- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Berantas Korupsi tak Cukup dengan Resep


TS
sorbanmotor
Berantas Korupsi tak Cukup dengan Resep
Berantas Korupsi tak Cukup dengan Resep
Oleh :
Taufiq Effendi
Kejahatan korupsi dan upaya memeranginya bukanlah hal baru. Buku Arthahastra yang membicarakan soal korupsi ditulis lebih kurang dua ribu tahun lalu oleh Kautilya, seorang perdana menteri dari salah satu kerajaan di daratan India, membuktikan tingkat ketuaan usia problema korupsi ini.
Berdasarkan laporan tim arkeologi Belanda yang menemukan 150 Prasasti Cuneiform di Rakka, Syria, di mana dalam prasasti itu disebutkan nama-nama pegawai tersuap pada abad ke-13 SM termasuk putri raja Rakka sendiri-semakin menunjukkan kepada kita bahwa usia persoalan korupsi sudah sangat amat tua (Jeremy Pope: 2003).
Di Indonesia sendiri, masalah korupsi dan upaya memberantasnya juga sudah berumur. Usianya hampir sama dengan usia negara Indonesia merdeka. Padahal, berbagai upaya guna menekan kejahatan ini telah dilakukan, misalnya dengan membuat aturan-aturan dan membentuk lembaga-lembaga lengkap dengan para pejabatnya. Kita masih ingat dibentuknya Tim Pemberantas Korupsi (TPK) pada tahun 1967 dan Operasi Tertib (OPSTIB) pada tahun 1977, serta masih banyak lagi aturan dan lembaga lain yang dibentuk guna menekan praktik-praktik tindak kejahatan korupsi ini.
Namun, lagi-lagi hasilnya masih jauh dari harapan dan kita selalu diterpa kekecewaan. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa praktik korupsi ini selalu saja tumbuh subur dari musim ke muslim? Banyak faktor yang menyebabkan korupsi di Indonesia susah diberantas. Penyebabnya bisa karena peraturannya belum tepat sehingga banyak celah hukum yang dapat diterobos untuk dipermainkan, aparaturnya lemah, atau karena koruptornya sendiri yang sangat kuat. Itu semua mungkin-mungkin saja. Sebagai ilustrasi--boleh jadi, kesulitan pemberantasan korupsi karena kelahiran republik ini pada hari Jumat Legi yang jatuh pada petungan, atau perhitungan hari, ''satrio wirang'' yaitu satria yang menanggung beban malu karena berbagai aib yang melekat pada dirinya.
Meruwat korupsi
Kita malu Indonesia menjadi salah satu negara kampiun korupsi di dunia. Posisi memalukan ini harus secepatnya kita ubah! ''Satrio wirang'' harus diganti dengan ''Satrio wibowo'' atau satria yang berwibawa. Caranya adalah dengan meruwat atau menangkal bahaya melalui upaya serius pemberantasan korupsi. Inpres Nomor 5 tahun 2004 merupakan ruwat nasional agar Indonesia segera bebas dari penyakit kronis KKN. Pendekatannya pun sudah komprehensif, apalagi presiden berkenan memimpin secara langsung pemberantasan korupsi ini.
Pekerjaannya sekarang adalah menjaga bagaimana agar Inpres itu jangan sampai berhenti pada tataran aturan-aturan semata. Karenanya tindakan-tindakan nyata baik secara represif maupun preventif wajib menyertainya, sehingga kita tidak terjebak dalam retorika-retorika belaka. Retorika tanpa amalan nyata sungguh dimurkai Yang Maha Kuasa, karena yang demikian itu mirip, bahkan semakna, dengan pengelabuhan terhadap rakyat, yaitu dengan memberi harapan-harapan palsu. Karenanya harus dijauhi! Tindakan nyata ini saya tekankan berkali-kali dalam berbagai kesempatan disebabkan saya khawatir kegagalan akan kembali menjemput kita. Perlu diingat bersama bahwa kegagalan demi kegagalan yang sering kita jumpai adalah akibat minimnya tindakan.
Faktor lain yang tidak boleh dilupakan demi suksesnya upaya pemberantasan korupsi adalah soal kemauan dan keberanian memerangi KKN secara cepat dan adil. Selama ini kita baru pandai membuat resep tentang pemberantasan korupsi, baik berupa perangkat perundang-undangan maupun aturan-aturan lainnya. Ibaratnya, kita ini mau memasak sup, tapi baru siap resepnya saja. Sedangkan peralatan memasak dan bahan-bahannya masih kurang. Sudah pasti, keinginan kita untuk memasak sup menjadi tertunda untuk tidak mengatakan gagal, apalagi hasrat untuk menikmati hasil masakannya.
Ini hanyalah sekedar tamsil untuk menggambarkan bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup dengan resep semata. Oleh karena itu agar upaya pemberantasan korupsi ini dapat operasional secara optimal maka kita harus siap segalanya. Upaya-upayanya pun harus komprehensif dan tidak boleh sepotong-sepotong. Selain itu, pilar-pilar penyangganya (aturan perundang-undangan, aparaturnya, dan penegak hukum) juga harus berdiri tegak dan kokoh.
Penyakit pejabat dan masyarakat yang satu ini memang sangat luar biasa, susah diberantas karena sudah mengakar dalam kehidupan. Perlu disadari bersama bahwa korupsi bukan semata terjadi karena faktor kemiskinan atau karena kehidupan tata bernegara yang sedang berada dalam masa transisi-sebagaimana diteorikan oleh Samuel P Huntington. Buktinya banyak negara maju dan juga kaya ternyata juga tidak bebas dari praktik sesat ini. Untuk menyebut di antaranya adalah kasus di South Wales, Australia. Di negara itu seorang Menteri Urusan Kepenjaraan terbukti bersalah dan dimasukkan ke penjara karena menjual izin keluar penjara sebelum hukuman selesai dijalankan pada para pengedar madat. Sementara di Italia dijumpai adanya perusahan-perusahaan besar diperas oleh ''polisi keuangan.''
Menurut teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne, factor-faktor yang menyebabkan korupsi itu adalah hal-hal berikut: 1) Greed (keserakahan); 2) Opportunity (kesempatan); 3) Need (Kebutuhan); 4) Exposures (pengungkapan). Greed dan need terkait langsung dengan individu pelaku yaitu individu atau kelompok individu baik berada di dalam organisasi atau pun di luarnya yang melakukan kecurangan hingga berdampak kerugian bagi pihak atau orang lain.
Sedangkan opportunity dan exposure berhubungan dengan korban perbuatan kecurangan itu. Terapi bagi penyakit greed dan need adalah berupa bimbingan moral dalam rangka mencapai moralitas yang luhur (misalnya dengan meningkatkan pendidikan agama). Diharapkan dengan terapi ini soal need dapat dikelola secara baik sehingga keserakahan tidak muncul. Sedangkan untuk exposure dan opportunity dilakukan dengan cara di antaranya membentuk pranata hukum yang jelas, sanksi yang tegas serta konsisten, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pada teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi sejatinya bermula dari sistem dan pribadi yang bermasalah. Yang pertama adalah berupa sistem yang tidak transparan, tidak terukur, dan tidak akuntabel. Sedangkan yang ke dua adalah berwujud pribadi yang serakah, hedonis, dan gemar menghalalkan segala cara demi memenuhi ambisi. Oleh sebab itu, maka pengobatannya harus menyeluruh dan tidak boleh parsial. Di antaranya perlu dilahirkan undang-undang yang lengkap, tidak mengundang upaya akal-akalan (menyiasati dan disiasati) oleh pihak-pihak tertentu. Begitu pula dengan aparatur negara dan penegak hukum juga harus prima; professional sekaligus berdedikasi tinggi, baik secara institusional maupun personal.
Korupsi di birokrasi
Dalam upaya pemberantasan korupsi secara utuh dan menyeluruh itu, birokrasi Indonesia memiliki posisi dan peran sangat sentral dan strategis baik sebagai subjek maupun objeknya. Birokrasi terlibat dalam penyusunan aturan serta kebijakan publik, juga sebagai aparatur yang melaksanakannya.
Karenanya, sungguh celaka jika ada oknum-oknum birokrat yang ikut melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu adalah sangat penting dan mendesak untuk memberantas korupsi di lingkungan birokrasi, dimulai dari atas. Selanjutnya berkaitan dengan pemberantasan KKN di lingkungan birokrasi ini ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, melaksanakan Inpres No 5 tahun 2004 secara tepat dan konsisten. Caranya, di antaranya, adalah para pejabat pemerintah dan penyelenggara negara agar melaporkan harta kekayaannya, meningkatkan kinerja masing-masing, memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, mencegah pemborosan dan penyelewengan penggunaan keuangan negara, penyalahgunaan kekuasaan dan lain-lain.
Kedua, melaksanakan reformasi birokrasi secara mendasar, operasional, dan berkelanjutan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik didukung oleh penyelenggara negara yang professional, bermoral, dan bebas KKN serta mampu memberikan perlayanan prima kepada masyarakat. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai adalah: a) terwujudnya birokrat yang professional, netral, dan sejahtera; b) Terwujudnya kelembagaan pemerintah baik pusat maupun daerah yang efisien, efektif, rasional, dan proporsional; c) Terwujudnya ketatalaksanaan pelayanan publik yang cepat, mudah, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Untuk itu langkah-langkah strategis yang dilakukan adalah merivisi kebijakan-kebijakan publik yang tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman, penegakan hukum, membangun profesionalitas aparatur, menata kelembagaan pemerintah pusat dan daerah, penerapan sistem akuntabilitas publik, membangun manajemen berbasis kinerja, serta mengembangkan partisipasi masyarakat secara luas. Keberhasilan reformasi birokrasi ini diharapkan dapat menjadi sarana memberantas korupsi dengan daya preventif yang tinggi dan sudah barang tentu dalam jangka panjang bisa menciptakan pemerintah yang bersih, efektif dan berwibawa.
Meskipun demikian, suatu yang perlu diingat, upaya memberantas korupsi bukanlah suatu upaya yang mudah sebagaimana membalikkan telapak tangan. Tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mengurai segunung benang kusut di gardu yang sempit. Karenanya dibutuhkan keberanian, kesabaran, dan konsistensi. Yang lebih penting lagi adalah dukungan dan peran serta masyarakat luas. Demikianlah perjuangan memerangi KKN di Indonesia. Kita telah melangkah panjang dengan menyiapkan aturan perundang-undangan sebagai suatu resep yang mujarab. Yang penting resep itu harus ditindaklanjuti dengan gerakan operasional yang efektif. Insya Allah kali ini kita berhasil agar kita tidak menjadi bangsa dengan citra ''satrio wirang'' karena gagal memberantas korupsi. Tugas mulia ini mari kita laksanakan bersama-sama.

0
1.4K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan