- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kisah Jumpshiper Asal Indonesia di Negeri Paman Sam (1)


TS
rendroprayogo
Kisah Jumpshiper Asal Indonesia di Negeri Paman Sam (1)
http://www.perspektifnews.com/?p=324
Senin, 4 Maret 2013
PerspektifNews - Pendatang ilegal atau sering disebut imigran gelap menjadi isu sensitif di Amerika Serikat. Dalam pemilihan presiden AS November 2012, calon dari kubu Republik, Mitt Romney, mengampanyekan kebijakan tegas terhadap para imigran gelap yang berjumlah jutaan orang. Sedangkan kubu Demokrat justru bersikap lunak dengan cara membatasi dan melegalkan yang sudah tinggal lama di sana.
Dalam sejarahnya, benua Amerika merupakan tanah impian dari warga Eropa yang ingin mencari penghidupan yang lebih baik. Banyak penjelajah Eropa yang melayari lautan Atlantik yang ganas untuk bermukim dan membangun koloni di sana. Penjelajahan Cristopher Columbus merupakan ekspedisi terbesar yang mula-mula pernah dilakukan bangsa Eropa. Bahkan, para pelarian politik dari Inggris, Spanyol, Portugal, hingga Itali dan Jerman menjadikan Amerika sebagai tujuan bagi persembunyian dan tempat tinggalnya.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat menjadi negara terbesar dari segi luas wilayah, kekuatan ekonomi, politik, dan armada perangnya. Amerika menjadi kekuatan ekonomi-politik yang menjadi adikuasa tunggal setelah keruntuhan rejim Uni Soviet. Banyak orang datang dan mengadu nasib di sana dengan impian mendapatkan pekerjaan bagus dan gaji lebih besar.
Imigran gelap di AS bukan hanya dari Eropa, Afrika, maupun Amerika Selatan. Ternyata banyak pula orang Indonesia yang memasuki AS secara ilegal melalui berbagai cara. Salah satunya adalah lompat dari kapal (jumpship), baik itu kapal pesiar maupun kapal kargo.
PerspektifNews berhasil mewancarai salah seorang jumpshiper (pelompat-kapal) asal Indonesia yang bernama Coky Fandris, seorang lelaki keturunan Minang yang sejak kecil tinggal Tanah Abang, Jakarta. Demi sebuah impian untuk kehidupan yang lebih baik, Coky kemudian melamar kerja di kapal pesiar Princess Cruise. Namun karena sering dibentak dan dikasari oleh atasannya, ia tidak tahan bekerja di kapal pesiar tersebut dan memutuskan untuk lompat dari kapal. Apalagi, ia menambahkan, jam kerja di kapal pesiar tersebut seperti abad ke-18, 16 jam sehari.
Berikut wawancara tertulis kami dengan Coky Fandris.
P: Bagaimana ceritanya anda bisa menjadi imigran gelap di Amerika Serikat?
C: Sebenarnya letak masalah utamanya berada di ekonomi yang kian terpuruk di keluargaku. Aku tidak punya biaya untuk membayar uang kuliah hingga menunggak lima semester. Pada setiap semesternya aku harus membuat surat miskin dan sedikit berbohong pada Wakil Rektor agar setidaknya sampai pada skripsi. Nah, pas skripsi, semua tunggakan yang ada haruslah dibayar berikut dengan uang tetek-bengek skripsi yang semuanya kalau di total dengan tunggakan semester berjumlah 13-14 jutaan. Belum lagi ditambah dengan hutang ibuku yang sempat meminjam uang yang cukup besar pada rentenir. Untung ada teman ibuku yang baik hati yang mau sesegera mungkin membayarkan hutang ibuku dengan rentenir itu. Tetapi ibuku masih memiliki banyak hutang setelah ibuku mengalami kebangkrutan akibat tertipu oleh temannya sendiri. Aku sendiri mencari kerja cukup susah di Jakarta. Berkali-kali membangun usaha dengan teman selalu gagal, karena kendala kurang modal. Belum lagi adikku yang perempuan sudah waktunya untuk di operasi dan membutuhkan biaya setidaknya 15-20 jutaan rupiah.
Keinginanku yang terbesar adalah ingin bekerja membantu ekonomi keluarga dan melunasi semua hutang-hutang ibuku yang cukup besar dan mencarikan uang untuk operasi adikku. Juga bisa tetap berorganisasi dan berlawan dengan teman-teman seperjuangan, dan menyelesaikan kuliah yang tidak lulus-lulus itu. Kesemuanya itu membutuhkan biaya yang cukup besar bagiku. Kebetulan teman kuliah ada yang bekerja sebagai sekretaris di agency kapal pesiar. Dia memberitahu aku bahwa ada lowongan pekerjaan untukdishwasher (tukang cuci piring di kapal). Perusahaan itu membutuhkan banyak dishwahser.
Tiga minggu setelah mendapat informasi itu aku datang melamar ke agency kapal dengan memakai seragam yang rapih seperti orang kantoran dan dasi berikut rambut harus dicukur serapih mungkin. Pakaian dan sepatu kudapat pinjaman dari teman tongkrongan di Tanah Abang sekaligus parfumnya. Kemudian saya langsung masuk ke kantor agency dengan surat lamaran lengkap tertulis posisi lamaran sebagai dishwasher. Ternyata aku tidak menunggu lama antrian wawancara. Baru beberapa menit duduk sudah dipanggil dan melewati tiga tahap wawancara yang kesemuanya menggunakan bahasa Inggris. Aku diberitahu gajiku sebesar $525 per bulan.
Tetapi aku harus melewati tahap tes marlins (seperti TOEFL khusus untuk pelaut). Setelah itu medical check-up dan tetek-bengek lainnya yang harus memakan biaya Rp. 12.500.000. Untung saja teman kuliahku yang bekerja di perusahaan itu memberitahu kalau di sana boleh meminjam uang 75% dari biaya yang dibutuhkan tetapi harus lewati tes marlins dan lolos medical check-up dulu. Nah aku mendapatkan uang untuk membiayai kedua hal itu dari membuatkan skripsi teman. Setelah kedua hal itu lolos. Aku langsung mengajukan diri untuk meminjam dana ke agency, tetapi harus membuat surat miskin terlebih dahulu dari RT/RW dan kelurahan dan orang yang menjaminku kalau nanti aku tidak menyelesaikan kontrakku di kapal.
Surat miskin sudah didapat. Tapi soal penjamin? Aku harus minta tolong ke Pak Bolot, salah satu juragan toko di Tanah Abang yang beberapa minggu lagi akan bangkrut total. Dia juga punya hutang pada ayahku karena belum membayar uang kerja ayahku. Dia jaminkan salah satu tokonya ke utusan agency dan hasilnya surat peminjaman disahkan. Dana akan turun kalau ada sepuluh orang pengaju pinjaman.
Tetapi ada dua hal lagi yang harus aku lewati setelah marlins dan medical tadi, yaitu Training dan Basic Safety Training (BST) yang semuanya menelan biaya 4 juta rupiah. Sedangkan uang dari sisa pembuatan skripsi tinggal Rp. 1.500.000 . Kekurangan sisanya aku mendapatkan bantuan yang tidak pernah aku lupakan dari pamanku yang waktu itu juga sedang susah hidupnya. Dia mendapatkan uang itu dari hasil menjual ikan asin di pasar Leuwiliang Bogor. Dia tetap masih tetap membantuku agar bisa bekerja di kapal pesiar. Satu lagi teman baik saya, Deni, yang merelakan HP Nokia N 97 yang baru dibelinya beberapa hari, dia jual dengan murah seharga Rp. 1.400.000. Saya ambil satu juta untuk BST dan sisanya aku berikan ke dia dan yang tiga juta untuk training cuci piring. Kalau aku bilang ini sih cuma akal-akalan agency saja. Menjadi tukang cuci piring mah tidak usah di-training, bayarannya mahal pula. Setelah yang ini beres baru dana pinjaman turun dan langsung semuanya jadi mudah, seperti paspor, visa, seaman book. Semua dalam waktu beruntun datang berikut jadwal keberangkatanku yang kudapatkan dua hari setelah visa aku dinyatakan lolos sekaligus juga tiket pesawat dari agency.
Aku berangkat diantar oleh temanku, Pitoy, ke Rawamangun untuk naik bis ke bandara Soekarno-Hatta. Sesampai disana aku ditemani oleh Deni yang menyusul dengan temannya. Akhirnya pada jam 5 pagi kami berpisah dan aku hanya membawa bekal uang Rp.750.000 di kantong.
Dua belas jam kemudian aku sampai di Seattle lalu menginap di hotel Marriot. Ternyata yang menginap di sana semua pekerja Princess Cruise dan semua dari negara dunia ketiga, seperti Indonesia, Filipina, Romania, dan Serbia. Pagi hari kami dijemput bis dan sampai di pelabuhan kami melihat kapal Princess Cruise. Kapal pesiar dengan muatan 3000 penumpang dengan 3000 awak pekerja di dalamnya. Rutecruise-nya Seattle-Kanada-Alaska tempat nanti aku dan teman-teman akan ditindas dan diperas.
Sesampai di pelabuhan semua dokumen diperiksa. Ada satu orang Indonesia yang akhirnya kutahu dia dari Depok. Aku lihat di bajunya dia bernama Taufik, bertugas sebagai pemeriksa. Jabatannya cukup tinggi sebagai orang Indonesia di sana. Memang di kapalku orang Indonesia yang posisinya cukup tinggi hanya dia. Setelah semua dokumen di cek, aku diperbolehkan masuk ke kapal. Kemudian aku dipertemukan oleh chef, supervisor dan staf supervisor. Perkenalan tidak berjalan dengan baik karena ada salah satu rombongan pekerja baru ini langsung dimarahi oleh asisten chef dari India. Aku sendiri setelah perkenalan bersama langsung diantarkan menuju kabinku. Aku pikir istirahat dulu, ternyata langsung bekerja hari itu juga. (bersambung) (Jejen)
http://www.perspektifnews.com/?p=324
Senin, 4 Maret 2013
PerspektifNews - Pendatang ilegal atau sering disebut imigran gelap menjadi isu sensitif di Amerika Serikat. Dalam pemilihan presiden AS November 2012, calon dari kubu Republik, Mitt Romney, mengampanyekan kebijakan tegas terhadap para imigran gelap yang berjumlah jutaan orang. Sedangkan kubu Demokrat justru bersikap lunak dengan cara membatasi dan melegalkan yang sudah tinggal lama di sana.
Dalam sejarahnya, benua Amerika merupakan tanah impian dari warga Eropa yang ingin mencari penghidupan yang lebih baik. Banyak penjelajah Eropa yang melayari lautan Atlantik yang ganas untuk bermukim dan membangun koloni di sana. Penjelajahan Cristopher Columbus merupakan ekspedisi terbesar yang mula-mula pernah dilakukan bangsa Eropa. Bahkan, para pelarian politik dari Inggris, Spanyol, Portugal, hingga Itali dan Jerman menjadikan Amerika sebagai tujuan bagi persembunyian dan tempat tinggalnya.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat menjadi negara terbesar dari segi luas wilayah, kekuatan ekonomi, politik, dan armada perangnya. Amerika menjadi kekuatan ekonomi-politik yang menjadi adikuasa tunggal setelah keruntuhan rejim Uni Soviet. Banyak orang datang dan mengadu nasib di sana dengan impian mendapatkan pekerjaan bagus dan gaji lebih besar.
Imigran gelap di AS bukan hanya dari Eropa, Afrika, maupun Amerika Selatan. Ternyata banyak pula orang Indonesia yang memasuki AS secara ilegal melalui berbagai cara. Salah satunya adalah lompat dari kapal (jumpship), baik itu kapal pesiar maupun kapal kargo.
PerspektifNews berhasil mewancarai salah seorang jumpshiper (pelompat-kapal) asal Indonesia yang bernama Coky Fandris, seorang lelaki keturunan Minang yang sejak kecil tinggal Tanah Abang, Jakarta. Demi sebuah impian untuk kehidupan yang lebih baik, Coky kemudian melamar kerja di kapal pesiar Princess Cruise. Namun karena sering dibentak dan dikasari oleh atasannya, ia tidak tahan bekerja di kapal pesiar tersebut dan memutuskan untuk lompat dari kapal. Apalagi, ia menambahkan, jam kerja di kapal pesiar tersebut seperti abad ke-18, 16 jam sehari.
Berikut wawancara tertulis kami dengan Coky Fandris.
P: Bagaimana ceritanya anda bisa menjadi imigran gelap di Amerika Serikat?
C: Sebenarnya letak masalah utamanya berada di ekonomi yang kian terpuruk di keluargaku. Aku tidak punya biaya untuk membayar uang kuliah hingga menunggak lima semester. Pada setiap semesternya aku harus membuat surat miskin dan sedikit berbohong pada Wakil Rektor agar setidaknya sampai pada skripsi. Nah, pas skripsi, semua tunggakan yang ada haruslah dibayar berikut dengan uang tetek-bengek skripsi yang semuanya kalau di total dengan tunggakan semester berjumlah 13-14 jutaan. Belum lagi ditambah dengan hutang ibuku yang sempat meminjam uang yang cukup besar pada rentenir. Untung ada teman ibuku yang baik hati yang mau sesegera mungkin membayarkan hutang ibuku dengan rentenir itu. Tetapi ibuku masih memiliki banyak hutang setelah ibuku mengalami kebangkrutan akibat tertipu oleh temannya sendiri. Aku sendiri mencari kerja cukup susah di Jakarta. Berkali-kali membangun usaha dengan teman selalu gagal, karena kendala kurang modal. Belum lagi adikku yang perempuan sudah waktunya untuk di operasi dan membutuhkan biaya setidaknya 15-20 jutaan rupiah.
Keinginanku yang terbesar adalah ingin bekerja membantu ekonomi keluarga dan melunasi semua hutang-hutang ibuku yang cukup besar dan mencarikan uang untuk operasi adikku. Juga bisa tetap berorganisasi dan berlawan dengan teman-teman seperjuangan, dan menyelesaikan kuliah yang tidak lulus-lulus itu. Kesemuanya itu membutuhkan biaya yang cukup besar bagiku. Kebetulan teman kuliah ada yang bekerja sebagai sekretaris di agency kapal pesiar. Dia memberitahu aku bahwa ada lowongan pekerjaan untukdishwasher (tukang cuci piring di kapal). Perusahaan itu membutuhkan banyak dishwahser.
Tiga minggu setelah mendapat informasi itu aku datang melamar ke agency kapal dengan memakai seragam yang rapih seperti orang kantoran dan dasi berikut rambut harus dicukur serapih mungkin. Pakaian dan sepatu kudapat pinjaman dari teman tongkrongan di Tanah Abang sekaligus parfumnya. Kemudian saya langsung masuk ke kantor agency dengan surat lamaran lengkap tertulis posisi lamaran sebagai dishwasher. Ternyata aku tidak menunggu lama antrian wawancara. Baru beberapa menit duduk sudah dipanggil dan melewati tiga tahap wawancara yang kesemuanya menggunakan bahasa Inggris. Aku diberitahu gajiku sebesar $525 per bulan.
Tetapi aku harus melewati tahap tes marlins (seperti TOEFL khusus untuk pelaut). Setelah itu medical check-up dan tetek-bengek lainnya yang harus memakan biaya Rp. 12.500.000. Untung saja teman kuliahku yang bekerja di perusahaan itu memberitahu kalau di sana boleh meminjam uang 75% dari biaya yang dibutuhkan tetapi harus lewati tes marlins dan lolos medical check-up dulu. Nah aku mendapatkan uang untuk membiayai kedua hal itu dari membuatkan skripsi teman. Setelah kedua hal itu lolos. Aku langsung mengajukan diri untuk meminjam dana ke agency, tetapi harus membuat surat miskin terlebih dahulu dari RT/RW dan kelurahan dan orang yang menjaminku kalau nanti aku tidak menyelesaikan kontrakku di kapal.
Surat miskin sudah didapat. Tapi soal penjamin? Aku harus minta tolong ke Pak Bolot, salah satu juragan toko di Tanah Abang yang beberapa minggu lagi akan bangkrut total. Dia juga punya hutang pada ayahku karena belum membayar uang kerja ayahku. Dia jaminkan salah satu tokonya ke utusan agency dan hasilnya surat peminjaman disahkan. Dana akan turun kalau ada sepuluh orang pengaju pinjaman.
Tetapi ada dua hal lagi yang harus aku lewati setelah marlins dan medical tadi, yaitu Training dan Basic Safety Training (BST) yang semuanya menelan biaya 4 juta rupiah. Sedangkan uang dari sisa pembuatan skripsi tinggal Rp. 1.500.000 . Kekurangan sisanya aku mendapatkan bantuan yang tidak pernah aku lupakan dari pamanku yang waktu itu juga sedang susah hidupnya. Dia mendapatkan uang itu dari hasil menjual ikan asin di pasar Leuwiliang Bogor. Dia tetap masih tetap membantuku agar bisa bekerja di kapal pesiar. Satu lagi teman baik saya, Deni, yang merelakan HP Nokia N 97 yang baru dibelinya beberapa hari, dia jual dengan murah seharga Rp. 1.400.000. Saya ambil satu juta untuk BST dan sisanya aku berikan ke dia dan yang tiga juta untuk training cuci piring. Kalau aku bilang ini sih cuma akal-akalan agency saja. Menjadi tukang cuci piring mah tidak usah di-training, bayarannya mahal pula. Setelah yang ini beres baru dana pinjaman turun dan langsung semuanya jadi mudah, seperti paspor, visa, seaman book. Semua dalam waktu beruntun datang berikut jadwal keberangkatanku yang kudapatkan dua hari setelah visa aku dinyatakan lolos sekaligus juga tiket pesawat dari agency.
Aku berangkat diantar oleh temanku, Pitoy, ke Rawamangun untuk naik bis ke bandara Soekarno-Hatta. Sesampai disana aku ditemani oleh Deni yang menyusul dengan temannya. Akhirnya pada jam 5 pagi kami berpisah dan aku hanya membawa bekal uang Rp.750.000 di kantong.
Dua belas jam kemudian aku sampai di Seattle lalu menginap di hotel Marriot. Ternyata yang menginap di sana semua pekerja Princess Cruise dan semua dari negara dunia ketiga, seperti Indonesia, Filipina, Romania, dan Serbia. Pagi hari kami dijemput bis dan sampai di pelabuhan kami melihat kapal Princess Cruise. Kapal pesiar dengan muatan 3000 penumpang dengan 3000 awak pekerja di dalamnya. Rutecruise-nya Seattle-Kanada-Alaska tempat nanti aku dan teman-teman akan ditindas dan diperas.
Sesampai di pelabuhan semua dokumen diperiksa. Ada satu orang Indonesia yang akhirnya kutahu dia dari Depok. Aku lihat di bajunya dia bernama Taufik, bertugas sebagai pemeriksa. Jabatannya cukup tinggi sebagai orang Indonesia di sana. Memang di kapalku orang Indonesia yang posisinya cukup tinggi hanya dia. Setelah semua dokumen di cek, aku diperbolehkan masuk ke kapal. Kemudian aku dipertemukan oleh chef, supervisor dan staf supervisor. Perkenalan tidak berjalan dengan baik karena ada salah satu rombongan pekerja baru ini langsung dimarahi oleh asisten chef dari India. Aku sendiri setelah perkenalan bersama langsung diantarkan menuju kabinku. Aku pikir istirahat dulu, ternyata langsung bekerja hari itu juga. (bersambung) (Jejen)
http://www.perspektifnews.com/?p=324
0
3.8K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan