- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pernikahan bukan untukmu..
TS
Hippocantropus
Pernikahan bukan untukmu..
Halo agan2 sekalian, x ene ane nemu artikel yang bagus bgt buat ane.. dan ane rasa ga ad salah nya ane berbagi sama agan2 semua.. dibaca aj ya.. ene dalam inggris, tp ane coba bantu artikan ke bahasa indonesia..
cekidot..
Having been married only a year and a half, I’ve recently come to the conclusion that marriage isn’t for me.
Now before you start making assumptions, keep reading.
I met my wife in high school when we were 15 years old. We were friends for ten years until…until we decided no longer wanted to be just friends. I strongly recommend that best friends fall in love. Good times will be had by all.
Nevertheless, falling in love with my best friend did not prevent me from having certain fears and anxieties about getting married. The nearer Kim and I approached the decision to marry, the more I was filled with a paralyzing fear. Was I ready? Was I making the right choice? Was Kim the right person to marry? Would she make me happy?
Then, one fateful night, I shared these thoughts and concerns with my dad.
Perhaps each of us have moments in our lives when it feels like time slows down or the air becomes still and everything around us seems to draw in, marking that moment as one we will never forget.
My dad giving his response to my concerns was such a moment for me. With a knowing smile he said, “Seth, you’re being totally selfish. So I’m going to make this really simple: marriage isn’t for you. You don’t marry to make yourself happy, you marry to make someone else happy. More than that, your marriage isn’t for yourself, you’re marrying for a family. Not just for the in-laws and all of that nonsense, but for your future children. Who do you want to help you raise them? Who do you want to influence them? Marriage isn’t for you. It’s not about you. Marriage is about the person you married.”
It was in that very moment that I knew that Kim was the right person to marry. I realized that I wanted to make her happy; to see her smile every day, to make her laugh every day. I wanted to be a part of her family, and my family wanted her to be a part of ours. And thinking back on all the times I had seen her play with my nieces, I knew that she was the one with whom I wanted to build our own family.
My father’s advice was both shocking and revelatory. It went against the grain of today’s “Walmart philosophy”, which is if it doesn’t make you happy, you can take it back and get a new one.
No, a true marriage (and true love) is never about you. It’s about the person you love—their wants, their needs, their hopes, and their dreams. Selfishness demands, “What’s in it for me?”, while Love asks, “What can I give?”
Some time ago, my wife showed me what it means to love selflessly. For many months, my heart had been hardening with a mixture of fear and resentment. Then, after the pressure had built up to where neither of us could stand it, emotions erupted. I was callous. I was selfish.
But instead of matching my selfishness, Kim did something beyond wonderful—she showed an outpouring of love. Laying aside all of the pain and aguish I had caused her, she lovingly took me in her arms and soothed my soul.
I realized that I had forgotten my dad’s advice. While Kim’s side of the marriage had been to love me, my side of the marriage had become all about me. This awful realization brought me to tears, and I promised my wife that I would try to be better.
To all who are reading this article—married, almost married, single, or even the sworn bachelor or bachelorette—I want you to know that marriage isn’t for you. No true relationship of love is for you. Love is about the person you love.
And, paradoxically, the more you truly love that person, the more love you receive. And not just from your significant other, but from their friends and their family and thousands of others you never would have met had your love remained self-centered.
Truly, love and marriage isn’t for you. It’s for others.
Telah menikah selama satu setengah tahun, aku baru menyadari bahwa pernikahan bukanlah untukku.
Nah, sebelum berasumsi, lanjut baca dulu.
Aku bertemu dengan istri saya di SMA ketika berusia 15 tahun, kami menjadi teman baik selama 10 tahun hingga kami memutuskan untuk tidak hanya menjadi teman baik. Aku setuju bahwa teman baik yang jatuh cinta, seluruh waktu akan menjadi lebih baik.
Namun jatuh cinta dengan teman baikku pun tidak menghindarkan aku dari rasa takut dan keraguan untuk menikah. Semakin aku dan Kim dekat dengan keputusan menikah, semakin banyak ak diisi dengan rasa takut.
Apakah aku siap? Apakah aku membuat keputusan yang benar? Apakah Kim adalah orang yang tepat untuk dinikahi? Apakah dia akan membuatku bahagia?
Hingga pada satu malam, aku memutuskan untuk berbagi pikiran dan keraguanku pada ayahku.
Mungkin salah satu dari kita memiliki waktu dalam hidup yang seperti waktu berjalan lambat atau keadaan sekeliling kita berhenti, yang menandakan bahwa momen ini adalah satu yang tidak akan bisa dilupakan.
Cara ayahku memberikan respon pada keraguanku merupakan momen itu untukku. Dengan senyum dia berkata, "Seth, kau sudah menjadi egois. Jadi aku akan membuat ini mudah: PERNIKAHAN BUKAN TENTANGMU. Kau menikah bukan untuk membuat dirimu bahagia, tapi untuk membuat orang lain bahagia. Lebih dari itu, pernikahanmu bukan untuk dirimu sendiri, kau menikah untuk sebuah keluarga. Bukan untuk keluarga ipar atau mertua dan tetek bengek lainnya, kau menikah untuk anakmu di masa depan. Siapa yang akan membantumu menjaga mereka? Siapa yang akan mempengaruhi anak2mu? Pernikahan tidak dimaksudkan untukmu. Ini bukan tentangmu. Ini tentang orang yang kau nikahi.
Pada saat itu pula, aku sadar bahwa Kim adalah orang yang tepat untuk kunikahi. Aku menyadari bahwa bagaimana aku ingin membuatnya bahagia; untuk melihatnya senyum setiap hari, untuk membuatnya tertawa setiap hari. Aku ingin menjadi bagian dari keluarganya, dan keluargaku pun ingin dia jadi bagian dari keluarga kami. Dan jika aku mengingatnya ketika aku melihatnya bermain dengan keponakannya, aku tau bahwa dialah yang aku inginkan untuk membangun keluarga.
Nasehat ayahku adalah mengejutkan dan masuk akal. Ini jelas2 melawan "Walmart Philosophy", yang dimana bahwa jika tidak bahagia, kau dalam mengembalikan dan mendapatkan yang baru.
Tidak, pernikahan sesungguhnya (dan cinta sejati) tidak perna tentang dirimu. Ini tentang orang yang kau cintai - keinginan mereka, kebutuhan mereka, harapan mereka dan impian mereka. Keegoisan menginginkan, "apa yang aku dapatkan?", dimana cinta bertanya, "apa yang bisa aku berikan?"
Beberapa waktu lalu, istriku menunjukkanku apa itu mencintai tanpa pamrih. Untuk beberapa bulan, hatiku dipenuhi dengan campuran rasa takut dan penyesalan. Lalu setelah tekanan sampai pada puncaknya, emosi dan amarah meledak. Aku tidak memikirkan perasaannya. Aku egois.
Tapi melainkan melawan keegoisanku, Kim melakukan hal yang lain yang lebih dari pada luar biasa - dia menunjukkan cinta yang berlebih. Menyingkirkan semua rasa sakit dan derita yang kusebabkan kepadaya, dia menjagaku dengan cinta dan mendamaikan jiwaku.
Aku menyadari bagaimana aku telah melupakan nasehat ayahku. Dimana pernikahan Kim adalah untuk mencintaiku, pernikahanku semua telah menjadi tentang aku. Kenyataan yang menyakitkan ini membawaku menangis dan aku berjanji padanya untuk menjadi lebih baik.
Kepada semua yang membaca artikel ini - menikah, ingin menikah, single, atau bahkan yang sumpah single atau bernasib jomblo - aku ingin memberitahumu bahwa pernikahan bukan untukmu. Tidak ada cinta sejati untukmu. Cinta adalah untuk orang yang kau cintai.
Dan pada akhirnya, semakin kau mencintai orang yang kau cintai, semakin banyak cinta yang kau dapatkan. Bukan hanya dari orang yang kau cintai, tapi juga dari teman, keluarga bahkan orang-orang lain yang tidak akan kau jumpai jika cintamu egois.
Sesungguhnya, cinta dan pernikahan bukan untukmua. Ini tentang yang lain.
cekidot..
Spoiler for inggris:
Having been married only a year and a half, I’ve recently come to the conclusion that marriage isn’t for me.
Now before you start making assumptions, keep reading.
I met my wife in high school when we were 15 years old. We were friends for ten years until…until we decided no longer wanted to be just friends. I strongly recommend that best friends fall in love. Good times will be had by all.
Nevertheless, falling in love with my best friend did not prevent me from having certain fears and anxieties about getting married. The nearer Kim and I approached the decision to marry, the more I was filled with a paralyzing fear. Was I ready? Was I making the right choice? Was Kim the right person to marry? Would she make me happy?
Then, one fateful night, I shared these thoughts and concerns with my dad.
Perhaps each of us have moments in our lives when it feels like time slows down or the air becomes still and everything around us seems to draw in, marking that moment as one we will never forget.
My dad giving his response to my concerns was such a moment for me. With a knowing smile he said, “Seth, you’re being totally selfish. So I’m going to make this really simple: marriage isn’t for you. You don’t marry to make yourself happy, you marry to make someone else happy. More than that, your marriage isn’t for yourself, you’re marrying for a family. Not just for the in-laws and all of that nonsense, but for your future children. Who do you want to help you raise them? Who do you want to influence them? Marriage isn’t for you. It’s not about you. Marriage is about the person you married.”
It was in that very moment that I knew that Kim was the right person to marry. I realized that I wanted to make her happy; to see her smile every day, to make her laugh every day. I wanted to be a part of her family, and my family wanted her to be a part of ours. And thinking back on all the times I had seen her play with my nieces, I knew that she was the one with whom I wanted to build our own family.
My father’s advice was both shocking and revelatory. It went against the grain of today’s “Walmart philosophy”, which is if it doesn’t make you happy, you can take it back and get a new one.
No, a true marriage (and true love) is never about you. It’s about the person you love—their wants, their needs, their hopes, and their dreams. Selfishness demands, “What’s in it for me?”, while Love asks, “What can I give?”
Some time ago, my wife showed me what it means to love selflessly. For many months, my heart had been hardening with a mixture of fear and resentment. Then, after the pressure had built up to where neither of us could stand it, emotions erupted. I was callous. I was selfish.
But instead of matching my selfishness, Kim did something beyond wonderful—she showed an outpouring of love. Laying aside all of the pain and aguish I had caused her, she lovingly took me in her arms and soothed my soul.
I realized that I had forgotten my dad’s advice. While Kim’s side of the marriage had been to love me, my side of the marriage had become all about me. This awful realization brought me to tears, and I promised my wife that I would try to be better.
To all who are reading this article—married, almost married, single, or even the sworn bachelor or bachelorette—I want you to know that marriage isn’t for you. No true relationship of love is for you. Love is about the person you love.
And, paradoxically, the more you truly love that person, the more love you receive. And not just from your significant other, but from their friends and their family and thousands of others you never would have met had your love remained self-centered.
Truly, love and marriage isn’t for you. It’s for others.
Spoiler for artinya (semampu ane):
Telah menikah selama satu setengah tahun, aku baru menyadari bahwa pernikahan bukanlah untukku.
Nah, sebelum berasumsi, lanjut baca dulu.
Aku bertemu dengan istri saya di SMA ketika berusia 15 tahun, kami menjadi teman baik selama 10 tahun hingga kami memutuskan untuk tidak hanya menjadi teman baik. Aku setuju bahwa teman baik yang jatuh cinta, seluruh waktu akan menjadi lebih baik.
Namun jatuh cinta dengan teman baikku pun tidak menghindarkan aku dari rasa takut dan keraguan untuk menikah. Semakin aku dan Kim dekat dengan keputusan menikah, semakin banyak ak diisi dengan rasa takut.
Apakah aku siap? Apakah aku membuat keputusan yang benar? Apakah Kim adalah orang yang tepat untuk dinikahi? Apakah dia akan membuatku bahagia?
Hingga pada satu malam, aku memutuskan untuk berbagi pikiran dan keraguanku pada ayahku.
Mungkin salah satu dari kita memiliki waktu dalam hidup yang seperti waktu berjalan lambat atau keadaan sekeliling kita berhenti, yang menandakan bahwa momen ini adalah satu yang tidak akan bisa dilupakan.
Cara ayahku memberikan respon pada keraguanku merupakan momen itu untukku. Dengan senyum dia berkata, "Seth, kau sudah menjadi egois. Jadi aku akan membuat ini mudah: PERNIKAHAN BUKAN TENTANGMU. Kau menikah bukan untuk membuat dirimu bahagia, tapi untuk membuat orang lain bahagia. Lebih dari itu, pernikahanmu bukan untuk dirimu sendiri, kau menikah untuk sebuah keluarga. Bukan untuk keluarga ipar atau mertua dan tetek bengek lainnya, kau menikah untuk anakmu di masa depan. Siapa yang akan membantumu menjaga mereka? Siapa yang akan mempengaruhi anak2mu? Pernikahan tidak dimaksudkan untukmu. Ini bukan tentangmu. Ini tentang orang yang kau nikahi.
Pada saat itu pula, aku sadar bahwa Kim adalah orang yang tepat untuk kunikahi. Aku menyadari bahwa bagaimana aku ingin membuatnya bahagia; untuk melihatnya senyum setiap hari, untuk membuatnya tertawa setiap hari. Aku ingin menjadi bagian dari keluarganya, dan keluargaku pun ingin dia jadi bagian dari keluarga kami. Dan jika aku mengingatnya ketika aku melihatnya bermain dengan keponakannya, aku tau bahwa dialah yang aku inginkan untuk membangun keluarga.
Nasehat ayahku adalah mengejutkan dan masuk akal. Ini jelas2 melawan "Walmart Philosophy", yang dimana bahwa jika tidak bahagia, kau dalam mengembalikan dan mendapatkan yang baru.
Tidak, pernikahan sesungguhnya (dan cinta sejati) tidak perna tentang dirimu. Ini tentang orang yang kau cintai - keinginan mereka, kebutuhan mereka, harapan mereka dan impian mereka. Keegoisan menginginkan, "apa yang aku dapatkan?", dimana cinta bertanya, "apa yang bisa aku berikan?"
Beberapa waktu lalu, istriku menunjukkanku apa itu mencintai tanpa pamrih. Untuk beberapa bulan, hatiku dipenuhi dengan campuran rasa takut dan penyesalan. Lalu setelah tekanan sampai pada puncaknya, emosi dan amarah meledak. Aku tidak memikirkan perasaannya. Aku egois.
Tapi melainkan melawan keegoisanku, Kim melakukan hal yang lain yang lebih dari pada luar biasa - dia menunjukkan cinta yang berlebih. Menyingkirkan semua rasa sakit dan derita yang kusebabkan kepadaya, dia menjagaku dengan cinta dan mendamaikan jiwaku.
Aku menyadari bagaimana aku telah melupakan nasehat ayahku. Dimana pernikahan Kim adalah untuk mencintaiku, pernikahanku semua telah menjadi tentang aku. Kenyataan yang menyakitkan ini membawaku menangis dan aku berjanji padanya untuk menjadi lebih baik.
Kepada semua yang membaca artikel ini - menikah, ingin menikah, single, atau bahkan yang sumpah single atau bernasib jomblo - aku ingin memberitahumu bahwa pernikahan bukan untukmu. Tidak ada cinta sejati untukmu. Cinta adalah untuk orang yang kau cintai.
Dan pada akhirnya, semakin kau mencintai orang yang kau cintai, semakin banyak cinta yang kau dapatkan. Bukan hanya dari orang yang kau cintai, tapi juga dari teman, keluarga bahkan orang-orang lain yang tidak akan kau jumpai jika cintamu egois.
Sesungguhnya, cinta dan pernikahan bukan untukmua. Ini tentang yang lain.
Spoiler for sumber:
http://sethadamsmith.com/2013/11/02/marriage-isnt-for-you/
Diubah oleh Hippocantropus 06-11-2013 12:40
0
1.5K
Kutip
12
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan