- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[CERPEN] Short Story of Us


TS
Dyahsera
[CERPEN] Short Story of Us
Jadi ane iseng bikin cerpen gan, langsung aja simak gan :
Piazza San Giovanni – Gisella Dirgaputra.
Cerah. Dingin. Dan indah. Itulah tiga kata yang kini berada di pikiranku. Pikiranku tentang sekelilingku, lapangan kecil yang terdapat banyak merpati putih jinak yang setiap hari singgah di tempat ini. Aku berdiri di lapangan bernama Piazza San Giovanni, Florence, Italia. Oh kalau disini kota kecil ini bernama Firenze.
Aku bukan orang Italia. Dan awalnya aku pun tidak mencintai kota kecil ini. Aku hanya gadis Asia biasa, sedikit memiliki darah Cina yang berasal dari nenek ibuku. Seutuhnya aku orang Indonesia, karena selain nenek ibuku, seluruh anggota keluargaku berasal dari Indonesia.
Firenze adalah kota kecil Italia. Bukan kota sibuk seperti kota sibuk dunia, New York, London, Tokyo, dan tak terkecuali Jakarta. Bukan pula kota besar lain Italia seperti Roma, Venizia – Venice, dan yang lainnya.
Langit hari ini cerah. Setiap pagi sekitar jam delapan hingga jam sepuluh, aku selalu menghabiskan waktu di lapangan kecil ini. Lapangan yang terdapat tepat di depan landmark kota Firenze, The Duomo, nama terkenal dari gereja Cathedral di Santa Maria del Fiore. Gereja indah yang memiliki kubah raksasa yang terdapat Brunelleschi, berupa lukisan di langit-langit kubah. Dan suka membeli gelato di gelateria seharga beberapa euro per cup yang banyak ditemui di kiri kanan blok ini.
Memang masih ada lapangan luas yang tak jauh dari lapangan ini, Piazza della Signoria. Lapangan luas yang terkenal dan selalu di kunjungi juga di penuhi oleh turis. Disana terdapat Palazzo Vecchio, Galleria degli Uffizi dan Museo di Storia della Scienza. Oh disana juga kita bisa melihat replika patung David pahatan Michaelangelo. Tapi aku tak tertarik dengan lapangan itu. Disana terlalu ramai, dan jarang mendapati burung merpati singgah untuk menunggu makanan. Aku memiliki kebiasaan memberikan jagung kering yang kulempari setiap pagi ke merpati-merpati itu.
Disini cukup dingin, tentu saja dingin. Walaupun sekarang musim panas.
Jadi, tak heran kan kalau tiga kata itu yang kini terpikir dalam otakku?
Aku tidak tahu kenapa aku bisa tinggal disini. Tapi ada sebuah kisah yang membuatku senang tinggal di kota kecil Italy ini. Dengan pria Italia yang kini sudah tinggal jauh walau ia lahir dan besar di tempat ini.
Dia sudah lama pergi. Aku sudah lupa kapan tepatnya ia pergi, tapi aku sangat ingat saat ia memelukku untuk terakhir kalinya. Aku masih ingat bagaimana rasanya, hangat. Kami berpisah saat kami lulus sekolah dasar. Masih kecil memang. Bahkan aku saja lupa bagaimana rupanya saat itu. Kami tidak sempat berfoto bersama, dan aku menghilangkan foto lulusan sekolah yang satu-satunya merupakan foto yang kupunya denganya. Aku besar disini, jadi aku sudah sangat mengenal kota ini.
Tidak ada petunjuk yang bisa mempertemukan kami kembali. Satu-satunya yang kuingat darinya hanyalah namanya. Bahkan aku tidak tahu ia pindah kemana. Entahlah, mungkin saja ia pernah menyebutnya tapi aku lupa.
Aku tersenyum sambil memberikan jagung kering di tanganku kepada merpati-merpati jinak. Oh walau aku lupa bagaimana rupanya, tapi aku masih ingat beberapa kisahku dengannya. Tanpa sadar aku tersenyum, mengingat kisah kecil kami.
***
“Aku pergii..” ucapku kepada kedua orang tuaku.
“Giselle! Giselle mau kemana kau?”
Aku memutuskan untuk tidak menjawab dan terus berlari menjauh dari
rumahku. Aku tahu, itu suara ibuku.
Aku terus berlari menuju sungai Fiume Arno. Rumahku memang tidak jauh dari sungai itu. Aku sudah memiliki rencana bersama teman-temanku yang lainnya untuk bertemu di sekitar sungai ini dan lalu kami akan menuju ke Piazza san Giovanni untuk memberikan makanan kepada merpati-merpati jinak.
Tidak terasa aku sudah sampai. Sungai ini ramai sekali karena sungai ini memang terkenal. Aku tidak tahu kenapa sungai ini bisa terkenal, tetapi banyak sekali orang yang melintasi Ponte Vecchio . Bahkan disana juga banyak yang berjualan.
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari teman-temanku. Tapi walau aku sudah menoleh beberapa kali, aku tidak mendapatkan mereka.
Tapi saat aku menoleh untuk yang kesekian kalinya, aku langsung membeku. Memandang orang itu heran, kenapa bisa ia ada disini?
Dia teman sekelasku. Anak pendiam yang jarang bergabung dengan teman-temannya. Tapi beberapa temanku mengakui kalau ia menyukai orang itu.
Tanpa sadar, kakiku melangkah mendekatinya. Lalu memukul pelan pundaknya.
“Hei!”
Dia menoleh. Cukup terkejut melihatku yang kini ada disampingnya.
“Sedang apa kau?” tanyanya.
Aku mengerut dahi. “Kau sedang apa?”
“Kenapa kau balik bertanya?”
“Kenapa kau menjadi cerewet?” tanyaku kemudian. Lalu dia pun terdiam. Memutuskan mengabaikanku kurasa. Buktinya saja ia menatap sungai kembali. “Aku hanya bercanda,” lanjutku. Aku merasa ia marah padaku. Tapi reaksinya tetap sama. Membuatku merasa tidak nyaman. “Apa kau sering kemari?” tanyaku lagi.
Kali ini ia memandangku. Dengan mata birunya.
Mata yang indah.
“Buat apa kau bertanya?”
“Hanya ingin tahu,” jawabku sekedarnya.
“Ya, aku kemari setiap hari,” jawabnya akhirnya. Walau matanya tak menatapku, ia tetap menatap sungai itu.
“Oh ya? Aku juga sering kemari. Tapi tak pernah melihatmu disini. Apa kau pernah melihatku disini?” tanyaku sambil tersenyum ramah.
Dia memandangku sekilas. Benar-benar sekilas. Dan akhirnya ia memandang sungai kembali. “Ya, aku selalu melihatmu berkumpul dengan yang lainnya disini.”
“Benarkah?” balasku antusias.
Dia memandangku heran. Aku pun tersenyum masam kepadanya. “Tapi ini membingungkan ya, kau selalu melihatku tapi aku baru kali ini melihatmu,” ujarku sambil memiringkan kepalaku.
Aku pun melihatnya kembali. Dan dia tetap saja sibuk menatap sungai. Aku tidak tahu apa yang menarik dari sungai Fiume Arno, tetapi ia asyik sekali menatap sungai tenang itu. Padahal menurutku sungai ini tidak begitu indah. Entahlah, mungkin karena aku terbiasa melihat sungai itu, aku jadi tidak menganggap sungai itu indah.
“Giselle!”
Aku menoleh mencari sumber suara. Oh itu dia teman-temanku. Aku pun melambaikan tanganku kepada mereka. Dan mereka mendekati kami.
“Giselle, aku tak pernah tahu kalau kau selama ini berpacaran dengan Nicollo,” ucap salah satu temanku yang berambut pirang sebahu sambil mengerlingkan matanya kepadaku dan Nicollo. Dan temanku yang lain pun ikut menggodaku. Hei, kenapa jadi seperti ini?
Entah mengapa aku merasa malu. “Hentikan Lucy, aku dan Nicolle hanya bertemu tak sengaja,” ujarku membela diri. Kulihat Nicollo, ingin tahu apa reaksinya, tetapi ternyata ia hanya diam saja. Padahal aku ingin ia mengatakan sesuatu.
Karena aku tak tahan teman-temanku terus menggodaku dan Nicollo terus diam seperti patung, aku pun membawa teman-temanku ke Piazza San Giovanni dan mengucapkan salam perpisahan singkat ke Nicollo yang tidak membalasnya.
***
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Saat ini tepat dengan waktu aku bertemu dengan Nicollo kemarin. Kalau ia memang benar selalu kesini setiap hari, pasti aku akan melihatnya kembali.
Oh tentu saja ia tak berbohong, itu dia Nicollo Luca, si murid pendiam kelasku.
“Nicollo, aku tahu kau disini,” ujarku sambil tersenyum lebar.
Ia memandangku heran, tetapi dia tidak membalas sapaanku. Aku tak mengerti kenapa ia terlalu pendiam, bahkan di sapa pun ia tidak membalas.
“Apa kau sudah lama disini?” tanyaku sambil memiringkan kepalaku tepat di depan wajahnya yang asyik melihat air sungai Fiume Arno.
“Apa-apan kau?” ucapnya cukup terkejut dan lalu mundur karena wajah kami tadi terlalu dekat.
Aku tertawa pelan. Ia manis sekali saat itu. Wajahnya memerah. Mungkin ia malu kepadaku, entahlah. “Sudahlah, daripada kau hanya diam saja, lebih baik ikut aku,” ujarku lalu menarik tangannya dan berlari menuju tempat yang selalu ku kunjungi. Piazza San Giovanni.
“Piazza San Giovanni?” ucapnya bingung. “Kau ingin aku ke gereja dan berdoa?” tanyanya lalu melepaskan genggaman tanganku.
“Bukan, lihat ini.” Aku merogoh sesuatu di dalam sakuku. Setelah aku mendapatkannya ku genggam erat dan kubawa keluar. Lalu menarik mengambil beberapa dari genggaman tanganku dan menebarkan.
Bunyi kepakan sayap langsung terdengar olehku. Merpati-merpati langsung berdatangan dari segala arah. Berubung di tempat yang tadi kusebar sesuatu. Kulirik wajahnya, ia tampak terpesona. Mungkin dia baru pertama kali melihat merpati-merpati terbang beramai-ramai dan mendarat di depan kami.
“Apa yang kau lempar tadi?” tanyanya antusias kepadaku, aku tak sadar ternyata ia sudah tepat disampingku.
“Ini,” jawabku sambil menunjukkan apa yang tadi kugenggam yang sudah kusimpan di saku bajuku.
“Jagung kering?”
“Merpati suka ini. Kau ingin mencobanya?” tanyaku sambil tersenyum. Dia menatapku dengan tatapan yang aneh, aku tak tahu apa yang sedang di pikirkannya. Tapi tiba-tiba ia membelakangiku. Dia kenapa? “Hei kau kenapa?” tanyaku heran.
Dia menyembunyikan wajahnya, orang Italia ini aneh. “Hei, hei?”
Akhirnya ia melihatku kembali. Lalu tersenyum, senyum paksa. “Ya, aku ingin mencobanya,” ujarnya tiba-tiba.
Aku tidak membalas. Senyum paksa tadi, seperti ia sedang menyembunyikan sesuatu. Seakan-akan ia tidak ingin aku tahu. Tapi, biarlah. Itu juga bukan urusanku. Lalu kusodorkan jagung kering yang di genggaman tanganku. Ia mengambil beberapa dan lalu langsung menebarnya.
Senyum itu.
Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba angin berhembus, tapi hembusan angin itu membuat rambut coklatnya melambai dengan indah. Mata birunya membulat dengan tatapan terpesona yang membuatku ikut terpesona. Bibirnya merekah.
Ekspresi itu.
Aku tidak tahu kenapa aku suka dia saat seperti itu. Aku tidak pernah melihatnya tersenyum seperti itu. Aku tidak pernah melihat ia menunjukan ekspresi seperti itu. Ia selalu saja memasang ekspresi datar. Mungkin saat aku melihatnya sekarang untuk pertama kali, aku terpesona dengan senyuman itu.
Sedetik kemudian dia menoleh kepadaku. Tersenyum kepadaku. Manis sekali. Aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa membalas senyumannya. Saat itu aku tidak tahu mengapa.
***
Oh ini memang lucu sekali. Padahal baru rasanya kemarin aku melihat Nicollo Luca duduk di pojok kelas sambil menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan membaca buku tanpa bermain dengan teman-teman yang lain atau makan siang. Tapi sekarang, aku dan dia selalu menghabiskan waktu bersama-sama.
Ia selalu mencoba untuk selalu didekatku. Tidak pernah menyembunyikan kedekatan kami kepada siapapun. Saat jam istirahat sekolah dan aku pergi ke kantin bersama teman-teman akrabku seperti Lucia dan lainnya, ia menungguku di depan pintu kelas dan menarik tanganku menjauh dari teman-temanku dan lalu membawaku ke taman sekolah.
Saat waktu yang selalu ia habiskan untuk menyendiri di pinggir sungai, kali ini ia datang ke rumahku dan berubah menjadi anak yang manis di depan orang tuaku, berbeda dari biasanya yang selalu dingin kepada banyak orang dan lalu membawaku ke Piazza San Giovanni untuk memberi makan merpati-merpati jinak.
Memang setelah kejadian saat pertama kalinya aku membawanya untuk memberikan makanan kepada merpati, aku masih sering menemuinya di pinggir sungai Fiume Arno dan mengajaknya ke Piazza, dan selalu mengajaknya mengobrol. Awalnya ia sedikit merespon obrolanku, tapi lama-lama ia yang terlalu banyak berbicara hingga akhirnya aku menyimpulkan, seorang yang terlihat pendiam hanya akan diam kepada orang yang tidak dekat dengannya.
Aku sudah benar-benar dekat dengannya, sampai rasanya kalau Nicollo tidak main ke rumahku terasa sangat aneh.
Tapi kedekatanku dengannya membuat semua orang salah paham.
Lucia berubah menjadi menyebalkan karena setiap hari ia selalu menggodaku. Oh bukan hanya Lucia saja, tapi setiap orang yang melihat Nicolle berjalan mendekatiku lalu menarik tanganku dan membawaku ke suatu tempat.
Aku pernah bertanya padanya apa yang ia pikirkan tentang teman-teman yang selalu menggoda kita, dan dia menjawab dengan senyum manisnya sambil mengacak rambutku lalu menjawab, “Biarkan saja mereka, mereka hanya iri.” Dan akhirnya aku pun ikut tersenyum dan membalas mengacak rambut coklatnya. Tapi sebenarnya aku tidak keberatan dengan itu, bahkan aku senang entah mengapa. Anehnya, ketika kami bersama aku tidak pernah merisaukannya.
Dan sekarang kami sedang menikmati gelato sambil melihat patung David di depan Galleria degli Uffizi, kami baru saja selesai memberikan jagung kering kepada merpati-merpati jinak yang terkadang suka hinggap di bahuku dan berjalan sekitar lima menit dan sampai di sebuah lapangan luas bernama Piazza della Signoria dan kami memutuskan untuk melihat patung David dari dekat.
Firenze bukan kota besar sehingga tidak banyak tempat yang bisa kami kunjungi, sehingga kota kami hanyalah memiliki segelintir wisata yang bisa di kunjungi oleh wisatawan. Tapi bukan berarti aku tidak mencintai kota ini. Apalagi, ada Nicollo Luca yang selalu berusaha berada di sampingku.
“Sebentar lagi akan musim dingin, David akan kedinginan,” ujarku.
“David akan baik-baik saja, dia kan hanya patung,” jawab Nicolle sambil terkekeh, aku hanya tertawa ringan.
“Tapi kasian David, dia selalu sendirian disini, coba tuan Michaelangelo membuat patung yang lainnya disini, mungkin David tidak akan kesepian,” balasku sambil tetap melihat patung replika David itu.
“Dulu aku juga seperti patung David.”
Aku langsung menoleh menatapnya mendengar itu. “Maksudmu?”
“Aku dulu sendirian. Dan kesepian. Tidak punya teman. Sebenarnya bukannya aku tidak ingin berteman, tapi aku malas berteman. Karena aku tidak tahu harus memulai seperti apa untuk menjalin pertemanan. Apakah aku harus menyapa mereka duluan, atau harus mengajak mereka bermain duluan, atau apa aku tidak tahu. Sampai akhirnya kau yang duluan menyapaku di pinggir sungai.”
Aku cukup terkejut dengan apa yang baru saja aku dengar. “Jadi, aku adalah…”
“Ya benar. Kau teman pertamaku. Kau satu-satunya temanku. Hanya kau yang kuanggap sebagai teman. Aku tidak pernah menganggap orang-orang yang sekelas dengan kita adalah teman.”
“Oh kau manis sekali,” ucapku tanpa sadar.
Dan lalu dia mencium pipiku pelan.
***
Hari-hari pun berlalu dan sampai akhirnya kami sudah lulus dari sekolah dasar. Aku sudah tak sabar ingin melanjutkan sekolah dengan Nicollo Luca. Pria Italia termanis yang selama ini kukenal.
Tapi, suatu hari setelah Nicolle menjemputku dan membawaku ke Piazza San Giovanni seperti biasa untuk memberikan makanan kepada merpati-merpati jinak, ia memberitahukan hal yang tidak pernah aku pikirkan.
“Gisella…”
Aku cukup terkejut. Tidak biasanya ia memanggilku dengan nama itu. Biasanya ia hanya memanggilku dengan nama Giselle. “Yeah Nicolle?”
“Ada sesuatu yang harus aku katakan,” ucapnya sambil menundukan kepala.
“Apa? Sebenarnya ada apa? Kenapa kau terlihat sedih?” tanyaku. Aku jadi
merasa tidak nyaman. Aku takut sesuatu yang tak kuinginkan terjadi.
“Aku… akan pindah.”
Sesaat aku membeku. Otakku terasa lambat untuk mencerna kata-katanya.
“Maksudmu?”
“Aku akan pindah Gisella… pindah jauh.”
“Huh? Pindah?” Otakku masih terasa lamban. Aku tidak mengerti. “Kenapa?” lanjutku.
Aku tatap wajahnya, dia tampak terlihat sedih. Ia hanya bisa menundukan kepalanya. “Maafkan aku Giselle…”
Aku terdiam. Cukup lama otakku berkecamuk. Sampai akhirnya aku tersenyum kepadanya. “Tidak, ini bukanlah sesuatu yang harus membuatmu minta maaf,” ujarku sambil tersenyum tulus.
Ia menatapku cukup lama. “Aku sudah bicara kepada orang tuaku kalau aku bisa melanjutkan sekolah disini bersama paman dan bibiku, tetapi mereka tetap ingin aku ikut. Mereka tidak percaya aku bisa hidup tanpa mereka.”
Aku sedih. Rasanya aku ingin menangis. Tapi aku tidak boleh menangis didepannya. Bagaimana pun juga, kami sudah terlalu dekat. Pasti akan terasa sangat aneh bila tidak ada yang bernama Nicollo Luca yang selalu menjemputku di rumah dan memberikan makanan kepada merpati-merpati jinak seperti sekarang. “Aku… mengerti,” ujarku dengan senyum paksa. Aku benar-benar ingin menangis. “Tidak apa-apa, tidak masalah.”
Sedetik kemudian dia memelukku. Aku pun menangis di pelukannya. Rasanya hangat.
***
Spoiler for 1. Piazza San Giovanni – Gisella Dirgaputra.:
Piazza San Giovanni – Gisella Dirgaputra.
Cerah. Dingin. Dan indah. Itulah tiga kata yang kini berada di pikiranku. Pikiranku tentang sekelilingku, lapangan kecil yang terdapat banyak merpati putih jinak yang setiap hari singgah di tempat ini. Aku berdiri di lapangan bernama Piazza San Giovanni, Florence, Italia. Oh kalau disini kota kecil ini bernama Firenze.
Aku bukan orang Italia. Dan awalnya aku pun tidak mencintai kota kecil ini. Aku hanya gadis Asia biasa, sedikit memiliki darah Cina yang berasal dari nenek ibuku. Seutuhnya aku orang Indonesia, karena selain nenek ibuku, seluruh anggota keluargaku berasal dari Indonesia.
Firenze adalah kota kecil Italia. Bukan kota sibuk seperti kota sibuk dunia, New York, London, Tokyo, dan tak terkecuali Jakarta. Bukan pula kota besar lain Italia seperti Roma, Venizia – Venice, dan yang lainnya.
Langit hari ini cerah. Setiap pagi sekitar jam delapan hingga jam sepuluh, aku selalu menghabiskan waktu di lapangan kecil ini. Lapangan yang terdapat tepat di depan landmark kota Firenze, The Duomo, nama terkenal dari gereja Cathedral di Santa Maria del Fiore. Gereja indah yang memiliki kubah raksasa yang terdapat Brunelleschi, berupa lukisan di langit-langit kubah. Dan suka membeli gelato di gelateria seharga beberapa euro per cup yang banyak ditemui di kiri kanan blok ini.
Memang masih ada lapangan luas yang tak jauh dari lapangan ini, Piazza della Signoria. Lapangan luas yang terkenal dan selalu di kunjungi juga di penuhi oleh turis. Disana terdapat Palazzo Vecchio, Galleria degli Uffizi dan Museo di Storia della Scienza. Oh disana juga kita bisa melihat replika patung David pahatan Michaelangelo. Tapi aku tak tertarik dengan lapangan itu. Disana terlalu ramai, dan jarang mendapati burung merpati singgah untuk menunggu makanan. Aku memiliki kebiasaan memberikan jagung kering yang kulempari setiap pagi ke merpati-merpati itu.
Disini cukup dingin, tentu saja dingin. Walaupun sekarang musim panas.
Jadi, tak heran kan kalau tiga kata itu yang kini terpikir dalam otakku?
Aku tidak tahu kenapa aku bisa tinggal disini. Tapi ada sebuah kisah yang membuatku senang tinggal di kota kecil Italy ini. Dengan pria Italia yang kini sudah tinggal jauh walau ia lahir dan besar di tempat ini.
Dia sudah lama pergi. Aku sudah lupa kapan tepatnya ia pergi, tapi aku sangat ingat saat ia memelukku untuk terakhir kalinya. Aku masih ingat bagaimana rasanya, hangat. Kami berpisah saat kami lulus sekolah dasar. Masih kecil memang. Bahkan aku saja lupa bagaimana rupanya saat itu. Kami tidak sempat berfoto bersama, dan aku menghilangkan foto lulusan sekolah yang satu-satunya merupakan foto yang kupunya denganya. Aku besar disini, jadi aku sudah sangat mengenal kota ini.
Tidak ada petunjuk yang bisa mempertemukan kami kembali. Satu-satunya yang kuingat darinya hanyalah namanya. Bahkan aku tidak tahu ia pindah kemana. Entahlah, mungkin saja ia pernah menyebutnya tapi aku lupa.
Aku tersenyum sambil memberikan jagung kering di tanganku kepada merpati-merpati jinak. Oh walau aku lupa bagaimana rupanya, tapi aku masih ingat beberapa kisahku dengannya. Tanpa sadar aku tersenyum, mengingat kisah kecil kami.
***
“Aku pergii..” ucapku kepada kedua orang tuaku.
“Giselle! Giselle mau kemana kau?”
Aku memutuskan untuk tidak menjawab dan terus berlari menjauh dari
rumahku. Aku tahu, itu suara ibuku.
Aku terus berlari menuju sungai Fiume Arno. Rumahku memang tidak jauh dari sungai itu. Aku sudah memiliki rencana bersama teman-temanku yang lainnya untuk bertemu di sekitar sungai ini dan lalu kami akan menuju ke Piazza san Giovanni untuk memberikan makanan kepada merpati-merpati jinak.
Tidak terasa aku sudah sampai. Sungai ini ramai sekali karena sungai ini memang terkenal. Aku tidak tahu kenapa sungai ini bisa terkenal, tetapi banyak sekali orang yang melintasi Ponte Vecchio . Bahkan disana juga banyak yang berjualan.
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari teman-temanku. Tapi walau aku sudah menoleh beberapa kali, aku tidak mendapatkan mereka.
Tapi saat aku menoleh untuk yang kesekian kalinya, aku langsung membeku. Memandang orang itu heran, kenapa bisa ia ada disini?
Dia teman sekelasku. Anak pendiam yang jarang bergabung dengan teman-temannya. Tapi beberapa temanku mengakui kalau ia menyukai orang itu.
Tanpa sadar, kakiku melangkah mendekatinya. Lalu memukul pelan pundaknya.
“Hei!”
Dia menoleh. Cukup terkejut melihatku yang kini ada disampingnya.
“Sedang apa kau?” tanyanya.
Aku mengerut dahi. “Kau sedang apa?”
“Kenapa kau balik bertanya?”
“Kenapa kau menjadi cerewet?” tanyaku kemudian. Lalu dia pun terdiam. Memutuskan mengabaikanku kurasa. Buktinya saja ia menatap sungai kembali. “Aku hanya bercanda,” lanjutku. Aku merasa ia marah padaku. Tapi reaksinya tetap sama. Membuatku merasa tidak nyaman. “Apa kau sering kemari?” tanyaku lagi.
Kali ini ia memandangku. Dengan mata birunya.
Mata yang indah.
“Buat apa kau bertanya?”
“Hanya ingin tahu,” jawabku sekedarnya.
“Ya, aku kemari setiap hari,” jawabnya akhirnya. Walau matanya tak menatapku, ia tetap menatap sungai itu.
“Oh ya? Aku juga sering kemari. Tapi tak pernah melihatmu disini. Apa kau pernah melihatku disini?” tanyaku sambil tersenyum ramah.
Dia memandangku sekilas. Benar-benar sekilas. Dan akhirnya ia memandang sungai kembali. “Ya, aku selalu melihatmu berkumpul dengan yang lainnya disini.”
“Benarkah?” balasku antusias.
Dia memandangku heran. Aku pun tersenyum masam kepadanya. “Tapi ini membingungkan ya, kau selalu melihatku tapi aku baru kali ini melihatmu,” ujarku sambil memiringkan kepalaku.
Aku pun melihatnya kembali. Dan dia tetap saja sibuk menatap sungai. Aku tidak tahu apa yang menarik dari sungai Fiume Arno, tetapi ia asyik sekali menatap sungai tenang itu. Padahal menurutku sungai ini tidak begitu indah. Entahlah, mungkin karena aku terbiasa melihat sungai itu, aku jadi tidak menganggap sungai itu indah.
“Giselle!”
Aku menoleh mencari sumber suara. Oh itu dia teman-temanku. Aku pun melambaikan tanganku kepada mereka. Dan mereka mendekati kami.
“Giselle, aku tak pernah tahu kalau kau selama ini berpacaran dengan Nicollo,” ucap salah satu temanku yang berambut pirang sebahu sambil mengerlingkan matanya kepadaku dan Nicollo. Dan temanku yang lain pun ikut menggodaku. Hei, kenapa jadi seperti ini?
Entah mengapa aku merasa malu. “Hentikan Lucy, aku dan Nicolle hanya bertemu tak sengaja,” ujarku membela diri. Kulihat Nicollo, ingin tahu apa reaksinya, tetapi ternyata ia hanya diam saja. Padahal aku ingin ia mengatakan sesuatu.
Karena aku tak tahan teman-temanku terus menggodaku dan Nicollo terus diam seperti patung, aku pun membawa teman-temanku ke Piazza San Giovanni dan mengucapkan salam perpisahan singkat ke Nicollo yang tidak membalasnya.
***
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Saat ini tepat dengan waktu aku bertemu dengan Nicollo kemarin. Kalau ia memang benar selalu kesini setiap hari, pasti aku akan melihatnya kembali.
Oh tentu saja ia tak berbohong, itu dia Nicollo Luca, si murid pendiam kelasku.
“Nicollo, aku tahu kau disini,” ujarku sambil tersenyum lebar.
Ia memandangku heran, tetapi dia tidak membalas sapaanku. Aku tak mengerti kenapa ia terlalu pendiam, bahkan di sapa pun ia tidak membalas.
“Apa kau sudah lama disini?” tanyaku sambil memiringkan kepalaku tepat di depan wajahnya yang asyik melihat air sungai Fiume Arno.
“Apa-apan kau?” ucapnya cukup terkejut dan lalu mundur karena wajah kami tadi terlalu dekat.
Aku tertawa pelan. Ia manis sekali saat itu. Wajahnya memerah. Mungkin ia malu kepadaku, entahlah. “Sudahlah, daripada kau hanya diam saja, lebih baik ikut aku,” ujarku lalu menarik tangannya dan berlari menuju tempat yang selalu ku kunjungi. Piazza San Giovanni.
“Piazza San Giovanni?” ucapnya bingung. “Kau ingin aku ke gereja dan berdoa?” tanyanya lalu melepaskan genggaman tanganku.
“Bukan, lihat ini.” Aku merogoh sesuatu di dalam sakuku. Setelah aku mendapatkannya ku genggam erat dan kubawa keluar. Lalu menarik mengambil beberapa dari genggaman tanganku dan menebarkan.
Bunyi kepakan sayap langsung terdengar olehku. Merpati-merpati langsung berdatangan dari segala arah. Berubung di tempat yang tadi kusebar sesuatu. Kulirik wajahnya, ia tampak terpesona. Mungkin dia baru pertama kali melihat merpati-merpati terbang beramai-ramai dan mendarat di depan kami.
“Apa yang kau lempar tadi?” tanyanya antusias kepadaku, aku tak sadar ternyata ia sudah tepat disampingku.
“Ini,” jawabku sambil menunjukkan apa yang tadi kugenggam yang sudah kusimpan di saku bajuku.
“Jagung kering?”
“Merpati suka ini. Kau ingin mencobanya?” tanyaku sambil tersenyum. Dia menatapku dengan tatapan yang aneh, aku tak tahu apa yang sedang di pikirkannya. Tapi tiba-tiba ia membelakangiku. Dia kenapa? “Hei kau kenapa?” tanyaku heran.
Dia menyembunyikan wajahnya, orang Italia ini aneh. “Hei, hei?”
Akhirnya ia melihatku kembali. Lalu tersenyum, senyum paksa. “Ya, aku ingin mencobanya,” ujarnya tiba-tiba.
Aku tidak membalas. Senyum paksa tadi, seperti ia sedang menyembunyikan sesuatu. Seakan-akan ia tidak ingin aku tahu. Tapi, biarlah. Itu juga bukan urusanku. Lalu kusodorkan jagung kering yang di genggaman tanganku. Ia mengambil beberapa dan lalu langsung menebarnya.
Senyum itu.
Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba angin berhembus, tapi hembusan angin itu membuat rambut coklatnya melambai dengan indah. Mata birunya membulat dengan tatapan terpesona yang membuatku ikut terpesona. Bibirnya merekah.
Ekspresi itu.
Aku tidak tahu kenapa aku suka dia saat seperti itu. Aku tidak pernah melihatnya tersenyum seperti itu. Aku tidak pernah melihat ia menunjukan ekspresi seperti itu. Ia selalu saja memasang ekspresi datar. Mungkin saat aku melihatnya sekarang untuk pertama kali, aku terpesona dengan senyuman itu.
Sedetik kemudian dia menoleh kepadaku. Tersenyum kepadaku. Manis sekali. Aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa membalas senyumannya. Saat itu aku tidak tahu mengapa.
***
Oh ini memang lucu sekali. Padahal baru rasanya kemarin aku melihat Nicollo Luca duduk di pojok kelas sambil menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan membaca buku tanpa bermain dengan teman-teman yang lain atau makan siang. Tapi sekarang, aku dan dia selalu menghabiskan waktu bersama-sama.
Ia selalu mencoba untuk selalu didekatku. Tidak pernah menyembunyikan kedekatan kami kepada siapapun. Saat jam istirahat sekolah dan aku pergi ke kantin bersama teman-teman akrabku seperti Lucia dan lainnya, ia menungguku di depan pintu kelas dan menarik tanganku menjauh dari teman-temanku dan lalu membawaku ke taman sekolah.
Saat waktu yang selalu ia habiskan untuk menyendiri di pinggir sungai, kali ini ia datang ke rumahku dan berubah menjadi anak yang manis di depan orang tuaku, berbeda dari biasanya yang selalu dingin kepada banyak orang dan lalu membawaku ke Piazza San Giovanni untuk memberi makan merpati-merpati jinak.
Memang setelah kejadian saat pertama kalinya aku membawanya untuk memberikan makanan kepada merpati, aku masih sering menemuinya di pinggir sungai Fiume Arno dan mengajaknya ke Piazza, dan selalu mengajaknya mengobrol. Awalnya ia sedikit merespon obrolanku, tapi lama-lama ia yang terlalu banyak berbicara hingga akhirnya aku menyimpulkan, seorang yang terlihat pendiam hanya akan diam kepada orang yang tidak dekat dengannya.
Aku sudah benar-benar dekat dengannya, sampai rasanya kalau Nicollo tidak main ke rumahku terasa sangat aneh.
Tapi kedekatanku dengannya membuat semua orang salah paham.
Lucia berubah menjadi menyebalkan karena setiap hari ia selalu menggodaku. Oh bukan hanya Lucia saja, tapi setiap orang yang melihat Nicolle berjalan mendekatiku lalu menarik tanganku dan membawaku ke suatu tempat.
Aku pernah bertanya padanya apa yang ia pikirkan tentang teman-teman yang selalu menggoda kita, dan dia menjawab dengan senyum manisnya sambil mengacak rambutku lalu menjawab, “Biarkan saja mereka, mereka hanya iri.” Dan akhirnya aku pun ikut tersenyum dan membalas mengacak rambut coklatnya. Tapi sebenarnya aku tidak keberatan dengan itu, bahkan aku senang entah mengapa. Anehnya, ketika kami bersama aku tidak pernah merisaukannya.
Dan sekarang kami sedang menikmati gelato sambil melihat patung David di depan Galleria degli Uffizi, kami baru saja selesai memberikan jagung kering kepada merpati-merpati jinak yang terkadang suka hinggap di bahuku dan berjalan sekitar lima menit dan sampai di sebuah lapangan luas bernama Piazza della Signoria dan kami memutuskan untuk melihat patung David dari dekat.
Firenze bukan kota besar sehingga tidak banyak tempat yang bisa kami kunjungi, sehingga kota kami hanyalah memiliki segelintir wisata yang bisa di kunjungi oleh wisatawan. Tapi bukan berarti aku tidak mencintai kota ini. Apalagi, ada Nicollo Luca yang selalu berusaha berada di sampingku.
“Sebentar lagi akan musim dingin, David akan kedinginan,” ujarku.
“David akan baik-baik saja, dia kan hanya patung,” jawab Nicolle sambil terkekeh, aku hanya tertawa ringan.
“Tapi kasian David, dia selalu sendirian disini, coba tuan Michaelangelo membuat patung yang lainnya disini, mungkin David tidak akan kesepian,” balasku sambil tetap melihat patung replika David itu.
“Dulu aku juga seperti patung David.”
Aku langsung menoleh menatapnya mendengar itu. “Maksudmu?”
“Aku dulu sendirian. Dan kesepian. Tidak punya teman. Sebenarnya bukannya aku tidak ingin berteman, tapi aku malas berteman. Karena aku tidak tahu harus memulai seperti apa untuk menjalin pertemanan. Apakah aku harus menyapa mereka duluan, atau harus mengajak mereka bermain duluan, atau apa aku tidak tahu. Sampai akhirnya kau yang duluan menyapaku di pinggir sungai.”
Aku cukup terkejut dengan apa yang baru saja aku dengar. “Jadi, aku adalah…”
“Ya benar. Kau teman pertamaku. Kau satu-satunya temanku. Hanya kau yang kuanggap sebagai teman. Aku tidak pernah menganggap orang-orang yang sekelas dengan kita adalah teman.”
“Oh kau manis sekali,” ucapku tanpa sadar.
Dan lalu dia mencium pipiku pelan.
***
Hari-hari pun berlalu dan sampai akhirnya kami sudah lulus dari sekolah dasar. Aku sudah tak sabar ingin melanjutkan sekolah dengan Nicollo Luca. Pria Italia termanis yang selama ini kukenal.
Tapi, suatu hari setelah Nicolle menjemputku dan membawaku ke Piazza San Giovanni seperti biasa untuk memberikan makanan kepada merpati-merpati jinak, ia memberitahukan hal yang tidak pernah aku pikirkan.
“Gisella…”
Aku cukup terkejut. Tidak biasanya ia memanggilku dengan nama itu. Biasanya ia hanya memanggilku dengan nama Giselle. “Yeah Nicolle?”
“Ada sesuatu yang harus aku katakan,” ucapnya sambil menundukan kepala.
“Apa? Sebenarnya ada apa? Kenapa kau terlihat sedih?” tanyaku. Aku jadi
merasa tidak nyaman. Aku takut sesuatu yang tak kuinginkan terjadi.
“Aku… akan pindah.”
Sesaat aku membeku. Otakku terasa lambat untuk mencerna kata-katanya.
“Maksudmu?”
“Aku akan pindah Gisella… pindah jauh.”
“Huh? Pindah?” Otakku masih terasa lamban. Aku tidak mengerti. “Kenapa?” lanjutku.
Aku tatap wajahnya, dia tampak terlihat sedih. Ia hanya bisa menundukan kepalanya. “Maafkan aku Giselle…”
Aku terdiam. Cukup lama otakku berkecamuk. Sampai akhirnya aku tersenyum kepadanya. “Tidak, ini bukanlah sesuatu yang harus membuatmu minta maaf,” ujarku sambil tersenyum tulus.
Ia menatapku cukup lama. “Aku sudah bicara kepada orang tuaku kalau aku bisa melanjutkan sekolah disini bersama paman dan bibiku, tetapi mereka tetap ingin aku ikut. Mereka tidak percaya aku bisa hidup tanpa mereka.”
Aku sedih. Rasanya aku ingin menangis. Tapi aku tidak boleh menangis didepannya. Bagaimana pun juga, kami sudah terlalu dekat. Pasti akan terasa sangat aneh bila tidak ada yang bernama Nicollo Luca yang selalu menjemputku di rumah dan memberikan makanan kepada merpati-merpati jinak seperti sekarang. “Aku… mengerti,” ujarku dengan senyum paksa. Aku benar-benar ingin menangis. “Tidak apa-apa, tidak masalah.”
Sedetik kemudian dia memelukku. Aku pun menangis di pelukannya. Rasanya hangat.
***
Lanjut ke bawah agan-agan dan aganwati-aganwati
Diubah oleh Dyahsera 27-05-2013 22:44


anasabila memberi reputasi
1
1K
Kutip
2
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan