rufio.abovemeAvatar border
TS
rufio.aboveme
Kekonyolan Muhammad Rizky (TV One) Ketika Mewawancarai Jokowi
Quote:


bagian 1 :

Anchor atau penyaji berita TV One, Muhammad Rizky mungkin sangat terobsesi untuk bisa tampil setaraf atau melebihi Najwa Shihab dari Metro TV yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan kritis kepada narasumbernya, di acara Mata Najwa. Upaya itulah yang tampaknya dia lakukan ketika mewawancarai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi di acara Berita Khusus TV One, Senin, 21 Januari 2013. Tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya. Hampir separoh dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukan kritis, tetapi krisis, alias tak bermutu. Bahkan banyak di antaranya sudah bukan lagi pertanyaan untuk menggali visi dan misi Jokowi dalam mengatasi persoalan banjir di Jakarta, tetapi adalah ke-ngotot-an Muhammad Rizal, mendesak Jokowi untuk menjawab seperti yang dikehendakinya. Tentu saja, Jokowi tidak segampang itu terpancing.

Wawancara TV One dengan Jokowi ini bukan hanya menjadi masalah, karena TV One ternyata ingkar janji terhadap Jokowi, tetapi menjadi masalah karena wawancara Muhammad Rizky dengan Jokowi itu jauh dari bermutu.

Ketika diajukan permohonan wawancara oleh TV One, Jokowi mengatakan bahwa dia hanya mau diwawancara apabila yang dibicarakan itu hanya persoalan banjir, bukan melebar ke masalah-masalah lain. Dan, juga tidak menghadirkan pihak lain dalam wawancara tersebut. Kenyataannya, TV One mengingkari semua itu, seperti yang dapat kita baca dari laporan Kompasiner Akang Jaya, “Kelar Shooting, Jokowi Damprat TV One.”

Tetapi, dasarnya Jokowi yang sangat penyabar, dia tetap saja mau mau meladeni acara yang telah menyimpang dari komitmen itu. Seandainya itu Ahok, mungkin lain lagi yang terjadi. Apalagi ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan “menyebalkan” dari Muhammad Rizal itu. Ingat, mahasiswa naif yang langsung kena damprat Ahok, ketika menagih “janji” Jokowi-Ahok untuk menata ulang perizinan minimarket?

Menjawab pertanyaan Muhammad Rizky, Jokowi menjelaskan bahwa guna dia langsung sering blusukan, turun ke lapangan adalah untuk melihat langsung persoalannya bagaimana di sana. Setelah mengenal persoalan di lapangan, apa saja yang dibutuhkan segera, maka dia akan membuat keputusan-keputusan lapangan. Seperti di tanggul Latuharhary.

“Kalau tidak diputuskan di lapangan, kita tidak mengerti kebutuhannya apa. Berapa ribu kubik batu dan pasir yang dibutuhkan, berapa personil yang dibutuhkan, pagi, siang, malam untuk menyelesaikan keadaan darurat ini …”

Muhammad Rizky masih bertanya lagi, “Kenapa, Bapak yang harus memutuskan, ‘kan Bapak punya jajaran di bawahnya? Tidak cukup level Kepala Dinas, begitu, Pak? “

Meskipun, sudah dijawab Jokowi bahwa untuk posisi-posisi tertentu yang dinilai sangat penting dia handle langsung untuk membuat suatu keputusan. Setelah itu baru diserahkan ke dinas-dinas jajaran di bawahnya. Eh, si Rizky itu malah masih ngotot, bertanya lagi dia, “.. Itu gaya anda yang fenomenal, ya, Pak. Anda selalu datang sendiri melihat ke lapangan. Tapi, orang kemudian berpikir, apakah anda ini tidak percaya kepada jajaran anda?”

Padahal yang dimaksud dengan “orang kemudian berpikir, apakah anda ini tidak percaya kepada jajaran anda,” kemungkinan besar hanya dia sendiri. Orang lain tidak berpikir begitu.

Jokowi terpaksa menjelaskan lagi bahwa dia itu percaya sama jajarannya. Tetapi, bukankah untuk memutuskan persoalan-persoalan penting itu dia harus benar-benar mengetahui kondisi di lapangan. Supaya memutuskan itu jangan keliru. “Seperti di Latuharhary ini, kalau tidak langsung ke lapangan, bagaimana bisa mengetahui berapa batu yang dibutuhkan, berapa pasir yang dibutuhkan …”

Tapi, anchor TV One yang satu ini belum mau menyerah, alias ngotot bin ngeyel. Dia masih belum puas mempersoalkan gaya kepimpinan Jokowi yang sering blusukan itu, meskipun sudah dijelaskan seperti itu. Dia masih bertanya lagi, “Menurut Pak Jokowi, itu (memang) harus Gubernur langsung?”

Jokowi dengan penuh kesabaran menjawab, “(Iya) langsung. Karena ini membutuhkan power. Sekarang, kita perlu ke Kodam, Marinir, ke Kapolda langsung, ke Kopassus, .. Siapa kalau bukan.. (Gubernur). … Saya harus berada pada posisi yang bertanggung jawab pada posisi ini.”
Mengenai penghuni-penghuni liar di bantaran kali, yang menutup jalur aliran air sungai, Muhammad Rizky bertanya, “Untuk masyarakat yang tinggal di bantaran kali atau di titik banjir tiap tahun yang tidak mau pindah. Itu bagaimana?”

Jokowi menjawab bahwa itu semua sudah di dalam perencanaan Pemprov DKI, dengan melakukan pendekatan tertentu, Jokowi yakin mereka akan mau pindah. Tetapi, dengan adanya banjir besar yang melanda Jakarta ini, maka, setelah masalah banjir selesai, upaya pemindahan itu akan dipercepat.

Entah karena kurang tidur, atau apa, Rizky malah bertanya, “Kenapa setelah ada banjir baru mau dilaksanakan?”

Jokowi terpaksa menjelaskannya ulang.

*

Ketika topik pembicaran beralih ke persoalan tata kelola dan tata ruang kota Jakarta. Jokowi menilai bahwa tata ruang kota Jakarta sudah terlalu kronis. Terlalu banyak daerah-daerah yang seharusnya tidak boleh dibangun bangunan, seperti mall, perumahan, dan apartemen, tetapi sudah telanjur dibangun semuanya itu.

“… Seharusnya, kalau sudah untuk ruang terbuka hijau, ya untuk ruang terbuka hijau. Kalau itu untuk daerah resapan air, ya, untuk daerah resapan air, kalau untuk hutan magrove, ya, untuk hutan magrove, bukan jadi rumah, apartemen, mall, dan sebagainya,” kata Jokowi.

Atas dasar pernyataan Jokowi itu, Muhammad Rizky mengejar Jokowi dengan pertanyaan, kalau begitu, apakah mall-mall, perumahan-perumahan, dan apartemen-apartemen yang menyalahi aturan tata ruang kota Jakarta itu semua akan ditutup. “Kan demi kepentingan rakyat banyak (Jakarta), Pak?”

Muhammd Rizki bertanya kepada Jokowi, apakah perumahan-perumahan, mall-mall, apartemen-apartemen yang sudah sedemikian banyakknya di Jakarta, yang menyalahi aturan tata ruang, apakah semua itu mau ditutup. “Kan demi kepentingan rakyat, Pak?”

Jokowi menjelaskan, “Tapi, kalau sudah terlanjur mall-nya ada, apartemennya ada, properti perumahan ada, sudah telanjur ada, ya, mau diapain?”

“Walaupun itu menyalahi aturan tata ruang kota, ruang terbuka hijau, Pak? … Menyebakan banjir?” Tanya Rizky.

Jokowi: “Iya, saya mau tanya, kalau sudah terlanjur (ada). Mau diapain? (Yang penting) yang setelah ini, jangan. Kalau sudah terlanjur, masyarakt sudah ribuan … Pemiliknya sudah bukan developer lagi, tapi masyarakat …”

Rizky mengejar, “Oke, tapi yang di kampung hulu, ‘kan Bapak pindahkan paksa, karena mengganggu aliran sungai. ‘Kan mau dipindahkan? Supaya terbuka? Nah, mereka-mereka yang di bangunan apartemen mewah yang menyalahi aturan? Mereka (juga harus) pindah. Pengembangnya disuruh bertanggung jawab, gitu!”

“Biasanya mereka itu sudah pegang izin. Tetapi, secara tata ruang, — semua orang sudah mengerti – saya tidak usah cerita (lagi) … tapi, mereka sudah pegang izinnya.” Jokowi menekan pada kalimat terakhirnya. Maksudnya supaya si Rizky itu mengerti, bahwa adalah sangat tak mungkin sedemikian banyak mall, perumahan, dan apartemen (mewah) yang sudah terlanjur ada bertahun-tahun (puluhan tahun) itu, dengan alasan telah dibangun menyalahi aturan tata ruang kota Jakarta, langsung begitu saja oleh Gubernur DKI Jakarta Jokowi mau ditutup paksa, semua penghuninya digusur, kemudian semua bangunan itu dirobohkan rata dengan tanah, terus dikembalikan menjadi ruang terbuka hijau, daerah resapan, atau lainnya.

Jokowi juga sudah menjelaskan bahwa yang penting mulai sekarang, semua harus mematuhi aturan tata kota yang dibuat Pemprov DKI Jakarta. Kalau ada yang melanggar, pasti ditindak, termasuk ditutup/dibongkar.

Secara fisik saja, tidak mungkin hal itu dilakukan. Menggusur semua penghuni perumahan, aparteman, dan mall itu? Kalau bukan gagasan sinting, lalu apa? Entah berapa triliun rupiah yang harus dikeluarkan, dan berapa tahun waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan semua mall, perumahan, dan apartemen itu menjadi daerah terbuka hijau, dan sebagainya itu.

Lebih rumit dan tak masuk akal lagi pada aspek hukumnya. Meskipun pembangunan-pembangunan itu banyak yang menyalahi aturan tata ruang kota, tetapi yang memberi izin pembangunan tersebut adalah pemerintah sendiri. Kepemilikan properti-properti di dalamnya juga sudah bukan milik developer lagi, melainkan sudah terpecah-pecah menjadi ratusan ribu, atau bahkan jutaan nama/orang pribadi, maupun perusahaan-perusahaan swasta nasional, maupun asing.

Namun, lagi-lagi Muhammad Rizky menampilkan ke-ngototan-nya, seperti murid SD tidak bisa mengerti, dia masih terus mendesak Jokowi, “Tetapi, bukankah Bapak katanya selalu berjuang demi kepentingan rakyat. Nah, kalau ini ternyata menyusahkan masyarakat Jakarta, banjir, Pak … Hanya segelintir orang yang dibela!”

Padahal Jokowi tidak membela siapa-siapa.

Seolah-olah dia ingin Jokowi menjawab, “Iya, saya akan menggusur (paksa) semua penghuni perumahan-perumahan (mewah) itu, mall-mall itu, dan juga semua penghuni apartemen-apartemen (mewah) itu. Setelah menggusur semua. Saya akan merobohkan semua bangunan itu. Kemudian di lokasi itu, saya akan membangun ruang terbuka hijau, daerah resapan …”

Muhammad Rizky malah menganalogikan status penghuni perumahan-perumahan, apartemen-apartemen, dan mall-mall itu dengan SPBU! Kata dia, kalau SPBU-SPBU yang dibangun menyalahi tata ruang kota, kan bisa digusur. Kenapa mereka itu (penghuni perumahan, apartemen dan mall), tidak bisa.




*
Diubah oleh rufio.aboveme 23-01-2013 06:57
0
83.3K
1.1K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan