- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- Musician Corner
The Frankenstone [ Punk Rock ] YK
![13maret](https://s.kaskus.id/user/avatar/2013/10/18/avatar5988592_2.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
13maret
The Frankenstone [ Punk Rock ] YK
![The Frankenstone [ Punk Rock ] YK](https://dl.kaskus.id/yesnowave.com/wp-content/uploads/2013/10/album_art_yesno074.jpg)
Spoiler for Profile The Frankenstone:
Quote:
The Frankenstone adalah sebuah band “autis punk rock” dari Yogyakarta. Band ini terkenal dengan aksi panggung brutal gitarisnya, Putro, yang melibatkan lead-lead agresif, disusul menjatuhkan diri di panggung, beputar-putar di lantai panggung dan menginjak-nginjak senar sambil bernyanyi.
Sejarah
The Frankenstone terbentuk pada November 2007 di Yogyakarta. Pada awalnya, band ini terdiri dari Kusuma Prasetyo Putro (gitar, vokal) dan Gisela Swara Gita Andika (bass). Putro adalah gitaris mumpuni di kota Yogyakarta dan sudah bergabung dengan berbagai band di kota ini. Sedangkan Gisa belum pernah bermain sekalipun di dalam sebuah band dan bahkan tidak dapat memainkan instrumen apapun sebelumnya. Maka di bulan-bulan awal, pasangan ini hanya berlatih secara akustikan di kamar Putro atau di rumah Gisa. Gisa berlatih dengan 4 senar terbawah gitar akustik Yamaha milik Putro. Mereka juga telah membuat dua buah lagu, Fever dan Leave Me a Radio. Fever diciptakan Putro, menceritakan tentang penyakit sinusitisnya yang menahun. Sedangkan Leave Me a Radio diciptakan Gisa yang sedang iseng-iseng menggabungkan kosa kata bahasa Inggris barunya secara sintaksis tapi tanpa rangkaian yang semantis.
Dengan modal dua lagu ini, mereka mencari seorang drummer untuk diajak masuk studio latihan. Gisa mengontak teman lamanya, Nino, untuk menjadi drummer. Dengan Nino, Gisa dan Putro menciptakan 2 lagu lagi, yaitu The Pink dan When I’m Getting Old. Bersama Nino juga, mereka tampil di beberapa pertunjukan perdana mereka yang jarang sekali sukses. Mereka banyak memainkan lagu-lagu Nirvana sehingga banyak yang mengira mereka band grunge. Pada masa-masa ini, nama The Frankenstone sudah ditetapkan. Putro dan Gisa juga membuat logo orang-orangan sawah membawa salib. Mereka bertiga merekam keempat lagu perdana mereka pada Juni 2008, dan dirilis sebagai EP Authentic Bluffer!!! Nino keluar dari The Frankenstone setelah ini.
Gisa dan Putro menyebarkan EP Authentic Bluffer secara gratis kepada sejumlah radio, media lokal, dan komunitas musik di Yogyakarta. Mereka juga mulai menulis fanzine For The Dummies, untuk media promosi mereka. The Frankenstone masuk studio lagi dan mulai mengerjakan lagu-lagu baru seperti You’ll Never Know, Ain’t Talking About You, dan Youthful Culture bersama drummer baru, Dito Yuwono. Dia adalah seorang jurnalis media musik lokal dan sahabat Putro sejak SMP. Akan tetapi, Dito keluar setelah beberapa bulan dan digantikan oleh Jaka, seorang drummer jazz dari ISI yang pernah ngeband dengan Putro di sebuah band ska. Dengan Jaka, Gisa dan Putro membuat dua lagu lagi, Spend Away dan Don’t Mess With the Time Bomb, Baby. Kelima lagu itu direkam pada November 2008. Dengan 4 lagu terdahulu di Authentic Bluffer!!!, The Frankenstone melempar 9 lagu tadi ke komunitas-komunitas lokal secara gratis sebagai EP Don’t be Sad, Don’t be Gloom, The Frankenstone is Ugly. Lagu-lagu ini juga dimasukkan ke blog Jogja Berdikari oleh Adya Mahardika sehingga bisa didownload secara gratis.
Putro, Gisa, dan Jaka mulai sering bermain di gig-gig kecil di Bunker Café, Yogyakarta. Walaupun mereka harus membayar untuk bisa tampil, pengalaman mereka di Bunker Café membawa mereka ke audiens yang lebih luas. Gaya panggung Putro yang brutal juga mulai terkenal dari sini. Pada akhir 2008, mereka masuk majalah DAB sebagai band yang berprospek di tahun 2009. Mereka juga sign kontrak dengan Blunt Edge Records di Amerika Serikat untuk merilis album mereka di sana. Lagu Spend Away juga masuk kompilasi DIY in DIY rilisan Rise ‘n Shine Records. Akan tetapi, tak lama kemudian Jaka yang tidak menikmati punk meninggalkan The Frankenstone.
Karena ditinggalkan drummernya, Putro dan Gisa tampil akustik di beberapa kampus setiap kali mereka harus manggung. Dengan dibantu Aink, seorang sahabat yang pandai memainkan keyboard, harmonika, dan tamborin, mereka menggarap lagu-lagu punk The Frankenstone menjadi versi akustik. Mereka juga membawakan banyak lagu-lagu The Beatles, Cheap Trick, dan Culture Club. Putro juga rajin merekam beberapa lagu akustik di rumah secara home recording, yaitu In My Bed Tonight, Longway to Nowhere, Float, dan Beat Box Rock.
The Frankenstone banyak berganti-ganti drummer pada masa ini. Mereka mengirim pesan ke banyak band di myspace untuk meminjam drummer. Akhirnya mereka mendapatkan Rinus, drummer Tripping Junkie, untuk berlatih dengan mereka. Dengan Rinus, mereka mulai mengaransemen lagu-lagu seperti I Got a Problem with My Health, I Try to be a Good Boy but I’m Fucked, Can’t Take it Anymore, dan Uncomercialized Prostitute. Mereka bertiga manggung dengan sangat sukses di Apollo Café, di acara launching kompilasi DIY in DIY. Sayangnya, Rinus yang juga punya band sibuk tidak dapat membantu The Frankenstone lebih jauh.
Untungnya, saat menghadiri sebuah play performance dari drummer Gerap Gurita, Putro dan Gisa bertemu dengan Jeje, seorang drummer freelance yang sedang tidak sibuk dengan band manapun. Setelah diminta, Jeje setuju untuk mencoba latihan dengan mereka. Mereka latihan lagu-lagu baru itu dengan hasil memuaskan, lalu segera manggung di sebuah gig di Jalan Kaliurang. Mereka mengerjakan beberapa lagu lagu yaitu Come Back Home Lonely Boy dan Ordinary Love Song, lalu segera rekaman lagi pada Juni 2009. 6 lagu itu digabungkan dengan 13 lagu lainnya, dan pada Agustus 2009 segera dirilis sebagai album perdana mereka, Don’t Be Sad, Don’t Be Gloom, The Frankenstone is Ugly. Secara digital, album ini juga dirilis di netlabel lokal, Yesnowave.
Personil band
Putro
Putro adalah gitaris dan vokalis yang menjadi motor band ini. Dia menulis dan mengaransemen lagu, perencana haluan band, dan bos besar band. Dia sudah bermain gitar dan mendengarkan musik punk sejak SMP. Sebagian besar lirik lagu The Frankenstone ditulis berdasarkan pengalaman pribadinya. Topik yang sering diangkat adalah penyakit sinusitis menahunnya yang muncul di Fever, I Got a Problem with My Health, dan When I’m Getting Old. Gitar cokelatnya yang sering dia aniyaya di panggung adalah buatan SP Guitars Yogyakarta dengan pickup bridge DiMarzio PAFF classic dan pickup neck Seymour Duncan Vintage for Telecaster.
Gisa
Selain menjadi bassis dan backing vokalis, Gisa adalah asisten front man yang sangat ideal. Walau kemampuan bermusiknya sangat jauh di bawah Putro dan Jeje, dia sudah berkembang banyak selama 1,5 tahun ini dalam bermain bass. Dia menyatakan tidak akan mendalami bermain bass dan hanya bersedia ngeband untuk The Frankenstone. Mahasiswi Sastra Inggris kutu buku yang bercita-cita jadi penerjemah ini menjadi penyunting struktur kalimat dan gaya bahasa untuk lirik-lirik The Frankenstone. Setelah album pertama mereka keluar, dia juga merangkap jadi SPG yang agresif semenara Putro yang menjadi cukongnya karena menurut filsafat Putro, bassis wanita adalah penjual yang potensial. Bass merahnya dia beli di Gramedia Book Store lalu dipasangi EMG MMHZ pickup.
Jeje
Drummer yang satu ini adalah produk ideal anak band masa kini. Dengan postur tinggi kurus, hidung sangat mancung, dan rambut lurus alami tanpa rebonding idaman para penjaga distro, Jeje adalah sosok rock ‘n roll 2009 yang sangat cocok duduk di kursi drummer The Frankenstone. Dia sudah bermain drum sejak SMP, dan seperti Putro, dia juga telah banyak bergabung dengan band-band lokal. Ketukan-ketukannya adalah yang paling “Frankenstone” menurut Putro dan Gisa, dan dia juga satu-satunya drummer yang oke-oke saja melihat tingkah Putro dan Gisa di studio. Dia juga adalah salesman yang pandai menjual album. Kelebihannya yang lain yang tidak dipunyai drummer-drummer sebelumnya adalah, dia menyukai lagu-lagu The Frankenstone sebelum dia bergabung dalam band ini.
Penampilan di Panggung
Sejak pertunjukkan The Frankenstone yang paling pertama di Taman Kuliner, atraksi “goyang kayang” dan menjatuhkan diri ala Putro sudah terjadi. Atraksi gitaris kejang-kejang ini diadaptasi dari, tentu saja, Kurt Cobain, dan Angus Young. Seiring berjalannya waktu, variasi koreografi Putro semakin beragam, termasuk memainkan gitar dengan kaki sementara dia menyanyi yang biasanya dia lakukan saat mereka membawakan lagu Youthful Culture. Dia juga sering menjatuhkan microphone, memanjat drum, dan juga mengambil stick drum cadangan lalu memukuli simbal.
Pada bulan-bulan pertama band berjalan, Gisa begitu malu dan takut salah sehingga dia tidak bisa menyanyikan backing vocal sementara dia memainkan bass. Dia bahkan hampir tidak bergerak selama manggung walaupun Putro memainkan gitar sampai jungkir balik di panggung yang sama. Namun sekarang dia sudah mulai nyaman dengan bassnya dan sudah lumayan dapat menyanyikan backing vocal. Dia masih sering salah-salah kunci, tapi penonton tidak peduli karena penampilan Putro lebih mencuri fokus.
Jeje yang baru bergabung selama setengah tahun bermain dengan baik kecuali kalau sedang galau, grogi, atau tidak hapal lagu. Bagaimanapun, kalau di tengah-tengah lagu ada yang salah, biasanya mereka berhenti bermain dan lagu tadi diulang lagi dari awal. Kelebihannya adalah melepaskan topi dengan stick drum di tengah-tengah lagu tanpa kehilangan tempo.
Band ini tidak pernah merokok dan minum alkohol di panggung. Mereka biasanya membawa air putih atau susu ke atas panggung. Walau begitu, ini tidak ada hubungannya dengan straight edge.
The Frankenstone jarang sekali berinteraksi dengan penonton selama manggung. Mereka langsung memainkan lagu tanpa kata-kata dan turun panggung tanpa pamitan juga. Akan tetapi, mereka sudah berniat akan lebih berkomunikasi di hari-hari mendatang.
Sejarah
The Frankenstone terbentuk pada November 2007 di Yogyakarta. Pada awalnya, band ini terdiri dari Kusuma Prasetyo Putro (gitar, vokal) dan Gisela Swara Gita Andika (bass). Putro adalah gitaris mumpuni di kota Yogyakarta dan sudah bergabung dengan berbagai band di kota ini. Sedangkan Gisa belum pernah bermain sekalipun di dalam sebuah band dan bahkan tidak dapat memainkan instrumen apapun sebelumnya. Maka di bulan-bulan awal, pasangan ini hanya berlatih secara akustikan di kamar Putro atau di rumah Gisa. Gisa berlatih dengan 4 senar terbawah gitar akustik Yamaha milik Putro. Mereka juga telah membuat dua buah lagu, Fever dan Leave Me a Radio. Fever diciptakan Putro, menceritakan tentang penyakit sinusitisnya yang menahun. Sedangkan Leave Me a Radio diciptakan Gisa yang sedang iseng-iseng menggabungkan kosa kata bahasa Inggris barunya secara sintaksis tapi tanpa rangkaian yang semantis.
Dengan modal dua lagu ini, mereka mencari seorang drummer untuk diajak masuk studio latihan. Gisa mengontak teman lamanya, Nino, untuk menjadi drummer. Dengan Nino, Gisa dan Putro menciptakan 2 lagu lagi, yaitu The Pink dan When I’m Getting Old. Bersama Nino juga, mereka tampil di beberapa pertunjukan perdana mereka yang jarang sekali sukses. Mereka banyak memainkan lagu-lagu Nirvana sehingga banyak yang mengira mereka band grunge. Pada masa-masa ini, nama The Frankenstone sudah ditetapkan. Putro dan Gisa juga membuat logo orang-orangan sawah membawa salib. Mereka bertiga merekam keempat lagu perdana mereka pada Juni 2008, dan dirilis sebagai EP Authentic Bluffer!!! Nino keluar dari The Frankenstone setelah ini.
Gisa dan Putro menyebarkan EP Authentic Bluffer secara gratis kepada sejumlah radio, media lokal, dan komunitas musik di Yogyakarta. Mereka juga mulai menulis fanzine For The Dummies, untuk media promosi mereka. The Frankenstone masuk studio lagi dan mulai mengerjakan lagu-lagu baru seperti You’ll Never Know, Ain’t Talking About You, dan Youthful Culture bersama drummer baru, Dito Yuwono. Dia adalah seorang jurnalis media musik lokal dan sahabat Putro sejak SMP. Akan tetapi, Dito keluar setelah beberapa bulan dan digantikan oleh Jaka, seorang drummer jazz dari ISI yang pernah ngeband dengan Putro di sebuah band ska. Dengan Jaka, Gisa dan Putro membuat dua lagu lagi, Spend Away dan Don’t Mess With the Time Bomb, Baby. Kelima lagu itu direkam pada November 2008. Dengan 4 lagu terdahulu di Authentic Bluffer!!!, The Frankenstone melempar 9 lagu tadi ke komunitas-komunitas lokal secara gratis sebagai EP Don’t be Sad, Don’t be Gloom, The Frankenstone is Ugly. Lagu-lagu ini juga dimasukkan ke blog Jogja Berdikari oleh Adya Mahardika sehingga bisa didownload secara gratis.
Putro, Gisa, dan Jaka mulai sering bermain di gig-gig kecil di Bunker Café, Yogyakarta. Walaupun mereka harus membayar untuk bisa tampil, pengalaman mereka di Bunker Café membawa mereka ke audiens yang lebih luas. Gaya panggung Putro yang brutal juga mulai terkenal dari sini. Pada akhir 2008, mereka masuk majalah DAB sebagai band yang berprospek di tahun 2009. Mereka juga sign kontrak dengan Blunt Edge Records di Amerika Serikat untuk merilis album mereka di sana. Lagu Spend Away juga masuk kompilasi DIY in DIY rilisan Rise ‘n Shine Records. Akan tetapi, tak lama kemudian Jaka yang tidak menikmati punk meninggalkan The Frankenstone.
Karena ditinggalkan drummernya, Putro dan Gisa tampil akustik di beberapa kampus setiap kali mereka harus manggung. Dengan dibantu Aink, seorang sahabat yang pandai memainkan keyboard, harmonika, dan tamborin, mereka menggarap lagu-lagu punk The Frankenstone menjadi versi akustik. Mereka juga membawakan banyak lagu-lagu The Beatles, Cheap Trick, dan Culture Club. Putro juga rajin merekam beberapa lagu akustik di rumah secara home recording, yaitu In My Bed Tonight, Longway to Nowhere, Float, dan Beat Box Rock.
The Frankenstone banyak berganti-ganti drummer pada masa ini. Mereka mengirim pesan ke banyak band di myspace untuk meminjam drummer. Akhirnya mereka mendapatkan Rinus, drummer Tripping Junkie, untuk berlatih dengan mereka. Dengan Rinus, mereka mulai mengaransemen lagu-lagu seperti I Got a Problem with My Health, I Try to be a Good Boy but I’m Fucked, Can’t Take it Anymore, dan Uncomercialized Prostitute. Mereka bertiga manggung dengan sangat sukses di Apollo Café, di acara launching kompilasi DIY in DIY. Sayangnya, Rinus yang juga punya band sibuk tidak dapat membantu The Frankenstone lebih jauh.
Untungnya, saat menghadiri sebuah play performance dari drummer Gerap Gurita, Putro dan Gisa bertemu dengan Jeje, seorang drummer freelance yang sedang tidak sibuk dengan band manapun. Setelah diminta, Jeje setuju untuk mencoba latihan dengan mereka. Mereka latihan lagu-lagu baru itu dengan hasil memuaskan, lalu segera manggung di sebuah gig di Jalan Kaliurang. Mereka mengerjakan beberapa lagu lagu yaitu Come Back Home Lonely Boy dan Ordinary Love Song, lalu segera rekaman lagi pada Juni 2009. 6 lagu itu digabungkan dengan 13 lagu lainnya, dan pada Agustus 2009 segera dirilis sebagai album perdana mereka, Don’t Be Sad, Don’t Be Gloom, The Frankenstone is Ugly. Secara digital, album ini juga dirilis di netlabel lokal, Yesnowave.
Personil band
Putro
Putro adalah gitaris dan vokalis yang menjadi motor band ini. Dia menulis dan mengaransemen lagu, perencana haluan band, dan bos besar band. Dia sudah bermain gitar dan mendengarkan musik punk sejak SMP. Sebagian besar lirik lagu The Frankenstone ditulis berdasarkan pengalaman pribadinya. Topik yang sering diangkat adalah penyakit sinusitis menahunnya yang muncul di Fever, I Got a Problem with My Health, dan When I’m Getting Old. Gitar cokelatnya yang sering dia aniyaya di panggung adalah buatan SP Guitars Yogyakarta dengan pickup bridge DiMarzio PAFF classic dan pickup neck Seymour Duncan Vintage for Telecaster.
Gisa
Selain menjadi bassis dan backing vokalis, Gisa adalah asisten front man yang sangat ideal. Walau kemampuan bermusiknya sangat jauh di bawah Putro dan Jeje, dia sudah berkembang banyak selama 1,5 tahun ini dalam bermain bass. Dia menyatakan tidak akan mendalami bermain bass dan hanya bersedia ngeband untuk The Frankenstone. Mahasiswi Sastra Inggris kutu buku yang bercita-cita jadi penerjemah ini menjadi penyunting struktur kalimat dan gaya bahasa untuk lirik-lirik The Frankenstone. Setelah album pertama mereka keluar, dia juga merangkap jadi SPG yang agresif semenara Putro yang menjadi cukongnya karena menurut filsafat Putro, bassis wanita adalah penjual yang potensial. Bass merahnya dia beli di Gramedia Book Store lalu dipasangi EMG MMHZ pickup.
Jeje
Drummer yang satu ini adalah produk ideal anak band masa kini. Dengan postur tinggi kurus, hidung sangat mancung, dan rambut lurus alami tanpa rebonding idaman para penjaga distro, Jeje adalah sosok rock ‘n roll 2009 yang sangat cocok duduk di kursi drummer The Frankenstone. Dia sudah bermain drum sejak SMP, dan seperti Putro, dia juga telah banyak bergabung dengan band-band lokal. Ketukan-ketukannya adalah yang paling “Frankenstone” menurut Putro dan Gisa, dan dia juga satu-satunya drummer yang oke-oke saja melihat tingkah Putro dan Gisa di studio. Dia juga adalah salesman yang pandai menjual album. Kelebihannya yang lain yang tidak dipunyai drummer-drummer sebelumnya adalah, dia menyukai lagu-lagu The Frankenstone sebelum dia bergabung dalam band ini.
Penampilan di Panggung
Sejak pertunjukkan The Frankenstone yang paling pertama di Taman Kuliner, atraksi “goyang kayang” dan menjatuhkan diri ala Putro sudah terjadi. Atraksi gitaris kejang-kejang ini diadaptasi dari, tentu saja, Kurt Cobain, dan Angus Young. Seiring berjalannya waktu, variasi koreografi Putro semakin beragam, termasuk memainkan gitar dengan kaki sementara dia menyanyi yang biasanya dia lakukan saat mereka membawakan lagu Youthful Culture. Dia juga sering menjatuhkan microphone, memanjat drum, dan juga mengambil stick drum cadangan lalu memukuli simbal.
Pada bulan-bulan pertama band berjalan, Gisa begitu malu dan takut salah sehingga dia tidak bisa menyanyikan backing vocal sementara dia memainkan bass. Dia bahkan hampir tidak bergerak selama manggung walaupun Putro memainkan gitar sampai jungkir balik di panggung yang sama. Namun sekarang dia sudah mulai nyaman dengan bassnya dan sudah lumayan dapat menyanyikan backing vocal. Dia masih sering salah-salah kunci, tapi penonton tidak peduli karena penampilan Putro lebih mencuri fokus.
Jeje yang baru bergabung selama setengah tahun bermain dengan baik kecuali kalau sedang galau, grogi, atau tidak hapal lagu. Bagaimanapun, kalau di tengah-tengah lagu ada yang salah, biasanya mereka berhenti bermain dan lagu tadi diulang lagi dari awal. Kelebihannya adalah melepaskan topi dengan stick drum di tengah-tengah lagu tanpa kehilangan tempo.
Band ini tidak pernah merokok dan minum alkohol di panggung. Mereka biasanya membawa air putih atau susu ke atas panggung. Walau begitu, ini tidak ada hubungannya dengan straight edge.
The Frankenstone jarang sekali berinteraksi dengan penonton selama manggung. Mereka langsung memainkan lagu tanpa kata-kata dan turun panggung tanpa pamitan juga. Akan tetapi, mereka sudah berniat akan lebih berkomunikasi di hari-hari mendatang.
Quote:
Persekutuan kobaran nada punk-rock dari kota Yogyakarta, dengan rilisan album penuhnya yang ketiga. Mereka memutuskan untuk memakai nama persekutuan mereka sendiri sebagai judul album penuh mereka yang terbaru ini. Hal kecil tersebut, cukup menarik perhatian saya ketika saya mendapatkan album ini. Karena sejauh yang saya tahu persekutuan-persekutuan kobaran nada di Indonesia maupun belahan dunia lainya, banyak yang memutuskan untuk memakai nama persekutuan kobaran nada mereka sendiri sebagai judul dari rilisan mereka yang pertama. Seolah itu menjadi sebuah bentuk perkenalan atau ritual pembuka yang amat sakral untuk mereka. Tapi dalam hal ini, The Frankenstone malah memakai nama persekutuan mereka sebagai judul dari rilisan yang ketiga. Apabila memang benar adanya tentang kesakralan ritual pembuka dari sebuah persekutuan kobaran nada atau band tersebut, mungkin bisa kita tarik benang merah sambil berandai-andai bahwa di dalam rilisan dari The Frankenstone yang terbaru ini pun, mereka-mereka seperti ingin memberi pesan kepada para pendengar bahwa terdapat hal-hal baru dari rilisan mereka yang ketiga ini, dan sebuah ritual pembuka yang sakral. Dan dengan melepas rilisan mereka yang teranyar ini, The Frankenstone kembali menyampaikan pesan sambil tidak melupakan kesakralan dari apa yang dinamakan sebagai salam pembuka.
The Frankenstone, berhasil mengawali perkenalanya dengan para pendengar melalui album penuh mereka yang berjudul “Don’t be Sad, Don’t be Gloom The Frankenstone is Ugly” pada tahun 2009 lalu, dengan ciri-ciri khusus yang terbilang orisinil dan tidak banyak band punk-rock lainya miliki. Yaitu, kejujuran dalam penyampaian pesan melalui lirik-lirik yang mereka balut dengan kobaran nada yang mereka gubah serta kualitas rekaman yang diistilahkan sebagai rekaman yang berfidelasi rendah. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah ketika ciri-ciri khusus mereka tersebut bukan merupakan hal yang disengaja oleh The Frankenstone agar dijuluki sebagai band punk-rock yang lain daripada yang lain. Hal-hal tersebut membuat saya berkesimpulan bahwa mereka adalah band punk-rock yang sangat simple dan ke-simple-an serta laju tanpa pretense mereka tersebutlah yang terus membuat mereka tampak menarik untuk tetap disimak. Apapun yang terjadi.
Dan ketika saya berkesimpulan bahwa apapun yang terjadi, The Frankenstone tetap menjadi band punk-rock yang layak untuk terus disimak. Pada rilisan terbaru mereka inilah saya merasa ditantang oleh mereka, sebagai seorang pendengar dan penilai, ketika The Frankenstone kehilangan salah satu ciri khususnya yang merupakan permasalahan teknis, dimana menurut saya hal tersebut adalah hal yang krusial dari tiap band yang saya dengarkan. Mereka memilih untuk merekam materi-materi mereka yang ada di dalam album ini secara profesional. Kobaran-kobaran nada yang tadinya begitu kasar, meliuk-liuk dengan liar dan seakan terbang bebas tak terarah itu kini terasa begitu lembut, berketeraturan dan seakan ada yang sedang mengendarai kobaran nada yang berterbangan itu, mereka terbang dengan amat rapih. Tapi hal-hal tersebut tidak akan saya nilai sebagai sebuah kekurangan atau kelebihan, dalam ulasan ini saya rasa juga akan lebih baik jika perkara selera tentang kualitas rekaman suara dari kobaran nada yang dibuat oleh sebuah band tidak akan menjadi pakem penilaian. Hal yang saya sebutkan diatas, hanya salah satu dari ciri-ciri khusus yang dulu sering diusung oleh The Frankenstone yang telah menghilang dari mereka sekarang ini. Namun apabila yang dibahas adalah ciri khusus tentang kejujuran dan agresifitas mereka dalam menggubah kata dengan kobaran nada, dimana hal-hal tersebut adalah proses penting untuk menunjukan sisi simple dari The Frankenstone, ciri khusus itu saya rasa tidak hilang dalam album ketiga ini. Mereka masih menyampaikan kepolosan, pandangan-pandangan tentang kebebasan yang terkekang oleh prahara dinamika kehidupan dan rasa syukur yang diwujudkan dengan kisah-kisah wajar dalam kehidupan mereka. Yang mana, hal-hal tersebut yang membuat mereka tetap kembali menarik untuk disimak, apapun yang terjadi. Salam.
(Hilman Fathoni)
The Frankenstone, berhasil mengawali perkenalanya dengan para pendengar melalui album penuh mereka yang berjudul “Don’t be Sad, Don’t be Gloom The Frankenstone is Ugly” pada tahun 2009 lalu, dengan ciri-ciri khusus yang terbilang orisinil dan tidak banyak band punk-rock lainya miliki. Yaitu, kejujuran dalam penyampaian pesan melalui lirik-lirik yang mereka balut dengan kobaran nada yang mereka gubah serta kualitas rekaman yang diistilahkan sebagai rekaman yang berfidelasi rendah. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah ketika ciri-ciri khusus mereka tersebut bukan merupakan hal yang disengaja oleh The Frankenstone agar dijuluki sebagai band punk-rock yang lain daripada yang lain. Hal-hal tersebut membuat saya berkesimpulan bahwa mereka adalah band punk-rock yang sangat simple dan ke-simple-an serta laju tanpa pretense mereka tersebutlah yang terus membuat mereka tampak menarik untuk tetap disimak. Apapun yang terjadi.
Dan ketika saya berkesimpulan bahwa apapun yang terjadi, The Frankenstone tetap menjadi band punk-rock yang layak untuk terus disimak. Pada rilisan terbaru mereka inilah saya merasa ditantang oleh mereka, sebagai seorang pendengar dan penilai, ketika The Frankenstone kehilangan salah satu ciri khususnya yang merupakan permasalahan teknis, dimana menurut saya hal tersebut adalah hal yang krusial dari tiap band yang saya dengarkan. Mereka memilih untuk merekam materi-materi mereka yang ada di dalam album ini secara profesional. Kobaran-kobaran nada yang tadinya begitu kasar, meliuk-liuk dengan liar dan seakan terbang bebas tak terarah itu kini terasa begitu lembut, berketeraturan dan seakan ada yang sedang mengendarai kobaran nada yang berterbangan itu, mereka terbang dengan amat rapih. Tapi hal-hal tersebut tidak akan saya nilai sebagai sebuah kekurangan atau kelebihan, dalam ulasan ini saya rasa juga akan lebih baik jika perkara selera tentang kualitas rekaman suara dari kobaran nada yang dibuat oleh sebuah band tidak akan menjadi pakem penilaian. Hal yang saya sebutkan diatas, hanya salah satu dari ciri-ciri khusus yang dulu sering diusung oleh The Frankenstone yang telah menghilang dari mereka sekarang ini. Namun apabila yang dibahas adalah ciri khusus tentang kejujuran dan agresifitas mereka dalam menggubah kata dengan kobaran nada, dimana hal-hal tersebut adalah proses penting untuk menunjukan sisi simple dari The Frankenstone, ciri khusus itu saya rasa tidak hilang dalam album ketiga ini. Mereka masih menyampaikan kepolosan, pandangan-pandangan tentang kebebasan yang terkekang oleh prahara dinamika kehidupan dan rasa syukur yang diwujudkan dengan kisah-kisah wajar dalam kehidupan mereka. Yang mana, hal-hal tersebut yang membuat mereka tetap kembali menarik untuk disimak, apapun yang terjadi. Salam.
(Hilman Fathoni)
Spoiler for The Frankenstone:
![The Frankenstone [ Punk Rock ] YK](https://dl.kaskus.id/yesnowave.com/wp-content/uploads/2013/10/The-Frankenstone-575x428.jpg)
Quote:
Spoiler for Sumber:
0
1.5K
Kutip
1
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan