Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

abu.fawasAvatar border
TS
abu.fawas
Legenda sepakbola, Garrincha: Hedonisme si burung kecil


Brasil dikenal sebagai kiblat sepakbola indah. Bagi mereka, menang saja tak cukup. Menang itu harus, tapi bermain indah juga mutlak. Dan untuk memahami fenomena khas Brasil itu, kita harus menyebut satu nama: Garrincha.

Bagi Brasil, Garrincha lebih dari sekadar pemain yang mempersembahkan dua gelar juara dunia (1958 dan 1962). Cara Garrincha bermain, tekniknya saat menggiring dan menggocek bola, gayanya dalam melewati dan mempermalukan lawan tak akan pernah terlupakan dalam sejarah sepakbola Brasil.

Jika kultur Brasil dikenal amat menyukai suka cita, pesta, karnaval, dan segala hal riuh yang extravaganza, maka Garrincha berhasil menjawab sekaligus memenuhi kebutuhan-kebutuhan suka cita itu dengan aksi-aksi sirkusnya di lapangan hijau.

Si Burung Kecil yang Tak Terduga

Eduardo Galeano, novelis kawakan Uruguay, menyebutnya sebagai pemain bola yang sanggup menyulap lapangan menjadi pertunjukan sirkus. Dalam karya puitis tentang sepakbola berjudul Football in Sun and Shadow, Galeano menulis beberapa pasase yang indah mengenai Garrincha.

"Garrincha,"tulis Galeano, "menjadikan bola tak ubahnya hewan peliharaan yang penurut dan permainan sepakbola sontak menjadi undangan untuk berpesta. Dia dan hewan peliharaannya, bola, berduet memperagakan beberapa trik indah. Dia melompat-lompat di atas bola, lalu bola melompat-lompat di atasnya. Lantas bola seperti menghilang, dan lalu akan muncul lagi di hadapannya. Sepanjang prosesi itu, bek-bek yang mengejarnya akan bertabrakan satu sama lain."



Tidak heran jika Rui Castro, biografer yang menulis buku Garrincha: The Triumph and Tragedy of Brasil's Forgotten Footballing Hero, menyebutnya sebagai "pemain paling amatir yang pernah dilahirkan sepakbola profesional".

Ya, Garrincha adalah seorang amatir -- terutama jika merujuk etimologi kata amatir yang kira-kira berarti "seorang pecinta" (amateur, amator, amor, lover). Dia memang mencintai sepakbola, teramat sangat bahkan, tapi itu hanya saat bola sedang ada di kakinya saja. Saat tak ada bola di kakinya, dia tak peduli dengan sepakbola. Dia tak peduli dengan taktik.

Beberapa literatur menyebutkan gaya mainnya seperti seekor burung kecil: lincah, terbang dengan jarak-jarak pendek namun tak terduga, diselingi melompat-lompat secara variatif seperti burung yang melompat dari dahan ke dahan dan semuanya seringkali dilakukan secara tak terduga dan tanpa rencana.

Garrincha, nama panggilan itu, sesungguhnya adalah sebutan untuk sejenis burung kecil yang biasa ditemukan di Brasil.

Bermain di sisi lapangan sebagai pemain sayap kanan, Garrincha tak lelah-lelahnya menunggu bola, lalu mengolahnya sedemikian rupa, nyaris tanpa kepedulian pada taktik dan strategi, dan cenderung menurutkan kata hati -- sehingga membuatnya selalu tak terduga. Itu sebabnya dia ditempatkan di sisi luar permainan, membiarkan agar chaos yang dibuatnya "terisolasi" hanya di tepi lapangan, dan tidak ikut-ikutan berimbas pada area lainnya -- ia ibarat seorang konduktor yang memimpin orkestra dan karenanya diberi tempat tersendiri nan khusus di atas panggung: di sisi kanan lapangan.



Di Piala Dunia 1958 dan 1962, posisi dan wilayah itu pula yang diberikan secara khusus untuk Garrincha. Bermain dalam formasi super ofensif 4-2-4, dia menjadi satu dari empat pemain tukang gedor di depan: bersama Zagallo di sisi kiri, Pele dan Vava sebagai penyerang tengah.

Dalam posisi itulah dia mempertontonkan bagaimana kaki yang "cacat" bisa melahirkan sirkus yang dalam sekejap bisa mendadak berubah menjadi chaos yang menghancurkan lawannya.

Garrincha Menyihir Dua Piala Dunia

Dan, demikianlah, bisakah anda bayangkan jika pemain dengan keahlian sihir macam itu memiliki kekurangan fisik yang fatal: kaki kanannya lebih panjang 6 cm dari kaki kiri, bentuk kaki kiri melengkung ke luar, bentuk kaki kanan melengkung ke dalam. Jika berdiri tegak, bagian bawah tubuh Garrincha mirip bangunan yang hendak roboh.

Dengan kondisi fisik demikian, sepertinya mustahil bagi Garrincha kecil untuk bermain bola. Tapi dia toh tetap membandel. Dia tetap bermain bola, sebab -- selain mengejar burung-burung kecil -- aktivitas apa lagi yang bisa dilakukan oleh bocah miskin di sebuah daerah sub-urban Rio de Jeneiro?

Di umur belasan, Garrincha sudah bekerja di sebuah pabrik tekstil. Tapi dia buruh yang bandel dan pemalas sehingga terpaksa dipecat. Sepakbola yang menyelamatkannya. Karena salah seorang pemimpin pabrik tersebut sangat bergairah dengan sepakbola, Garrincha pun dipanggil kembali untuk bekerja di pabrik agar bisa memperkuat kesebelasan pabrik tersebut.

Beberapa tahun kemudian, dia mencoba peruntungan dengan melamar ke beberapa klub besar di Rio, seperti Fluminense dan Vasco da Gama. Ditolak. Di usia 19 tahun, barulah Garrincha diterima Botafogo, dengan jalan sedikit berliku, terutama berkat kepiawaiannya menggocek salah seorang bek senior Botafogo dan timnas Brasil bernama Nilton Santos dalam sebuah sesi latihan.

Sejak itulah kariernya melesat cepat. Dia menjadi eksponen penting timnas Brasil saat berhasil menggondol trofi Jules Rimet untuk yang pertama kalinya pada 1958. Pada Piala Dunia 1962, saat Pele hanya bermain di laga awal, dia menjadi tumpuan utama timnas Brasil. Dan beban itu dijawab tuntas dengan penampilan brilian Garrincha.



Menurut Alex Bellos, penulis buku The Brasilian Way of Life, peran Garrincha di Brasil pada Piala Dunia 1962 agak mirip peran Maradona di Argentina pada Piala Dunia 1986. Dengan absennya Pele dan makin menuanya pemain-pemain veteran 1958, Garrincha praktis menjadi tumpuan terpenting Brasil -- hampir bisa dibandingkan dengan Maradona saat membawa Argentina menjuarai Piala Dunia 1986. Tak heran jika dia didapuk sebagai pemain terbaik di turnamen Piala Dunia 1962 itu.

Segala puja-puji bagi Garrincha pun berdatangan. Di perempat final, Brasil mengalahkan Inggris 3-1, dengan Garrincha berhasil mencetak gol lewat tendangan keras melengkung yang sejak itulah mulai dikenal istilah "banana shot". Pers Inggris memujinya sebagai "gabungan pawang ular, Stanley Mathews dan Tom Finney".

Di semifinal, melawan tuan rumah Chile, Garrincha mencetak 2 gol dan membawa Brasil unggul 4-2. Untuk performa gemilangnya itu, pers Chile menurunkan headline: "Berasal dari planet manakah Garrincha?"

Hedonisme di Dalam dan Luar Lapangan

Berasal dari planet manakah Garrincha? Tidak, Garrincha tak berasal dari planet yang jauh. Dia berasal dari kawasan miskin kota Rio de Jeneiro. Dia miskin, dan terpaksa sejak remaja menjadi buruh pabrik. Kemiskinan itu pula yang membuat "cacat" di kakinya itu tak bisa disembuhkan. Padahal, saat lahir, kaki Garrincha bisa saja disembuhkan jika punya uang untuk dioperasi.

Maka ketika Garrincha menjadi superstar, dia pun terjerembab pada gaya hidup gila-gilaan. Alkohol jadi teman setianya, selain perempuan tentu saja. Di puncak kejayaannya, dia tinggalkan Nair Marques yang sudah memberinya 8 anak demi menjalin hubungan dengan penyanyi samba, Elza Soares. Hubungan itu membuat dia dijauhi lingkungan sekitar, terutama masyarakat di Pau Grande, distrik tempat Garrincha tumbuh. Elsa akhirnya meninggalkannya pada 1977, setelah Garrincha yang dalam keadaan mabuk berat memukulnya.

Dia pun jatuh bangkrut dan terpaksa tinggal di rumah yang biaya sewanya ditanggung federasi sepakbola Brasil (CBF). Itu tak menghentikan kebiasaannya menenggak minuman keras. Dia dirawat beberapa kali karena gaya hidupnya yang urakan dan akhirnya meninggal dunia karena overdosis alkohol pada 20 Januari 1983.

Apa yang bisa dicatat dari gaya hidup Garrincha di luar lapangan dengan gaya bermainnya di atas rumput?

Jose Sergio Leite Lopes, seorang profoser antropologi yang dengan detail menulis monograf pemakaman Garrincha, cukup tepat menganalisis bagaimana Garrincha telah memasukkan "kesenangan hedonistik ke dalam sepakbola profesional".

Ya, hedonis. Itu kata kuncinya. Di atas lapangan, dia adalah seorang yang hedon dengan bola. Bola tak ubahnya alkohol atau seks baginya. Tak ada yang bisa menghentikan nalurinya bersenang-senang dengan bola. Taktik, formasi atau strategi tak bisa menghentikan naluri hedonisnya.

Simaklah bagaimana dia mencetak gol ke gawang Fiorentina, dalam sebuah laga ujicoba, sebulan menjelang Piala Dunia 1958. Dia dengan mudah melewati empat bek plus kiper dan tinggal berhadapan dengan gawang yang melompong. Lantas apa yang dilakukannya? Dia tunggu lebih dulu bek itu kembali mengejarnya, setelah itu bek tersebut ia gocek lagi, dan barulah ia menembak ke arah gawang. Gol! Penonton bersorak girang, sekaligus tertawa menyaksikan "kebodohan" bek lawan.

Sekali waktu, pernah juga Garrincha mempermalukan bek lawan. Di sisi lapangan, dia membawa bola dengan kecepatan tinggi, tapi kemudian tiba-tiba dia mendadak berhenti. Saat bek yang mengejarnya dengan susah payah menghentikan lari, dia dengan cepat berlari lagi dengan bola. Lalu, setelah berhadap-hadapan lagi, Garrincha kembali menggoceknya, dan lantas berlari cepat. Bek yang menjaganya pun ikut berlari mengejarnya, padahal Garrincha meninggalkan bola begitu saja dan berpura-pura lari menggiring bola.

Kelakuan hedonisnya di lapangan hijau itu juga berlaku pada kehidupannya di luar lapangan. Alkohol, perempuan, seks dan kongkow-kongkow adalah bagian tak terpisahkan dari gaya hidupnya. Seperti yang sudah disebut di paragraf sebelumnya, dalam hedonisme itulah keruntuhannya datang, dan dalam keruntuhannya itulah Garrincha jadi mendiang -- dan akhirnya dikenang.

The Joy of the People

Seorang teman lamanya dari masa kecil, Malvina, berkata: "Dia bermain untuk kesenangan dan demi cinta. Garrincha biasa minum-minum di malam sebelum pertandingan lalu pergi dan keesokannya bermain di Stadion Maracana. Setelah laga, dia kembali ke sini untuk minum-minum lagi."

"Kualitas" itulah yang tidak dimiliki Pele: kemampuan tetap menjaga intensitas dengan asal-usulnya dan selamanya terus mengidentifikasi dengan asal-usulnya itu.

Pele memang kulit hitam, seperti Garrincha, tapi Pele adalah kulit hitam yang kaya, sukses, dan akhirnya tak pernah lagi tinggal di daerah sub-urban yang kumuh dan degil. Garrincha memang punya affair dengan selebritis Elza Soares, tapi Elza adalah seorang kulit hitam. Bandingkan dengan Pele yang sempat menikah dengan perempuan kulit putih. Pele adalah orang yang mampu mempersiapkan masa depan (menginvestasikan uang saat masih bermain ke dalam berbagai lini usaha), sementara Garrincha hanya tahu hari ini dan itu dihabiskan bersama kawan-kawannya. Pele adalah kemapanan, Garrincha adalah ketidakmapanan.

Tidak sulit mencari alasan kenapa Garrincha sampai sekarang masih dikenang dan diingat -- juga dicintai -- oleh rakyat Brasil, kadang dengan intensitas yang melebihi kecintaan mereka pada Pele. Sebab amat mudah untuk merasa diri sebagai bagian dari hidup Garrincha ketimbang bagian dari hidup Pele. Kegagalan hidupnya membuat dia terasa wajar, humanis, dan akhirnya seperti tak berjarak sekaligus terjangkau dengan kebanyakan orang Brasil yang mencintai sepakbola.



Dengan merujuk eksposisi Alex Bellos: "Pele, di atas segalanya, menjadi simbol para pemenang. Sementara Garrincha adalah simbol permainan demi permainan itu sendiri. Brasil ... adalah bangsa dengan rakyat yang sangat menyukai kesenangan."

Maka tak mengherankan jika kematiannya diratapi puluhan ribu orang di Rio de Jeneiro yang merasa kalau mereka telah bergabung dalam tindakan sewenang-wenang membiarkan sang pahlawan mati dengan menyedihkan. Mobil dan orang yang mengantarkan jenazah Garrincha tak ubahnya sebuah parade, atau bahkan sebuah karnaval. Pendeknya: sebuah prosesi pemakaman terbesar dalam sejarah sepakbola Brasil.

Bagaimana posisi Garrincha dan Pele di dalam sanubari orang Brasil tercermin di Stadion Maracana. Jika nama Pele diabadikan sebagai nama ruangan kamar ganti bagi tim tamu, nama Garrincha diabadikan sebagai nama kamar ganti rim tuan rumah. Menjadi jelas sekali situasinya: jika tim nasional Brasil bermain di Maracana, mereka menempati kamar ganti Garrincha, bukan kamar ganti Pele.

Inilah sepotong kisah seorang pemain yang akhirnya dijuluki Allegria de Popo, The Joy of the People.



Kalo berkenan kasih emoticon-Rate 5 Star ya gan
nona212Avatar border
nona212 memberi reputasi
1
4.3K
32
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan