakting seolah-olah sedang dihadang penjahat dan diminta kegadisannya.
“Nyebelin banget, tau gak sih!!!” mukaku sudah merah padam, mereka malah cekikikan. Kia beringsut ke bangku sebelah. “Fadil…tolong aku dong!!”
Aku melirik mereka berdua. Tapi segera aku buang pandangan dari mereka. Aku tidak mau Fadil melihat mataku. Aku benci jika dia menatap mataku. Seperti apapun modelnya, dia akan menyukai caraku memandangnya. Bahkan ketika mataku belekan pun mungkin dia akan tetap menyukai mataku.
“Aku pulang dulu aja. Ternyata memang benar kalau cuma Ayah dan Bunda yang sayang sama aku. Wuekk….” Aku meraih tasku dan segera menghilang dari pandangan makhluk-makhluk pembuat onar ini.
Apa coba yang ada dalam otak teman-temanku itu. Huh…padahal mereka tahu aku sama sekali tidak suka pada Fadil. Dan aku juga tahu kalau mereka juga tak akan setuju kalau aku jadian dengan Fadil. Terus ngapain mereka ngeledekin aku terus? Ih…sebel…sebel…sebel…..
“Nad…. Tunggu sebentar.” Sebuah suara yang aku sudah hafal betul terdengar dari belakangku. Sebenarnya, aku bisa saja terus berjalan dan pura-pura tidak mendengarnya. Tapi entah kenapa kali ini otakku tak kuasa memberi komando pada kakiku.
Aku berhenti tanpa menoleh. Tepat berhenti di depan pintu perpustakaan keramat. Terdengar suara langkah kaki yang dipercepat. Saat dia melewatiku, aku bisa mencium aroma minyak wanginya yang sudah tercampur keringat sejak 6 jam yang lalu. Sejenak aku menarik napas dalam, menghirupnya. Tapi segera aku sadar, tepatnya menyadarkan diri kalau itu bagaikan bau kentut babi. Anggap saja seburuk itu, sehingga tak pantas untuk kunikmati.
Senyumnya muncul secepat kilat menggantikan wajah kelelahan di hadapanku. “Terimakasih kamu udah mau nunggu.” Aku masih bisa mendengar suara engahan napasnya karena berlari mengejarku menuruni 2 lantai.
Aku tidak yakin bagaimana ekspresiku saat itu. Pokonya aku berusaha semampuku untuk memasang wajah jutek. Walau kata teman-temanku, wajahku akan terlihat seperti anak kecil minta netek daripada orang jutek. Tapi dia malah mengembangkan senyumnya yang bagaikan penyebab utama diabetes itu.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Penting. Paling nggak, ini penting bagiku.”
Oh…Tuhan, apa tidak ada kata-kata lain selain itu. Dalam sebulan ini saja aku sudah mendengarnya sebanyak 3 kali. Sungguh miskin perbendaharaan kata laki-laki ini.
“Udah tahu! Kayak biasanya kan?”, aku sudah bosan jika harus mendengar kata-kata selanjutnya. Aku juga sudah hafal dialog berikutnya.
Tapi dia menggeleng. “Aku yakin kamu pasti sudah tahu perasaanku. Walau aku gak tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu tentang aku.” Jiah…bahkan di otakku pun tidak pernah nyelip namamu.
“Aku tahu kamu sudah bosan dengan kelakuanku.” Nah…itu sadar. Ngapain diterusin?
“Tapi aku mohon kasih aku kesempatan sekali ini saja.” Kayaknya kalimat itu sudah pernah diucapakan 3 bulan yang lalu. Hmm….
“Kalau aku ketrima jadi Paskib, aku akan dikarantina hampir sebulan. Selama itu…. Ehm….” Selama itu hidupku tentram damai sehat wal afiat sejahtera jasmani rohani.
“Selama itu, kamu bisa berpikir tenang tentang aku. Mungkin selama ini aku terus mengejarmu sampai kamu gak bisa berpikir tentang keberadaanku. Jadi waktu aku pergi, mungkin kamu bisa menyadari arti kehadiranku di sampingmu.” Sumpah, aku sama sekali gak ngeh apa yang diomongin. Kalau ini sih kebanyakan kosakata.
“Kalau sampai saatnya aku balik, kamu udah nemuin cowok yang kamu cintai, aku bisa terima. Entah itu aku atau bukan. Aku janji kalau itu bukan aku, aku gak akan gangguin dan ngejar-ngejar kamu lagi.”
Aku mendongakkan kepala. Mataku berbinar-binar. Inilah yang kutunggu selama 4 bulan ini. Tapi ternyata itu berakibat fatal.
“Aku suka mata itu. Aku pasti akan merindukan mata itu.”
Aku segera memalingkan muka. “Bagus kalau begitu. Aku harap kamu bisa pegang janji.” Kini aku bicara dengan ketus.
“Tapi lebih baik kamu benar-benar bertemu dengan orang yang benar-benar kamu cintai. Jangan cuma pura-pura menyukai seseorang hanya untuk menghindariku. Kalau itu terjadi, izinkan aku tetap seperti ini, sampai kamu bilang “ya” sama aku.”
Entah kenapa kali ini cara bicaranya berbeda. Kurasa seperti sedang mengancam. Aku meliriknya. Mata itu seperti menyala-nyala. Dia tak pernah seperti itu. Seharusnya tidak seperti itu di depanku.
Dia masih saja menatapku tajam. Aku hanya bisa melirik. Kali ini lidahku kaku. Seperti orang yang tak bisa teriak ketika melihat setan. Seperti itulah aku saat ini.
Aku membuang pandangan jauh ke pintu perpustakaan. Sesosok cowok berbadan tinggi tegap ada di ambang pintu sedang memandang kami. Dia melihat kami secara bergantian. Ingin aku berhambur dan memeluknya. Tapi aku ini siapanya?
*********
23 Juli 2007
“Aku ditrima jadi Paskib dan besok akan mulai dikarantina.” Cowok berbadan tegap itu tiba-tiba muncul dihadapanku. Dia duduk di bangku depanku. Pagi-pagi dia sudah menyambangi kelasku demi mengatakan kabar ini padaku. Hal yang aneh.
“Selamat ya kalau gitu.” Kataku enteng. Aku juga bingung mau ngomong apa lagi. Kehadirannya yang mendadak membuatku tak bisa mengatur napas. Dia tersenyum sumringah, tepatnya pongah. Seperti biasanya dia selalu menunjukkan kehebatannya.
“O ya, Fadil juga ketrima kan?”
Hmm…bikin males saja. Sebenarnya sejak pengumuman hari Sabtu kemarin, Fadil langsung SMS aku untuk memberikan kabar super gembira ini. Dia juga cerita kalau Rama diterima jadi Paskib.
“He’eh.” Jawabku setengah berdehem. Rama tersenyum lagi. Tapi kali ini bukan senyum pongah. Entah untuk apa dia menunjukkan senyum seperti itu.
“Yah, sayangnya aku ketrima juga.” Dia masih tersenyum seperti itu.
Sayangnya, otakku yang diciptakan dengan setengah hati ini tak menyadari dan sama sekali tak paham dengan kelakuan Rama hari ini.
“Ya udah. Aku balik ke kelasku dulu ya.” Rama berdiri dan berlalu sambil melambaikan tangan diiringi senyum itu lagi.
Dila, Osha dan Kia ngowoh kayak orang bego melihat peristiwa tadi. Aku hanya bisa mengangkat bahu untuk menjawab keingintahuan mereka.
“CLBK ya?” Kia langsung nembak.
“Kayaknya sih gitu.” Dila menimpali dengan muka sok serius.
“Aku gak setuju kalau Nadia jadian sama Rama.” Begitu mengucapkan itu, kepala Osha langsung ditoyor kedua teman sehabitatnya itu.
“Osha ini, sama Fadil gak setuju, Rama juga, semuanya gak setuju. Jangan-jangan Nadia mau dipacarin sendiri.” Kata Kia masih noyor kepala Osha.
Aku tertawa melihat kelakuan teman-temanku itu. Fadil? Rama? Tiba-tiba aku ingat hari Jumat kemarin. Rama berdiri di depan pintu perpustakaan. Sepertinya dia medengar semua yang kami bicarakan. Tapi apa maksud kedatangannya pagi ini. Tidak mungkin cuma salam perpisahan atau sekedar menyombongkan diri.
Belum selesai otakku berpikir, Fadil datang dengan senyumnya dan cerita tentang kebanggannya. Ketiga temanku itu menanggapinya dengan gembira. Entah mereka benar-benar antusias atau tidak. Tapi sesekali mereka melirik ke arahku sambil senyum-senyum..
Tunggu saja Fadil, ketika kamu pulang kamu akan kaget mendengar kabar tentangku. Dan kamu Rama, lihatlah aku tanpamu bisa menemukan kebahagiaanku sendiri. Setelah tanggal 17 Agustus 2007, maka itulah hari kemerdekaanku.
***********
UPDATE
Part 2
Part 3
Part 4
PART 5
Part 6
Diubah oleh tabitamom 24-04-2014 13:36


anasabila memberi reputasi
1
4.1K
Kutip
22
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan