- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[TRAGIS] BAHASA INDONESIA terancam punah beberapa tahun kedepan?


TS
beside.dude
[TRAGIS] BAHASA INDONESIA terancam punah beberapa tahun kedepan?
[TRAGIS] BAHASA INDONESIA terancam punah beberapa tahun kedepan?
Ini adalah berita TRAGIS dari New York Times yang dimuat tahun 2010 lalu, walaupun begitu, ane ingin mengangkat masalah ini, soalnya tragis sekali gans!
Dibaca santai saja, jangan terburu-buru, ga ada tukang tagih utang didepan pintu kok, tenang saja ..
Ini bahasan penting, yang merasa ga penting ga usah baca
terlalu panjang dan intelek soalnya 
Jakarta, Indonesia – Paulina Sugiarto, ibu dari tiga orang anak yang bermain bersama di suatu hari dalam sebuah mall, bercengkrama tidak dalam Bahasa Indonesia, tetapi memakai bahasa Inggris. Kefasihan mereka mengundang pertanyaan dari orangtua kelas atas lainnya yang bertemu dengan Ibu Sugiarto dalam mall tersebut.
![[TRAGIS] BAHASA INDONESIA terancam punah beberapa tahun kedepan?](https://dl.kaskus.id/graphics8.nytimes.com/images/2010/07/26/world/INDO1/INDO1-articleLarge.jpg)
Tetapi kemampuan anak-anak berbahasa Inggris dengan fasih mengaburkan fakta bahwa meskipun mereka lahir dan tinggal di Indonesia, mereka kesulitan berbahasa Indonesia. Orangtua mereka yang biasanya tumbuh besar di Indonesia yang kemudian melanjutkan kuliah ke US atau Australia, berkomunikasi dengan anak-anaknya dalam bahasa Inggris. Dan anak mereka mengikuti sekolah swasta dengan bahasa Inggris pula sebagai kata pengantar. “Mereka tahu mereka orang Indonesia,” kata Ibu Sugiarto. “Mereka cinta Indonesia. Mereka hanya tidak bisa berbahasa Indonesia.” Ini tragis
Warisan linguistik Indonesia semakin terancam karena meningkatnya jumlah keluarga kaya dan menengah keatas yang menghindari sekolah negeri, yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai komunikasi utama, yang pengajaran bahasa Inggrisnya buruk. Mereka berpaling kepada sekolah swasta yang fokus pada bahasa Inggris dan menyisihkan sedikit waktu untuk pelajaran Indonesia.
Untuk sebagai orang Indonesia, penguasaan bahasa Inggris telah meningkat dan terkait dengan status social, bahasa Indonesia telah turun menjadi status kedua, Ekstrimnya, orang merasa bangga bila berbahasa Indonesia buruk.
Penyebaran global bahasa Inggris, yang terkadang menggerus penggunaan dari bahasa lokal, telah banyak mempengaruhi bangsa yang sebelumnya tidak berbahasa Inggris. Tapi mungkin pengaruhnya sangat terasa di Indonesia, dimana generasi yang oleh pemerintah telah dipromosikan sebagai bangsa Indonesia yang memiliki identitas bangsa dari banyak etnik, budaya kuno dan dialek yang berbeda-beda.
Pemerintah baru-baru saja ini mengumumkan bahwa mereka akan mewajibkan semua sekolah swasta untuk mengajarkan bahasa resmi bahasa Indonesia kepada muridnya di tahun 2013. Meskipun tidak jelas. “Sekolah-sekolah ini beroperasi disini, namun tidak menawarkan bahasa Indonesia untuk warga Negara kita,” kata Suyanto, yang mengawasi pendidikan dasar dan menengah di Departemen Pendidikan.
" Jika kita tidak mengatur mereka , dalam jangka panjang hal ini bisa berbahaya bagi kelangsungan bahasa kita , " kata Mr Suyanto , yang seperti kebanyakan orang Indonesia menggunakan satu kata saja . " Jika negara besar ini tidak memiliki bahasa yang kuat untuk menyatukan , itu bisa berbahaya . "
Kelihatannya, kencenderungan memilih bahasa Inggris telah mulai menarik kritik di masa sekarang ini. Tahun lalu (2009) seorang wanita (Karenina Sunny Halim), yang ber-ayahkan Indonesia dan ber-ibukan Amerika, telah dimahkotai title Miss Indonesia meskipun tidak fasih berbahasa Indonesia. Para juri kemudia dikecam di social media dan blog untuk keputusannya yang sangat terkesan oleh kefasihan berbahasa Inggris dan mengabaikan fakta bahwa meskipun tumbuh disini, ia membutuhkan penerjemah untuk menerjemahkan pertanyaan juri. Watdepak?!
Pada tahun 1928, para pejuang nasional mendapatkan kemerdekaan dari Belanda dan memilih Bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan. Sementara sebagian kecil dari orang Indonesia yang berbahasa Belanda, memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa intelektual.
Setiap Bahasa memiliki tingkatan sosial, kata Arief Rachman, seorang ahli pendidikan. “ Jika anda berbicara bahasa Jawa, ada berada di golongan bawah,” katanya, mengacu pada bahasa utama di Pulau Jawa. “Jika anda berbicara dalam bahasa Indonesia, anda sedikit di atas. Jika anda berbicara bahasa Belanda, anda berada di atas.”
Pemimpin, khususnya Soeharto, jenderal yang memerintah Indonesia sampai tahun 1998, memberlakukan pengajaran bahasa Indonesia dan menahan penggunaan bahasa Inggris. “Selama era Soeharto, Bahasa Indonesia adalah salah satunya bahasa yang bisa kita lihat dan baca. Inggris berada diluar itu.” Kata Aimee Dawis, yang mengajar bidang komunikasi di Universitas Indonesia. “Hal itu dijalankan untuk menciptakan identitas nasional, dan itu bekerja, karena kita semua berbahasa Indonesia. Sekarang pelunakkan Bahasa Indonesia bukan hasil dari kebijakan pemerintah yang disengaja. Itu hanya terjadi secara alami.”
Dengan diberlakukannya demokrasi di Indonesia beberapa tahun terakhir, para ahli mengatakan, bahasa Inggris menjadi bahasa Belanda baru. Peraturan dikendorkan, dan membiarkan anak-anak Indonesia untuk bersekolah di sekolah swasta yang tidak mengikuti kurikulum nasional, tetapi menawarkan bahasa Inggris. Semakin mahal, dengan biaya sekolah beberapa ribu dolar setahun, biasanya memperkerjakan penutur asli bahasa Inggris, kata Elena Racho, wakil ketua dari Assiasi Sekolah Nasional Plus, sebuah organisasi yang memayungi sekolah swasta di Indonesia.
Tetapi dengan semakin populernya sekolah swasta, ribuan telah dibuka dalam beberapa tahun terakhir, kata Ibu Racho. Bila sekolah swasta murah, dan tidak mampu memperkerjakan orang asing, biasanya bahasa Inggrisnya diajar oleh orang Indonesia, namun tidak sempurna, katanya.
Banyak murid yang bersekolah di sekolah swasta ternama berakhir dengan bahasa Indonesia yang buruk, kata seorang ahli. Unchu Riza, yang memiliki sekolah swasta yang mengajar dalam dua bahasa, serta memiliki waralaba Kidzania, sebuah taman hiburan dimana anak-anak dapat mencoba berbagai profesi, dia mengatakan beberapa orang Indonesia rela mengorbankan bahasa Indonesia untuk status sosial yang lebih tinggi. “terkadang mereka memandang rendah orang yang bicara tidak dalam bahasa Inggris.” Katanya. Dia menambahkan : “ Dalam beberapa keluarga, cucu tidak dapat berbicara dengan neneknya karena mereka tidak berbahasa Indonesia. Itu sangat menyedihkan.” (Ini TRAGIS GAN!)
Anna Surti Ariani, seoarang psikolog yang memberikan konseling di sekolah swasta dan membuat praktek sendiri, beberapa orangtua bahkan menampilkan harga diri yang cenderung buruk sehingga membuat anaknya berbicara Indonesia dengan buruk. Sekolah biasanya menyarankan orangtua untuk berkomunikasi dengan anak mereka dalam bahasa Inggris di rumah, walaupun mungkin tidak fasih.
“terkadang orangtua anak bahkan meminta pengasuh anak mereka untuk tidak berbahasa Indonesia melainkan Inggris, “ kata Ibu Ariani.
Ini adalah pemandangan umum yang terjadi di beberapa mall di akhir pekan.” Orangtua mengharuskan komunikasi dalam bahasa Inggris, diikuti oleh pengasuh anak yang berbahasa Inggris sepengetahuan mereka.
Della Raymena Jovanka, 30, ibu dari dua anak pra-TK, merasa dirinya was-was, anaknya Fathiy, 4, mengikuti TK Inggris yang fokus dalam bahasa Inggris, Ibu Jovanka hanya menginjinkan dia menonton acara TV dalam Bahasa Inggris.
Hasilnya adalah bahwa anaknya menanggapi orangtuanya hanya dalam bahasa Inggris dan memiliki kesulitan dengan bahasa Indonesia . Ibu Jovanka sedang mempertimbangkan mengirim anaknya ke sekolah umum reguler tahun depan . Tapi teman-teman dan kerabat yang menekan dia untuk memilih sekolah swasta agar anaknya bisa menjadi fasih dalam bahasa Inggris .
Ketika ditanya apakah ia lebih suka memiliki anaknya menjadi fasih dalam bahasa Inggris atau Indonesia , Ibu Jovanka mengatakan , " Sejujurnya , Inggris . Tapi ini bisa menjadi masalah besar dalam sosialisasi nya . Dia Indonesia . Dia tinggal di Indonesia . Jika ia tidak bisa berkomunikasi dengan orang-orang , itu akan menjadi masalah besar . "
JAKARTA, Indonesia — Paulina Sugiarto’s three children played together at a mall here the other day, chattering not in Indonesia’s national language, but English. Their fluency often draws admiring questions from other Indonesian parents Ms. Sugiarto encounters in this city’s upscale malls.
But the children’s ability in English obscured the fact that, though born and raised in Indonesia, they were struggling with the Indonesian language, known as Bahasa Indonesia. Their parents, who grew up speaking the Indonesian language but went to college in the United States and Australia, talk to their children in English. And the children attend a private school where English is the main language of instruction.
“They know they’re Indonesian,” Ms. Sugiarto, 34, said. “They love Indonesia. They just can’t speak Bahasa Indonesia. It’s tragic.”
Indonesia’s linguistic legacy is increasingly under threat as growing numbers of wealthy and upper-middle-class families shun public schools where Indonesian remains the main language but English is often taught poorly. They are turning, instead, to private schools that focus on English and devote little time, if any, to Indonesian.
For some Indonesians, as mastery of English has become increasingly tied to social standing, Indonesian has been relegated to second-class status. In extreme cases, people take pride in speaking Indonesian poorly.
The global spread of English, with its sometimes corrosive effects on local languages, has caused much hand-wringing in many non-English-speaking corners of the world. But the implications may be more far-reaching in Indonesia, where generations of political leaders promoted Indonesian to unite the nation and forge a national identity out of countless ethnic groups, ancient cultures and disparate dialects.
The government recently announced that it would require all private schools to teach the nation’s official language to its Indonesian students by 2013. Details remain sketchy, though.
“These schools operate here, but don’t offer Bahasa to our citizens,” said Suyanto, who oversees primary and secondary education at the Education Ministry.
“If we don’t regulate them, in the long run this could be dangerous for the continuity of our language,” said Mr. Suyanto, who like many Indonesians uses one name. “If this big country doesn’t have a strong language to unite it, it could be dangerous.”
The seemingly reflexive preference for English has begun to attract criticism in the popular culture. Last year, a woman, whose father is Indonesian and her mother American, was crowned Miss Indonesia despite her poor command of Indonesian. The judges were later denounced in the news media and in the blogosphere for being impressed by her English fluency and for disregarding the fact that, despite growing up here, she needed interpreters to translate the judges’ questions.
In 1928, nationalists seeking independence from Dutch rule chose Indonesian, a form of Malay, as the language of civic unity. While a small percentage of educated Indonesians spoke Dutch, Indonesian became the preferred language of intellectuals.
Each language had a social rank, said Arief Rachman, an education expert. “If you spoke Javanese, you were below,” he said, referring to the main language on the island of Java. “If you spoke Indonesian, you were a bit above. If you spoke Dutch, you were at the top.”
Leaders, especially Suharto, the general who ruled Indonesia until 1998, enforced teaching of Indonesian and curbed use of English.
“During the Suharto era, Bahasa Indonesia was the only language that we could see or read. English was at the bottom of the rung,” said Aimee Dawis, who teaches communications at Universitas Indonesia. “It was used to create a national identity, and it worked, because all of us spoke Bahasa Indonesia. Now the dilution of Bahasa Indonesia is not the result of a deliberate government policy. It’s just occurring naturally.”
With Indonesia’s democratization in the past decade, experts say, English became the new Dutch. Regulations were loosened, allowing Indonesian children to attend private schools that did not follow the national curriculum, but offered English. The more expensive ones, with tuition costing several thousand dollars a year, usually employ native speakers of English, said Elena Racho, vice chairwoman of the Association of National Plus Schools, an umbrella organization for private schools.
But with the popularity of private schools booming, hundreds have opened in recent years, Ms. Racho said. The less expensive ones, unable to hire foreigners, are often staffed with Indonesians teaching all subjects in English, if often imperfect English, she added.
Many children attending those schools end up speaking Indonesian poorly, experts said. Uchu Riza — who owns a private school that teaches both languages and also owns the local franchise of Kidzania, an amusement park where children can try out different professions — said some Indonesians were willing to sacrifice Indonesian for a language with perceived higher status.
“Sometimes they look down on people who don’t speak English,” she said.
She added: “In some families, the grandchildren cannot speak with the grandmother because they don’t speak Bahasa Indonesia. That’s sad.”
Anna Surti Ariani, a psychologist who provides counseling at private schools and in her own practice, said some parents even displayed “a negative pride” that their children spoke poor Indonesian. Schools typically advise the parents to speak to their children in English at home even though the parents may be far from fluent in the language.
“Sometimes the parents even ask the baby sitters not to speak in Indonesian but in English,” Ms. Ariani said.
It is a sight often seen in this city’s malls on weekends: Indonesian parents addressing their children in sometimes halting English, followed by nannies using what English words they know.
But Della Raymena Jovanka, 30, a mother of two preschoolers, has developed misgivings. Her son Fathiy, 4, attended an English play group and was enrolled in a kindergarten focusing on English; Ms. Jovanka allowed him to watch only English TV programs.
The result was that her son responded to his parents only in English and had difficulties with Indonesian. Ms. Jovanka was considering sending her son to a regular public school next year. But friends and relatives were pressing her to choose a private school so that her son could become fluent in English.
Asked whether she would rather have her son become fluent in English or Indonesian, Ms. Jovanka said, “To be honest, English. But this can become a big problem in his socialization. He’s Indonesian. He lives in Indonesia. If he can’t communicate with people, it’ll be a big problem.”
Source : nytimes.com
Itu ane translate pake bahasa ane sendiri, cape, ga pake Google Translate ya .. mohon dihargai .. jadi ga ada bahasa aneh ..
Tanggapan ane sebagai TS :
Jujur ane sendiri bahasa amburadul ga karuan,
kadang malah berbahasa Inggris full di social media, apa daya tuntutan lingkungan dan teman.
Tapi kalau melihat berita yang ditulis oleh New York Times yang notabene surat kabar luar negeri yang miris melihat keadaan yang dialami Indonesia khususnya di kota-kota besar, hal ini perlu menjadi tanggung jawab kita bersama.
Belum lagi sekarang dari bahasa 4L4Y, bahasa Vickynisasi, bahasa JEBRET, dan lain sebagainya ..
Menurutmu, apa yang harus Indonesia lakukan untuk mencegah punahnya bahasa Indonesia yang baik dan benar?
Ini adalah berita TRAGIS dari New York Times yang dimuat tahun 2010 lalu, walaupun begitu, ane ingin mengangkat masalah ini, soalnya tragis sekali gans!
Dibaca santai saja, jangan terburu-buru, ga ada tukang tagih utang didepan pintu kok, tenang saja ..
Ini bahasan penting, yang merasa ga penting ga usah baca


Quote:
Jakarta, Indonesia – Paulina Sugiarto, ibu dari tiga orang anak yang bermain bersama di suatu hari dalam sebuah mall, bercengkrama tidak dalam Bahasa Indonesia, tetapi memakai bahasa Inggris. Kefasihan mereka mengundang pertanyaan dari orangtua kelas atas lainnya yang bertemu dengan Ibu Sugiarto dalam mall tersebut.
![[TRAGIS] BAHASA INDONESIA terancam punah beberapa tahun kedepan?](https://dl.kaskus.id/graphics8.nytimes.com/images/2010/07/26/world/INDO1/INDO1-articleLarge.jpg)
Tetapi kemampuan anak-anak berbahasa Inggris dengan fasih mengaburkan fakta bahwa meskipun mereka lahir dan tinggal di Indonesia, mereka kesulitan berbahasa Indonesia. Orangtua mereka yang biasanya tumbuh besar di Indonesia yang kemudian melanjutkan kuliah ke US atau Australia, berkomunikasi dengan anak-anaknya dalam bahasa Inggris. Dan anak mereka mengikuti sekolah swasta dengan bahasa Inggris pula sebagai kata pengantar. “Mereka tahu mereka orang Indonesia,” kata Ibu Sugiarto. “Mereka cinta Indonesia. Mereka hanya tidak bisa berbahasa Indonesia.” Ini tragis
Warisan linguistik Indonesia semakin terancam karena meningkatnya jumlah keluarga kaya dan menengah keatas yang menghindari sekolah negeri, yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai komunikasi utama, yang pengajaran bahasa Inggrisnya buruk. Mereka berpaling kepada sekolah swasta yang fokus pada bahasa Inggris dan menyisihkan sedikit waktu untuk pelajaran Indonesia.
Untuk sebagai orang Indonesia, penguasaan bahasa Inggris telah meningkat dan terkait dengan status social, bahasa Indonesia telah turun menjadi status kedua, Ekstrimnya, orang merasa bangga bila berbahasa Indonesia buruk.
Penyebaran global bahasa Inggris, yang terkadang menggerus penggunaan dari bahasa lokal, telah banyak mempengaruhi bangsa yang sebelumnya tidak berbahasa Inggris. Tapi mungkin pengaruhnya sangat terasa di Indonesia, dimana generasi yang oleh pemerintah telah dipromosikan sebagai bangsa Indonesia yang memiliki identitas bangsa dari banyak etnik, budaya kuno dan dialek yang berbeda-beda.
Pemerintah baru-baru saja ini mengumumkan bahwa mereka akan mewajibkan semua sekolah swasta untuk mengajarkan bahasa resmi bahasa Indonesia kepada muridnya di tahun 2013. Meskipun tidak jelas. “Sekolah-sekolah ini beroperasi disini, namun tidak menawarkan bahasa Indonesia untuk warga Negara kita,” kata Suyanto, yang mengawasi pendidikan dasar dan menengah di Departemen Pendidikan.
" Jika kita tidak mengatur mereka , dalam jangka panjang hal ini bisa berbahaya bagi kelangsungan bahasa kita , " kata Mr Suyanto , yang seperti kebanyakan orang Indonesia menggunakan satu kata saja . " Jika negara besar ini tidak memiliki bahasa yang kuat untuk menyatukan , itu bisa berbahaya . "
Kelihatannya, kencenderungan memilih bahasa Inggris telah mulai menarik kritik di masa sekarang ini. Tahun lalu (2009) seorang wanita (Karenina Sunny Halim), yang ber-ayahkan Indonesia dan ber-ibukan Amerika, telah dimahkotai title Miss Indonesia meskipun tidak fasih berbahasa Indonesia. Para juri kemudia dikecam di social media dan blog untuk keputusannya yang sangat terkesan oleh kefasihan berbahasa Inggris dan mengabaikan fakta bahwa meskipun tumbuh disini, ia membutuhkan penerjemah untuk menerjemahkan pertanyaan juri. Watdepak?!
Pada tahun 1928, para pejuang nasional mendapatkan kemerdekaan dari Belanda dan memilih Bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan. Sementara sebagian kecil dari orang Indonesia yang berbahasa Belanda, memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa intelektual.
Setiap Bahasa memiliki tingkatan sosial, kata Arief Rachman, seorang ahli pendidikan. “ Jika anda berbicara bahasa Jawa, ada berada di golongan bawah,” katanya, mengacu pada bahasa utama di Pulau Jawa. “Jika anda berbicara dalam bahasa Indonesia, anda sedikit di atas. Jika anda berbicara bahasa Belanda, anda berada di atas.”
Pemimpin, khususnya Soeharto, jenderal yang memerintah Indonesia sampai tahun 1998, memberlakukan pengajaran bahasa Indonesia dan menahan penggunaan bahasa Inggris. “Selama era Soeharto, Bahasa Indonesia adalah salah satunya bahasa yang bisa kita lihat dan baca. Inggris berada diluar itu.” Kata Aimee Dawis, yang mengajar bidang komunikasi di Universitas Indonesia. “Hal itu dijalankan untuk menciptakan identitas nasional, dan itu bekerja, karena kita semua berbahasa Indonesia. Sekarang pelunakkan Bahasa Indonesia bukan hasil dari kebijakan pemerintah yang disengaja. Itu hanya terjadi secara alami.”
Dengan diberlakukannya demokrasi di Indonesia beberapa tahun terakhir, para ahli mengatakan, bahasa Inggris menjadi bahasa Belanda baru. Peraturan dikendorkan, dan membiarkan anak-anak Indonesia untuk bersekolah di sekolah swasta yang tidak mengikuti kurikulum nasional, tetapi menawarkan bahasa Inggris. Semakin mahal, dengan biaya sekolah beberapa ribu dolar setahun, biasanya memperkerjakan penutur asli bahasa Inggris, kata Elena Racho, wakil ketua dari Assiasi Sekolah Nasional Plus, sebuah organisasi yang memayungi sekolah swasta di Indonesia.
Tetapi dengan semakin populernya sekolah swasta, ribuan telah dibuka dalam beberapa tahun terakhir, kata Ibu Racho. Bila sekolah swasta murah, dan tidak mampu memperkerjakan orang asing, biasanya bahasa Inggrisnya diajar oleh orang Indonesia, namun tidak sempurna, katanya.
Banyak murid yang bersekolah di sekolah swasta ternama berakhir dengan bahasa Indonesia yang buruk, kata seorang ahli. Unchu Riza, yang memiliki sekolah swasta yang mengajar dalam dua bahasa, serta memiliki waralaba Kidzania, sebuah taman hiburan dimana anak-anak dapat mencoba berbagai profesi, dia mengatakan beberapa orang Indonesia rela mengorbankan bahasa Indonesia untuk status sosial yang lebih tinggi. “terkadang mereka memandang rendah orang yang bicara tidak dalam bahasa Inggris.” Katanya. Dia menambahkan : “ Dalam beberapa keluarga, cucu tidak dapat berbicara dengan neneknya karena mereka tidak berbahasa Indonesia. Itu sangat menyedihkan.” (Ini TRAGIS GAN!)
Anna Surti Ariani, seoarang psikolog yang memberikan konseling di sekolah swasta dan membuat praktek sendiri, beberapa orangtua bahkan menampilkan harga diri yang cenderung buruk sehingga membuat anaknya berbicara Indonesia dengan buruk. Sekolah biasanya menyarankan orangtua untuk berkomunikasi dengan anak mereka dalam bahasa Inggris di rumah, walaupun mungkin tidak fasih.
“terkadang orangtua anak bahkan meminta pengasuh anak mereka untuk tidak berbahasa Indonesia melainkan Inggris, “ kata Ibu Ariani.
Ini adalah pemandangan umum yang terjadi di beberapa mall di akhir pekan.” Orangtua mengharuskan komunikasi dalam bahasa Inggris, diikuti oleh pengasuh anak yang berbahasa Inggris sepengetahuan mereka.
Della Raymena Jovanka, 30, ibu dari dua anak pra-TK, merasa dirinya was-was, anaknya Fathiy, 4, mengikuti TK Inggris yang fokus dalam bahasa Inggris, Ibu Jovanka hanya menginjinkan dia menonton acara TV dalam Bahasa Inggris.
Hasilnya adalah bahwa anaknya menanggapi orangtuanya hanya dalam bahasa Inggris dan memiliki kesulitan dengan bahasa Indonesia . Ibu Jovanka sedang mempertimbangkan mengirim anaknya ke sekolah umum reguler tahun depan . Tapi teman-teman dan kerabat yang menekan dia untuk memilih sekolah swasta agar anaknya bisa menjadi fasih dalam bahasa Inggris .
Ketika ditanya apakah ia lebih suka memiliki anaknya menjadi fasih dalam bahasa Inggris atau Indonesia , Ibu Jovanka mengatakan , " Sejujurnya , Inggris . Tapi ini bisa menjadi masalah besar dalam sosialisasi nya . Dia Indonesia . Dia tinggal di Indonesia . Jika ia tidak bisa berkomunikasi dengan orang-orang , itu akan menjadi masalah besar . "
Spoiler for English Page from NY Times:
JAKARTA, Indonesia — Paulina Sugiarto’s three children played together at a mall here the other day, chattering not in Indonesia’s national language, but English. Their fluency often draws admiring questions from other Indonesian parents Ms. Sugiarto encounters in this city’s upscale malls.
But the children’s ability in English obscured the fact that, though born and raised in Indonesia, they were struggling with the Indonesian language, known as Bahasa Indonesia. Their parents, who grew up speaking the Indonesian language but went to college in the United States and Australia, talk to their children in English. And the children attend a private school where English is the main language of instruction.
“They know they’re Indonesian,” Ms. Sugiarto, 34, said. “They love Indonesia. They just can’t speak Bahasa Indonesia. It’s tragic.”
Indonesia’s linguistic legacy is increasingly under threat as growing numbers of wealthy and upper-middle-class families shun public schools where Indonesian remains the main language but English is often taught poorly. They are turning, instead, to private schools that focus on English and devote little time, if any, to Indonesian.
For some Indonesians, as mastery of English has become increasingly tied to social standing, Indonesian has been relegated to second-class status. In extreme cases, people take pride in speaking Indonesian poorly.
The global spread of English, with its sometimes corrosive effects on local languages, has caused much hand-wringing in many non-English-speaking corners of the world. But the implications may be more far-reaching in Indonesia, where generations of political leaders promoted Indonesian to unite the nation and forge a national identity out of countless ethnic groups, ancient cultures and disparate dialects.
The government recently announced that it would require all private schools to teach the nation’s official language to its Indonesian students by 2013. Details remain sketchy, though.
“These schools operate here, but don’t offer Bahasa to our citizens,” said Suyanto, who oversees primary and secondary education at the Education Ministry.
“If we don’t regulate them, in the long run this could be dangerous for the continuity of our language,” said Mr. Suyanto, who like many Indonesians uses one name. “If this big country doesn’t have a strong language to unite it, it could be dangerous.”
The seemingly reflexive preference for English has begun to attract criticism in the popular culture. Last year, a woman, whose father is Indonesian and her mother American, was crowned Miss Indonesia despite her poor command of Indonesian. The judges were later denounced in the news media and in the blogosphere for being impressed by her English fluency and for disregarding the fact that, despite growing up here, she needed interpreters to translate the judges’ questions.
In 1928, nationalists seeking independence from Dutch rule chose Indonesian, a form of Malay, as the language of civic unity. While a small percentage of educated Indonesians spoke Dutch, Indonesian became the preferred language of intellectuals.
Each language had a social rank, said Arief Rachman, an education expert. “If you spoke Javanese, you were below,” he said, referring to the main language on the island of Java. “If you spoke Indonesian, you were a bit above. If you spoke Dutch, you were at the top.”
Leaders, especially Suharto, the general who ruled Indonesia until 1998, enforced teaching of Indonesian and curbed use of English.
“During the Suharto era, Bahasa Indonesia was the only language that we could see or read. English was at the bottom of the rung,” said Aimee Dawis, who teaches communications at Universitas Indonesia. “It was used to create a national identity, and it worked, because all of us spoke Bahasa Indonesia. Now the dilution of Bahasa Indonesia is not the result of a deliberate government policy. It’s just occurring naturally.”
With Indonesia’s democratization in the past decade, experts say, English became the new Dutch. Regulations were loosened, allowing Indonesian children to attend private schools that did not follow the national curriculum, but offered English. The more expensive ones, with tuition costing several thousand dollars a year, usually employ native speakers of English, said Elena Racho, vice chairwoman of the Association of National Plus Schools, an umbrella organization for private schools.
But with the popularity of private schools booming, hundreds have opened in recent years, Ms. Racho said. The less expensive ones, unable to hire foreigners, are often staffed with Indonesians teaching all subjects in English, if often imperfect English, she added.
Many children attending those schools end up speaking Indonesian poorly, experts said. Uchu Riza — who owns a private school that teaches both languages and also owns the local franchise of Kidzania, an amusement park where children can try out different professions — said some Indonesians were willing to sacrifice Indonesian for a language with perceived higher status.
“Sometimes they look down on people who don’t speak English,” she said.
She added: “In some families, the grandchildren cannot speak with the grandmother because they don’t speak Bahasa Indonesia. That’s sad.”
Anna Surti Ariani, a psychologist who provides counseling at private schools and in her own practice, said some parents even displayed “a negative pride” that their children spoke poor Indonesian. Schools typically advise the parents to speak to their children in English at home even though the parents may be far from fluent in the language.
“Sometimes the parents even ask the baby sitters not to speak in Indonesian but in English,” Ms. Ariani said.
It is a sight often seen in this city’s malls on weekends: Indonesian parents addressing their children in sometimes halting English, followed by nannies using what English words they know.
But Della Raymena Jovanka, 30, a mother of two preschoolers, has developed misgivings. Her son Fathiy, 4, attended an English play group and was enrolled in a kindergarten focusing on English; Ms. Jovanka allowed him to watch only English TV programs.
The result was that her son responded to his parents only in English and had difficulties with Indonesian. Ms. Jovanka was considering sending her son to a regular public school next year. But friends and relatives were pressing her to choose a private school so that her son could become fluent in English.
Asked whether she would rather have her son become fluent in English or Indonesian, Ms. Jovanka said, “To be honest, English. But this can become a big problem in his socialization. He’s Indonesian. He lives in Indonesia. If he can’t communicate with people, it’ll be a big problem.”
Source : nytimes.com
Itu ane translate pake bahasa ane sendiri, cape, ga pake Google Translate ya .. mohon dihargai .. jadi ga ada bahasa aneh ..
Tanggapan ane sebagai TS :
Jujur ane sendiri bahasa amburadul ga karuan,
kadang malah berbahasa Inggris full di social media, apa daya tuntutan lingkungan dan teman.
Tapi kalau melihat berita yang ditulis oleh New York Times yang notabene surat kabar luar negeri yang miris melihat keadaan yang dialami Indonesia khususnya di kota-kota besar, hal ini perlu menjadi tanggung jawab kita bersama.
Belum lagi sekarang dari bahasa 4L4Y, bahasa Vickynisasi, bahasa JEBRET, dan lain sebagainya ..
Menurutmu, apa yang harus Indonesia lakukan untuk mencegah punahnya bahasa Indonesia yang baik dan benar?
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 7 suara
Bahasa apa yang menurutmu paling keren dipakai saat ini?
Bahasa Indonesia yang baik dan benar
43%
I am fluent in English
14%
Bahasa Indonesia campur sari ( Indonesia, Daerah, Inggris, dll )
29%
Bahasa 4L4Y
0%
Bahasa Vickynisasi
14%
0
3.6K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan