Lebih Dekat Dengan Rozik B Soetjipto
Ditengah kesibukannya, Bapak Rozik Soetjipto , Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) meluangkan waktu untuk wawancara ekslusif dengan redaksi di ruang kerjanya. Sosok sederhana yang hangat ini mengisahkan masa kecil, remaja dan dewasanya, sampai dengan sharing mengenai harapannya tentang masa depan Freeport Indonesia di bawah kepemimpinannya.

Bagaimana Perjalanan Hidup Bapak?
Saya lahir di Karanganyar pada tahun 1943, resminya pada bulan Agustus. Tetapi saya bernaung di bawah rasi bintang Scorpio. Heran kan? Ketika itu jaman Jepang catatan administrasi kelahiran saya ganda karena simpang siur jadi ada dua tanggal kelahiran. Masa kecil saya lewatkan di Temanggung, Jawa Tengah lalu ketika mulai sekolah keluarga saya pindah ke Magelang hingga saya lulus SMA. Ayah saya seorang dokter umum yang sering berpindah-pindah kota. Pada tahun 1961 saya diterima kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan pindah sendiri ke Bandung, Jawa Barat. Setelah lulus saya langsung mengajar sebagai asisten dosen di ITB, lalu mendapatkan bea siswa dari Pusat Pengembangan Industri Logam, Departemen Perindustrian kala itu untuk melanjutkan kuliah S2 dan S3 di Belgia, Eropa dari 1971 sampai 1976. Bea siswa itu saya peroleh setelah saya menikah dengan gadis asal Jawa Barat yang tinggal di Bandung yang saya kenal sejak kuliah di ITB, sekarang namanya menjadi Dukat Soetjipto. Alhamdulillah setelah 11 tahun menunggu kami dikaruniai seorang Putra yang kami beri nama, Moh. Wisnu Syailendra, kini sudah 31 tahun usianya. Perjalanan karir saya banyak di sektor pemerintah, sebagai Direktur, Dirjen Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi, dan Menteri Pekerjaan Umum. Tetapi karir terpanjang saya sebetulnya dosen senior Fakultas Teknik Metalurgi, ITB. Lainnya saya menjadi komisaris dan konsultan di beberapa perusahaan pertambangan, sampai akhirnya saya ditunjuk menjadi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia.

Siapa orang-orang yang dekat dengan Bapak selama di rantau (Belgia)?
Selain alm Pak Frans Seda, dulu Duta Besar kita di Belgia dan Pak Sumadi Brotodiningrat, dulu sekretaris 1 di KBRI, saya sangat dekat dengan Prof. Jeff Roos, dosen pembimbing saya. Sampai sekarang kami masih sering kirim email. Beberapa bulan yang lalu saya kirim email ke dia mengundang untuk kunjungan ke Grasberg. Karena heran dengan undangan saya, saya ceritakan bahwa saya sekarang menjadi eksekutif PT Freeport Indonesia. Katanya orang-orang seperti kami ini energinya berlebih meski sudah pensiun di birokrasi masih saja merasa tertantang untuk berkarya. Dan itu juga yang mendasari mengapa saya menerima penugasan sebagai Presiden Direktur PTFI.

Freeport di mata Bapak dan harapan ke depan?
Freeport merupakan investor asing pertama disektor pertambangan yang masuk ke Indonesia pada 1967 dimana pemerintahan Indonesia masih belum stabil. Tetapi Freeport berani mengambil resiko berinvestasi di daerah yang paling terpencil kala itu. Saya rasa Freeport harus dapat menyeimbangkan diri sebagai entitas bisnis dan warga korporasi yang bertanggung jawab. Karena industri tambang selalu punya dampak teritorial yang luas. Dan seringkali mengundang persepsi negatif apabila tidak seimbang sebagai warga korporasi yang baik dan unit usaha. Dalam berbagai kesempatan saya menjelaskan beberapa fakta dan angka-angka dan memberikan pemahaman agar tidak ada mispersepsi terhadap Freeport ke berbagai media nasional. Saya juga coba mendengarkan masukan dari media dan bersedia berdialog dengan pemimpin-pemimpin redaksi media nasional. Saya rasa penting sekali bagi kita semua untuk melihat ke depan, menghargai para pendahulu kita yang sudah banyak berbuat dan memperbaiki diri. Saya ingin karyawan kita bangga menjadi bagian dari Freeport dan kompak untuk berbuat lebih baik lagi, tanpa melihat jenjang hirarki dalam organisasi. Karena kita semua adalah makhluk sosial yang berkedudukan sama rendah berdiri sama tinggi dalam gagasan, pemikiran dan karya.