- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Peraih IPK Tertinggi UGM 2013 adalah si Penemu Teknologi Pemanen Kabut


TS
vioput
Peraih IPK Tertinggi UGM 2013 adalah si Penemu Teknologi Pemanen Kabut

Welcome To My Thread

Quote:
Spoiler for Tersangka:

Universitas Gadjah Mada kembali mewisuda 1.716 lulusan dari program sarjana, selasa (27/8). Dari ribuan mahasiswa yang diwisuda tersebut, Aditya Riski Taufani dari prodi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, menjadi satu-satunya lulusan yang meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), 4,00. Pria kelahiran Semarang, 21 tahun silam ini pun didaulat untuk memberi pidato sambutan mewakili wisudawan.
Putra dari pasangan Suharno dan Agustiati ini mengatakan waktu kuliah empat tahun yang ditempuh para lulusan UGM tidak lepas dari sumbangsih bantuan dari berbagai pihak, yakni dosen, tenaga kependidikan hingga institusi lain di luar UGM yang memberikan bantuan beasiswa untuk kelancaran studi.
Namun demikian, menurutnya, prestasi tidak ditentukan dari nilai IPK tinggi. Ia berpendapat, semua orang bisa berprestasi asal tahu potensi dirinya sendiri dan kemudian mampu mengembangkan dan menggunakannya untuk kepentingan masyarakat. “Saat ini kita memasuki era meritokrasi, era dimana prestasi kita yang menentukan adalah kita sendiri, bukan orang tua, kolega ataupun kedaerahan,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, ia mengajak para lulusan UGM lainnya ikut berkontribusi bagi pembangunan bangsa ditengah persoalan defisit integritas. Diakuinya integritas bukan hanya jujur namun juga juga mampu menjunjung tinggi kebenaran. “Saat ini menjadi barang langka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata pria yang lulus dalam waktu 3 tahun 10 bulan ini.
Sebagai anak bangsa, ujar Aditya, sudah saatnya para pemuda untuk berhenti saling menghujat, mengutuk dan membesarkan kekurangan bangsa. “Toh, tidak ada bangsa yang sempurna. Buang semua pesimisme karena kita adalah masa depan bangsa ini,” tandasnya.
Rektor UGM Prof. Dr. Pratikno, M,Soc., Sc., dalam kesempatan tersebut mengaku terprovokasi dari pidato Aditya, sampai-sampai ia tidak membacakan teks naskah pidato yang telah ditulisnya. Pratikno pun sependapat dengan Aditya bahwa lulusan UGM yang mencapai 200-an ribu memiliki peluang untuk berkiprah bagi pembangunan bangsa Indonesia. Namun begitu, masih ada persoalan bangsa yang kini harus dipecahkan bersama, “Persoalan korupsi yang masih mendera,” ungkapnya.
Menurutnya, ia tidak henti-hentinya mengingatkan para lulusan agar selalu meningkatkan etika moralitas. ”Bahwa kita lulusan UGM harus menjadi tauladan. Lulusan perguruan tinggi yang menjadi rujuan bagi anak muda Indonesia,” katanya.
Di wisuda program sarjana kali ini, studi rata-rata para lulusan adalah 4 tahun 4 bulan dengan waktu studi tersingkat ditempuh oleh Bella Chyntiara dari prodi Akuntasni yang lulus dalam waktu 3 tahun 2 bulan. Lulusan termuda diraih Wahyu Kusuma Astuti dari prodi Perencanaan Wilayah dan Kota yang lulus dalam usia 20 tahun 1 bulan 19 hari. Rerata Indeks Prestasi Kumulatif lulusan adalah 3,30. Adapun persentase yang berpredikat cumlaude sebanyak 517 orang atau 30,16 persen dari seluruh lulusan yang diwisuda. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Sumber 1
Facebook tersangka
Ane setuju banget ama pidatonya si Aditya nih, generasi muda harusnya emang semangat, idealis dan menciptakan hal² yg real bisa bermanfaat buat masyarakat banyak.
Quote:
Mahasiswa UGM Temukan Teknologi Pemanen Kabut
Ada fenomena krisis air di daerah ketinggian yang kerap berkabut.
Kekeringan dalam jangka panjang memunculkan krisis air. Kondisi ini tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia timur saja, tetapi juga di berbagai daerah Indonesia lainnya termasuk di daerah dataran tinggi.
Salah satu dataran tinggi yang kerap kekurangan air bersih misalnya Dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Ketika musim kemarau tiba, sumur-sumur warga dusun terluar dari Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Temanggung ini dapat dipastikan tidak mengeluarkan air, bahkan mengering.
Sementara dari hasil penelitian yang pernah dilakukan Badan Geologi Jawa Tengah, untuk mengatasi kekeringan dengan membuat sumur artesis sedalam 200 meter. Sayangnya, penggalian pun tidak membuahkan hasil yang memadai sehingga masyarakat masih harus bersusah payah mendapatkan mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun pertanian.
Sementara di sisi lain, Dusun Ngoho yang berada di dataran tinggi Ungaran ini memiliki potensi kabut yang cukup tinggi yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengurangi krisis air di wilayah tersebut. Kabut hampir setiap harinya muncul meskipun di saat kemarau. Hanya saja potensi yang ada belum dimanfaatkan karena kendala teknologi.
Melihat kenyataan itu, sejumlah mahasiswa Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada yaitu Aditya Riski Taufani, Puji Utomo, Taufiq Ilham Maulana, dan Musofa tergerak untuk membantu mengatasi masalah krisis air yang melanda warga Dusun Ngoho dengan menerapkan teknologi pemanen kabut. Teknologi yang diterapkan dapat digunakan untuk menangkap dan mengumpulkan air dalam kabut sehingga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Melalui teknologi ini diharapkan dapat mengatasi kekeringan di musim kemarau yang terjadi di Dusun Ngoho,” kata Aditya, ketua tim pengembang pemanen kabut di Kampus UGM, dalam siaran pers Kamis 11 April 2013.
Pengembangan teknologi pemanen kabut lahir dari Progam Kreatifitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian 2013 yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fatchan Nurrochmad, M.Agr., mereka pun memulai mengembangkan teknologi pemanen kabut sejak bulan Februari lalu.
Cara Kerja Sederhana
Aditya menuturkan teknologi pemanen kabut yang dikembangkan sangat sederhana, hanya berbentuk jaring dari poliprofilen berbahan plastik yang ditopang dengan dua tiang penyangga. Alat pemanen kabut ini bekerja secara manual sebagi penjerat atau penangkap kabut. Kabut di udara yang tertangkap jaring kemudian dialirkan melalui paralon yang selanjutnya ditampung dalam jerigen. “Alat yang kami kembangkan ini cukup sederhana dan sangat ekonomis sehingga sangat memungkinkan diproduksi masyarakat secara massal,” ujarnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan sejak Februari silam, dari 1 buah instalasi pemanen kabut bisa diperoleh seitar 1,5 hingga 3 liter air setiap harinya. Sementara sampai saat ini Puji dan kawan-kawan baru memasang dua instalasi pemanen kabut sebagai pilot project untuk menentukan seberapa besar debet air yang bisa dikumpulkan setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kendati begitu, ia tetap optimis ke depan jika sudah banyak terpasang instalasi pemanen kabut, air yang didapat bisa dipakai untuk mencukupi kebutuhan warga setempat. “Kami optimistis teknologi ini akan menuai keberhasilan unutk mengumpulkan air dari kabut dalam jumlah besar sehingga diharapkan tidak ada lagi kasus kekeringan di Dusun Ngoho ini dan juga bisa menjadi alternatif penyelesaian masalah kekeringan di wilayah Indonesia lainnya.”
Ke depan, empat sekawan ini berencana mengembangkan teknologi pemanen kabut dengan menggunakan mesin. Mesin dimanfaatkan untuk menyedot kabut yang ada sehingga diharapkan bisa dapat mengumpulkan kabut dalam jumlah yang lebih besar, tidak seperti saat menangkap kabut secara manual. “Sehingga tidak lagi tergantung pada kabut yang lewat jaring saja,” ujar Puji.
Sumber 2
Spoiler for :

Ada fenomena krisis air di daerah ketinggian yang kerap berkabut.
Kekeringan dalam jangka panjang memunculkan krisis air. Kondisi ini tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia timur saja, tetapi juga di berbagai daerah Indonesia lainnya termasuk di daerah dataran tinggi.
Salah satu dataran tinggi yang kerap kekurangan air bersih misalnya Dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Ketika musim kemarau tiba, sumur-sumur warga dusun terluar dari Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Temanggung ini dapat dipastikan tidak mengeluarkan air, bahkan mengering.
Sementara dari hasil penelitian yang pernah dilakukan Badan Geologi Jawa Tengah, untuk mengatasi kekeringan dengan membuat sumur artesis sedalam 200 meter. Sayangnya, penggalian pun tidak membuahkan hasil yang memadai sehingga masyarakat masih harus bersusah payah mendapatkan mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun pertanian.
Sementara di sisi lain, Dusun Ngoho yang berada di dataran tinggi Ungaran ini memiliki potensi kabut yang cukup tinggi yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengurangi krisis air di wilayah tersebut. Kabut hampir setiap harinya muncul meskipun di saat kemarau. Hanya saja potensi yang ada belum dimanfaatkan karena kendala teknologi.
Melihat kenyataan itu, sejumlah mahasiswa Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada yaitu Aditya Riski Taufani, Puji Utomo, Taufiq Ilham Maulana, dan Musofa tergerak untuk membantu mengatasi masalah krisis air yang melanda warga Dusun Ngoho dengan menerapkan teknologi pemanen kabut. Teknologi yang diterapkan dapat digunakan untuk menangkap dan mengumpulkan air dalam kabut sehingga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Melalui teknologi ini diharapkan dapat mengatasi kekeringan di musim kemarau yang terjadi di Dusun Ngoho,” kata Aditya, ketua tim pengembang pemanen kabut di Kampus UGM, dalam siaran pers Kamis 11 April 2013.
Pengembangan teknologi pemanen kabut lahir dari Progam Kreatifitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian 2013 yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fatchan Nurrochmad, M.Agr., mereka pun memulai mengembangkan teknologi pemanen kabut sejak bulan Februari lalu.
Cara Kerja Sederhana
Aditya menuturkan teknologi pemanen kabut yang dikembangkan sangat sederhana, hanya berbentuk jaring dari poliprofilen berbahan plastik yang ditopang dengan dua tiang penyangga. Alat pemanen kabut ini bekerja secara manual sebagi penjerat atau penangkap kabut. Kabut di udara yang tertangkap jaring kemudian dialirkan melalui paralon yang selanjutnya ditampung dalam jerigen. “Alat yang kami kembangkan ini cukup sederhana dan sangat ekonomis sehingga sangat memungkinkan diproduksi masyarakat secara massal,” ujarnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan sejak Februari silam, dari 1 buah instalasi pemanen kabut bisa diperoleh seitar 1,5 hingga 3 liter air setiap harinya. Sementara sampai saat ini Puji dan kawan-kawan baru memasang dua instalasi pemanen kabut sebagai pilot project untuk menentukan seberapa besar debet air yang bisa dikumpulkan setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kendati begitu, ia tetap optimis ke depan jika sudah banyak terpasang instalasi pemanen kabut, air yang didapat bisa dipakai untuk mencukupi kebutuhan warga setempat. “Kami optimistis teknologi ini akan menuai keberhasilan unutk mengumpulkan air dari kabut dalam jumlah besar sehingga diharapkan tidak ada lagi kasus kekeringan di Dusun Ngoho ini dan juga bisa menjadi alternatif penyelesaian masalah kekeringan di wilayah Indonesia lainnya.”
Ke depan, empat sekawan ini berencana mengembangkan teknologi pemanen kabut dengan menggunakan mesin. Mesin dimanfaatkan untuk menyedot kabut yang ada sehingga diharapkan bisa dapat mengumpulkan kabut dalam jumlah yang lebih besar, tidak seperti saat menangkap kabut secara manual. “Sehingga tidak lagi tergantung pada kabut yang lewat jaring saja,” ujar Puji.
Sumber 2
Quote:
Satu Penjaring Mampu Hasilkan Tiga Liter Air
Kekeringan dalam jangka panjang mengakibatkan krisis air semakin meningkat. Kondisi ini tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia timur saja, tetapi juga di berbagai daerah lainnya, terutama saat musim kemarau tiba.
Salah satu daerah yang mengalami kekeringan yakni Dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Ketika musim kemarau tiba, sumur-sumur warga dusun terluar dari Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Temanggung ini dapat dipastikan tidak mengeluarkan air. “Masyarakat masih harus bersusah payah mendapatkan mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun pertanian,” ujar mahasiswa program studi (prodi) Teknik Sipil dan Lingkungan UGM Aditya Riski Taufani.
Meski sering mengalami kekeringan, Dusun Ngoho yang berada di dataran tinggi Ungaran ini memiliki potensi kabut yang cukup tinggi yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengurangi krisis air di wilayah tersebut. Kabut hampir setiap harinya muncul meskipun di saat kemarau. Namun, potensi yang ada belum dimanfaatkan. Melihat kenyataan tersebut, Aditya bersama teman-teman di Teknik Sipil dan Lingkungan UGM, yakni Puji Utomo, Taufiq Ilham Maulana dan Musofa tergerak untuk membantu mengatasi masalah krisis air yang melanda warga Dusun Ngoho dengan menerapkan teknologi pemanen kabut.
“Teknologi yang kami terapkan dapat digunakan untuk menangkap dan mengumpulkan air dalam kabut sehingga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Melalui teknologi ini diharapkan dapat mengatasi kekeringan di musim kemarau yang terjadi di Dusun Ngoho,” kata Aditya yang juga menjadi ketua tim Pengembang Pemanen Kabut di Kampus UGM ini.
Ditambahkan Puji Utomo, dari hasil penelitian yang dilakukan sejak Februari silam, dari 1 buah instalasi pemanen kabut bisa diperoleh seitar 1,5 hingga 3 liter air setiap harinya. Mereka baru memasang dua instalasi pemanen kabut sebagai pilot project.
Sumber 3
Spoiler for :

Kekeringan dalam jangka panjang mengakibatkan krisis air semakin meningkat. Kondisi ini tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia timur saja, tetapi juga di berbagai daerah lainnya, terutama saat musim kemarau tiba.
Salah satu daerah yang mengalami kekeringan yakni Dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Ketika musim kemarau tiba, sumur-sumur warga dusun terluar dari Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Temanggung ini dapat dipastikan tidak mengeluarkan air. “Masyarakat masih harus bersusah payah mendapatkan mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun pertanian,” ujar mahasiswa program studi (prodi) Teknik Sipil dan Lingkungan UGM Aditya Riski Taufani.
Meski sering mengalami kekeringan, Dusun Ngoho yang berada di dataran tinggi Ungaran ini memiliki potensi kabut yang cukup tinggi yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengurangi krisis air di wilayah tersebut. Kabut hampir setiap harinya muncul meskipun di saat kemarau. Namun, potensi yang ada belum dimanfaatkan. Melihat kenyataan tersebut, Aditya bersama teman-teman di Teknik Sipil dan Lingkungan UGM, yakni Puji Utomo, Taufiq Ilham Maulana dan Musofa tergerak untuk membantu mengatasi masalah krisis air yang melanda warga Dusun Ngoho dengan menerapkan teknologi pemanen kabut.
“Teknologi yang kami terapkan dapat digunakan untuk menangkap dan mengumpulkan air dalam kabut sehingga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Melalui teknologi ini diharapkan dapat mengatasi kekeringan di musim kemarau yang terjadi di Dusun Ngoho,” kata Aditya yang juga menjadi ketua tim Pengembang Pemanen Kabut di Kampus UGM ini.
Ditambahkan Puji Utomo, dari hasil penelitian yang dilakukan sejak Februari silam, dari 1 buah instalasi pemanen kabut bisa diperoleh seitar 1,5 hingga 3 liter air setiap harinya. Mereka baru memasang dua instalasi pemanen kabut sebagai pilot project.
Sumber 3
Spoiler for :
Quote:



Quote:
Kaskuser yang bæk meninggalkan jejak






0
7.6K
Kutip
57
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan