Kaskus

Entertainment

virtus07Avatar border
TS
virtus07
Kisah perjuangan sang 'Medical Representatif'
Kisah perjuangan sang 'Medical Representatif'

Jam menunjukkan pukul 11 siang. Terik matahari yang kadang disusul hujan deras sore harinya, tidak menyurutkan langkah seorang medical representatif (medrep) untuk memacu sepeda motornya ke sebuah rumah sakit. Inilah saatnya bagi 'manusia baja' tersebut untuk bekerja. Sebagai seorang medical representatif di sebuah perusahaan farmasi asing, dia hafal betul kapan harus menemui kliennya; dokter. Dia harus pintar mencari waktu yang tepat untuk bertemu dengan dokter. Kalo tidak, dokternya nggak bakalan mau menemui dirinya.

Medical representative, atau sering disingkat dengan nama Med-Rep, atau yang sering disebut Detailer. Profesi ini tugasnya “Menjual” atau mempromosikan produk obat dari tempatnya bekerja kepada para dokter.

Persaingan di lapangan sangat ketat, terutama di Indonesia ada beratus-ratus perusahaan farmasi yang memproduksi obat dengan kegunaan yang sama. Med-Rep harus memeras otak agar produk laku “dibeli” atau diresepkan oleh dokter. Memeras otak dan tenaga telah menjadi pekerjaan sehari-hari, terutama bagi Med-Rep yang ingin maju. Kadang harus rela bekerja melebihi jam kerja karyawan lain, bila memang tuntutan pekerjaan mengharuskan.

Namun, kadang peran mereka rupanya dari waktu ke waktu makin bergeser. Tidak lagi sekadar agen obat, melainkan juga fasilitator untuk banyak kepentingan, baik dari sisi dokter/rumah sakit maupun dari sisi produsen. Mereka bekerja untuk mempertemukan dua kepentingan yang sama: kata majalah SWA, apakah itu? FULUS.

Banyak gosip "kong-kali-kong" antara perusahaan obat dengan oknum dokter. Berbagai macam iming-iming dilancarkan. Mulai dari uant tunai, mobil, laptop, keliling dunia, dan nafsu... Bentuk promosi dan strategi pemasaran obat ethical bisa dimulai dari yang halus/sopan hingga yang vulgar.

Biasanya, cara yang dilakukan untuk rumah sakit cukup halus, yakni berupa keterlibatan pensponsoran seminar, ulang tahun rumah sakit, dan sebagainya. Perusahaan farmasi bersedia memberikan sejumlah dana, tapi rumah sakit diminta memakai produk dari perusahaan yang menyumbang.

Praktik yang dijalankan medrep seolah-olah sangat wajar. Misalnya, memperkenalkan produk dengan membawa makanan kecil, map-map, bupen-bulpen dsb ke apotek atau rumah sakit. Perkenalan diteruskan dengan bincang-bincang intens menyangkut hobi dan kesukaan. Tidak ketinggalan, meminta apotek membeli obat yang direkomendasikan dengan iming-iming diskon, atau bahkan menjanjikan setengah penjualan obat itu untuk apotek. Ini ada potongan artikel menarik yang saya cuplik dari SWA.

Setiap langkah medrep pasti berbau fulus. Seorang dokter spesialis dari Tangerang, mengatakan, medrep sekarang makin terus terang, bergerak cepat dan langsung to the point. “Mereka tanpa ragu-ragu minta ‘bantuan’ kami,” cerita sang dokter. Namun hebatnya, bukan berarti mereka datang tanpa data. Biasanya medrep sudah mengantongi data lengkap pasien yang berkunjung ke dokter, tempat praktik, dan informasi tentang keluarga. “Diam-diam mereka mengamati saya,” imbuh sang dokter.

Bagi dokter yang dianggap unggulan (level satu) karena memiliki potensi pasien besar (sekitar 200 pasien setiap hari), digunakan pendekatan yang lebih seru, yakni mengundang jamuan makan malam. Pada pertemuan informal itu, bukan medrep lagi yang menemui, melainkan seorang manajer atau bahkan manajer senior. Pertemuan itu dimaksudkan untuk langsung mempromosikan keunggulan obat dan hitung-hitungan reward yang bakal diberikan. “Mereka bicara blak-blakan, tanpa malu-malu. Seperti bernegosiasi,” ungkapnya. “Bisa jadi negosiasinya berupa terima gaji bulanan dari pabrik obat yang bersangkutan,” sumber SWA yang mengelak disebutkan namanya itu menambahkan.

Dari pengalaman selama didekati perusahaan farmasi, seorang dokter pria “memuji”, perusahaan farmasi kini makin “pintar” memilih iming-iming hadiah. Seperti yang baru saja dialaminya, tiba-tiba ia mendapat bonus notebook Apple Mac dengan ucapan selamat hari Natal dan terima kasih telah membantu mereka. “Bagaimana mereka bisa tahu kalau anak saya membutuhkan notebook seri terbaru itu tahun lalu, padahal saya tidak pernah menceritakan kalau saya berencana akan membelinya buat anak saya,” paparnya keheranan.

Ada lagi seorang dokter muda flamboyan yang memperoleh hadiah Jaguar. Dari mana bisa? “Dokter itu memang gaya dan sangat terkenal di kotanya. Nggak tahulah, setiap tahun dia juga bisa liburan ke luar negeri dari perusahaan farmasi yang sama,” ungkap seorang pemilik apotek terheran-heran dengan hadiah yang menggiurkan itu.

Seorang mantan direktur keuangan sebuah rumah sakit swasta juga tidak heran dengan taktik medrep tersebut. Menurutnya, amat mudah melacak kebutuhan keluarga dokter. Dalam hal ini, lanjutnya, yang penting adalah hitung-hitungan bisnis. “Selama permintaan atau kebutuhan itu sesuai dengan bujet, hadiah dalam bentuk apa pun tidak masalah,” katanya. Dia mengamati, bonus bukan hanya berupa mobil mewah, tapi bisa jadi rumah mewah, dibangunkan klinik, atau malah uang tunai sehingga bisa memilih barang sendiri. “Ujung-ujungnya no limit,” ia menandaskan.

Hmmmm... sangar bukan? Ada lagi pabrik farmasi yang memberikan kertas untuk menulis resep. Tapi dibagian bawah kertas resep tersebut sudah tercetak tulisan "Obat yang tertulis di resep tidak boleh diganti". Padahal saat ini, pasien sudah semakin pintar. Dan merupakan "HAK" pasien untuk mendapatkan obat yang "rasional", yaitu harga yang pantas untuk produk yang pantas pula. Kalo sudah seperti ini, pasien atau konsumenlah yang dirugikan. Padahal apoteker tidak bisa dengan seenaknya mengganti obat yang tertulis di resep. Perlu bertanya ke dokter sang pemberi resep terlebih dahulu.

DVMG berpikir kemudian… pemasaran ‘obat’ yang mungkin menyangkut ‘HIDUP-MATI’ seseorang kok seperti ini? Bagaimana nasib pasien atau konsumen? Bagaimana nasib sang med-rep dengan reputasi nama baiknya? Bagaimana perasaan sang dokter ketika menuliskan obat X pada resepnya yang mungkin tidak begitu atau sama sekali tidak dibutuhkan oleh pasien? Tentu saja TIDAK semua dokter dan med-rep seperti itu.

Mungkin rekan-rekan Med-Rep sekalian punya pengalaman yang berbeda? Mari diskusi pada kolom 'komentar genius' di bawah ini atau facebook fanpage kita.

Menurut DVMG, masalah pemasaran obat ethical: yang dibutuhkan di sini adalah keterbukaan industri obat menyangkut mekanisme dan aktivitas usahanya. Bagaimanapun, pasien atau konsumen yang merasakan akibat yang ditimbulkan dari terjadinya persaingan bisnis. Dan, cara pemasaran yang elegan jauh lebih bermanfaat jangka panjang ketimbang kepentingan sesaat.

sumber: www.bioactivegroup.com
0
9.2K
27
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan