- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Manusia - Manusia Lintas Negara


TS
platpe
Manusia - Manusia Lintas Negara
Kehidupan Di perbatasan Indonesia - Malaysia
Spoiler for kejamnya kehidupan di Entikong Kalbar perbatasan indo-malaysia:
ane miris gan denger cerita temen ane yang perna KKN di Entikong, KKN mahasiswa UPN veteran seluruh indonesia
Kata orang daerah perbatasan merupakan garda terdepan sebuah bangsa, hal itu sangat benar adanya. Indonesia juga sebuah bangsa kan? Lalu bagaimana kabar daerah-daerah perbatasan di Indonesia gan? Dalam UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. ane gak membahas semua daerah di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain, melainkan hanya satu daerah yang paling menarik menurut saya, dan memang satu-satunya yang memiliki jalur perbatasan darat dengan negara lain. Masih ingatkah anda dengan Entikong? Yaa..Entikong, sebuah kecamatan paling pinggir terletak di kabupaten Sanggau provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia Timur.
Selama beberapa puluh tahun kebelakang masalah perbatasan masih belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan.

di Entikong sendiri sangat minim infrastruktur, bahkan untuk mencapai kesana sangat susah gan

jalur satu"nya adalah sungai sekayam menuju desa suruh tembawang.
sungai sekayam merupakan jalur penghubung antara desa suruh tembawang dengan kecamatan entikong,
bahkan di sana mata uang kedua negara, ringgit dan rupiah diterima dalam jual beli

masyarakat melakukan jual-beli ke Malaysia bukan karena harga barang lebih murah, melainkan karena di negeri jiran tersebut ada penampung hasil bumi yang sudah dikenal masyarakat, sedangkan di Kalbar atau Indonesia tidak ada.
Bahkan, katanya, barang masyarakat perbatasan di negara bagian Sarawak itu masih bisa dibarter dengan barang Malaysia yang mereka kehendaki. Pinjamin mengatakan, salah satu hasil bumi yang dijual adalah sayur-sayuran dan rempah-rempahan, seperti lada. Hasil bumi ini sangat diminati warga Malaysia.
Di samping itu, kondisi jalan ke tempat jual-beli di Malaysia bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja, sedangkan akses jalan darat di pasar kecamatan masih sulit dan kondisi alam mengharuskan warga menggunakan jalur sungai.
Kegiatan warga pergi ke Malaysia hampir dilakukan tiap hari. Sebab, untuk pergi ke sana, bisa dilakukan dengan berjalan kaki dalam beberapa jam saja, terutama di daerah
bahkan ada bis antar negara juga gan di sana

perbedaan daerah entikong dan malaysia gan, kayak siang dan malam, keliatan banget mana yang lebih maju nya
padahal sama" perbatasan


180 derajat beda gan
dalam masalah pendidikan juga malah parah
di entikong kyk gni

kalo serawak malaysia
Warga Entikong menanti ”malaikat” yang bisa menyediakan infrastruktur, seperti jalan, alat transportasi, listrik, hingga fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai untuk menghalau keterisolasian dan keterbelakangan. Sebab, mereka cuma bisa gigit jari jika membandingkan dengan kondisi warga di perbatasan Malaysia yang keadaannya bertolak belakang dengan warga Indonesia di perbatasan kedua negara serumpun itu
heran juga gan, bahkan warga negara kita lebih muda mendapatkan segala sesuatu di negara tetangga dripada di negara sendiri
warga entikong membeli gas LPG dari malaysia karna lebih mudah dan murah


negri ini trnyata blm mrdka. tanah surga katanya ?? tanah yg dinikmati hasilny oleh negeri tetangga
semoga keadaan wilayah seperti ini bisa mengetuk hati kita untuk bersyukur dengan segala kecukupan dan membantu sesama warga negara
Sumber
Spoiler for Kisah Warga Kalimantan di Perbatasan Malaysia:
Untuk biaya kesehatan itu memang mahal. Namun, hal itulah yang harus dilakukan jika ingin sehat. Sejumlah warga perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kecamatan Jagoibabang Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat ini, sudah terbiasa berobat ke negara tetangga itu. Warga perbatasan di Jagoibabang ini memang milih berobat ke Malaysia karena lebih dekat dan berkualitas.
"Warga Indonesia di perbatasan ini banyak berobat ke Malaysia, karena kalau di tempat kita (Indonesia) kualitasnya kurang bagus. Sangat jauh ke tempat rumah sakitnya punya kita. Sedangkan ke Malaysia hanya dekat saja ke daerah Tembelin, Malaysia. Hanya satu jam lebih lah jaraknya dari tempat kita ini. Namun warga perbatasan selalu setia dengan NKRI ini, ” tutur Desy di perbatasan RI-Malaysia Jagoibabang, kepada Aktual.co, baru-baru ini.
Wanita keturunan Dayak Iban Bidayuh ini mengatakan, selain berobat ke Malaysia warga perbatasan juga menjual hasil bumi mereka ke Malaysia. "Kalau hari minggu ramai sekali orang berdagang di Pasar Serikin, Malaysia. Lumayan lah orang Indonesia berjual di Pasar Serikin Malaysia untungnya sangat besar. Mereka itu membawa sayur mayur kesana. Harganya jauh lebih mahal di Malaysia,” kata wanita berusia 45 tahun ini.
Proses menjual hasil bumi dari Indonesia memang sudah lama. “Sekarang ini semakin ramai orang berdagang. Orang Indonesia sukses-sukses setelah berjualan di Pasar Serikin Malasyia. Dulu mereka pakai motor jelek, sekarang sudah pake mobil itu orang. Berartikan keuntungannya besar," paparnya
Meski berbahasa Indonesia dengan baik, warga perbatasan tak menikmati sajian informasi berita dan hiburan Indonesia. Lokasi kampung mereka yang dekat dengan Malaysia membuat siaran radio dan televisi yang mereka nikmati adalah dari Malaysia. Konsekuensinya, mereka lebih mengetahui berita negeri jiran itu dibanding perkembangan ekonomi-politik negeri sendiri.
Untuk transaksi jual beli di perbatasan itu menggunakan dua mata uang, yakni Rupiah dan Ringgit Malaysia. Namun demikian, hal itu bukan menjadi permasalahan bagi warga perbatasan.
Untuk diketahui, Kecamatan Jagoibabang merupakan salah satu pintu negara RI di Kalimantan Barat ini yang belum terurus dengan baik hingga kini. Jarak dari Ibukota provinsi ini (Pontianak) - Jagoibabang 299 kilometer. Jalan raya yang menghubungkan kedua kota itu sudah diaspal hingga di batas negara RI-Malaysia ini.
Aktivitas warga di perbatasan pun tidak jauh dari produk negara tetangga, Malaysia. Semua kebutuhan pokok dipasok dari Malaysia. Apa daya, karena menunggu produk dari Indonesia tak kunjung datang. Bongkar muat produk Malaysia sudah lumrah terjadi di perbatasan ini.
Truk-truk berukuran besar membawa produk dari Malaysia ke Indonesia, tepatnya di pintu masuk di Jagoibabang ini. Sementara dari Indonesia, sejumlah warga perbatasan hanya membawa hasil bumi berupa sayuran dengan menggunakan sebuah sepeda motor. Ironis memang. Namun, hal ini tentunya sudah menjadi bagian kehidupan sejumlah di perbatasan itu.
Dari pasar Serikin, Malaysia itu warga kembali membawa kebutuhan pokok dari Malaysia, seperti, gas elpiji, telur, ayam, minuman kaleng, gula pasir, beras, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pemantauan beberapa hari lalu di lapangan, tampak sejumlah truk sedang membongkar beras . Beras dan pupuk itu diangkut ke Kota Singkawang dan Pontianak. Bukannya tak mau mengantar dan menjual barang ke negeri sendiri. Jalan becek dan rusak harus mereka lalui untuk menuju pasar terdekat di Indonesia.
Sumber
Spoiler for Potret Perbatasan: Tinggal di Indonesia, Menggantungkan Hidup Dengan Malaysia:

REPUBLIKA.CO.ID, NUNUKAN -- Kehidupan masyarakat perbatasan di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, sampai saat ini masih sangat tergantung pada negeri tetangga Malaysia.
"Ketergantungan itu antara lain terlihat dalam pemenuhan kebutuhan pokok yang dikonsumsi setiap harinya, hampir seluruhnya merupakan produk asal Malaysia," kata Sannari, seorang warga perbatasan di Ajikuning, Kecamatan Sebatik Utara, Kabupaten Nunukan, Senin.
Menurut Sannari, kondisi itu masih sulit dihindari mengingat masyarakat Pulau Sebatik dan Kabupaten Nunukan secara umum, suplai sembako masih tergantung dari Malaysia, karena sulitnya mendapatkan produk kebutuhan sehari-hari asal Indonesia. Selain mudah mendapatkannya juga harganya lebih murah daripada produk asal Indonesia.
Misalnya, gula pasir yang merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat, harganya di Malaysia hanya RM 2.20 atau Rp6.600 (RM 1 = Rp3.000) per kg.
Sementara harga gula pasir asal Indonesia harganya mencapai Rp11.000 sampai Rp12.000 per kg bahkan lebih dari itu. Selain itu, untuk mendapatkan produk asal Indonesia sangat sulit karena hanya ada di Kota Tarakan.
Bukan hanya sembako yang diperoleh dari Malaysia, Sannari yang mengaku berasal dari Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan itu menambahkan juga bahan bangunan seperti batu gunung, kerikil, semen, dan lain-lainnya semuanya berasal dari Malaysia.
Oleh karena itu, ketergantungan dengan negeri jiran Malaysia sangat sulit dihindari.
"Kalau dibilang masyarakat perbatasan di Pulau Sebatik ini menggantungkan hidupnya di Malaysia memang iya. Kalau tidak begitu mau makan apa kita di sini (Pulau Sebatik)," ujar Sannari.
Dia mengatakan kemudahan mendapatkan sembako atau kebutuhan lainnya di Malaysia, karena masyarakat perbatasan di Pulau Sebatik hampir setiap harinya menyeberang ke Tawau, Malaysia, untuk berbelanja. "Masyarakat di sini setiap hari ke Tawau, karena jangkauannya dekat hanya 15 menit sudah sampai di sana (Tawau)," katanya.
Sumber
Spoiler for Menengok Nasionalisme Masyarakat Perbatasan:
Ditengah hingar-bingar pemilihan Putri Indonesia dan kontes menyanyi X-Factor, Pada Jumat (1/2), Kick Andy on Location bercerita tentang masyarakat perbatasan lewat Inspirasi dari Jantung Borneo. Talkshow ini menjadi menarik karena menampilkan apa yang selama ini tak pernah kita lihat. Bagaimana kehidupan masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia dapat hidup rukun di jantung Pulau Kalimantan, tepatnya di Krayan, Kalimantan Timur.
Saya jadi teringat obrolan panjang saya dengan seorang teman pada masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Bermula pada sebuah observasi awal untuk menentukan program kerja KKN, saya berkenalan dengan Yusuf, seorang penduduk lokal Sei Pancang, salah satu daerah teramai di Pulau Sebatik. Yusuf bekerja sebagai Tukang Ojek yang sehari-hari mengantar penumpang keluar-masuk Dermaga Sei Pancang. Jika penumpang sedang sepi, ia akan duduk santai di dermaga. Disanalah kami berkenalan. Hampir setiap pagi dan petang kami bertemu lalu mengobrol apa saja. Dari percakapan intens tersebut saya tahu Yusuf memiliki wawasan yang luas. Ia, misalnya, dapat menjelaskan dengan baik biota laut yang ada di sekitar Perairan Sebatik karena rajin menonton National Geographic Channel, akunya.
Hal lain yang membuat saya betah berlama-lama mengobrol dengan Yusuf adalah perspektifnya dalam memahami hubungan masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia. Mungkin bukan hanya Yusuf, saya rasa banyak masyarakat Pulau Sebatik yang memiliki cara pandang cerdas dalam menilai relasi kedua negara. Masyarakat di perbatasan memaknai hubungan mereka dengan sederhana. Mereka menganggap interaksi mereka sehari-hari sebagai sebuah simbiosis mutualisme. Kebutuhan bahan pokok warga Indonesia terpenuhi dari negara jiran, sebaliknya kebutuhan produksi industri di Tawau dan Sabah, Malaysia sebagian didapatkan dari perairan dan kebun-kebun di Pulau Sebatik bagian Indonesia. Sesederhana itu. Mereka tak pernah memikirkan bermacam konflik yang pasti akan menarik urat emosi yang berlebihan.
“Saya juga heran, masyarakat di kota selalu ribut kalau ada masalah di perbatasan. Padahal kami disini tenang-tenang saja. Walau ada masalah, kami tetap bersaudara”, Jawab Yusuf ketika saya menanyakan perihal reaksi masyarakat perbatasan ketika ada konflik yang muncul diantara kedua negara.
Tentu kita masih ingat, bagaimana masyarat di pusat-pusat kota akan segera bereaksi apabila media mulai mengompori dengan isu konflik kedua negara yang selalu berulang-ulang. Pencaplokan wilayah, klaim budaya bangsa dan yang terbaru, olok-olokan yang sempat dilontarkan kepada mantan pemimpin negara kita seakan menjadi legitimasi bagi kita untuk segara marah lalu saling menghina. Kalau sudah begitu pekikan “Ganyang Malaysia!” akan kembali ramai diteriakkan. Seolah-olah Kalimat andalan Presiden Soekarno tersebut lahir dari masalah sepele saja.
Tapi coba bayangkan kembali, kemana kita disaat hubungan tersebut sedang baik-baik saja? Pernahkah kita sekedar untuk tahu, lebih-lebih mencoba mencintai segala hal yang diklaim negara tetangga tersebut. Lagu Rasa Sayange misalnya, sebelum dipakai sebagai backsound promo pariwisata Malaysia, pernahkah kita menyanyikannya lagi. Saya rasa tidak. Rasa Sayange menjadi semacam mayat hidup, ia terbenam di salah satu rak di Lokananta, Kota Solo, tanpa pernah diputar lagi.
Belum lagi masalah pulau-pulau kecil di perbatasan milik kita yang sudah terlanjur beralih menjadi bagian dari teritorial Malaysia. Sebelum pulau tersebut lepas, pernahkah kita mengetahuinya. Sipadan dan Ligitan baru diketahui sesaat sebelum konflik ini akan diajukan ke meja Mahkamah Internasional yang lantas mengalahkan kita. Pemerintah dan juga tiap individu di negara ini tak cukup peduli dengan apa yang telah dipunyai. Ketika negara lain melakukan effective occupation terhadap wilayah tersebut, kita hanya bisa gigit jari dibuatnya.
Saya tak pernah cukup bangga dengan nasionalisme yang dibangun oleh negara kita ini. Indonesia mengajarkan warganya mencintai negara dengan cara yang dangkal. Mencintai negara dengan cara artifisial semata adalah cara yang mudah namun rapuh menurut saya. Nasionalisme yang seharusnya ditanamkan oleh negara adalah rasa cinta tanah air karena tanah air itu sendiri mencintai kita. Dengan cara apa? Ya dengan jalan pemenuhan jaminan hidup warga yang memang sudah diatur oleh konstitusi kita.
Seberapapun saya senang mengobrol dengan Yusuf, saya sempat kecewa sekaligus khawatir ketika ia begitu membanggakan negara tetangga. Baginya, Malaysia adalah negara ideal untuk ditempati karena kehidupan warganya telah terjamin dengan pasti. Kacaunya warga negara kita di perbatasan, seperti Yusuf dan kawan-kawanya pun seakan lebih dekat kepada Malaysia ketimbang Indonesia. Jangan sampai budaya dan tanah kita sudah diklaim, warga negara kita pun ikut-ikutan dicaplok. Sungguh mengerikan membayangkan hal tersebut.
Saya kira kunci keluar dari semua ini adalah perhatian lebih. Bukan hanya dari negara tentunya, tapi juga dari tiap-tiap diri kita, pemilik negara ini.
Post-scriptum:
Tulisan ini dibuat untuk diikutkan pada lomba esai HMJ Jurnalistik UIN Jakarta
Sumber
Nasionalisme di Perbatasan Runtuh
Spoiler for Nasionalisme di Perbatasan Runtuh:
Metrotvnews.com, Pontianak: Sebagian warga perbatasan Kalimantan Barat memilih untuk menjadi warga Malaysia untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Sementara di Papua, sebagian warga negara Papua Nugini lebih memilih hidup di wilayah Indonesia yang lebih makmur. Benarkah nasionalisme perbatasan dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan kehidupan masyarakat?
Inilah Kampung Mongkos, Serian, Serawak, Malaysia. Di kampung ini tinggal lebih dari 2500 warga negara Indonesia keturunan. Mereka hidup sebagai layaknya warga negara Malaysia lainnya. Kampung Mongkos hanya berjarak 2,5 kilometer dari wilayah Indonesia.
Warga negara Malaysia keturunan Indonesia ini secara turun temurun dari tahun ke tahun jumlahnya bertambah banyak akibat kimpoi campur, dan menjadikan anak-anak mereka warga negara Malaysia.
Mereka mengganti kewarganegaraan juga didorong karena ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan mereka di perbatasan wilayah Indonesia, di samping fasilitas yang lebih dari pemerintah Malaysia.
Kenyataannya partisipasi warga negara Indonesia keturunan di Malaysia terhadap pemerintah Malaysiapun cukup besar. Sebanyak 80 persen lebih WNI yang telah berganti kewarganegaraan ini menjadi pendukung partai pemerintah dalam Pemilu Malaysia lalu.
Hal berbeda terlihat di perbatasan paling timur Indonesia di Papua yang berbatasan dengan Papua Nugini di Kampung Yabanda, Kecamatan Senggi, Kabupaten Keroom, Papua yang berbatasan dengan kampung Mamblo dan Yourob, Papua Nugini.
Lebih dari 300 warga negara Papua Nugini lebih memilih tinggal di kampung Yabanda di wilayah Indonesia. Selain mudah untuk mendapatkan bahan bahan sembako dan mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih layak tinggal di Indonesia juga menjadikan anak-anak PNG lebih mendapatkan pendidikan yang baik dan layak di sekolah Indonesia.
Sejak tahun 2006 mereka telah tinggal di wilayah Indonesia dan jumlah mereka yang datang selalu bertambah hingga tahun 2011 lalu. Sementara selama dua tahun terakhir jumlah mereka kembali menurun, sejak pemerintah Indonesia memperketat keberadan mereka karena masalah kartu penduduk atau kartu pelintas batas. Mereka tinggal di wilayah Indonesia tanpa indentitas warga Indonesia.
Sementara sekitar 500 warga negara Indonesia di kampung Yabanda menyatakan kehidupan mereka tidak terganggu dengan kedatangan warga PNG yang membuat perkampungan baru di wilayah Indonesia dan menjadikan mereka sebagai saudara.
Warga Yabanda bahkan menginginkan perhatian yang lebih dari pemerintah untuk memajukan daerah perbatasan. Hal itu terungkap dari hasil pertemuan warga dengan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, warga asli Yabanda menginginkan masuknya trasmigran asal Pulau Jawa untuk bisa memajukan kampung mereka.
Daerah perbatasan Papua dengan PNG diindentifikasi sebagai daerah perlintasan atau daerah keluar masuknya kelompok OPM. Pasukan TNI pun disiagakan di wilayah perbatasan di Kampung Yabanda.
Sumber
Diubah oleh platpe 24-08-2013 21:23
0
3.4K
Kutip
16
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan