- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengenang Laurie Cunningham


TS
fadhlierlanda
Mengenang Laurie Cunningham

Ditulis oleh: Yoga Cholandha
Suatu kali, Franz Beckenbauer, libero legendaris Jerman itu pernah berkata, “Sepak bola adalah cerminan sebuah bangsa.” Meminjam dan memodifikasi kata-kata Der Kaizer, sepak bola sejatinya adalah cerminan dari peradaban itu sendiri.
Apa yang terjadi di sepak bola mampu menunjukkan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada dunia. Baik atau buruk, benar atau salah, semua bisa disaksikan di sana.
Rasialisme adalah salah satu borok dunia yang tak kunjung dapat disembuhkan meskipun berbagai upaya telah coba dilakukan oleh pihak-pihak berwenang. Berbagai kampanye sudah digalakkan, namun tendensi yang satu ini tak juga hilang dari dunia. Seakan-akan potensi untuk melakukan tindakan berbau rasial ini sudah tertanam dalam DNA umat manusia. Sepak bola pun tak lepas dari rasialisme.
Laurence Paul Cunningham, atau akrab disapa Laurie Cunningham barangkali bukan nama paling tenar yang ada di sepak bola. Nama Cunningham jelas kalah dibanding bintang-bintang seangkatannya seperti Michel Platini, Zico, atau Kenny Dalglish. Meski begitu, pemain ini adalah salah satu pemain paling spesial di sejarah sepak bola dunia. Ia adalah pemain Inggris kulit hitam pertama yang tampil di laga kompetitif untuk tim senior Inggris. Selain itu, ia adalah pemain Inggris pertama yang bermain untuk Real Madrid.
Cunningham adalah salah satu simbol perlawanan terhadap rasialisme di sepak bola Inggris.
Cunningham lahir di London pada 8 Maret 1956. Ketika remaja, ia pernah menjalani percobaan dengan raksasa London Utara, Arsenal, tetapi gagal mendapatkan kontrak karena manajemen Arsenal merasa Cunningham tidak cukup bagus. Setelah menjalani berbagai percobaan, Cunningham akhirnya mendapatkan kontrak dari klub gurem dari London Timur, Leyton Orient pada usia 18 tahun. Tiga musim ia habiskan di Leyton Orient sebelum West Bromwich Albion merekrutnya pada musim panas 1977.
Proses transfer Cunningham ke West Brom ini sebetulnya tidak terlalu mulus karena pada saat itu, West Brom mendapat gangguan dari dua klub besar Eropa, yakni Hamburg SV dan Saint Ettienne. Hamburg pada waktu itu baru saja mendatangkan Kevin Keegan, sementara Saint Ettienne adalah penguasa Perancis kala itu. Pilihan untuk langsung melejit rupanya tidak diambil oleh Cunningham. Ia memilih meniti tangga karirnya pelan-pelan. West Bromwich Albion di bawah arahan Johnny Giles pun menjadi pilihannya.
Laurie Cunningham adalah winger kiri yang memiliki kecepatan, dribel bola merangsang, dan trik-trik yang menyenangkan untuk disaksikan. Pernah suatu kali saya menyaksikan penampilannya di YouTube dan apa yang dikatakan orang-orang ternyata tidak salah. Cunningham benar-benar seorang pemain spesial.
Cunningham adalah seorang penghibur sejati di lapangan hijau. Gaya permainannya mirip dengan Ricardo Quaresma di masa jayanya.
Cunningham menghabiskan waktu selama dua musim di West Brom. Di musim pertamanya, ia langsung sukses membawa West Brom menembus kompetisi kontinental, Piala UEFA. Bersama pemain kulit hitam lain, Cyrille Regis, ia adalah bagian integral dari sukses West Brom kala itu. Meski begitu, puncak penampilannya di West Brom adalah ketika ia menjalani musim kedua. Di musim 1978/79, Ron Atkinson menggantikan Johnny Giles di pos manajerial West Brom. Atkinson membawa satu pemain kulit hitam lain bernama Brendon Batson.
Cunningham, Regis, dan Batson kemudian menjelma menjadi pilar permainan atraktif West Brom. Oleh Atkinson, trio ini disebut sebagai The Three Degrees, meminjam nama dari grup vokal soul Amerika Serikat era 1930-an. Keberadaan The Three Degrees ini membuat West Brom menjadi klub Inggris pertama yang memainkan tiga pemain kulit hitam secara bersamaan di tim intinya. Trio ini benar-benar mampu menaikkan level permainan West Brom ke level yang belum pernah dibayangkan sebelumnya oleh para suporter West Brom.
Berlaga di kompetisi Eropa, Cunningham tidak menyia-nyiakannya. Ia tampil trengginas, meskipun gagal membawa West Brom menjuarai ajang ini. Penampilannya yang paling memukau adalah ketika West Brom mengalahkan Valencia 2-0. Perlu dicatat, Valencia kala itu diperkuat bintang Argentina di Piala Dunia 1978, Mario Kempes. Penampilan Cunningham di laga ini membuatnya kembali dilirik klub-klub besar Eropa. Real Madrid adalah klub yang paling getol mendapatkan tanda tangan Cunningham.
Di musim ini pula, Cunningham berhasil mencatatkan diri sebagai pemain kulit hitam pertama yang membela timnas Inggris dalam pertandingan kompetitif di level senior. Enam bulan sebelumnya, Viv Anderson mencatatkan diri sebagai pemain kulit hitam pertama yang membela timnas Inggris di level senior. Akan tetapi, Anderson melakukannya dalam laga persahabatan melawan Cekoslowakia, sementara Cunningham melakukannya di pertandingan Pra Piala Eropa melawan Wales.
Di awal musim 1979/80, Real Madrid akhirnya benar-benar melakukan pendekatan kepada Cunningham. Perundingan untuk memboyong Cunningham ke Santiago Bernabeu ini berlangsung alot karena perbedaan harga yang dipatok Real Madrid dan West Brom. Real Madrid awalnya hanya mengajukan tawaran sebesar 250.000 poundsterling. Mendapat tawaran itu, Atkinson berkata, “Anjing saya langsung menggonggong ketika mendengar jumlah itu. Ia saja tahu kalau harga itu tidak tepat. Saya minta 1 juta pound untuk Cunningham.”
Real Madrid yang sudah kadung kepincut, akhirnya bersedia menaikkan tawaran hingga akhirnya kesepakatan sebesar 950.000 pound tercapai dan Cunningham resmi hijrah ke Madrid. Sebelum Steve McManaman, Michael Owen, Jonathan Woodgate, dan David Beckham, ada Laurie Cunningham.
Debutnya di Real Madrid berlangsung manis. Entah kebetulan atau tidak, pertandingan pertama Cunningham berbaju Los Merengues dilakukan dalam laga kontra Valencia. Real Madrid menang 3-1 dan Cunningham mencetak dua gol. Lebih dari dua golnya, kemampuan Cunningham mengobrak-abrik pertahanan Valencia benar-benar mampu membawa harapan bagi Real Madrid di musim tersebut.
Momen terbaik Cunningham di musim itu terjadi pada sebuah laga El Clasico yang dihelat di Camp Nou. One man show Cunningham kala itu membuat Barcelona harus takluk 0-2. Cunningham mencetak satu gol di pertandingan tersebut dan di akhir laga, publik Camp Nou memberikan standing ovation kepada Cunningham. Peristiwa ini mirip dengan apa yang dialami Ronaldinho di Santiago Bernabeu beberapa musim silam. Real Madrid berhasil meraih juara ganda pada musim itu. Dua gelar domestik disapu bersih skuat Los Blancos.
Sayang sekali, penampilan brilian Cunningham di level klub gagal dibawa ke tim nasional. Menjelang perhelatan Piala Eropa 1980, Real Madrid berselisih paham dengan tim nasional Inggris soal pemanggilan Cunningham. Alhasil, Cunningham gagal berangkat ke Piala Eropa. Peristiwa ini seperti menjadi pertanda kemunduran karir Cunningham. Di musim 1980/81, Cunningham didera cedera berkepanjangan yang membuatnya absen di banyak pertandingan. Ia sempat tampil di final Liga Champions kontra Liverpool. Sayangnya, Real Madrid harus menyerah 0-1 dari The Reds.
Musim-musim berikutnya ia habiskan secara nomaden. Meski sampai musim 1983/84 ia masih tercatat sebagai pemain Real Madrid, ia menghabiskan dua tahun terakhirnya sebagai pemain pinjaman. Di musim 1982/83 ia dipinjamkan ke Manchester United untuk bereuni dengan Ron Atkinson. Kemudian, di musim 1983/84, ia bermain untuk Sporting Gijon yang dilatih oleh pelatih legendaris Yugoslavia, Vujadin Boskov.
Setelah kontraknya dengan Real Madrid habis, ia kemudian berkelana ke berbagai negara sampai musim 1987/88. Olympique de Marseille, Leicester City, Rayo Vallecano, SC Charleroi, dan Wimbledon menjadi pelabuhannya selama empat tahun. Selama empat tahun, ia sempat meraih satu gelar bersama Wimbledon, yakni gelar Piala FA 1988. Ia sukses membalaskan dendamnya kepada Liverpool bersama The Crazy Gang.
Di musim 1988/89, Cunningham kembali ke Spanyol untuk memperkuat Rayo Vallecano. Di Rayo Vallecano, sebetulnya ia sudah menemukan lagi kenyamanan bermain sepak bola. Vallecano dianggapnya sebagai rumah yang selama ini hilang. Meski sudah tidak mampu bermain di level tertinggi lagi, Cunningham tetap mampu memberikan yang terbaik untuk Vallecano di musim tersebut. Namun ternyata, kenyamanan Cunningham bermain di Rayo Vallecano memiliki makna yang lebih dalam. Rayo Vallecano ditakdirkan untuk menjadi tambatan hidup terakhir Laurie Cunningham.
15 Juli 1989, dalam sebuah perjalanan pulang dari kelab malam bersama Cyrille Regis yang sedang berlibur di Madrid, Laurie Cunningham menemui ajalnya. Mobil yang dikendarai oleh Regis menabrak pepohonan. Regis selamat, namun tidak dengan Cunningham. Laurie Cunningham wafat di usia 33 tahun dengan meninggalkan seorang istri dan seorang anak. Tuhan menyatakan bahwa kiprah Cunningham harus berhenti pada hari itu juga.
Demikianlah sebuah cerita singkat mengenai sosok Laurie Cunningham. 8 Maret lalu adalah hari ulang tahun Cunningham. Jika Tuhan masih memanjangkan usianya, ia akan berumur 57 tahun.
Tak salah kalau kita mengingat nama Laurie Cunningham, baik sebagai seorang pesepakbola berbakat, maupun sebagai seorang simbol anti-rasialisme di sepak bola. Cunningham layak mendapat tempat spesial dalam sejarah sepak bola. Kita yang bertanggung jawab untuk mengamankan tempatnya, sebelum semua orang terlanjur lupa.
[url]http://id.olahraga.yahoo.comS E N S O Rarena/mengenang-laurie-cunningham-092617975.html[/url]
Diubah oleh fadhlierlanda 15-03-2013 23:28
0
1.2K
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan