- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Belajar dari Paus


TS
cortezgolan7
Belajar dari Paus
Dunia kaget tatkala Paus Benediktus XVI mengumumkan pengunduran diri, Senin (11/2). Alasan pemimpin 1,2 miliar umat Katolik di seluruh dunia itu sangat manusiawi. Di usia 85 tahun, Paus merasa tak sanggup lagi menjalankan tugasnya. Kondisi fisik tak memungkinkan Paus terus menggembala umat.
Masa kepemimpinannya yang hanya tujuh tahun boleh dikatakan singkat. Selama Gereja Katolik berdiri, paus silih berganti. Umumnya, paus diganti karena meninggal dunia. Paus Yohanes Paulus II yang meninggal 2005 setelah memimpin Gereja Katolik selama hampir 27 tahun digantikan Kardinal Ratzinger. Paus sebelumnya yang juga mengundurkan diri adalah Paus Gregory XII. Itu terjadi pada 1415 atau 598 tahun lalu.
Bagi kita, Paus juga manusia biasa yang punya kekurangan dan kelemahan. Salah satunya adalah kondisi fisik yang kurang mendukung penggembalaannya di kemudian hari. Menyadari kelemahan tersebut, Paus Benediktus XVI mengundurkan diri dari tugas-tugasnya sebagai pemimpin agama. Tetapi sebagai manusia dan hamba Allah, Ratzinger tetap mendarmabaktikan sisa hidupnya bagi Gereja Katolik dan kemanusiaan yang universal.
Kita patut memberi apresiasi dan menaruh hormat pada keputusan Paus Benediktus. Paus telah memberi teladan bagi umat manusia, khususnya para pemimpin dunia saat ini. Setidaknya ada dua pelajaran berharga yang bisa dipetik melalui pengunduran diri dan kepemimpinannya kepada pemimpin dunia, khususnya di Indonesia. Paus tahu diri, sebaliknya banyak pemimpin di negeri ini yang tak tahu diri!
Pelajaran pertama tentang kepemimpinan Paus ditujukan kepada seluruh pemimpin agama di negeri ini. Paus senantiasa santun dan bersahaja terhadap siapa pun. Paus tak pernah menyerukan umat Katolik memusuhi penganut agama atau kepercayaan lain. Paus justru mendorong umat hidup berdampingan secara damai serta hidup dengan penuh kasih. Namun, Paus juga pernah mengingatkan ancaman terhadap kebebasan beragama, seperti yang kini terjadi di Indonesia.
Fakta menunjukkan sebagian pemimpin agama di negeri ini tak senang dengan kehidupan damai. Mereka selalu mengobarkan api peperangan kepada siapa pun yang dianggap tak segolongan dengannya. Khotbah-khotbah di tempat ibadah penuh hasutan, bahkan mendorong umat menghakimi sesamanya. Kasus penganut Ahmadiyah dan Syiah menjadi bukti betapa toleransi kehidupan terus dinodai. Demikian juga dengan jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang masih berjuang agar bisa beribadat di lahan sendiri.
Celakanya, aparat negara yang seharusnya bertugas melindungi segenap rakyat, tutup mata terhadap kejadian tersebut. Tak ada tindakan tegas terhadap perobek kerukunan hidup beragama. Untuk kembali menumbuhkan kerukunan antarumat, pemuka agama hendaknya kembali menyuarakan penghormatan terhadap kemanusiaan. Setiap manusia mempunyai hak hidup dan beribadah sesuai keyakinannya. Kitab suci pun mengajarkan cinta kepada sesama.
Pelajaran kedua menyangkut pengunduran diri Paus yang terutama ditujukan kepada penyelenggara negara dan pemimpin parpol. Keberanian pejabat mengundurkan diri sangat langka. Padahal, kepemimpinannya tak membawa kemaslahatan bagi rakyat.
Seperti halnya Paus Benediktus, pemimpin lainnya mesti sadar akan kekurangan dan kelemahannya. Bila tak mampu memperbaiki diri, sebaiknya mundur dengan terhormat. Demikian juga bila tak mampu memenuhi target yang telah ditetapkan, apalagi bila terindikasi menyalahgunakan jabatan.
Kita patut memberi apresiasi kepada Andi Mallarangeng, Luthfi Hasan Ishaaq, dan Anas Urbaningrum. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, mereka langsung mengundurkan diri. Tak banyak pemimpin seperti itu.
Idealnya, seorang pemimpin tak korup, tidak menyalahgunakan jabatannya, sekaligus berkewajiban mencegah korupsi. Kekuasaan yang ada dalam genggaman hendaknya dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat, bukan malah disalahgunakan. Paus Benediktus menyatakan kepemimpinan harus dilaksanakan, bukan hanya dengan kata dan perbuatan, namun juga dengan doa dan penderitaan. Tak banyak pemimpin saat ini yang rela menderita!
Mengutip Peter F Drucker, pemimpin itu memberi teladan dan kepemimpinan adalah tanggung jawab. Teladan dan tanggung jawab itu telah ditunjukkan Paus Benediktus XVI. Bila makna kata “teladan” dan “tanggung jawab” diresapi dan diaktulisasikan oleh pemimpin negeri ini, niscaya perjalanan bangsa ke depan akan lebih baik.
sumber : http://www.beritasatu.com/blog/tajuk...dari-paus.html
Masa kepemimpinannya yang hanya tujuh tahun boleh dikatakan singkat. Selama Gereja Katolik berdiri, paus silih berganti. Umumnya, paus diganti karena meninggal dunia. Paus Yohanes Paulus II yang meninggal 2005 setelah memimpin Gereja Katolik selama hampir 27 tahun digantikan Kardinal Ratzinger. Paus sebelumnya yang juga mengundurkan diri adalah Paus Gregory XII. Itu terjadi pada 1415 atau 598 tahun lalu.
Bagi kita, Paus juga manusia biasa yang punya kekurangan dan kelemahan. Salah satunya adalah kondisi fisik yang kurang mendukung penggembalaannya di kemudian hari. Menyadari kelemahan tersebut, Paus Benediktus XVI mengundurkan diri dari tugas-tugasnya sebagai pemimpin agama. Tetapi sebagai manusia dan hamba Allah, Ratzinger tetap mendarmabaktikan sisa hidupnya bagi Gereja Katolik dan kemanusiaan yang universal.
Kita patut memberi apresiasi dan menaruh hormat pada keputusan Paus Benediktus. Paus telah memberi teladan bagi umat manusia, khususnya para pemimpin dunia saat ini. Setidaknya ada dua pelajaran berharga yang bisa dipetik melalui pengunduran diri dan kepemimpinannya kepada pemimpin dunia, khususnya di Indonesia. Paus tahu diri, sebaliknya banyak pemimpin di negeri ini yang tak tahu diri!
Pelajaran pertama tentang kepemimpinan Paus ditujukan kepada seluruh pemimpin agama di negeri ini. Paus senantiasa santun dan bersahaja terhadap siapa pun. Paus tak pernah menyerukan umat Katolik memusuhi penganut agama atau kepercayaan lain. Paus justru mendorong umat hidup berdampingan secara damai serta hidup dengan penuh kasih. Namun, Paus juga pernah mengingatkan ancaman terhadap kebebasan beragama, seperti yang kini terjadi di Indonesia.
Fakta menunjukkan sebagian pemimpin agama di negeri ini tak senang dengan kehidupan damai. Mereka selalu mengobarkan api peperangan kepada siapa pun yang dianggap tak segolongan dengannya. Khotbah-khotbah di tempat ibadah penuh hasutan, bahkan mendorong umat menghakimi sesamanya. Kasus penganut Ahmadiyah dan Syiah menjadi bukti betapa toleransi kehidupan terus dinodai. Demikian juga dengan jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang masih berjuang agar bisa beribadat di lahan sendiri.
Celakanya, aparat negara yang seharusnya bertugas melindungi segenap rakyat, tutup mata terhadap kejadian tersebut. Tak ada tindakan tegas terhadap perobek kerukunan hidup beragama. Untuk kembali menumbuhkan kerukunan antarumat, pemuka agama hendaknya kembali menyuarakan penghormatan terhadap kemanusiaan. Setiap manusia mempunyai hak hidup dan beribadah sesuai keyakinannya. Kitab suci pun mengajarkan cinta kepada sesama.
Pelajaran kedua menyangkut pengunduran diri Paus yang terutama ditujukan kepada penyelenggara negara dan pemimpin parpol. Keberanian pejabat mengundurkan diri sangat langka. Padahal, kepemimpinannya tak membawa kemaslahatan bagi rakyat.
Seperti halnya Paus Benediktus, pemimpin lainnya mesti sadar akan kekurangan dan kelemahannya. Bila tak mampu memperbaiki diri, sebaiknya mundur dengan terhormat. Demikian juga bila tak mampu memenuhi target yang telah ditetapkan, apalagi bila terindikasi menyalahgunakan jabatan.
Kita patut memberi apresiasi kepada Andi Mallarangeng, Luthfi Hasan Ishaaq, dan Anas Urbaningrum. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, mereka langsung mengundurkan diri. Tak banyak pemimpin seperti itu.
Idealnya, seorang pemimpin tak korup, tidak menyalahgunakan jabatannya, sekaligus berkewajiban mencegah korupsi. Kekuasaan yang ada dalam genggaman hendaknya dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat, bukan malah disalahgunakan. Paus Benediktus menyatakan kepemimpinan harus dilaksanakan, bukan hanya dengan kata dan perbuatan, namun juga dengan doa dan penderitaan. Tak banyak pemimpin saat ini yang rela menderita!
Mengutip Peter F Drucker, pemimpin itu memberi teladan dan kepemimpinan adalah tanggung jawab. Teladan dan tanggung jawab itu telah ditunjukkan Paus Benediktus XVI. Bila makna kata “teladan” dan “tanggung jawab” diresapi dan diaktulisasikan oleh pemimpin negeri ini, niscaya perjalanan bangsa ke depan akan lebih baik.
sumber : http://www.beritasatu.com/blog/tajuk...dari-paus.html
0
994
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan