TravestronAvatar border
TS
Travestron
Latihan posting cerita
Anakku sakit. Sudah beberapa hari. Kepalanya pusing. Tubuhnya panas, kakinya dingin. Rewel. Menangis terus. Entah penyakit apa yang hinggap di tubuh Iwan Setiawan.

Aku sedih. Benar-benar sedih dan bingung. Kalut. Aku hanya bisa memberikan obat penurun panas untuk anak bungsuku yang masih balita ini.

Aku benar-benar kerepotan.

Aku kebingungan. Kelimpungan.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan? Aku yang mesti kuperbuat?

Selama ini jika anak kami sakit(Anak kami dua orang. Wari, gadis mungil berumur 9 tahun-kelas 3 SD, dan Iwan- umur 4 tahun, masih di bangku TK), istriku yang mengurusnya. Memberi obat, menyuapinya, menghiburnya, meninabobokan. Tapi kini?

Aku tak tahu apa yang tersembunyi di benak istriku yang cantik itu yang bernama Sri Prawani. Perempuan asal desa Kemiri. Wedokan semok, seksi dan ayu.

Perempuan yang kukenal ketika kami sama-sama bekerja sebagai buruh di pabrik triplek. Pada sebuah kota tandus yang berada di ujung pulau Jawa itu

Berawal dari sering ketemu, beberapa kali janjian di warung depan pabrik, beberapa kali pergi rekreasi ke pantai Rancak, saling rindu, kemudian ia mengangguk kepala ketika aku melamarnya. Ia malu tapi mau. Khas seorang perempuan.

Jujur aku…sangat mencintainya! Aku sangat mencintai Sri Perempuan yang hanya tamatan Tsanawiyah ini beda dengan perempuan yang selama ini aku kenal dan singgah di tubuh dan hatiku.

Sri membuat tak hanya kelelakianku menjengat- tapi hatiku telah sangat cenat-cenut sejak pertama bertemu dengannya. Entah berapa ribu kali aku pernah bilang padanya. Sri, aku tresna karo kowe. I love you. Tapi sekali pun Sri tak pernah menyatakan cinta padaku.

Tapi bukankah cinta tak perlu dikatakan. Setidaknya Sri menurut ketika sebulan sebelum kami menikah resmi ia sudah menyerahkan keperawanan padaku di gubug bambu di sawah, ketika satu pagi yang cerah kami main ke kampung kakeknya, di kaki gunung Kembar.

Aku yakin jika perempuan mau berbuat begitu ia mencintai si lelaki. Sri pasti mencintaiku. Aku yakin itu. Tapi mungkin itu dulu. Sekarang? Entahlah.

Karena kata orang bijak…waktu bisa merubah segalanya. Bisa membunuh cinta. Membantai perasaan seseorang.

Aku merenung. Apakah Sri Prawani, istriku yang berumur 25 tahun itu sekarang tak lagi mencintaiku. Mengapa dia pergi meninggalkanku? Minggat. Setelah kami bertengkar. Hebat. Ribut. Biasa. Masalah uang. Duit!

Aku bukan orang kaya! Orangtuaku hanya petani gurem. Orangtua Sri Prawani juga buruh angon bebek! Aku buruh pabrik! Keturunan buruh dapat anak buruh!

Hasil bekerja di pabrik triplek sebenarnya lumayan. Bisa untuk makan, bisa untuk mengidupi kami berdua. Tapi ketika anak-anak lahir, kebutuhan bertambah, dan pendapatan kami tak mencukupi untuk hidup layak! Apalagi ketika tiba-tiba pabrik tempat kami tutup! Bangkrut!

Aku dan Sri Prawani pun menjelma sebagai penggangguran. Untung Sri Prawani kemudian bekerja di warung nasi. Serabutan. Memasak sampai cuci piring.Pendapatannya lumayan. Bisa membantu membeli susu anak kami. Tapi sial…ketika lelaki-lelaki-para sopir truk-** SENSOR ** itu!) yang makan di warung tempatnya bekerja sering menggodanya.

Aku cemburu.

Aku menyuruh Sri keluar. Sri semula keberatan, tapi akhirnya menurut. Walau sejak itu kami sering bertengkar. Sri menuntut aku bekerja.

Aku sudah mencari kerja, tapi mendapatkan kerja tentu tak semudah membalik telapak tangan.

Aku benar-benar jadi kere sejak pabrik tempatku bekerja di tutup selamanya! PHK. Pengurangan tenaga kerja. Produksi barang berkurang, karyawan harus berkurang pula. Semula aku termasuk orang beruntung karena tak kena PHK. Sebagai mandor pabrik aku masih bekerja, saban hari.

Tapi apa artinya? Kalau bekerja aku tak mendapat apa-apa. Bayaranku sudah 3 bulan tak diberikan. Alasan pabrik gaji karyawan bulanan dihutang dulu. Semula kami mencoba bertahan.

Aku terpaksa ngutang, pinjam sana-sini, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Makan, bayar kontrakan, beli susu anak.

“Kalau keadaan kayak gini terus aku tak sanggup, Kang.” Sri Prawani yang kukimpoii sepuluh tahun mengeluh.

“Sabar, dik. Keadaan enggak seperti ini selamanya”

“Sabar sabar. Sabar ada batasnya, Kang!”

“Lalu…aku harus berbuat apa?”

“Seharusnya Mas berusaha lebih keras.”

“Aku sudah berusaha, tapi hasilnya..kau lihat sendiri. Aku malah kena PHK!”

“Kerja lainnya. Cari usaha yang bisa menghasilan uang banyak!

“Usaha apa…?!”

“Cari obyekan dong. Kerja lainnya…”

Seandainya aku punya modal aku bisa buka kios rokok di depan gang. Seandainya aku punya motor aku bisa ngojek. Seandainya aku punya gitar mungkin aku bisa ngamen!

Tapi jangankan motor, sepeda pun tak punya. Kerja sebagai mandor dengsn upah pas-pasan hanya cukup untuk makan. Kantong kosong, tabungan tak ada.

“Saya malu kalau saban hari ngutang di warung. Bayar utangnya kapan?”

Aku pun pasrah ketika sore sepulang mencari kerja istri di rumah sudah tak ada, anak kami dititipkannya pada tetangga.

Wani pergi. Cari kerja. Aku bawa Wari. Mas rawat Iwan.

Istriku hanya meninggalkan 3 pesan yang ditulis dalam selembar kertas kumal. Apakah aku harus menyusulnya? Ke mana? Ongkosnya dari mana? Atau aku pulang ke kota Pantai, kotaku?

Jangan-jangan Wani pulang ke orang tuanya?

Aku tak punya wajah jika harus menyusulnya!

Pasti mertuaku menyalahkanku yang tak bertanggungjawab sebagai suami. Tapi sungguh aku tak ingin keadaan seperti ini. Aku sudah berusaha menjadi suami dan ayah yang bertanggungjawab.

Seharusnya dia mengerti keadaanku. Seharusnya dia bisa menerima aku apa adanya. Dulu aku bekerja dan kini ketika kini jadi kere!

Bukankah sebagai suami istri kita seharusnya bisa sama-sama berbagi suka duka, keadaan sakit atau sehat, miskin atau berpunya.

Tapi aku tak bisa menyalahkannya. Siapa yang betah hidup dalam kemelaratan!

Kalau dia meninggalkanku aku bisa menerimanya! Tapi mengapa dia tega pula meninggalkan Iwan! Tanpa merasa bersalah!

Seharusnya aku dulu tak tergoda paras cantik tapi hati picik!

***

Sehari dua hari kepergian istriku aku tak merasa kehilangan. Tapi ketika seminggu berlalu aku kelimpungan.

Aku kerepotan ketika saban hari harus mengurus anak. Kebetulan aku diterima kerja sebagai penjaga gudang. Saban malam berangkat, pulang pagi. Sementara anak kutitipkan pada tetangga yang baik hati.

Tapi sial, baru seminggu bekerja gudang dibobol pencuri. Aku disalahkan dan dipecat. Nasib tak memihak padaku.

Kesedihan berrtambah ketika anakku sakit. Sudah beberapa hari demam, menangis, tak mau makan, tak mau minum. Mak Itah yang biasa kutitipi memberi solusi. “Kamu harus bawa anakmu ke rumah sakit.’

“Kemarin sudah kubawa ke Puskesmas.’

“Iya, tapi bukanya sembuh, sakitnya semakin mengkhawatirkan.”

“Bidan bilang obatnya harus diminum sampai habis. Nanti kontrol lagi.”

“Bidan tahu apa, dokter pun kadang salah. Kamu harus bawa Iwan ke rumah sakit. Kamu tak ingin kehilangan anak kan?!’

Aku bingung. Aku tak ingin kehilangan anak, setelah kehilangan istri. Aku harus membawa Iwan ke rumah sakit. Tapi uangnya darimana? Tak ada lagi orang yang sudi mengulurkan uang!

Aku mencoba mendatangi teman, mencari pinjaman. Nihil. Ada pinjaman tapi harus ada agunan. Barang berharga apa yang kupunya untuk jaminan?

Aku benar-benar nelangsa.

Aku duduk di taman. Membuang resah. Seorang pengamen waria bernyanyi dan bergoyang norak lagu India “Chaiyya-chaiyya” ala Norman Kamaru- polisi yang tiba-tiba jadi selebritis.

Ah… beruntungnya dia! Kabarnya dia memilih keluar dari anggota polri karena menjadi selebriti lebih menjanjikan pendapatannya. Konon ia sudah dikontrak Perusahaan rekaman dengan nilai milyaran! Ah…!

Hei, namaku juga mirip dia. Nokman. Aku tak kalah ganteng dengan dia. Tapi nasibku jauh lebih buruk! Pengangguran, kere, melarat!

Aku tersenyum kecut melihat show si pengamen banci, dan bukannya meninggalkanku yang tak memberinya recehan, sosok berdandan menor itu malah duduk di sisi dan mengolokku. “Ganteng ganteng kok melamun? Kita pacaran aja, yuk?”

***

Perkenalan dengan seorang yang mengaku bernama Indah Purnama Dewi Selebrita Jora-Jora itu memberiku ide. Mengapa aku bekerja seperti dia, untuk sekedar mendapat rupiah, daripada menganggur. Mengapa aku tak mengamen saja?

“Mengamen uangnya cuman sedikit bang Ganteng. Mendingan ….” ia menyebut istilah yang tak lebih dari menjual tubuh. Aku bergidik. Kencan dengan sesama lelaki?

Aku memakai pakaian dalam & gaun istriku,dipadu dengan wig serta selopnya.

Aku berdandan. Malam ini aku menjajakan diri di taman. Sebagai waria. Banci.

Aku harus mengumpulkan uang. Demi membawa Iwan ke rumah sakit. Demi dapat bertahan hidup.

Ah… aku duduk di taman, tengah malam, ketika seorang lelaki muda perlente menghampiri. Menawari kencan. “Sendirian, Mbak.”

Aku mengangguk. Canggung juga. Tapi semua ini demi anakku, Iwan.

“Mbak cantik.”

“Ah biasa saja.”

“Kayaknya baru liat kali ini. Baru ya?’

Aku tersenyum.

“Temani abang yuk.”

“Asal bayarannya cocok sih.” Apakah… suaraku gemetar?

“Tentu aku bisa bayar mahal!’ dia menuntunku ke taman yang sepi di balik pohon.

Aku menarik tanganku.

“Katanya mau…?’

“Boleh sih tapi berapa abang mau bayar. Kebetulan anak sakit. Butuh uang banyak.”

“Kebetulan saya suka nolong!”

Si pemuda membawaku ke sudut taman. Di balik rerimbunan pohon. Aku mendebar apa yang akan kulakukan? Apa yang akan dilakukan pemuda…. penyuka sejenis itu?

“Mengapa bengong…?”

“Ah… gak. Kita main di sini?”

“Kasur hijau. Uang bayar hotel untuk kamu saja. Katanya anakmu sakit?”

Dia tersenyum, mengelus pundakku. Ke bawah. Aneh. Mengapa aku terbawa cumbuannya. Mungkin karena sudah sebulan lebih aku tak menikmati hubungan suami istri. Aku menggelinjang ketika dia menciumi wajahku,leherku, kemudian ia menatapku lalu membungkam mulutku dan aku merasakan sesuatu yang perih…. lelaki tersebut menancapkan pisau di dadaku,aku meronta,namun tenagaku tidak sebanding dengannya,jeritanku juga sepertinya tidak terdengar oleh siapapun,sampai nafasku terasa sesak,pandanganpun mulai kabur,anehnya aku merasakan air mani mengalir keluar membasahi celana dalam & gaunku,kemudian semuanya terlihat gelap...

***

Sebuah persawahan. Seorang pria tergeletak di sana. Dalam busana & riasan seorang wanita. Orang-orang berkerumun, tak menolong. Mereka hanya memandang, tak menyentuh. Takut atau jijik?

“Kasihan dia!”

“Banci kaleng sih….”

“Pasti dia korban seorang maniak.”

“Mengapa sih ada orang tega berbuat begitu….?”

Ia. Tergeletak pada persimpangan. Luka di tubuh meruap darah. Pekat serupa malam bergumul kabut. Pandangan matanya kosong terbelalak ke atas. Ia dinaungi kegelapan. Ia kelojotan. ….
Diubah oleh Travestron 28-03-2014 19:06
0
501
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan