- Beranda
- Komunitas
- News
- Melek Hukum
Gimana Sih Penggunaan frase "dan/atau"?


TS
hukumonline.com
Gimana Sih Penggunaan frase "dan/atau"?
agan dan aganwati yang pernah atau sering membaca peraturan, pasti tak jarang menemukan frase "dan/atau" dalam pasal-pasal peraturan.
Frase ini kadang memang sering membuat bingung bagi agan dan aganwati yang belum terbiasa untuk membaca peraturan.
nah, kebetulan nih, hukumonline.com pernah membahas soal "dan/atau" dalam peraturan perundang-undangan.
Cekidot gan.
Kalau agan-aganwati mau share, silahkan diskusi di sini.
Frase ini kadang memang sering membuat bingung bagi agan dan aganwati yang belum terbiasa untuk membaca peraturan.
nah, kebetulan nih, hukumonline.com pernah membahas soal "dan/atau" dalam peraturan perundang-undangan.
Cekidot gan.
Quote:
Salah satu penggunaan frase "dan/atau" dapat dilihat dalam Pasal 310 ayat (3) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), yang menyatakan
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ataudenda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”
Bersumber dari sebuah tulisan berjudul Penggunaan Dan/atau yang kami akses dari laman resmi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dikatakan bahwa kata penghubung “dan/atau”, dapat diperlakukan sebagai “dan”, dapat juga diperlakukan sebagai “atau”. Tanda garis miring itu mengandung arti pilihan, misalnya A dan/atau B yang berarti: A dan B, atau A atau B. Oleh karena itu, cara penulisan yang benar untuk maksud pernyataan tersebut ialah “dan/atau”, bukan “dan atau”.
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ataudenda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”
Bersumber dari sebuah tulisan berjudul Penggunaan Dan/atau yang kami akses dari laman resmi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dikatakan bahwa kata penghubung “dan/atau”, dapat diperlakukan sebagai “dan”, dapat juga diperlakukan sebagai “atau”. Tanda garis miring itu mengandung arti pilihan, misalnya A dan/atau B yang berarti: A dan B, atau A atau B. Oleh karena itu, cara penulisan yang benar untuk maksud pernyataan tersebut ialah “dan/atau”, bukan “dan atau”.
Quote:
Penggunaan penghubung dan/atau itu sering ditulis tanpa dibubuhi tanda garis miring (/) di antara kata “dan” dan “atau”. Cara penulisan yang itu tidak dapat dibenarkan. Kesalahan penulisan tanda penghubung tersebut agaknya disebabkan oleh anggapan bahwa tidak ada perbedaan antara bahasa Indonesia ragam lisan dan ragam tulis.
Akibatnya, orang menuliskan apa yang terdengar (ragam lisan), bukan apa yang seharusnya ditulis. Di dalam ragam tulis kelengkapan tanda baca sangat diperlukan agar apa yang dituliskan itu tidak ditafsirkan lain. Makna kalimat ragam lisan dapat didukung oleh situasi pembicaraan, sedangkan dalam ragam tulis tidak didukung hal itu.
Jika penggunaan kata penghubung “dan/atau” ini diterapkan dalam bunyi Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ seperti yang Anda tanyakan, maka maksud dari kalimat “…dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)” dapat berarti:
1. Yang melanggar pasal tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp. 10 juta;
2. Yang melanggar pasal tersebut dipidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp. 10 juta.
Yang menentukan apakah orang yang melanggar pasal tersebut dijatuhi sanksi pidana salah satu (penjara saja atau denda saja) atau keduanya dijatuhkan bersamaan adalah pertimbangan hakim di persidangan.
Dalam praktiknya, terdapat perbedaan dalam penafsiran kata penghubung “dan/atau” dalam pasal tentang ketentuan pidana. Hal ini dijelaskan dalam sebuah tulisan berjudul Pengertian “Penjara dan/atau Denda” dalam laman resmi Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Tulisan tersebut memberikan dua contoh kasus yang menggambarkan tentang penafsiran Mahkamah Agung (“MA”) terhadap konsep pemidanaan “penjara dan/atau denda.”
Akibatnya, orang menuliskan apa yang terdengar (ragam lisan), bukan apa yang seharusnya ditulis. Di dalam ragam tulis kelengkapan tanda baca sangat diperlukan agar apa yang dituliskan itu tidak ditafsirkan lain. Makna kalimat ragam lisan dapat didukung oleh situasi pembicaraan, sedangkan dalam ragam tulis tidak didukung hal itu.
Jika penggunaan kata penghubung “dan/atau” ini diterapkan dalam bunyi Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ seperti yang Anda tanyakan, maka maksud dari kalimat “…dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)” dapat berarti:
1. Yang melanggar pasal tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp. 10 juta;
2. Yang melanggar pasal tersebut dipidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp. 10 juta.
Yang menentukan apakah orang yang melanggar pasal tersebut dijatuhi sanksi pidana salah satu (penjara saja atau denda saja) atau keduanya dijatuhkan bersamaan adalah pertimbangan hakim di persidangan.
Dalam praktiknya, terdapat perbedaan dalam penafsiran kata penghubung “dan/atau” dalam pasal tentang ketentuan pidana. Hal ini dijelaskan dalam sebuah tulisan berjudul Pengertian “Penjara dan/atau Denda” dalam laman resmi Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Tulisan tersebut memberikan dua contoh kasus yang menggambarkan tentang penafsiran Mahkamah Agung (“MA”) terhadap konsep pemidanaan “penjara dan/atau denda.”
Quote:
Kasus pertama yang dijelaskan dalam laman tersebut adalah perkara korupsi menyangkut penerapan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”).
Singkatnya, hakim pada Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara dan denda secara bersamaan dengan alasan pidana penjara atas pelanggaran UU Pemberantasan Tipikor itu bersifat imperatif, jadi pengadilan tidak dapat hanya menjatuhkan pidana denda. Mengenai kasus ini selengkapnya dapat Anda lihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2442 K/PID.SUS/2009.
Kasus kedua adalah kasus tentang cukai yang mana kasus tersebut diperiksa oleh hakim MA yang sama dengan kasus korupsi. Kasus tersebut menceritakan tentang terdakwa yang melanggar Pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. yang di dalamnya juga menerapkan ketentutan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau”. Pada akhirnya di tingkat kasasi, MA hanya menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa dengan alasan pidana denda adalah alternatif dari pidana penjara.
Menurut tulisan tersebut, adanya dua pertimbangan yang berbeda untuk permasalahan hukum yang sama ini tentunya membuat ketidakpastian mengenai apakah sanksi pidana yang dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” bermakna bahwa pidana penjara bersifat imperatif atau alternatif.
Namun pada akhirnya, menurut hemat kami, hakimlah yang mempertimbangkan sesuai dengan jenis pidananya. Untuk kasus korupsi, pidana penjara itu bersifat imperatif. Artinya, terdakwa tidak dapat hanya dijatuhi pidana denda saja, tetapi juga harus dijatuhi bersamaan dengan pidana penjara. Untuk kasus cukai, pidana denda merupakan alternatif dari pidana penjara sehingga hakim dapat menjatuhkan salah satunya saja.
Dengan mengacu pada dua gambaran kasus di atas yang telah kami uraikan, maka menurut hemat kami, pelanggaran terhadap UU LLAJ seperti yang Anda tanyakan juga bergantung pada pertimbangan hakim di pengadilan nantinya. Hakimlah yang menilai apakah penerapan pasal mengenai ketentuan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau” ini diterapkan secara imperatif atau alternatif.
Singkatnya, hakim pada Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara dan denda secara bersamaan dengan alasan pidana penjara atas pelanggaran UU Pemberantasan Tipikor itu bersifat imperatif, jadi pengadilan tidak dapat hanya menjatuhkan pidana denda. Mengenai kasus ini selengkapnya dapat Anda lihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2442 K/PID.SUS/2009.
Kasus kedua adalah kasus tentang cukai yang mana kasus tersebut diperiksa oleh hakim MA yang sama dengan kasus korupsi. Kasus tersebut menceritakan tentang terdakwa yang melanggar Pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. yang di dalamnya juga menerapkan ketentutan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau”. Pada akhirnya di tingkat kasasi, MA hanya menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa dengan alasan pidana denda adalah alternatif dari pidana penjara.
Menurut tulisan tersebut, adanya dua pertimbangan yang berbeda untuk permasalahan hukum yang sama ini tentunya membuat ketidakpastian mengenai apakah sanksi pidana yang dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” bermakna bahwa pidana penjara bersifat imperatif atau alternatif.
Namun pada akhirnya, menurut hemat kami, hakimlah yang mempertimbangkan sesuai dengan jenis pidananya. Untuk kasus korupsi, pidana penjara itu bersifat imperatif. Artinya, terdakwa tidak dapat hanya dijatuhi pidana denda saja, tetapi juga harus dijatuhi bersamaan dengan pidana penjara. Untuk kasus cukai, pidana denda merupakan alternatif dari pidana penjara sehingga hakim dapat menjatuhkan salah satunya saja.
Dengan mengacu pada dua gambaran kasus di atas yang telah kami uraikan, maka menurut hemat kami, pelanggaran terhadap UU LLAJ seperti yang Anda tanyakan juga bergantung pada pertimbangan hakim di pengadilan nantinya. Hakimlah yang menilai apakah penerapan pasal mengenai ketentuan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau” ini diterapkan secara imperatif atau alternatif.
Quote:
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Referensi:
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/l...an%20Dan/atau,diakses pada 23 Juli 2013 pukul 11:44 WIB
http://www.leip.or.id/kajian-putusan...au-denda.html, diakses pada 23 Juli 2013 pukul 12: 36 WIB
1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Referensi:
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/l...an%20Dan/atau,diakses pada 23 Juli 2013 pukul 11:44 WIB
http://www.leip.or.id/kajian-putusan...au-denda.html, diakses pada 23 Juli 2013 pukul 12: 36 WIB
Quote:
Kalau agan-aganwati mau share, silahkan diskusi di sini.
(hot)
0
13.9K
Kutip
10
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan