- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ketimpangan Pendapatan Semakin Mengkhawatirkan di Indonesia


TS
dady.doa
Ketimpangan Pendapatan Semakin Mengkhawatirkan di Indonesia
Spoiler for Berita:
JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang dianggap tinggi, akan tetapi menghasilkan ketimpangan pendapatan yang melebar, dinilai lebih membahayakan stabilitas dan keberlanjutan pembangunan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah, namun bisa memberikan distribusi pendapatan yang merata, justru dinilai lebih aman dan stabil.
Demikian pendapat pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha, di Jakarta, Senin (20/5). Dia mengatakan hal itu terkait dengan fenomena yang berlangsung dalam perekonomian Indonesia saat ini.
Seperti diketahui, selama 2004-2012 rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,9 persen setiap tahun. Akan tetapi, pada kurun waktu sama, rasio Gini di Tanah Air justru meningkat dari 0,32 pada 2004 menjadi 0,41 pada 2012, satu angka tertinggi dalam sejarah. Artinya, pertumbuhan PDB selama ini malah menghasilkan ketimpangan pendapatan yang makin melebar, ditandai dengan kenaikan angka rasio Gini.
"Indonesia belum siap menghadapi pertumbuhan tinggi,” kata Eugenia.
Artinya, pemerintah belum berhasil mengelola pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadi fondasi perekonomian yang kokoh sehingga mampu menopang pembangunan yang berkualitas, berkelanjutan, dan menyejahterakan seluruh rakyat.
Kesenjangan yang tinggi akan menjadi ancaman bagi keberlanjutan pembangunan karena kerawanan sosial. Kesenjangan yang terlalu tinggi juga akan membatasi pertumbuhan. Daya beli tinggi yang hanya dimiliki sebagian kecil masyarakat akan membuat permintaan agregat terbatas.
Hal ini bisa mengakibatkan interupsi keberlanjutan pertumbuhan. Menurut Eugenia, saat ini, pertumbuhan ekonomi tinggi hanya bisa dicapai melalui sistem kapitalisme. Konsekuensinya, intervensi pemilik modal semakin dominan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan.
Sebenarnya, lanjut dia, kehadiran kalangan kapitalis itu tidak selalu berdampak negatif asalkan bisa dibatasi atau tidak terlalu mendominasi. "Pemerintah harus dapat menarik uang para kapitalis untuk memberi makan, pendidikan, dan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat. Dan, ini yang tidak pernah dilakukan pemerintah selama ini,” kata Eugenia.
Dia menyatakan indikator pengukur dampak ketimpangan pendapatan lebih banyak non-ekonomi seperti tingginya angka kriminalitas. "Negara dengan pertumbuhan ekonomi rendah tetapi merata, biasanya memiliki angka kriminalitas lebih rendah,” jelas Eugenia.
Dampak negatif melebarnya ketimpangan pendapatan, sebelumnya, juga diungkapkan peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto. Menurut dia, melebarnya ketimpangan pendapatan akan menggerus pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bahkan, lanjut Eko, ketimpangan pendapatan bisa memicu gerakan sosial dan politik seperti yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah.
Pelit Tenaga Kerja
Gambaran ketimpangan itu bisa terlihat dari penyebaran PDB kepada kelompok masyarakat. Jika pada 2004 sekitar 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima 20,80 persen dari seluruh pendapatan, pada Maret 2012 kelompok masyarakat tersebut hanya menerima 16,98 persen dari seluruh pendapatan. Di sisi lain, 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi memperoleh 42,07 persen dari seluruh pendapatan pada 2004, kemudian pada Maret 2012 saham mereka telah mencapai 48,61 persen.
Beberapa waktu lalu, ekonom CSIS, Pande Radja Silalahi, juga mengungkapkan Selama 2004- 2012 setiap pertumbuhan riil PDB sebesar 1 persen menciptakan lapangan kerja dengan jumlah di bawah 300 ribu pekerja.
Selain itu, jumlah penduduk yang menggeluti sektor pertanian berkurang sekitar 1,7 juta, dari 40,6 juta pada 2004 menjadi 38,9 juta pada Agustus 2012. Ini menunjukkan ekonomi Indonesia semakin pelit dalam menciptakan lapangan kerja. Kedua, pergeseran pekerja dari pertanian ke sektor lain tidak berjalan sesuai tuntutan yang ada. YK/fi a/lex/ins/WP
Demikian pendapat pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha, di Jakarta, Senin (20/5). Dia mengatakan hal itu terkait dengan fenomena yang berlangsung dalam perekonomian Indonesia saat ini.
Seperti diketahui, selama 2004-2012 rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,9 persen setiap tahun. Akan tetapi, pada kurun waktu sama, rasio Gini di Tanah Air justru meningkat dari 0,32 pada 2004 menjadi 0,41 pada 2012, satu angka tertinggi dalam sejarah. Artinya, pertumbuhan PDB selama ini malah menghasilkan ketimpangan pendapatan yang makin melebar, ditandai dengan kenaikan angka rasio Gini.
"Indonesia belum siap menghadapi pertumbuhan tinggi,” kata Eugenia.
Artinya, pemerintah belum berhasil mengelola pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadi fondasi perekonomian yang kokoh sehingga mampu menopang pembangunan yang berkualitas, berkelanjutan, dan menyejahterakan seluruh rakyat.
Kesenjangan yang tinggi akan menjadi ancaman bagi keberlanjutan pembangunan karena kerawanan sosial. Kesenjangan yang terlalu tinggi juga akan membatasi pertumbuhan. Daya beli tinggi yang hanya dimiliki sebagian kecil masyarakat akan membuat permintaan agregat terbatas.
Hal ini bisa mengakibatkan interupsi keberlanjutan pertumbuhan. Menurut Eugenia, saat ini, pertumbuhan ekonomi tinggi hanya bisa dicapai melalui sistem kapitalisme. Konsekuensinya, intervensi pemilik modal semakin dominan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan.
Sebenarnya, lanjut dia, kehadiran kalangan kapitalis itu tidak selalu berdampak negatif asalkan bisa dibatasi atau tidak terlalu mendominasi. "Pemerintah harus dapat menarik uang para kapitalis untuk memberi makan, pendidikan, dan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat. Dan, ini yang tidak pernah dilakukan pemerintah selama ini,” kata Eugenia.
Dia menyatakan indikator pengukur dampak ketimpangan pendapatan lebih banyak non-ekonomi seperti tingginya angka kriminalitas. "Negara dengan pertumbuhan ekonomi rendah tetapi merata, biasanya memiliki angka kriminalitas lebih rendah,” jelas Eugenia.
Dampak negatif melebarnya ketimpangan pendapatan, sebelumnya, juga diungkapkan peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto. Menurut dia, melebarnya ketimpangan pendapatan akan menggerus pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bahkan, lanjut Eko, ketimpangan pendapatan bisa memicu gerakan sosial dan politik seperti yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah.
Pelit Tenaga Kerja
Gambaran ketimpangan itu bisa terlihat dari penyebaran PDB kepada kelompok masyarakat. Jika pada 2004 sekitar 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima 20,80 persen dari seluruh pendapatan, pada Maret 2012 kelompok masyarakat tersebut hanya menerima 16,98 persen dari seluruh pendapatan. Di sisi lain, 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi memperoleh 42,07 persen dari seluruh pendapatan pada 2004, kemudian pada Maret 2012 saham mereka telah mencapai 48,61 persen.
Beberapa waktu lalu, ekonom CSIS, Pande Radja Silalahi, juga mengungkapkan Selama 2004- 2012 setiap pertumbuhan riil PDB sebesar 1 persen menciptakan lapangan kerja dengan jumlah di bawah 300 ribu pekerja.
Selain itu, jumlah penduduk yang menggeluti sektor pertanian berkurang sekitar 1,7 juta, dari 40,6 juta pada 2004 menjadi 38,9 juta pada Agustus 2012. Ini menunjukkan ekonomi Indonesia semakin pelit dalam menciptakan lapangan kerja. Kedua, pergeseran pekerja dari pertanian ke sektor lain tidak berjalan sesuai tuntutan yang ada. YK/fi a/lex/ins/WP
Spoiler for Sumber:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/119883
0
3.8K
Kutip
62
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan