

TS
hasan.85
Refleksi Isra' Mi'raj; Membumikan Ajaran langit
Opini : Membumikan Ajaran Isra' Mi'raj
Membumikan Ajaran Isra' Mi'raj
Oleh : Ahmad Hasan MS*)
Salah satu peristiwa bersejarah yang memiliki posisi agung dalam umat islam adalah Isra’ Mi’raj. Muhammad Hussein haikal dalam Hayatu Muhammad mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan (Isra’) Nabi Muhammad S.A.W. dari Masjid al Haram, Makkah menuju Masjid al Aqsa, Jerusalem, Palestina. Kemudian, dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (Mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah (terletak sekitar 150 meter dari Masjid al Aqsa) menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian).
Mengenai hal ini, Allah mengabadikannya dalam al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat 1.” Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". M.Qurais-Syihab dalam tafsirnya al-Mishbah memberikan arti bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini membuktikan 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.
Berangkat dari situlah, M. Qurais-Syihab dalam bukunya “Membumikan al-Qur’an” menyebut Isra’ Mi’raj sebagai peristiwa yang paling monumental dan bersejarah sepanjang masa. Sebuah peristiwa luar biasa dan berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan umat manusia, khususnya islam. Sehingga Isra’ Mi’raj adalah salah satu mu’jizat Rasulullah SAW yang paling agung setelah al-Qur’an. Sebab, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini, Rasulullah mendapatkan beragam hikmah atau pelajaran yang bermanfaat bagi kebahagiaan manusia dunia akherat.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, peristiwa Isra’ mi’raj merupakan isyarat bagi setiap pemimpin untuk membumikan ajaran langit. Dalam arti, setiap pemimpin dituntut bisa mengambil hikmah keteladanan Rasulullah, khususnya dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini. Pertama, pemimpin harus bisa menjaga integritas moral. Dikisahkan, sebelum Nabi melakukan Isra’ Mi’raj, dada Nabi terlebih dahulu disucikan oleh malaikat Jibril dengan air zam-zam untuk menghilangkan berbagai kotoran jiwa dan raga dan diganti dengan akhlaq yang baik dan penuh dengan hikmah atau kebajikan. Ini menunjukkan bahwasanya setiap pemimpin sebisa mungkin dituntut untuk bisa menjaga kesucian dan kemurnian hati dari nafsu mazmumah (nafsu tercela).
Kemurnian hati ini adalah sebuah hal yang niscaya bagi setiap pemimpin, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, tanpa hal ini, kendaraan umat akan kacau. Keadilan social dan kesejahteraan umat yang dicita-citakan bersama hanya akan berjalan sekedar mimpi dan ilusi. Pasalnya, yang terjadi adalah hasrat egoisme untuk menikmati keuntungan bagi individu, kelompok, golongan dan organisasi yang membesarkannya. Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah salah satu bentuk akibat dari nafsu mazmumah ini.
Kedua, pemimpin hendaknya teguh dalam berprinsip, konsisten dan tanggung jawab. Dalam kitab Durratun Nashihin karangan Syakih Utsman al-Khaubawi, dijelaskan, sewaktu melakukan Isra’ Mi’raj, di tengah perjalanan beliau digoda oleh berbagai hal. Nabi mendengar suara dari sisi kanan memanggil-manggil beliau, ''Ya Muhammad, turunkanlah kecepatanmu.'' Demikian Bunyi suara itu. Tetapi suara itu tidak dihiraukan oleh Nabi. Kendaraan terus melaju, tapi dari sebelah kiri, terdengar suara panggilan serupa, dan tidak dihiraukan oleh Nabi. Terakhir, terdengar panggilan suara dari seorang perempuan. Nabi pun tidak menanggapi. Dan dalam perjalanan itu, Jibril menawari Nabi dua jenis minuman, yakni susu dan arak, tetapi Nabi memilih susu.
Setelah Nabi selesai minum, Malaikat Jibril menjawab pertanyaan Nabi perihal suara-suara tadi, juga tentang makna minuman itu. Suara yang memanggil-manggil dari sisi kanan, menurut Jibril, adalah provokasi dari Yahudi, sedang dari sisi kiri adalah provokasi dari Nasrani. Tapi untunglah Nabi tidak menanggapi, sehingga- menurut Jibril umatnya kelak tidak mudah terprovokasi untuk memasuki kedua agama tersebut.
Adapun tentang minuman, pilihan Nabi terhadap susu dibenarkan oleh Jibril, dengan begitu umatnya kelak akan berupaya sungguh-sungguh melaksanakan ajaran fitrah itu, dan tidak tersesat kemabukan dunia; sebagaimana tidak dihiraukannya suara memanggil-manggil yang datangnya dari seorang wanita (yakni, simbol perhiasan dunia). Ini menunjukkan bahwasanya pemimpin dituntut terpelihara dan bebas dari kepentingan pragmatis dan profid oriented (mencari keuntungan) semata, seperti harta, tahta dan wanita.
Ketiga, berpihak dan kembali pada umat. Diceritakan, setelah sampai ke Sidhratul Muntaha, Nabi bertemu langsung dengan Allah S.W.T untuk menerima perintah shalat. Pertemuan secara langsung dengan Allah S.W.T merupakan anugerah yang tiada terkira. Akan tetapi, Nabi sama sekali tidak melupakan umatnya sedikitpun sehingga Nabi kembali turun ke bumi. Pada hal, seperti yang dikatakan Imam Ghazali pertemuan dengan Allah merupakan cita-cita dan tujuan umat manusia, terlebih kaum sufi. Ini memberikan gambaran bahwasanya seorang pemimpin mutlak berorientasi kemaslahatan umat atau rakyat. Seperti yang berlaku dalam kaidah fiqh, “ tasharruful imam ala-ar’raiyyah, manuuthun bi al-maslahah (seorang pemimpin wajib mentasharrufkan kepemimpinannya untuk kemaslahatan rakyat).
Keempat, menggapai cita-cita bersama berdasarkan prinsip ketuhanan dan kemanusiaan. Intisari terpenting dari peristiwa isra’ Mi’raj adalah perintah shalat. Selesai Isra’ Mi’raj, Nabi diperintahkan oleh Allah SWT kepada umatnya untuk mendirikan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Ini sesuai dengan sabda nabi, “shalat itu tiangnya agama, barangsiapa mendirikan shalat, maka ia menegakkan agama”. Jika ditinjau secara filosofis, shalat merupakan symbol totalitas pengabdian kepada sang pencipta. Artinya, dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, manusia dituntut semata-mata bersandar dan bertujuan pada sang pencipta alam semesta.
Dalam shalat Nabi mencontohkan untuk berjama’ah. Artinya terdiri dari imam(pemimpin) dan ma’mum (yang dipimpin). Keduanya harus sesuai. Imam memimpin jama’ah, sedangkan ma’mum mengikuti imam. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sebagai pemimpin pemerintahan, seorang Presiden harus bisa memimpin rakyat untuk mencapai cita-cita bersama. Begitu pula, rakyat selaku yang dipimpin harus taat dan mendukung pada kebijakan pemerintah selama berjalan dalam rel yang benar. Dengan demikian, setiap pemimpin seyogyanya memiliki hubungan yang baik dan harmonis dengan tuhannya (Hablun Minallah) maupun sesamannya (Hablun Minannas). Inilah pesan utama peristiwa isra’ Mi’raj. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan keteladanan dari peristiwa yang paling bersejarah dalam sepanjang abad ini. Amien.
Penulis adalah Mantan Lurah Tanfidziyah PPM Hasyim Asy'ari. Asal Pasucen Trangkil Pati
Membumikan Ajaran Isra' Mi'raj
Oleh : Ahmad Hasan MS*)
Salah satu peristiwa bersejarah yang memiliki posisi agung dalam umat islam adalah Isra’ Mi’raj. Muhammad Hussein haikal dalam Hayatu Muhammad mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan (Isra’) Nabi Muhammad S.A.W. dari Masjid al Haram, Makkah menuju Masjid al Aqsa, Jerusalem, Palestina. Kemudian, dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (Mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah (terletak sekitar 150 meter dari Masjid al Aqsa) menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian).
Mengenai hal ini, Allah mengabadikannya dalam al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat 1.” Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". M.Qurais-Syihab dalam tafsirnya al-Mishbah memberikan arti bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini membuktikan 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.
Berangkat dari situlah, M. Qurais-Syihab dalam bukunya “Membumikan al-Qur’an” menyebut Isra’ Mi’raj sebagai peristiwa yang paling monumental dan bersejarah sepanjang masa. Sebuah peristiwa luar biasa dan berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan umat manusia, khususnya islam. Sehingga Isra’ Mi’raj adalah salah satu mu’jizat Rasulullah SAW yang paling agung setelah al-Qur’an. Sebab, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini, Rasulullah mendapatkan beragam hikmah atau pelajaran yang bermanfaat bagi kebahagiaan manusia dunia akherat.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, peristiwa Isra’ mi’raj merupakan isyarat bagi setiap pemimpin untuk membumikan ajaran langit. Dalam arti, setiap pemimpin dituntut bisa mengambil hikmah keteladanan Rasulullah, khususnya dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini. Pertama, pemimpin harus bisa menjaga integritas moral. Dikisahkan, sebelum Nabi melakukan Isra’ Mi’raj, dada Nabi terlebih dahulu disucikan oleh malaikat Jibril dengan air zam-zam untuk menghilangkan berbagai kotoran jiwa dan raga dan diganti dengan akhlaq yang baik dan penuh dengan hikmah atau kebajikan. Ini menunjukkan bahwasanya setiap pemimpin sebisa mungkin dituntut untuk bisa menjaga kesucian dan kemurnian hati dari nafsu mazmumah (nafsu tercela).
Kemurnian hati ini adalah sebuah hal yang niscaya bagi setiap pemimpin, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, tanpa hal ini, kendaraan umat akan kacau. Keadilan social dan kesejahteraan umat yang dicita-citakan bersama hanya akan berjalan sekedar mimpi dan ilusi. Pasalnya, yang terjadi adalah hasrat egoisme untuk menikmati keuntungan bagi individu, kelompok, golongan dan organisasi yang membesarkannya. Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah salah satu bentuk akibat dari nafsu mazmumah ini.
Kedua, pemimpin hendaknya teguh dalam berprinsip, konsisten dan tanggung jawab. Dalam kitab Durratun Nashihin karangan Syakih Utsman al-Khaubawi, dijelaskan, sewaktu melakukan Isra’ Mi’raj, di tengah perjalanan beliau digoda oleh berbagai hal. Nabi mendengar suara dari sisi kanan memanggil-manggil beliau, ''Ya Muhammad, turunkanlah kecepatanmu.'' Demikian Bunyi suara itu. Tetapi suara itu tidak dihiraukan oleh Nabi. Kendaraan terus melaju, tapi dari sebelah kiri, terdengar suara panggilan serupa, dan tidak dihiraukan oleh Nabi. Terakhir, terdengar panggilan suara dari seorang perempuan. Nabi pun tidak menanggapi. Dan dalam perjalanan itu, Jibril menawari Nabi dua jenis minuman, yakni susu dan arak, tetapi Nabi memilih susu.
Setelah Nabi selesai minum, Malaikat Jibril menjawab pertanyaan Nabi perihal suara-suara tadi, juga tentang makna minuman itu. Suara yang memanggil-manggil dari sisi kanan, menurut Jibril, adalah provokasi dari Yahudi, sedang dari sisi kiri adalah provokasi dari Nasrani. Tapi untunglah Nabi tidak menanggapi, sehingga- menurut Jibril umatnya kelak tidak mudah terprovokasi untuk memasuki kedua agama tersebut.
Adapun tentang minuman, pilihan Nabi terhadap susu dibenarkan oleh Jibril, dengan begitu umatnya kelak akan berupaya sungguh-sungguh melaksanakan ajaran fitrah itu, dan tidak tersesat kemabukan dunia; sebagaimana tidak dihiraukannya suara memanggil-manggil yang datangnya dari seorang wanita (yakni, simbol perhiasan dunia). Ini menunjukkan bahwasanya pemimpin dituntut terpelihara dan bebas dari kepentingan pragmatis dan profid oriented (mencari keuntungan) semata, seperti harta, tahta dan wanita.
Ketiga, berpihak dan kembali pada umat. Diceritakan, setelah sampai ke Sidhratul Muntaha, Nabi bertemu langsung dengan Allah S.W.T untuk menerima perintah shalat. Pertemuan secara langsung dengan Allah S.W.T merupakan anugerah yang tiada terkira. Akan tetapi, Nabi sama sekali tidak melupakan umatnya sedikitpun sehingga Nabi kembali turun ke bumi. Pada hal, seperti yang dikatakan Imam Ghazali pertemuan dengan Allah merupakan cita-cita dan tujuan umat manusia, terlebih kaum sufi. Ini memberikan gambaran bahwasanya seorang pemimpin mutlak berorientasi kemaslahatan umat atau rakyat. Seperti yang berlaku dalam kaidah fiqh, “ tasharruful imam ala-ar’raiyyah, manuuthun bi al-maslahah (seorang pemimpin wajib mentasharrufkan kepemimpinannya untuk kemaslahatan rakyat).
Keempat, menggapai cita-cita bersama berdasarkan prinsip ketuhanan dan kemanusiaan. Intisari terpenting dari peristiwa isra’ Mi’raj adalah perintah shalat. Selesai Isra’ Mi’raj, Nabi diperintahkan oleh Allah SWT kepada umatnya untuk mendirikan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Ini sesuai dengan sabda nabi, “shalat itu tiangnya agama, barangsiapa mendirikan shalat, maka ia menegakkan agama”. Jika ditinjau secara filosofis, shalat merupakan symbol totalitas pengabdian kepada sang pencipta. Artinya, dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, manusia dituntut semata-mata bersandar dan bertujuan pada sang pencipta alam semesta.
Dalam shalat Nabi mencontohkan untuk berjama’ah. Artinya terdiri dari imam(pemimpin) dan ma’mum (yang dipimpin). Keduanya harus sesuai. Imam memimpin jama’ah, sedangkan ma’mum mengikuti imam. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sebagai pemimpin pemerintahan, seorang Presiden harus bisa memimpin rakyat untuk mencapai cita-cita bersama. Begitu pula, rakyat selaku yang dipimpin harus taat dan mendukung pada kebijakan pemerintah selama berjalan dalam rel yang benar. Dengan demikian, setiap pemimpin seyogyanya memiliki hubungan yang baik dan harmonis dengan tuhannya (Hablun Minallah) maupun sesamannya (Hablun Minannas). Inilah pesan utama peristiwa isra’ Mi’raj. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan keteladanan dari peristiwa yang paling bersejarah dalam sepanjang abad ini. Amien.
Penulis adalah Mantan Lurah Tanfidziyah PPM Hasyim Asy'ari. Asal Pasucen Trangkil Pati


nona212 memberi reputasi
1
2.6K
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan