- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[soal sertifikat halal] syarat dan biaya mengurus sertifikasi halal


TS
weirdheriawan
[soal sertifikat halal] syarat dan biaya mengurus sertifikasi halal
Ane cuma nemu PDF yang Jambi... Tapi kalo sama2 MUI harusnya nggak jauh beda kan ya? 
http://jambi.kemenag.go.id/file/file...1373589091.pdf
Di istu disebut biaya sertifikasi tergantung jumlah Outlet, jumlah produk, dan kerumitan produk...
Panjang jelasinnya, mending buka sendiri aja ya...
berikut beberapa berita & blog post soal sertifikasi halal
Kata MUI-nya
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa halal untuk produk sebanyak 4000-6000 sertifikat setiap tahun. Menurut Sekretaris Jenderal Ichwan Sam, ada yang diberikan gratis, tapi ada juga yang membayar. "Biayanya berkisar Rp 250 ribu hingga Rp 4 juta,"kata Ichwan ketika dihubungi Selasa, 12 Maret 2013.
Ichwan menuturkan, sertifikat yang diberikan gratis untuk usaha-usaha kecil yang menginginkan label halal, tetapi tidak mempunyai biaya. MUI bekerja sama dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Agama atau Kementerian Industri. Kementerian akan mengumpulkan para pengusaha kecil. Lalu setelah diperiksa akan dikeluarkan sertifikat.
Sedangkan untuk pengusaha lainnya, kata Ichwan, biaya sertifikasi tergantung besarnya omzet usaha. "Pastinya sertifikasi halal untuk Indomie berbeda dengan mie yang omzetnya kecil," kata Ichwan. Masa berlaku sertifikat halal ini berjangka dua tahun dan dapat diperbarui setelah itu.
Ichwan menuturkan, pendapatan dari pemberian sertifikasi halal ini tidak menyumbang angka yang luar biasa bagi operasional MUI. Pendanaan MUI biasanya lebih banyak lewat APBN, kerja sama dengan instansi terkait, atau sumbangan dari donatur perorangan.
"Intinya, kami lebih mengutamakan pelayanan umat daripada mencari keuntungan," kata Ichwan. Sedangkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, MUI mendapatkan bantuan sosial senilai Rp 3 miliar setiap tahun sejak 2004.
http://www.tempo.co/read/news/2013/0...rtifikat-Halal
Pantes yang diincer perusahaan2 besar....
Kalo yg perusahaan kecil harus make uang subsidi-nya...
Ternyata yg tau halal ato nggaknya cuma MUI...
Jakarta - Spesifikasi kandungan produk yang diberi label halal di Indonesia masih diragukan. Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Khofifah Indar Parawangsa mengaku lebih pilih produk kosmetik impor dibandingkan kosmetik dalam negeri.
Apa alasan Khofifah memilih kosmetik luar negeri? Menurutnya, label halal produk dalam negeri masih belum jelas, karena komposisi kandungan produk tidak dijelaskan secara spesifik di dalam produk.
"Saya pakai kosmetik klinik dari luar karena itu komposisinya jelas sehingga sudah pasti halalnya dan produk yang saya pakai tidak menggunakan unsur hewani, jadi aman," cetus Khofifah usai acara sosialisasi Konsumen Cerdas di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (17/12/2012).
Khofifah mengaku, dirinya juga tidak berani menggunakan sepatu buatan dalam negeri yang menggunakan bahan dari kulit. Itu karena lagi-lagi Indonesia belum memiliki standar ketelitian soal kehalalan produknya.
"Sama saja, sepatu kulit buatan dalam negeri juga belum jelas kehalalannya. Berbeda dengan di Malaysia dan Singapura yang ada spesifikasi label," ujarnya.
Khofifah menyatakan, dirinya meminta kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk bersinergi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam memberikan perlindungan kepada konsumen terkait barang yang mereka konsumsi.
"Kalau bisa Kemendag disinergikan dengan MUI dan BPOM akan lebih baik. Semakin tinggi angka per kapitanya maka semakin pilih-pilih masyarakat terhadap makanan yang dikonsumsi," ungkap Khofifah.
Menurutnya, BPOM harus bekerja keras dalam memilih konten-konten yang terdapat di dalam makanan. "Banyak ingredient (komposisi) dalam makanan yang tidak dikenal. Sertifikasi halal perlu sekali, ini harus berseiring. Kalau ikhtiar Kemendag bersinergi maka akan ada proses akselerasi secara komprehensif," kata Khofifah.
Tak hanya itu, dia berpendapat, mengedukasi konsumen secara sehat tidak hanya pada jenis makanan yang dikonsumsi tapi untuk memilih dan tahu makanan yang dikonsumsi tersebut halal.
"Sejauh ini, saya kelilingi plaza yang ada di Jakarta, belum ada ketelitian. Tugas Kemendag untuk mengedukasi masyarakat soal ketelitian pemilihan barang yang dikonsumsi," ujarnya.
Khofifah mencontohkan, di Singapura saja mereka sudah membuat klasifikasi jenis-jenis produk mana yang halal dan tidak. "Misalkan itu dari kulit apa, jadi konsumen tahu. Di Malaysia juga begitu memberi kualifikasi itu, di sana ditulis jadi jelas. Kita belum memberikan perlindungan konsumen secara baik. Nantinya pemda sama pemprov harus mengikuti ikhtiar yang dikomandani Kemendag," cetusnya.
[url]http://finance.detik..com/read/2012/12/17/145324/2120564/4/khofifah-pilih-kosmetik-impor-karena-produk-berlabel-halal-di-ri-tak-dilengkapi-komposisi[/url]
Jadi intinya: Percaya aja sama MUI, nggak usah nanya macem2, pokoknya udah ada sertifikat halal, ya artinya halal...
hmm...
Jadi Ulama harus masuk MUI ya?
Edit
Sekarang MUI-nya ngancem....
http://www.republika.co.id/berita/na...halal-ke-media
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan batas waktu hingga akhir Oktober bagi seluruh restoran franchise atau non-franchise untuk mengurus label halal ke MUI.
Kepada Republika, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI, Lukmanul Hakim mengungkapkan, pihaknya telah bekerjasama dengan Dirjen Perdagangan memberi tenggat tiga bulan sejak awal puasa lalu kepada restoran franchise atau non-franchise ternama itu agar mengurus label halal ke MUI.
Namun, terang dia, mereka hingga beberapa bulan ini tidak mengindahkan anjuran MUI. "Mereka menunjukkan keengganan mengurus label halal ke MUI, kita beri waktu hingga akhir Oktober," ujarnya, Selasa (24/9).
LPPOM MUI menilai ada dua hal yang membuat restoran waralaba dan non-waralaba ternama itu enggan mengurus label halal MUI.
Pertama, jelas dia, karena mereka sudah yakin bila kandungan makanan di restorannya haram. Sehingga mereka menganggap untuk apa mengurus label halal, dengan kandungan makanan non halal. Kedua, menurut dia, pihak resto ragu, karena kemungkinan produk makanan mereka bercampur antara yang halal dan haram.
Pihaknya juga sudah mengirim surat ke pihak resto untuk segera mengurus pelabelan halal ini. Apabila hingga akhir Oktober resto franchise atau non franchise ternama itu tidak mau mengurus label halal.
Maka, tegas dia, LPPOM MUI akan mengundang media dan mendeklarasikan mana saja, restoran yang dengan sengaja abai dan enggan mengurus label halal MUI.

http://jambi.kemenag.go.id/file/file...1373589091.pdf
Di istu disebut biaya sertifikasi tergantung jumlah Outlet, jumlah produk, dan kerumitan produk...
Panjang jelasinnya, mending buka sendiri aja ya...

berikut beberapa berita & blog post soal sertifikasi halal
Quote:
Kata MUI-nya
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa halal untuk produk sebanyak 4000-6000 sertifikat setiap tahun. Menurut Sekretaris Jenderal Ichwan Sam, ada yang diberikan gratis, tapi ada juga yang membayar. "Biayanya berkisar Rp 250 ribu hingga Rp 4 juta,"kata Ichwan ketika dihubungi Selasa, 12 Maret 2013.
Ichwan menuturkan, sertifikat yang diberikan gratis untuk usaha-usaha kecil yang menginginkan label halal, tetapi tidak mempunyai biaya. MUI bekerja sama dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Agama atau Kementerian Industri. Kementerian akan mengumpulkan para pengusaha kecil. Lalu setelah diperiksa akan dikeluarkan sertifikat.
Sedangkan untuk pengusaha lainnya, kata Ichwan, biaya sertifikasi tergantung besarnya omzet usaha. "Pastinya sertifikasi halal untuk Indomie berbeda dengan mie yang omzetnya kecil," kata Ichwan. Masa berlaku sertifikat halal ini berjangka dua tahun dan dapat diperbarui setelah itu.
Ichwan menuturkan, pendapatan dari pemberian sertifikasi halal ini tidak menyumbang angka yang luar biasa bagi operasional MUI. Pendanaan MUI biasanya lebih banyak lewat APBN, kerja sama dengan instansi terkait, atau sumbangan dari donatur perorangan.
"Intinya, kami lebih mengutamakan pelayanan umat daripada mencari keuntungan," kata Ichwan. Sedangkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, MUI mendapatkan bantuan sosial senilai Rp 3 miliar setiap tahun sejak 2004.
http://www.tempo.co/read/news/2013/0...rtifikat-Halal
Pantes yang diincer perusahaan2 besar....
Kalo yg perusahaan kecil harus make uang subsidi-nya...

Quote:
Ternyata yg tau halal ato nggaknya cuma MUI...
Jakarta - Spesifikasi kandungan produk yang diberi label halal di Indonesia masih diragukan. Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Khofifah Indar Parawangsa mengaku lebih pilih produk kosmetik impor dibandingkan kosmetik dalam negeri.
Apa alasan Khofifah memilih kosmetik luar negeri? Menurutnya, label halal produk dalam negeri masih belum jelas, karena komposisi kandungan produk tidak dijelaskan secara spesifik di dalam produk.
"Saya pakai kosmetik klinik dari luar karena itu komposisinya jelas sehingga sudah pasti halalnya dan produk yang saya pakai tidak menggunakan unsur hewani, jadi aman," cetus Khofifah usai acara sosialisasi Konsumen Cerdas di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (17/12/2012).
Khofifah mengaku, dirinya juga tidak berani menggunakan sepatu buatan dalam negeri yang menggunakan bahan dari kulit. Itu karena lagi-lagi Indonesia belum memiliki standar ketelitian soal kehalalan produknya.
"Sama saja, sepatu kulit buatan dalam negeri juga belum jelas kehalalannya. Berbeda dengan di Malaysia dan Singapura yang ada spesifikasi label," ujarnya.
Khofifah menyatakan, dirinya meminta kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk bersinergi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam memberikan perlindungan kepada konsumen terkait barang yang mereka konsumsi.
"Kalau bisa Kemendag disinergikan dengan MUI dan BPOM akan lebih baik. Semakin tinggi angka per kapitanya maka semakin pilih-pilih masyarakat terhadap makanan yang dikonsumsi," ungkap Khofifah.
Menurutnya, BPOM harus bekerja keras dalam memilih konten-konten yang terdapat di dalam makanan. "Banyak ingredient (komposisi) dalam makanan yang tidak dikenal. Sertifikasi halal perlu sekali, ini harus berseiring. Kalau ikhtiar Kemendag bersinergi maka akan ada proses akselerasi secara komprehensif," kata Khofifah.
Tak hanya itu, dia berpendapat, mengedukasi konsumen secara sehat tidak hanya pada jenis makanan yang dikonsumsi tapi untuk memilih dan tahu makanan yang dikonsumsi tersebut halal.
"Sejauh ini, saya kelilingi plaza yang ada di Jakarta, belum ada ketelitian. Tugas Kemendag untuk mengedukasi masyarakat soal ketelitian pemilihan barang yang dikonsumsi," ujarnya.
Khofifah mencontohkan, di Singapura saja mereka sudah membuat klasifikasi jenis-jenis produk mana yang halal dan tidak. "Misalkan itu dari kulit apa, jadi konsumen tahu. Di Malaysia juga begitu memberi kualifikasi itu, di sana ditulis jadi jelas. Kita belum memberikan perlindungan konsumen secara baik. Nantinya pemda sama pemprov harus mengikuti ikhtiar yang dikomandani Kemendag," cetusnya.
[url]http://finance.detik..com/read/2012/12/17/145324/2120564/4/khofifah-pilih-kosmetik-impor-karena-produk-berlabel-halal-di-ri-tak-dilengkapi-komposisi[/url]
Jadi intinya: Percaya aja sama MUI, nggak usah nanya macem2, pokoknya udah ada sertifikat halal, ya artinya halal...

Quote:
Monopoli sertifikasi halal
TEMPO Interaktif, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan tak ikut tanggungjawab terhadap kehalalan produk yang sertifikatnya tak dikeluarkan oleh pihaknya. Ketua MUI Ma'ruf Amin menyatakan sertifikat merupakan hukum dalam bentuk fatwa yang tertulis dan yang berkompeten menetapkannya adalah ulama. "Kalau yang mengeluarkan pihak lain yang tidak berkompeten berarti tidak sah," katanya dalam jumpa pers usai diskusi mengenai Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal di kantornya, Kamis (23/7).
MUI menentang kewenangan mengeluarkan sertifikat halal diserahkan kepada pihak lain selain oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika yang dinaunginya. Meski ada kitab fiqih dan tafsir yang dapat menjadi panduan masyarakat, tetapi ada pertimbangan-pertimbangan lain yang digunakan dalam menetapkan kehalalan suatu produk. Menetapkan fatwa tak sederhana hanya berdasarkan panduan teknis.
Fatwa harus dikeluarkan oleh pihak yang berkompeten, jika dikeluarkan oleh pihak lain meski dengan panduan yang benar, hasilnya tetap tidak sah. Apabila RUU Jaminan Produk Halal disahkan dengan tidak mengikutsertakan MUI, maka sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga lain dianggap tak sah. Namun, jika masyarakat meminta MUI menguji kembali, maka hal itu akan dilakukan.
Saat ini rancangan undang-undang tersebut masih dalam pembahasan. DPR dan pemerintah belum menetapkan pihak yang memiliki otoritas mengeluarkan sertifikat halal. Ada tiga opsi yakni, pertama, kewenangan dijalankan oleh Majelis Ulama Indonesia dengan dukungan pemerintah karena MUI sudah memliki perwakilan hingga daerah. Kedua, dijalankan oleh negara dibawah koordinasti menteri, lembaga bisa baru atau gabung dengan Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan dibawah Departemen Kesehatan. Ketiga, proses sertifikasi diserahkan penuh ke pihak swasta.
Ma'ruf berharap apabilah rancangan disahkan, hasilnya akan memperkuat proses sertifikasi yang ada saat ini. Sertifikasi diwajibkan agar masyarakat memiliki kejelasan dalam mengkonsumsi setiap produk. Pengawasan dilakukan agar setiap produk diberi label halal dan ada pemberian sanksi kepada produsen yang memberi label halal tetapi tak bersertifikat.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia Nadratuzzaman Hosen mengatakan sertifikat hala bukan lagi terbatas pada isu agama dan politik tetapi juga perdagangan. Produsen berkepentingan untuk memberi kepastian halal kepada pasarnya, "tujuannya untuk melindungi masyarakat muslim,"katanya.
Produsen produk tak halal bukan disingkirkan tetapi kandungan produknya menjadi jelas buat masyarakat sehingga masyarakat tak ragu-ragu lagi untuk mengkonsumsi pilihan produk halal dan non halal. menurutnya MUI memiliki standar sertifikasi yang diakui internasional, bahkan beberapa negara melakukan penyesuaian proses sertifikasi dengan MUI.
http://www.tempo.co/read/news/2009/0...tifikasi-Halal
TEMPO Interaktif, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan tak ikut tanggungjawab terhadap kehalalan produk yang sertifikatnya tak dikeluarkan oleh pihaknya. Ketua MUI Ma'ruf Amin menyatakan sertifikat merupakan hukum dalam bentuk fatwa yang tertulis dan yang berkompeten menetapkannya adalah ulama. "Kalau yang mengeluarkan pihak lain yang tidak berkompeten berarti tidak sah," katanya dalam jumpa pers usai diskusi mengenai Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal di kantornya, Kamis (23/7).
MUI menentang kewenangan mengeluarkan sertifikat halal diserahkan kepada pihak lain selain oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika yang dinaunginya. Meski ada kitab fiqih dan tafsir yang dapat menjadi panduan masyarakat, tetapi ada pertimbangan-pertimbangan lain yang digunakan dalam menetapkan kehalalan suatu produk. Menetapkan fatwa tak sederhana hanya berdasarkan panduan teknis.
Fatwa harus dikeluarkan oleh pihak yang berkompeten, jika dikeluarkan oleh pihak lain meski dengan panduan yang benar, hasilnya tetap tidak sah. Apabila RUU Jaminan Produk Halal disahkan dengan tidak mengikutsertakan MUI, maka sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga lain dianggap tak sah. Namun, jika masyarakat meminta MUI menguji kembali, maka hal itu akan dilakukan.
Saat ini rancangan undang-undang tersebut masih dalam pembahasan. DPR dan pemerintah belum menetapkan pihak yang memiliki otoritas mengeluarkan sertifikat halal. Ada tiga opsi yakni, pertama, kewenangan dijalankan oleh Majelis Ulama Indonesia dengan dukungan pemerintah karena MUI sudah memliki perwakilan hingga daerah. Kedua, dijalankan oleh negara dibawah koordinasti menteri, lembaga bisa baru atau gabung dengan Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan dibawah Departemen Kesehatan. Ketiga, proses sertifikasi diserahkan penuh ke pihak swasta.
Ma'ruf berharap apabilah rancangan disahkan, hasilnya akan memperkuat proses sertifikasi yang ada saat ini. Sertifikasi diwajibkan agar masyarakat memiliki kejelasan dalam mengkonsumsi setiap produk. Pengawasan dilakukan agar setiap produk diberi label halal dan ada pemberian sanksi kepada produsen yang memberi label halal tetapi tak bersertifikat.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia Nadratuzzaman Hosen mengatakan sertifikat hala bukan lagi terbatas pada isu agama dan politik tetapi juga perdagangan. Produsen berkepentingan untuk memberi kepastian halal kepada pasarnya, "tujuannya untuk melindungi masyarakat muslim,"katanya.
Produsen produk tak halal bukan disingkirkan tetapi kandungan produknya menjadi jelas buat masyarakat sehingga masyarakat tak ragu-ragu lagi untuk mengkonsumsi pilihan produk halal dan non halal. menurutnya MUI memiliki standar sertifikasi yang diakui internasional, bahkan beberapa negara melakukan penyesuaian proses sertifikasi dengan MUI.
http://www.tempo.co/read/news/2009/0...tifikasi-Halal
hmm...
Jadi Ulama harus masuk MUI ya?

Edit
Sekarang MUI-nya ngancem....

http://www.republika.co.id/berita/na...halal-ke-media
Quote:
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan batas waktu hingga akhir Oktober bagi seluruh restoran franchise atau non-franchise untuk mengurus label halal ke MUI.
Kepada Republika, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI, Lukmanul Hakim mengungkapkan, pihaknya telah bekerjasama dengan Dirjen Perdagangan memberi tenggat tiga bulan sejak awal puasa lalu kepada restoran franchise atau non-franchise ternama itu agar mengurus label halal ke MUI.
Namun, terang dia, mereka hingga beberapa bulan ini tidak mengindahkan anjuran MUI. "Mereka menunjukkan keengganan mengurus label halal ke MUI, kita beri waktu hingga akhir Oktober," ujarnya, Selasa (24/9).
LPPOM MUI menilai ada dua hal yang membuat restoran waralaba dan non-waralaba ternama itu enggan mengurus label halal MUI.
Pertama, jelas dia, karena mereka sudah yakin bila kandungan makanan di restorannya haram. Sehingga mereka menganggap untuk apa mengurus label halal, dengan kandungan makanan non halal. Kedua, menurut dia, pihak resto ragu, karena kemungkinan produk makanan mereka bercampur antara yang halal dan haram.
Pihaknya juga sudah mengirim surat ke pihak resto untuk segera mengurus pelabelan halal ini. Apabila hingga akhir Oktober resto franchise atau non franchise ternama itu tidak mau mengurus label halal.
Maka, tegas dia, LPPOM MUI akan mengundang media dan mendeklarasikan mana saja, restoran yang dengan sengaja abai dan enggan mengurus label halal MUI.
Diubah oleh weirdheriawan 26-09-2013 17:27
0
7.1K
Kutip
53
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan