- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Perjalanan hidup Karni Ilyas


TS
fadhlierlanda
Perjalanan hidup Karni Ilyas
Spoiler for part 1:
Perjalanan karier Karni Ilyas menjadi wartawan sudah teramat panjang. Bukan wartawan biasa, ia pun sosok yang berhasil membangun medianya menjadi yang terdepan. Kisah hidupnya begitu menarik dan pantas menjadi cermin bagi siapa pun.
Beberapa waktu yang lalu, jurnalis senior Karni Ilyas yang populer lewat program unggulan Indonesia Lawyers Club di TV One meluncurkan buku biografinya berjudul 40 Tahun Jadi Wartawan, Karni Ilyas, Lahir untuk Berita . Buku yang ditulis oleh Fenty Effendy itu diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, Oktober lalu.
Dalam buku ini, “Saya tidak sekadar bercerita tentang perjalanan saya menjadi wartawan. Sebenarnya buku ini tentang pelajaran kehidupan. Bahwa hidup tidak boleh menyerah. Harus mencintai profesi. Saya, kan, mengalami hidup yang sulit. Mulai dari bawah sekali, tanpa backing dan tanpa modal,” kisah Karni.
Lewat biografinya ini, Karni berharap anak-anak muda tidak mudah patah semangat. “Usia saya, kan, sudah 60 tahun. Saya ingin menularkan pengalaman yang saya alami untuk anak-anak muda. Bukan berarti buku ini tidak menarik orangtua, tapi lebih bermanfaat bagi anak muda untuk mengembangkan karier di mana pun.”
Karni tidak menulis sendiri kisah hidupnya karena waktunya sudah tersita untuk pekerjaan yang ia lakoni sebagai Pemimpin Redaksi TV One. “Setelah masuk dunia teve, saya sudah tidak punya banyak waktu untuk menulis. Jadwal saya padat banget. Kebetulan staf saya di Majalah Forum yang sekarang masih jadi staf saya bernama Fenty Effendy, adalah seorang penulis buku. Ketika ada waktu senggang, saya bercerita kepada Fenty. Butuh waktu sekitar satu tahun sampai akhirnya buku ini diterbitkan.”
Duka Mendera
Perjalanan hidup Karni memang begitu kaya warna. Ia melewati gelombang kehidupan yang tidak mudah. Banyak mengalami perisitiwa yang begitu getir, namun ia berjuang untuk memenanginya. Karni lahir 25 September 1952 di Nagari Balingka, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam (Sumbar). Orangtuanya, pasangan Syamsinar dan Ilyas Sutan Nagari sebelumnya tinggal di Padang. Kala itu, merupakan kelaziman perempuan memilih melahirkan di kampung ibunya, termasuk Syamsinar.
Pasangan ini menamakan putra sulungnya Sukarni. Kelak kemudian hari, Karni sempat mempertanyakan kenapa namanya berbau perempuan. Ayahanda tercinta menjelaskan, Sukarni adalah seorang pejuang hebat. Sukarni merupakan sosok penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. “Sukarni bersama Chairul Saleh, Wikana, dan Shodanco Singgih, menculik Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 16 Agustus 1945 ke Rengas Dengklok,” ujar Karni.
Masa kecil Karni sudah diwarnai dengan kepahitan. Kala itu, ketika usianya belum genap 6 tahun, terjadi perang saudara, konflik antara pusat dan daerah. APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) menyerbu Padang. Sementara sang ayah bertahan tinggal di Padang, Karni diboyong ibunya mengungsi ke kampung halaman. “Ternyata, APRI juga menyerang pedalaman termasuk kampung kami. Tiap malam kampung kami dibazoka dan dimortir. Sungguh kejadian yang begitu pahit,” tutur Karni.
Sebagai anak kecil, Karni tidak memahami apa yang terjadi kala itu. Yang jelas, ia ketakutan ketika mendengar bunyi tembakan. Ketika itu, “Saya dibawa lari dan berlindung di lobang bawah tanah bersama Ibu dan Nenek. Rumah di kampung kami, kan, merupakan rumah panggung. Ketika konflik terjadi, warga membangun lobang perlindungan.
Situasi mencekam itu berlangsung berbulan-bulan. Ketika situasi sudah mulai mereda, lewat pemeriksaan APRI, sang ibu kembali membawa Karni ke Padang. Bukan perjalanan mudah. Syamsinar sambil menggendong Karni, berjalan kaki dari Koto Tuo mencari kendaraan ke Padang. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ada kendaraan yang membawa mereka ke Padang. Kembali pasangan Syamsinar dan Ilyas menata hidup.
Kegetiran yang lebih hebat dialami Karni. Suatu ketika ibunda tercinta akan melahirkan anak ketiga. Meski usia kehamilan sudah melewati masanya, si bayi belum juga lahir. Ternyata, si bayi sudah meninggal saat lahir. Beberapa menit kemudian, Syamsinar yang mengalami perdarahan hebat, juga meninggal.
“Dunia rasanya mau amblas. Itu masa yang paling pedih buat saya. Rasanya enggak kuat, di tengah malam melihat jasad Ibu sampai di rumah sudah dalam keadaan dibungkus,” ujar Karni yang saat itu usianya belum genap 8 tahun dan baru naik kelas 2 SD.
Situasi kemudian berubah menjadi begitu sepi dalam hidup Karni. Adik perempuan nomor dua yang saat itu berusia 5 tahun dibawa sang nenek ke kampung halaman. Karni pun tinggal bersama ayahnya. “Meninggalnya Ibu membuat perubahan yang sangat besar dalam hidup saya. Apa pun mesti saya kerjakan sendiri, termasuk harus mencuci dan menyeterika baju.”
Sejak lama Karni bercita-cita dan berkeinginan menjadi wartawan. (Foto: Dok Pri)
Cita-cita Wartawan
Sepeninggal ibunda, Karni menjadi “anak pasar”. Usai sekolah dan mengaji, ia menyusul ayahnya ke tempat kerjanya sebagai penjahit yang berlokasi di lingkungan pasar. Namun lingkungan pasar tak membuat sekolahnya terbengkalai. Bahkan, ketika tamat SD, ia ranking dua di kelasnya. Ia pun masuk SMP Negeri V.
Yang menarik ketika ia mulai hidup di lingkungan pasar, “Saya bergaul dengan kuli angkut, sopir, tukang parkir. Bahkan, saya pernah main judi bersama para kuli. Pernah pula saya ikut-ikutan menjual kode buntut,” katanya.
Demi memenuhi kebutuhan sekolahnya, Karni pun kerja apa saja. Misalnya menjual rokok dan koran. “Saya jadi penjual koran ikut-ikutan orang yang lebih besar. Subuh saya mengambil koran di percetakan. Sehari bisa laku sampai 30 koran. Karena di pasar sudah banyak saingan, saya jual koran sampai di Teluk Bayur, sekitar 9 km dari Padang. Teluk Bayur, kan, pelabuhan besar. Di sana ramai dan enggak ada saingannya. Kalau korannya enggak laku, saya jalan kaki 9 km sambil terus menjajakan koran. Hasil jualan koran lumayan untuk menambah biaya kebutuhan sekolah.”
Tidak sekadar menjajakan koran. Karni juga melahap berita yang disukainya. Baik berita dalam maupun luar negeri. “Bahkan, saya sudah berdebat dengan Bapak soal politik Cina dan Uni Sovyet. Mereka ini musuhan betulan atau pura-pura. Oh ya, saya memang suka sekali membaca. Bahkan sejak kelas 1 SD saya sudah kecanduan baca koran. Semua buku sastra juga saya baca, termasuk novel tenar Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Saya juga suka baca buku-buku sejarah,” papar Karni.
Kesukaan pada dunia baca terus berlanjut sampai Karni masuk SMEA jurusan Tata Niaga. Kesukaan membaca koran disertai upaya terus belajar, membuatnya sanggup menulis dengan baik. “Saya juga tertarik menulis puisi dan cerpen. Puisi saya pertama kali dimuat di koran Haluan saat saya SMP. Judulnya Malam Bagaikan Jelaga . Bangga juga. Apalagi pengasuhnya adalah sastrawan Leon Agusta dan Rusli Marzuki Saria. “Mungkin mereka enggak mengira yang menulis puisi itu adalah anak SMP.”
Begitu karyanya dimuat, semangat Karni menulis semakin menggebu-gebu. Apalagi ia mulai berkenalan dengan seorang wartawan Haluan saat sedang berada di pasar. Ia mendapat kesempatan menitipkan tulisannya kepada sang wartawan. Berita apa saja ia tulis. Beberapa tulisannya berhasil dimuat, tapi ada juga yang tidak lolos.
Ada sebuah momen unik yang diwartakan Karni ketika ia duduk di kelas 1 SMA. Saat itu, kepala sekolahnya berpidato di hadapan semua siswa. Diam-diam Karni mencatat setiap kalimat yang diujarkan kepala sekolah. Lalu, pidato lengkap kepala sekolahnya itu, “Saya tulis dan kirim ke surat kabar. Setelah dimuat, kepala sekolah sempat marah-marah,” papar Karni seraya tersenyum.
Kala itu, artikel yang ditulisnya tidak mendapat honor. Namun Karni tetap semangat melakukan reportase. Diam-diam, jiwa wartawan sudah merasuk di urat nadinya. “Tentu saya berterima kasih kepada wartawan yang saya kenal di pasar itu. Secara tidak langsung, dia memberi semangat kepada saya. Akhirnya, dia menjadi pemred di sana dan menjadi menantu si pemilik koran.”
Berbeda dengan artikel, “Saya justru mendapat honor untuk tulisan puisi dan cerpen. Saya mengambil sendiri honornya di kantor Haluan. Unik juga, saat itu pemrednya sendiri yang memberikan honornya. Saya lupa ucapan si pemred, intinya dia memberi semangat kepada saya untuk terus menulis,” kata Karni yang tidak hanya menulis untuk surat kabar lokal. “Saya juga mengirim tulisan di koran Jakarta dan dimuat.”
Pergulatannya di dunia tulis-menulis membuat jiwa jurnalistik Karni makin terasah. Tamat SMA, ia pun bertekad jadi wartawan. Alasannya, “Saya ingin terkenal.”
Beberapa waktu yang lalu, jurnalis senior Karni Ilyas yang populer lewat program unggulan Indonesia Lawyers Club di TV One meluncurkan buku biografinya berjudul 40 Tahun Jadi Wartawan, Karni Ilyas, Lahir untuk Berita . Buku yang ditulis oleh Fenty Effendy itu diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, Oktober lalu.
Dalam buku ini, “Saya tidak sekadar bercerita tentang perjalanan saya menjadi wartawan. Sebenarnya buku ini tentang pelajaran kehidupan. Bahwa hidup tidak boleh menyerah. Harus mencintai profesi. Saya, kan, mengalami hidup yang sulit. Mulai dari bawah sekali, tanpa backing dan tanpa modal,” kisah Karni.
Lewat biografinya ini, Karni berharap anak-anak muda tidak mudah patah semangat. “Usia saya, kan, sudah 60 tahun. Saya ingin menularkan pengalaman yang saya alami untuk anak-anak muda. Bukan berarti buku ini tidak menarik orangtua, tapi lebih bermanfaat bagi anak muda untuk mengembangkan karier di mana pun.”
Karni tidak menulis sendiri kisah hidupnya karena waktunya sudah tersita untuk pekerjaan yang ia lakoni sebagai Pemimpin Redaksi TV One. “Setelah masuk dunia teve, saya sudah tidak punya banyak waktu untuk menulis. Jadwal saya padat banget. Kebetulan staf saya di Majalah Forum yang sekarang masih jadi staf saya bernama Fenty Effendy, adalah seorang penulis buku. Ketika ada waktu senggang, saya bercerita kepada Fenty. Butuh waktu sekitar satu tahun sampai akhirnya buku ini diterbitkan.”
Duka Mendera
Perjalanan hidup Karni memang begitu kaya warna. Ia melewati gelombang kehidupan yang tidak mudah. Banyak mengalami perisitiwa yang begitu getir, namun ia berjuang untuk memenanginya. Karni lahir 25 September 1952 di Nagari Balingka, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam (Sumbar). Orangtuanya, pasangan Syamsinar dan Ilyas Sutan Nagari sebelumnya tinggal di Padang. Kala itu, merupakan kelaziman perempuan memilih melahirkan di kampung ibunya, termasuk Syamsinar.
Pasangan ini menamakan putra sulungnya Sukarni. Kelak kemudian hari, Karni sempat mempertanyakan kenapa namanya berbau perempuan. Ayahanda tercinta menjelaskan, Sukarni adalah seorang pejuang hebat. Sukarni merupakan sosok penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. “Sukarni bersama Chairul Saleh, Wikana, dan Shodanco Singgih, menculik Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 16 Agustus 1945 ke Rengas Dengklok,” ujar Karni.
Masa kecil Karni sudah diwarnai dengan kepahitan. Kala itu, ketika usianya belum genap 6 tahun, terjadi perang saudara, konflik antara pusat dan daerah. APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) menyerbu Padang. Sementara sang ayah bertahan tinggal di Padang, Karni diboyong ibunya mengungsi ke kampung halaman. “Ternyata, APRI juga menyerang pedalaman termasuk kampung kami. Tiap malam kampung kami dibazoka dan dimortir. Sungguh kejadian yang begitu pahit,” tutur Karni.
Sebagai anak kecil, Karni tidak memahami apa yang terjadi kala itu. Yang jelas, ia ketakutan ketika mendengar bunyi tembakan. Ketika itu, “Saya dibawa lari dan berlindung di lobang bawah tanah bersama Ibu dan Nenek. Rumah di kampung kami, kan, merupakan rumah panggung. Ketika konflik terjadi, warga membangun lobang perlindungan.
Situasi mencekam itu berlangsung berbulan-bulan. Ketika situasi sudah mulai mereda, lewat pemeriksaan APRI, sang ibu kembali membawa Karni ke Padang. Bukan perjalanan mudah. Syamsinar sambil menggendong Karni, berjalan kaki dari Koto Tuo mencari kendaraan ke Padang. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ada kendaraan yang membawa mereka ke Padang. Kembali pasangan Syamsinar dan Ilyas menata hidup.
Kegetiran yang lebih hebat dialami Karni. Suatu ketika ibunda tercinta akan melahirkan anak ketiga. Meski usia kehamilan sudah melewati masanya, si bayi belum juga lahir. Ternyata, si bayi sudah meninggal saat lahir. Beberapa menit kemudian, Syamsinar yang mengalami perdarahan hebat, juga meninggal.
“Dunia rasanya mau amblas. Itu masa yang paling pedih buat saya. Rasanya enggak kuat, di tengah malam melihat jasad Ibu sampai di rumah sudah dalam keadaan dibungkus,” ujar Karni yang saat itu usianya belum genap 8 tahun dan baru naik kelas 2 SD.
Situasi kemudian berubah menjadi begitu sepi dalam hidup Karni. Adik perempuan nomor dua yang saat itu berusia 5 tahun dibawa sang nenek ke kampung halaman. Karni pun tinggal bersama ayahnya. “Meninggalnya Ibu membuat perubahan yang sangat besar dalam hidup saya. Apa pun mesti saya kerjakan sendiri, termasuk harus mencuci dan menyeterika baju.”
Sejak lama Karni bercita-cita dan berkeinginan menjadi wartawan. (Foto: Dok Pri)
Cita-cita Wartawan
Sepeninggal ibunda, Karni menjadi “anak pasar”. Usai sekolah dan mengaji, ia menyusul ayahnya ke tempat kerjanya sebagai penjahit yang berlokasi di lingkungan pasar. Namun lingkungan pasar tak membuat sekolahnya terbengkalai. Bahkan, ketika tamat SD, ia ranking dua di kelasnya. Ia pun masuk SMP Negeri V.
Yang menarik ketika ia mulai hidup di lingkungan pasar, “Saya bergaul dengan kuli angkut, sopir, tukang parkir. Bahkan, saya pernah main judi bersama para kuli. Pernah pula saya ikut-ikutan menjual kode buntut,” katanya.
Demi memenuhi kebutuhan sekolahnya, Karni pun kerja apa saja. Misalnya menjual rokok dan koran. “Saya jadi penjual koran ikut-ikutan orang yang lebih besar. Subuh saya mengambil koran di percetakan. Sehari bisa laku sampai 30 koran. Karena di pasar sudah banyak saingan, saya jual koran sampai di Teluk Bayur, sekitar 9 km dari Padang. Teluk Bayur, kan, pelabuhan besar. Di sana ramai dan enggak ada saingannya. Kalau korannya enggak laku, saya jalan kaki 9 km sambil terus menjajakan koran. Hasil jualan koran lumayan untuk menambah biaya kebutuhan sekolah.”
Tidak sekadar menjajakan koran. Karni juga melahap berita yang disukainya. Baik berita dalam maupun luar negeri. “Bahkan, saya sudah berdebat dengan Bapak soal politik Cina dan Uni Sovyet. Mereka ini musuhan betulan atau pura-pura. Oh ya, saya memang suka sekali membaca. Bahkan sejak kelas 1 SD saya sudah kecanduan baca koran. Semua buku sastra juga saya baca, termasuk novel tenar Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Saya juga suka baca buku-buku sejarah,” papar Karni.
Kesukaan pada dunia baca terus berlanjut sampai Karni masuk SMEA jurusan Tata Niaga. Kesukaan membaca koran disertai upaya terus belajar, membuatnya sanggup menulis dengan baik. “Saya juga tertarik menulis puisi dan cerpen. Puisi saya pertama kali dimuat di koran Haluan saat saya SMP. Judulnya Malam Bagaikan Jelaga . Bangga juga. Apalagi pengasuhnya adalah sastrawan Leon Agusta dan Rusli Marzuki Saria. “Mungkin mereka enggak mengira yang menulis puisi itu adalah anak SMP.”
Begitu karyanya dimuat, semangat Karni menulis semakin menggebu-gebu. Apalagi ia mulai berkenalan dengan seorang wartawan Haluan saat sedang berada di pasar. Ia mendapat kesempatan menitipkan tulisannya kepada sang wartawan. Berita apa saja ia tulis. Beberapa tulisannya berhasil dimuat, tapi ada juga yang tidak lolos.
Ada sebuah momen unik yang diwartakan Karni ketika ia duduk di kelas 1 SMA. Saat itu, kepala sekolahnya berpidato di hadapan semua siswa. Diam-diam Karni mencatat setiap kalimat yang diujarkan kepala sekolah. Lalu, pidato lengkap kepala sekolahnya itu, “Saya tulis dan kirim ke surat kabar. Setelah dimuat, kepala sekolah sempat marah-marah,” papar Karni seraya tersenyum.
Kala itu, artikel yang ditulisnya tidak mendapat honor. Namun Karni tetap semangat melakukan reportase. Diam-diam, jiwa wartawan sudah merasuk di urat nadinya. “Tentu saya berterima kasih kepada wartawan yang saya kenal di pasar itu. Secara tidak langsung, dia memberi semangat kepada saya. Akhirnya, dia menjadi pemred di sana dan menjadi menantu si pemilik koran.”
Berbeda dengan artikel, “Saya justru mendapat honor untuk tulisan puisi dan cerpen. Saya mengambil sendiri honornya di kantor Haluan. Unik juga, saat itu pemrednya sendiri yang memberikan honornya. Saya lupa ucapan si pemred, intinya dia memberi semangat kepada saya untuk terus menulis,” kata Karni yang tidak hanya menulis untuk surat kabar lokal. “Saya juga mengirim tulisan di koran Jakarta dan dimuat.”
Pergulatannya di dunia tulis-menulis membuat jiwa jurnalistik Karni makin terasah. Tamat SMA, ia pun bertekad jadi wartawan. Alasannya, “Saya ingin terkenal.”
0
5.2K
Kutip
5
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan