- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kisah seorang sopir odong-odong menjadi relawan PSK


TS
dragonroar
Kisah seorang sopir odong-odong menjadi relawan PSK
Quote:

Sudarsono, yang bekerja untuk lokalisasi di Klakah Rejo, tidak pernah berpikir suatu hari ia akan menjadi seorang pekerja sosial – tapi ia juga tidak pernah berharap akan menjadi sopir odong-odong untuk membantu para pekerja seks komersial (PSK).
Lahir di Tuban, Jawa Timur, lebih dari 45 tahun lalu, Sudarsono dibesarkan dalam keluarga miskin, yang kurang berpendidikan dan pindah ke Klakah Rejo, di sebelah barat kota Surabaya, ketika ia masih duduk di bangku SMP.
Pada saat itu, Klakah Rejo masih semi-pedesaan, dan banyak lahan kosong dan kebun menghiasi lingkungannya. Tapi, ketika kota Surabaya diperluas, banyak warga datang ke kota itu, seiring dengan gelombang PSK ke kawasan itu yang dulunya sangat sepi, kemudian kini dijuluki “Dolly.”
Akibat terhimpit ekonomi Sudarsono menjadi tukang kayu, yang telah dijalankannya hingga hari ini.
Di rumahnya yang sederhana, dan di tengah teriknya sinar mentari ia berjalan gontai menuju odong-odongnya. Dengan kunci Inggris di tangannya, ia berbaring di bawah kolong odong-odongnya. Saatnya roda odong-odong harus diperbaiki, katanya.
“Saat saya mengendarai odong-odong itu rasanya seperti ada mur dan baut yang longgar. Roda bergoyang sedikit. Saya akan mencoba dan memperbaiki sendiri,” katanya, sambil mengusap dahinya dengan tangan yang penuh dengan gemuk.
Sudarsono mengoperasikan odong-odongnya yang berhiasan warna-warni mulai pukul 07:00-11:00 pagi, dan sore pukul 15:00-17:30 dan pelanggannya sebagian besar adalah ibu-ibu dan anak-anak yang mencari biaya murah untuk wisata lingkungan, yang juga tertarik dengan lukisan kartun berwarna-warni di sisi kendaraan itu dan speaker yang berbunyi keras dengan lagu-lagu anak populer.
Tapi, seiring dengan berjalannya waktu odong-odongnya juga menerima penumpang lain. Klakah Rejo sangat terkenal dengan kawasan lampu merah, dan salah satu klien utama Sudarsono sebenarnya adalah para PSK, yang ia jemput untuk pemeriksaan kesehatan di puskesmas setempat, dua kali seminggu.
Sadar akan jumlah PSK yang semakin bertumbuh di sekitar tempat itu pada awal tahun 1990, Sudarsono cenderung menjauhkan diri dari bisnis tersebut, mengejar kariernya sebagai tukang kayu setelah tamat SMP.
Tapi, gajinya sebagai tukang kayu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, termasuk membiayai sekolah adik-adiknya.
Kesempatan itu datang tahun 1994 untuk menjadi seorang perwira berpangkat rendah yang bertugas memonitor kesejahteraan dan kesehatan para PSK lokal, ia tidak ragu menerima pekerjaan itu.
Pada siang hari ia bekerja sebagai tukang kayu, dan pada malam hari ia menjadi pekerja sosial.
Sembilan belas tahun kemudian, Sudarsono lebih mengabdikan diri untuk melayani para PSK secara sukarela untuk menghantar mereka memeriksa HIV dan infeksi menular seksual lainnya.
Salah satu aspek yang paling sulit dari karyanya melibatkan PSK dan mucikari mereka tentang pentingnya pemeriksaan rutin, terutama karena para wanita itu takut pergi sendiri – menjadi kendala utama bagi Sudarsono, yang selama bertahun-tahun hanya bisa membawa mereka dengan sepeda motor.
“Saat ini di Klakah Rejo terdapat 75 rumah bordil dengan total 215 PSK,” katanya. “Saya bertugas menghantar mereka ke klinik satu per satu dengan sepeda motor saya.”
Sudarsono menerima bayaran kecil, sementara ia masih tidak bisa menutupi biaya hidup keluarganya.
Meskipun ia telah bersama pemerintah menangani pekerjaan ini selama hampir 20 tahun, status “staf PNS” sementara dan upah kecil namun ia tidak pernah mendapat posisi permanen atau kenaikan gaji.
Istri Sudarsono, Sukiati, 42, awalnya tidak setuju suaminya bekerja sangat erat dengan PSK, tapi setelah melihat suaminya tetap setia dia mulai mendukungnya.
Karena dia memahami pentingnya pekerjaan suaminya dan dengan melihat sejumlah PSK meninggal akibat penyakit HIV/AIDS, Sukiati ingin membantu Sudarsono menjadi pekerjaan sosial juga.
Sejak awal ia mendukung suaminya menjadi seorang relawan, dan dia masih tidak menerima gaji untuk pekerjaan tersebut, tetapi keterlibatannya sekarang penting bagi Sudarsono.
Sebagai seorang wanita, Sukiati ikut terlibat menangani para PSK, dan secara perlahan-lahan membangun kepercayaan mereka untuk secara sukarela memeriksa kesehatan mereka ke klinik.
Tapi, ada banyak rintangan yang dihadapi Sudarsono dan Sukiati, terutama dalam meyakinkan pemerintah akan pentingnya kendaraan yang lebih besar untuk mengangkut para PSK tersebut.
“Saya menyampaikan ini pada pertemuan rutin dengan para pejabat dan mereka bilang saya bisa menggunakan mobil milik kantor kecamatan,” kata Sudarsono.
Tapi, Sudarsono harus menghadapi proses birokrasi yang berbelit termasuk menulis aplikasi, kemudian mengirimkannya ke berbagai pejabat untuk ditandatangani, namun ia harus menunggu berjam-jam, berhari-hari dan bahkan minggu.
Pada saat ia diberi lampu hijau untuk menggunakan kendaraan dinas, banyak PSK telah mengubah pikiran mereka untuk tidak pergi ke klinik.
Dalam sebuah pertemuan dengan pemerintah lokal dimana ia mengangkat kembali masalah yang ia hadapi, Sudarsono menyarankan mereka untuk memberikan kendaraan roda tiga sehingga ia bisa mengangkut lebih banyak perempuan tersebut.
“Semua orang pada pertemuan itu menertawakan ide saya,” kenangnya. Seorang pejabat merasa lucu karena ia menggunakan odong-odong untuk mengangkut PSK.
Dia mengambil kredit kendaraan roda tiga buatan Cina dengan bak di belakang. Dengan kepingan logam yang tidak terpakai dan bagian mobil yang dibuang, di waktu luang ia pergi ke toko logam temannya untuk belajar bagaimana untuk mengelas, memotong dan membentuk potongan logam menjadi bagian-bagian untuk menjadi odong-odong.
Seiring waktu, tempat duduk odong-odong itu memiliki frame yang bagus, kemudian Sudarsono mencatnya dengan warna merah, dan bangku-bangku dibuat hingga 10 penumpang.
Selembar plastik bening dipasang bagian samping, dengan dilakban, yang berfungsi melindungi para penumpang dari hujan, sementara selembar terpal putih sebagai atap, untuk melindungi dari panas yang membakar.
Sudarsono memodifikasi odong-odongnya dengan karya seni, dan meskipun jauh dari profesional, ia merasa bangga dengan usahanya.
Akhirnya, odong-odong beroperasi. Selain sebagai tukang kayu, dua kali seminggu ia menghantar para PSK ke klinik.
“Dari ratusan PSK disini kita beruntung jika kita bisa mendapatkan 10 PSK untuk memeriksa kesehatan mereka dengan mengetuk pintu hati mereka dan pembicaraan panjang. Agar mereka bisa memahami pentingnya check-up dilakukan pertempuran terus-menerus,” katanya.
Tapi, ia menambahkan, ia telah melihat keberhasilan meningkatkan secara substansial karena ia telah membuka jalan bagi perempuan untuk bepergian sebagai sebuah kelompok.
Namun, belum lama ini, karya Sudarsono telah menghadapi kendala lain. Setelah tekanan dari kelompok-kelompok Islam garis keras, pemerintah Surabaya secara resmi “menutup” lokalisasi Klakah Rejo bulan lalu, dengan menutup banyak tempat bordil di sana.
Para wanita diberitahu untuk berkemas dan meninggalkan kawasan itu. Masing-masing mereka dijanjikan dana sebesar Rp 3 juta dan tambahan Rp 1,45 juta untuk menutupi biaya hidup selama satu bulan, sementara klinik diperintahkan untuk tidak menerima PSK untuk pemeriksaan kesehatan.
Para PSK menunggu uang yang dijanjikan tersebut, tetapi tidak pernah terwujud, yang memaksa banyak PSK menjalankan kembali pekerjaannya secara diam-diam.
“Karena sikap keras mereka tidak pergi untuk check-up, dengan menutup lokalisasi itu mereka masih bisa menyebarkan penyakit,” kata Sudarsono, seraya menambahkan ia khawatir bahwa penutupan akan melemahkan kampanye kesadaran HIV/AIDS.
Infeksi HIV di Indonesia meningkat lebih dari 25 persen pada orang dewasa berusia 15-49 tahun dari 2001-2011, demikian UNAIDS 2012 Global Report.
Sementara hanya 0,3 persen dari populasi menderita HIV, tingkat prevalensi hampir 9 persen di kalangan PSK.
Pemerintah mengharapkan para PSK meninggalkan lokalisasi itu, tetapi kenyataan mereka hanya pindah ke lokasi baru.
“Banyak PSK dari Dupak Bangunsari (lokalisasi lain di Surabaya) baru-baru ini ditutup dan mereka pindah ke daerah sekitar tanggul Kali Porong,” kata Hari Tsabit dari Lembaga Genta Surabaya, yang menyediakan bantuan bagi PSK untuk mencegah HIV/AIDS.
Sudarsono mengatakan pemerintah tidak berpikir tentang risiko kesehatan apalagi mereka beroperasi secara diam-diam.
The Jakarta Globe
Quote:

Diubah oleh dragonroar 18-09-2013 20:48
0
2.6K
Kutip
17
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan