Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bolangnusantaraAvatar border
TS
bolangnusantara
Alay merusak tatanan Bahasa leluhur
Kemana Bahasa Daerah Kita?

Masih adakah bahasa daerah di Indonesia dalam jangka waktu sepuluh atau dua puluh tahun mendatang? Jangan-jangan saat itu, bahasa daerah hanya menjadi cerita sejarah yang hanya diajarkan di sekolah-sekolah saja. Di era informasi tehnologi yang kini masif, bahasa daerah sepertinya sudah tak “seksi” lagi untuk diperbincangkan. Hidup segan, mati tak mau.

Bayangan itu mungkin terlintas di benak para pegiat bahasa daerah di tanah air. Misalnya saja para pegiat di Yayasan Kebudayaan Rancage. Walau tanpa bantuan pemerintah, yayasan ini konsisten berjuang agar bahasa daerah tetap eksis. Selasa lalu (4/6), mereka masih memberikan penghargaan bagi penulis sastra dalam bahasa Sunda, Jawa, Bali dan Lampung. Tahun ini adalah penghargaan yang ke-25.

Mereka sangat sadar akan pentingnya bahasa daerah sebagai sumber pembelajaran kearifan lokal seperti gotong-royong, toleransi dan kemanusiaan. Para pejuang bahasa daerah itu terus bekerja di tengah kian beratnya pelestarian bahasa dan sastra daerah. Apalagi, saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak memasukkan pelajaran soal daerah ke Kurikulum 2013.

Pemerintah pusat berdalih, sastra daerah domain pemerintah daerah. Sementara pemerintah pusat fokus mengurusi soal bahasa dan sastra Indonesia.

Padahal, kita tahu bahwa pendidikan formal adalah sarana terefektif untuk pelestarian bahasa daerah. Jika itu diabaikan, kita hanya menunggu waktu untuk melihat punahnya bahasa daerah di tanah air. Lihat saja di Provinsi Kalimantan Utara. Di propinsi termuda ini, sekitar sepertiga dari 26 bahasa daerah yang ada sudah punah. Punah berarti tidak ditemukan lagi dokumentasi maupun penuturnya.

Untuk mencegah kepunahan itu, Juli bulan depan, ahli budaya dari Yogyakarta akan meneliti dua bahasa yang hampir punah disana.
Ahli bahasa memperkirakan dari sekitar 746 bahasa daerah di Indonesia, bakal tinggal sepuluh persen atau sekitar 70-an bahasa saja di penghujung abad ke-21.

Gejala akan punahnya bahasa daerah sangat terasa di kota-kota besar di Indonesia. Coba kita lihat, seberapa banyak kalangan keluarga muda yang mengajarkan anaknya berbahasa daerah? Apalagi mereka yang memang sudah tidak bisa berbahasa daerah? Pasti, tak sedikit pun terlintas di benak mereka untuk mengajarkan bahasa daerah. Malah mereka lebih bangga jika anak mereka “cas-cis-cus” alias lancar berbahasa Inggris.

Di tengah situasi ini, apa yang bisa dilakukan? Peran pemerintah daerah masih sangat sentral. Walau bahasa daerah tak masuk kurikulum 2013, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tetap mewajibkan pengajaran bahasa daerah dari SD hingga SMA. Sebab, mereka memiliki Peraturan Daerah tentang Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa. Bahkan, perda itu diperkuat dengan Peraturan Gubernur.

Selain di bidang pendidikan, kebijakan kreatif pemda dengan melibatkan kalangan kampus, seniman dan media massa bisa dilakukan untuk mendongrak gengsi bahasa daerah. Misalnya saja, ide Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo, yang sejak akhir Mei lalu melalui jejaring sosial Facebook beranggota 1100-an orang, menerapkan aturan penulisan “status” atau komentar di “dinding” grup menggunakan bahasa Jawa.

Tentu, selain itu masih ada beragam cara untuk menaikkan pamor bahasa daerah. Namun, muaranya hanya: satu agar bahasa daerah tak lekang dimakan waktu!



PortalKBR.com

Ilustrasi




0
4.4K
35
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan