Dalam RUU KUHP Pasal 265 yang disodorkan ke DPR berbunyi setiap orangyang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.
sumber : [url=http://news.detik..com/read/2013/04/03/182203/2210815/158/romli-pasal-penghinaan-ke-presiden-bisa-berbahaya-bagi-demokrasi]detiknews[/url]
Quote:
Jakarta - Rancangan KUHP memuat pasal penghinaan ke presiden dengan ancaman 5 tahun penjara. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus pasal tersebut dalam KUHP.
Dalam RUU KUHP Pasal 265 yang disodorkan ke DPR berbunyi setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.
Berikut wawancara detikcom dengan guru besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpadj) Prof Dr Romli Atmasasmitadi Hotel Sultan, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (3/4/2013):
Apa tanggapan Anda mengenai pasal penghinaan ke presiden?
Putusan MK itu yang benar. Keputusan penyusun RUU itu yang tidak benar. Dia tidak mengikuti perkembangan demokratisasi sekarang. Karena sekarang orang bebas berpendapat. Untuk penghinaan kan itu sudah ada pasalnya, tidak perlu lagi dibuat khususkan, pasal-pasal seperti itu, jadi saya kira lebih baik dihapus.
Jadi saya kira tidak perlu ya. Buat apa? Kecuali kalau merencanakan pembunuhan (ke presiden), kan lain. Kalau penghinaan itu kan sulit dibuktikan, karena dalam berbagai bentuk kan? Apa ucapan atau gambar. Misalnya gambar kerbau lalu ditaruh gambar presiden, kan itu macam-macam (tafsirnya).
Dan kalau itu dimunculkan, maka akan menjadi alat kekuasaan, bisa jadi abuse of power, bisa berbahaya bagi demokrasi. Jadi harusnya tidak seperti itu karena KUHP sendiri sudah menyiapkan pasal penghinaan, penghinaan di muka publik di mana seseorang yang terkena ucapan dalam bentuk penghinaan dapat melakukan pengaduan, saya kira itu.
Apakah ini dimunculkan lagi untuk membentengi presiden?
Ya, tapi sebetulnya presiden tidak harus membuat aturan sendiri. Apalagi harus merubah itu. Ya, artinya naif sekali, tidak sesuai dengan perkembangan yang sekarang dan demokrasi.
Ada anggapan, saat ini penegak hukum tidak bisa membedakan mana penghinaan dan kritikan. Menurut Anda?
Tapi pasal penghinaan kan ada. Saya kira tidak lah, over regulasi namanya kalau begitu.
Tapi Anda sendiri setuju, RUU KUHP ini banyak kekurangan?
Banyak kelemahan, harus diuji lagi.
Menurut Anda apakah ada kepentingan politik di balik ini?
Setiap RUU itu pasti ada kepentingan politik, itu saja. Tergantung apakah kita bisa melihat secara jernih atau tidak. Tiap RUU bahkan diluar negeri pun begitu.
Berarti rancangan ini harus dikaji lagi?
Harus dikaji ulang lagi, semua tiap pasal yang saya baca masih banyak kekurangan. Perubahan dalam RUU ini masih sangat sedikit, cuma ada beberapa pasal.
Bahkan yang lebih parah, semua UU yang namanya lex specialis masuk ke lex generalis, seperti terorisme, cuci uang, korupsi. Sehingga tidak ada lagi perbedaan lagi dalam lex specialis dengan lex generalis, semua jadi lex generalis. Kalau semua lex generalis, maka cara penanganannya pun biasa kan. Tidak ada yang luar biasa, jadi tidak cocok.
(asp/asp)
berita sebelumnya :
Quote:
Pasal Penghinaan Presiden akan Dihidupkan Lagi Langkah Mundur
Jakarta - Rancangan KUHP kembali memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebagai delik pidana dengan ancaman 5 tahun penjara. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus delik ini pada 2006 lalu.
"Ini langkah mundur yang luar biasa," kata Eggi Sudjana saat berbincang dengan detikcom, Rabu (3/4/2013). Eggi adalah pemohon penghapusan pasal tersebut ke MK dan dikabulkan.
Dalam RUU KUHP, Pasal 265 berbunyi 'setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta'. Usulan ini dinilai langkah mundur sebab semangat pasal itu telah dihapuskan oleh MK.
"Nah jika nanti Rancangan KUHP ini diketok DPR, nanti ada yang mengajukan judicial review lagi ke MK, ya pasti akan dibatalkan lagi karena MK pernah membatalkan pasal serupa. Terus buat apa diusulkan lagi untuk dihidupkan?" ujar Eggi.
Dalam pertimbangannya putusan yang diketok pada 6 Desember 2006, MK berpendapat Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung hak asasi seperti yang diatur dalam UUD 1945. Pemberlakuan ketiga pasal itu berakibat mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum.
MK secara tegas mengingatkan tim penyusun Rancangan KUHP yaitu 'sehingga RUU KUHP yang merupakan upaya pembaruan KUHP warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 KUHP'.
"Pasal ini kan warisan kolonial Belanda, saat itu yang dilarang menghina Gubernur Jenderal. Tapi mengapa sekarang ditafsirkan presiden? Jika pasal ini diajukan lagi, maka menghidupkan lagi semangat penjajahan," tegas Eggi.
Atas kontroversi pasal ini, Wamenkumham Denny Indrayana mengaku pasal tersebut masih bisa diperdebatkan. Walaupun pada 2006 lalu MK sudah membatalkan pasal tersebut, tetapi saat ini rumusan mengenai pasal yang diperlukan sudah berbeda.
"Sebenarnya yang diatur dalam pasal itu kan tindak pidana terhadap martabat, penghinaan, kenapa dengan orang biasa bisa dipidana tapi kenapa dengan presiden tidak? Mungkin itulah yang menjadi titik tolak kenapa pasal seperti ini dimunculkan lagi," kata Denny di kantornya, Selasa (2/4/2013) kemarin.
Demokrasi sangat erat kaitannya dengan anarki, efek buruk demokrasi yang terlalu kebablasan akan mengakibatkan suatu paham yang baik dari yang terburuk menjadi sangat buruk. Tak perlu mencontoh budaya negara lain, kita punya kultur dan norma yang menjadikan Indonesia negara yang cinta damai dan punya sopan santun.
Kritik terhadap presiden/wakil presiden biasanya terbentuk dari opini publik yang melihat kinerja presiden/wakil presiden yang rata rata tidak memihak rakyat menengah kebawah atau kebijakannya sering meleset dan terlalu banyak pencitraan. Mungkin masyarakat Indonesia jenuh dengan gaya kepemimpinan yang terlalu demokratis atau terkesan lembek terhadap suatu permasalahan.
Menurut saya pribadi melempar kritik ke presiden atau wakil presiden diperbolehkan asal dengan bahasa yang sopan dan kritik membangun. Hentikan ocehan menghina presiden dengan sebutan hewan, menghina presiden dan wakil presiden dituntut dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda 300 juta.