- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Letter from The Heart
TS
Shian
Letter from The Heart
Agan2 penghuni SFTH sekalian, izinkan ane menuangkan cerpen jelek ane di sini.
Ini adalah cerita romance(?) pertama ane. Tauk deh ini masuk romance ato ngga. Maaf juga klo ceritanya jelek dan terlalu pendek. Soalnya saya memang ga bakat bikin cerita romance.
Anyway, please enjoy it
“Waktu kematian pukul 14.23. Tolong hubungi keluarganya,” kata sang dokter sambil melihat jam tangannya.
“Suster Anna, kenapa kau menangis. Apa kamu kerabat sang pasien?’
“Tidak, dok. Saya bukan kerabatnya. Bapak Altair tidak punya keluarga atau kerabat lagi,” suster muda itu menjawab.
“Lalu, kenapa kamu menangis?”
“Itu… Bapak Altair menitipkan surat ini padaku kemarin. Dia bilang supaya aku menaruhnya di makam perempuan yang paling disayanginya. Namun, beliau tidak memberitahukan dimana makamnya. Saya pikir mungkin itu tertulis dalam suratnya, sehingga saya coba membacanya. Akan tetapi, ternyata di dalamnya pun tidak tertulis tempatnya. Hanya ada sebuah kisah memilukan yang mungkin seharusnya tidak saya baca,” jelas suster muda itu sambil menyeka air matanya.
“Benarkah. Boleh saya melihatnya sebentar?” ucap sang dokter penasaran. Ia lalu membuka surat tersebut.
Dear Alia,
Bersama surat ini, aku ingin menuangkan seluruh perasaan yang ada dalam hatiku padamu. Mungkin surat ini tidak akan pernah sampai padamu. Namun, aku tetap berharap bisa menyampaikan perasaan ini. Perasaan yang tidak pernah bisa kuungkapkan selama ini. Padamu yang merupakan cinta pertama dan terakhirku.
Hei Alia, kamu masih ingat? Di hari pertama kali kita bertemu. Dulu, kamu adalah anak perempuan cengeng yang sering kujahili, tapi entah sejak kapan kita menjadi akrab dan selalu bersama. Kita begitu dekat layaknya kakak beradik sungguhan. Kita melewatkan masa kecil dengan begitu bahagia.
Alia, apa kau tahu? Tidak pernah sekalipun aku melupakan kenangan indah tersebut. Wajah polosmu di masa kanak-kanak masih terpatri dengan jelas dalam ingatanku hingga saat ini. Aku selalu berharap jika bisa mengulang waktu, aku ingin kembali ke masa-masa itu.
Hei Alia, kamu masih ingat? Di sore berhujan itu, tanpa memedulikan nyawamu sendiri, kamu menyelamatkanku dari mobil yang hampir saja merenggut nyawaku. Bahkan ketika kejadian itu pada akhirnya membuat sebelah kakimu tidak bisa berjalan normal lagi, kamu hanya tersenyum dan berkata baik-baik saja.
Alia, apa kamu tahu? Saat itu aku takut sekali menemui dirimu. Aku takut kamu membenciku. Aku takut kamu menyesal telah menolongku. Karena itulah aku selalu berpura-pura melupakan kejadian tersebut. Saat itu, aku merasa memiliki hutang besar yang tidak akan sanggup kubayar sampai kapan pun.
Hei Alia, kamu masih ingat? Setelah kecelakaan itu, ada anak nakal di sekolah menghasut anak-anak lain untuk menjahilimu karena kekurangan fisikmu. Setiap hari mereka mengejek dan menghinamu di belakang para guru. Kamu tidak pernah terlihat lemah di depan mereka,kamu tidak pernah menangis ataupun marah. Kamu juga tidak pernah bertanya kenapa aku tidak pernah membelamu.
Alia, apa kau tahu? Aku ingin sekali melindungimu saat itu. Akan tetapi, aku terlalu pengecut. Ketika mereka semua mengancam untuk menjauhiku jika membelamu, aku hanya bisa diam melihatmu dijahati. Ini adalah dosa seumur hidup yang terus menghantuiku selamanya.
Hei Alia, kamu masih ingat? Meski aku tidak pernah membelamu, setiap hari kamu selalu menyapaku dengan penuh senyuman. Senyuman paling cantik dan paling tulus yang selalu kauberikan. Tiada kepalsuan apapun di dalamnya. Tapi… senyuman indahmu itu malah kubalas dengan sikap tak acuhku, kupalingkan wajah saat menatapmu. Bahkan saat kau menyapaku, aku malah pura-pura tidak mengenalmu dan terus menjauhimu.
Alia, apa kamu tahu? Senyumanmu begitu menyilaukan untukku. Setiap kali kau bersikap baik padaku, semakin hancur hatiku. Aku yang telah berdosa besar ini tidak sepatutnya mendapatkan perhatianmu. Mungkin, akan jauh lebih baik jika kamu marah atau membenciku.
Hei Alia, kamu masih ingat? Masa remajaku dihabiskan dengan segala keburukan. Namun, kamu tidak pernah meninggalkanku. Bahkan, ketika aku hampir dikeluarkan dari sekolah. Kamulah satu-satunya orang yang membelaku mati-matian. Sementara, teman-teman burukku malah saling menyalahkan satu sama lain.
Alia, apa kamu tahu? Aku selalu ingin kembali akrab denganmu. Aku ingin menghabiskan hari-hari bersamamu, berjalan bersama, belajar bersama, dan bermain bersama. Akan tetapi, aku berpikir kalau aku tidak pantas untukmu. Aku telah mengkhianatimu. Aku menjauh di saat kau kesusahan, sementara kau malah menolongku saat aku sulit.
Hei Alia, kamu masih ingat? Saat kamu terpilih sebagai wakil dari sekolah kita untuk mengikuti olimpiade fisika. Kamu terlihat sangat ceria saat itu. Kamu berusaha membagi rasa senangmu padaku yang sedang murung karena di skors dari sekolah. Tapi… apa yang kulakukan? Aku malah mengusirmu dari rumahku dengan tidak sopan. Bahkan ketika kau sedih karena gagal menang olimpiade, aku tidak bicara kepadamu.
Alia, apa kamu tahu? Perasaan senang yang kaubagi padaku benar-benar menarikku dari jurang keputusasaan. Sayangnya, aku terlalu bodoh untuk mengakuinya. Dan ketika kau bersedih karena kekalahanmu, aku ingin sekali bisa memeluk dan menghiburmu. Aku ingin meringankan bebanmu. Akan tetapi, tidak ada satupun kata-kata yang meluncur keluar dari mulut bodohku.
Ini adalah cerita romance(?) pertama ane. Tauk deh ini masuk romance ato ngga. Maaf juga klo ceritanya jelek dan terlalu pendek. Soalnya saya memang ga bakat bikin cerita romance.
Anyway, please enjoy it
Spoiler for Letter from The Heart - First Half:
Letter from The Heart
“Waktu kematian pukul 14.23. Tolong hubungi keluarganya,” kata sang dokter sambil melihat jam tangannya.
“Suster Anna, kenapa kau menangis. Apa kamu kerabat sang pasien?’
“Tidak, dok. Saya bukan kerabatnya. Bapak Altair tidak punya keluarga atau kerabat lagi,” suster muda itu menjawab.
“Lalu, kenapa kamu menangis?”
“Itu… Bapak Altair menitipkan surat ini padaku kemarin. Dia bilang supaya aku menaruhnya di makam perempuan yang paling disayanginya. Namun, beliau tidak memberitahukan dimana makamnya. Saya pikir mungkin itu tertulis dalam suratnya, sehingga saya coba membacanya. Akan tetapi, ternyata di dalamnya pun tidak tertulis tempatnya. Hanya ada sebuah kisah memilukan yang mungkin seharusnya tidak saya baca,” jelas suster muda itu sambil menyeka air matanya.
“Benarkah. Boleh saya melihatnya sebentar?” ucap sang dokter penasaran. Ia lalu membuka surat tersebut.
Quote:
14 Februari 20XX
Dear Alia,
Bersama surat ini, aku ingin menuangkan seluruh perasaan yang ada dalam hatiku padamu. Mungkin surat ini tidak akan pernah sampai padamu. Namun, aku tetap berharap bisa menyampaikan perasaan ini. Perasaan yang tidak pernah bisa kuungkapkan selama ini. Padamu yang merupakan cinta pertama dan terakhirku.
Hei Alia, kamu masih ingat? Di hari pertama kali kita bertemu. Dulu, kamu adalah anak perempuan cengeng yang sering kujahili, tapi entah sejak kapan kita menjadi akrab dan selalu bersama. Kita begitu dekat layaknya kakak beradik sungguhan. Kita melewatkan masa kecil dengan begitu bahagia.
Alia, apa kau tahu? Tidak pernah sekalipun aku melupakan kenangan indah tersebut. Wajah polosmu di masa kanak-kanak masih terpatri dengan jelas dalam ingatanku hingga saat ini. Aku selalu berharap jika bisa mengulang waktu, aku ingin kembali ke masa-masa itu.
Hei Alia, kamu masih ingat? Di sore berhujan itu, tanpa memedulikan nyawamu sendiri, kamu menyelamatkanku dari mobil yang hampir saja merenggut nyawaku. Bahkan ketika kejadian itu pada akhirnya membuat sebelah kakimu tidak bisa berjalan normal lagi, kamu hanya tersenyum dan berkata baik-baik saja.
Alia, apa kamu tahu? Saat itu aku takut sekali menemui dirimu. Aku takut kamu membenciku. Aku takut kamu menyesal telah menolongku. Karena itulah aku selalu berpura-pura melupakan kejadian tersebut. Saat itu, aku merasa memiliki hutang besar yang tidak akan sanggup kubayar sampai kapan pun.
Hei Alia, kamu masih ingat? Setelah kecelakaan itu, ada anak nakal di sekolah menghasut anak-anak lain untuk menjahilimu karena kekurangan fisikmu. Setiap hari mereka mengejek dan menghinamu di belakang para guru. Kamu tidak pernah terlihat lemah di depan mereka,kamu tidak pernah menangis ataupun marah. Kamu juga tidak pernah bertanya kenapa aku tidak pernah membelamu.
Alia, apa kau tahu? Aku ingin sekali melindungimu saat itu. Akan tetapi, aku terlalu pengecut. Ketika mereka semua mengancam untuk menjauhiku jika membelamu, aku hanya bisa diam melihatmu dijahati. Ini adalah dosa seumur hidup yang terus menghantuiku selamanya.
Hei Alia, kamu masih ingat? Meski aku tidak pernah membelamu, setiap hari kamu selalu menyapaku dengan penuh senyuman. Senyuman paling cantik dan paling tulus yang selalu kauberikan. Tiada kepalsuan apapun di dalamnya. Tapi… senyuman indahmu itu malah kubalas dengan sikap tak acuhku, kupalingkan wajah saat menatapmu. Bahkan saat kau menyapaku, aku malah pura-pura tidak mengenalmu dan terus menjauhimu.
Alia, apa kamu tahu? Senyumanmu begitu menyilaukan untukku. Setiap kali kau bersikap baik padaku, semakin hancur hatiku. Aku yang telah berdosa besar ini tidak sepatutnya mendapatkan perhatianmu. Mungkin, akan jauh lebih baik jika kamu marah atau membenciku.
Hei Alia, kamu masih ingat? Masa remajaku dihabiskan dengan segala keburukan. Namun, kamu tidak pernah meninggalkanku. Bahkan, ketika aku hampir dikeluarkan dari sekolah. Kamulah satu-satunya orang yang membelaku mati-matian. Sementara, teman-teman burukku malah saling menyalahkan satu sama lain.
Alia, apa kamu tahu? Aku selalu ingin kembali akrab denganmu. Aku ingin menghabiskan hari-hari bersamamu, berjalan bersama, belajar bersama, dan bermain bersama. Akan tetapi, aku berpikir kalau aku tidak pantas untukmu. Aku telah mengkhianatimu. Aku menjauh di saat kau kesusahan, sementara kau malah menolongku saat aku sulit.
Hei Alia, kamu masih ingat? Saat kamu terpilih sebagai wakil dari sekolah kita untuk mengikuti olimpiade fisika. Kamu terlihat sangat ceria saat itu. Kamu berusaha membagi rasa senangmu padaku yang sedang murung karena di skors dari sekolah. Tapi… apa yang kulakukan? Aku malah mengusirmu dari rumahku dengan tidak sopan. Bahkan ketika kau sedih karena gagal menang olimpiade, aku tidak bicara kepadamu.
Alia, apa kamu tahu? Perasaan senang yang kaubagi padaku benar-benar menarikku dari jurang keputusasaan. Sayangnya, aku terlalu bodoh untuk mengakuinya. Dan ketika kau bersedih karena kekalahanmu, aku ingin sekali bisa memeluk dan menghiburmu. Aku ingin meringankan bebanmu. Akan tetapi, tidak ada satupun kata-kata yang meluncur keluar dari mulut bodohku.
Diubah oleh samanosuke20 01-03-2013 04:29
anasabila memberi reputasi
1
1K
Kutip
2
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan