- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Melawan politisasi agama dgn budaya


TS
binoc12345
Melawan politisasi agama dgn budaya
Spoiler for NO REPOST:

Mohon izin share info mimin & momod ya mohon maaf klo salah kamar
Spoiler for :

Quote:
Original Posted By Tulisan ini sebenarnya merupakan kenangan ketika saya menginap di salah satu perkampungan
Dayak, di Kabupaten Kutai Timur. Namun tidak ada salahnya, tulisan ini ditampilkan kembali
untuk membuka cakrawala kita semua bahwa kondisi bangsa hari ini selalu diwarnai dengan
politisasi agama. Hanya satu cara untuk menghindari itu adalah dengan mempertahankan budaya
kita, budaya bangsa Indonesia yang begitu kaya.
Yen Yang Ping, adalah seorang laki-laki keturunan asli Suku Dayak Wehea. Ia memutuskan
menjadi mualaf, pada 1989. Ketika bertemu denganya, saya menyapa Pak Yan. Dari pilihannya
menjadi mualaf itu, dirinya diberi nama Syahibur Razak. Jika dirunut dari silsilah, Pak Yan masih
keturunan raja. Dalam struktur sosial Dayak Wehea, dikenal empat kasta, yakni Hepui (raja-raja),
Medang (turunan bangsawan), Pengin (orang biasa), dan Psap (tawanan).
Meskipun Pak Yan muslim, tetap saja ketika dia menikah, harus mengikuti ritual adat. Dalam
ritual adat (pernikahan), selalu ada sesajen yang disediakan. Sesajen itu berisi tembakau, telur,
beras, sirih, buah pala dan kemenyan. Sesajen itu diletakkan di depan pasangan mempelai yang
mengenakan pakaian adat Ebing. Ketika kemenyan sudah dibakar, kemudian kaki mempelai laki-
laki diputar di atas asap, didahulukan sebelah kanan selanjutnya kaki kiri. Upacara itu dipimpin
oleh tetua adat, seorang perempuan yang dipercaya memiliki kesaktian tinggi.
Puncaknya, ritual ditutup dengan tarian Ngelian. Setelah semua proses dilalui, kedua mempelai
memberikan kenang-kenangan kepada masing-masing orangtua yang prosesnya disebut dengan
Kemeheng. Bak gayung bersambut, orangtua yang menerima pemberian menyampaikan nasihat
kepada anak-anak mereka sebelum menjalani kehidupan berumah tangga. Komunikasi dua arah
itu disebut Suen Keheah.
Nilai adat-istiadat tidak hanya mewarnai kehidupan sosial masyarakat Dayak Wehea. Dalam
urusan politik pun sama. Masih dikatakan Pak Yan yang juga Ketua Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) ini, setiap kepala desa yang dilantik, harus menjalani sumpah adat. Kendati, Pemkab
Kutai Timur tidak mengatur mekanisme itu. Kondisi ini dipertahankan. Bila ada kepala desa yang
melanggar sumpah adat, dipercaya tujuh turunan keluarga kepala desa akan mengalami kesialan
dalam hidupnya. “Ada beban sosial,” kata Pak Yan.
Selain Islam, agama lain yang dianut Dayak Wehea, yakni Protestan dan Katolik. Dari
komposisinya, penganut Islam masuk kelompok minoritas. Hanya 10 persen dari 800 warga suku
Dayak Wehea di sana. Selebihnya di dominasi pemeluk agama Katolik. Masuknya Islam ke daerah
tersebut dibawa oleh warga pendatang. Muara Wahau merupakan daerah tujuan transmigrasi
yang ditetapkan pemerintah pada 1987. Banyaknya pendatang akhirnya mengubah struktur sosial
Dayak Wehea. Karena dalam migrasi itu terjadilah pernikahan silang.
Menurut penjelasan Kepala Adat Dayak Wehea Desa Nehas Liah Bing, Ledjie Taq, Islam pertama
masuk di kawasan pesisir, dibawa oleh para keturunan Kesultanan Kutai, di antaranya Datuk Ri
Bandang. Semenjak itulah Suku Kutai serius menjadi komunitas lokal yang gencar menyebarkan
Islam. Agama Islam sendiri masuk ke Kerajaan Kutai di awal abad 16 sampai abad 17. Saat itu
pada masa pemerintahan Sultan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapat, sekitar tahun 1635.
Masuknya Islam hingga mempengaruhi produk hukum Kesultanan Kutai. Dibuktikan dengan
dibuatnya “Panji Selaten” dan “Undang-Undang Beraja Nanti”. Keduanya banyak merujuk kepada
hukum Islam.
Sementara itu, agama Kristen disebarkan oleh penginjil asal Jerman dan Swiss. Organisasi yang
mengutus para penginjil asal Jerman adalah Rheinische Mission Gessellschaft zu Barmen pada
1863-1925. Barulah dilanjutkan oleh organisasi Evangelische Gessellschaft zu Basel asal Swiss.
Peran dua lembaga inilah yang banyak memengaruhi Suku Dayak, termasuk Dayak Wehea hingga
menganut Kristen dan Katolik.
Sedangkan masuknya agama Kristen Protestan menurut Ledjie Taq, pada tahun 1957 dibawa oleh
Pendeta Boew. Namun karena pengikutnya sedikit, hanya 12 orang, perkembangan agama
Protestan tidak signifikan. Sebaliknya justru agama Katolik berkembang pesat yang masuk tahun
1967 dibawa oleh seorang pastor bernama Frans Huvang, seorang pastor lokal keturunan asli
Dayak Mahakam. “Dayak Wehea lebih banyak menerima Katolik. Karena masih menghormati nilai-
nilai budaya yang sudah ada ketika dalam proses penyebarannya,” kata Ledjie Taq.
Pria kelahiran 1948 penganut Katolik ini menuturkan, kendati keyakinan Dayak Wehea beralih dari
sebelumnya Animisme, tapi banyak nilai-nilai hukum adat sangat kental dan ketat mengatur
relasi antar-sesama. Meski berbeda dalam keyakinan, nilai-nilai adat itulah yang menjadi
perekat agar bisa hidup berdampingan.
Relasi sosial itu terlihat pada saat di kampung tersebut ada warga yang meninggal. Dengan
kesadaran yang tinggi, mereka saling membantu untuk meringankan penderitaan keluarga yang
ditinggalkan, dengan memberi santunan berupa beras. Sama halnya dengan pesta pernikahan.
Biasanya, babi disajikan sebagai menu makanan. Untuk menghormati komunitas Muslim,
keluarga yang menggelar pernikahan tadi, menyediakan pula ayam potong. “Konflik pun kita
selesaikan dengan cara adat,” jelasnya.
Hal itu juga dibenarkan Pastor Remiygius Ukat yang selama ini mendampingi Dayak Wehea untuk
memberikan pemahaman ajaran Katolik. “Mekanisme adat itu untuk menghindari politisasi
agama,” katanya. Akar budaya dengan fondasi harmoni dan kepedulian terhadap lingkungan
menjadi keyakinan adat Dayak Wehea.
Nilai-nilai harmoni inilah yang memudahkan warga pendatang masuk dan berinteraksi.
Akibatnya, nilai-nilai itu mengalir sampai ke kehidupan sosial antara Dayak Wehea dengan
pendatang. Budaya yang dilestarikan dimanfaatkan sebagai alat koreksi terhadap sesuatu yang
salah. Nilai-nilai ini juga dimanfaatkan sebagai pintu masuk untuk mengajarkan agama. “Ini
menjadi tanggung jawab bersama. Meski dibebankan kepada ketua adat,” tutur Remiygius.
Upaya menjaga nilai-nilai budaya seharusnya juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Ibarat
segi tiga emas, kekuatan pemerintah, agama, dan adat harus dipadukan sebagai landasan ikatan
sosial dalam menjalankan kehidupan. Wadah forum lintas agama diharapkan mampu melibatkan
unsur tokoh adat. Ini penting, karena selama ini, forum lintas agama hanya menyentuh elite,
tidak sampai di akar rumput. Kerangkanya harus jelas, agar tidak membunuh identitas budaya
masyarakat lokal.
Diubah oleh binoc12345 09-08-2013 13:32
0
840
Kutip
11
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan