misskoalalalaAvatar border
TS
misskoalalala
Aku dan Fallen
Halo Agan-agan semua. ane penulis pemula yang pengen banget dapet kritik dan saran untuk cerpen ane ini. mohon bantuannya ya.


Sudah tiga tahun lamanya aku tak melihatmu sedekap ini, senyata ini. walaupun kamu tak melihatku. Aku masih dapat menatapmu dengan nyaman. Ingin sekali aku berlari kearahmu, lalu berteriak “Fallen, ini aku Kara.” Tapi itu hanya khayalan. Aku tak punya nyali.
Fallen, aku tahu rasa ini selamanya hanya akan menjadi ilusi yang rapuh. Kalau saja darah darah yang mengalir dalam vena dan juga alteri kita tak sama. Mungkin aku masih mampu menggapaimu, tapi nyatanya aku tak sanggup.
Memanggilmu dengan sebutan kakak saja, membuatku ingin muntah.
Ini berawal ketika Fallen menginjak Indonesia kembali setelah sebelas tahun lamanya. Ia meninggalkan negeri ini tepat saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku tiga tahun lebih muda darinya. Fallen mempunyai penyakit emosional yang tak wajar utuk anak seusianya kala itu, sehingga ia dikirim ke Amsterdam untuk melakukan terapi psikologis.
Aku tidak tahu apa-apa. Yang ku tahun Fallen adalah bocah menyebalkan dan egois. Ia tak pernah sudi berbagi mainan. Ia terlibat perkelahian dan selalu bermasalah dengan guru. Semua itu karena Fallen sangatlah emosional.
Aku masih berusia Sembilan belas tahun ketika Fallen kembali. Aku tak turut menjemputnya dibandara. Bagiku dia hanyalah orang asing. Aku melihatnya pulang kerumah dengan wajah yang berbeda. Sebagai adik, aku tak pernah berkomunikasi dengannya. Dan aku tak pernah melihat ia tumbuh di hadapan mataku.
Orang asing datang. ia melangkah kearahku. Aku hanya menatapnya sekilas, dan ternyata ia berhenti dihadapanku. Menghalangiku dari acata TV yang sedang kutonton. “Kara.”
Pertama kali ia mengucap namaku setelah sebelas tahun lamanya, dengan suara yang berbeda dan asing. Jelas saja, ia bukan Fallen si bocah emosional yang dulu lagi. Aku diam dan dalam hati menghitung berapa usianya kini—21 tahun. Fallen bahkan tampak lebih muda dari pada seharusnya.
“Hai Fall,” kataku, sambil tersenyum tipis. Aku tak bangkit dari sofa yang kududuki. Aku juga tak mempersilahkannya untuk duduk. Logis saja, ini rumahnya. Ia berhak duduk dimanapun tanpa kupersilahkan.
“Hush. Ga sopan banget kamu manggil kakak sendiri ga pake ‘kakak’.”
Ternyata mama mendengar dialogku dengan Fallen. Aku tidak biasa mengucap kata ‘Kakak’ dan apa kini aku harus mengucapkan itu karena Fallen sudah kembali kemari.
Fallen tersnyum. Senyumannya terlihat luwes dan tulus. Seolah tak ada kata yang cukup untuk mendeskripsikan senyuman yang dimilikinya. Aku tersesat sesaat. Dalam dunia yang tak kupahami. Tak ada mentari ataupun rembulan. Hanya ada sekumpulan bintang yang berkerlip terang.
“Ga apa-apa kok mah, di Amerika juga ga ada yang manggil aku ‘kakak’ jadi ga apa-apalah. Terserah Kara aja.”
“Ya tapi kan ini bukan Amrik Fall. Kamu ini gimana sih.”
Dia mengangkat bahu sambil melirik kearahku. Aku mengikuti gerakannya sambil menggelengkan kepala. Kurasa itu mungkin tanda, bahwa Fallen tidak keberatan jika aku memanggil namanya tanpa embel-embel ‘Kakak’
***
Suatu ketika aku menghampirinya yang tengah sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang ia kerjakan. Tujuanku adalah untuk menanyakan beberapa hal seputar tugas kuliahku. Mungkin saja Fallen tahu. Ya walau jurusanku berbeda dengannya, tapi Fallen pintar. Ia lulus dengan cepat di California University dengan major International Relationship. Sementara aku hanya seorang mahasiswi hukum semester tiga di Universitas Trisakti. Jelas sekali, ia pintar dan aku tidak.
“Fallen, lagi sibuk?” aku bertanya dengan nada yang wajar.
Fallen langsung melipat dan menutup layar laptopnya. Ia mengenyampingkan benda itu. “Engga, ada apa Ra?”
“Liat deh, aku ada tugas sistem pemerintahan. Kamu bisa ga bantuin?”
“Sini, aku liat dulu,” Fallen mengambil kertas itu dari tanganku. Dan seperti yang sudah dapat kuterka sebelumnya. Fallen bahkan tak membantuku mengerjakan tugas tersebut, tapi malah mengerjakannya untukku.
Aku menggaruk pelipis yang tak gatal. Sambill sesekali menatapnya. Aku nyaris tak percaya bahwa dia adalah Fallen yang sama. Fallen kakaku. Kurasa terapi psikologisnya berhasil. Guratan wajahnya yang halus, seakan menunjukan sikapnya yng halus pula.
“Maaf ya, Kara.”
Sontak aku melirik padanya. ia melontarkan kalimat yang membuat keningku berkerut. “Maaf?” aku menggeleng pelan. “Maksud kamu? Aku ga ngerti.”
“Maaf karena selama ini aku ga pernah ngontek kamu. Dan sekarang tiba-tiba muncul kayak gini. Pasni kamu risih ya?”
“Ga usah nomong kayak gitu. Lah selama kamu di Amrik juga, aku gak pernah nganggep kamu kakak. Haha.”
“Jahat banget sih Ra.”
“Bercanda, Fall.” Aku meninju bahunya, pelan.
Mungkin aku sempat merasa risih dengan kehadirannya. Selama sebelas tahun aku tak pernah menjumpai sosok seorang kakak. Hanya ada aku, Mama dan Papa. Tapi kini ada Fallen. Aku mulai bingung apakah aku harus merasa senang atau sebaliknya. Aku mulai berharap seandainya saja seorang Fallen bukanlah kakaku. Kalimat-kalimat kecilnya selalu membuatku tersanjung. Entah karena apa dan mengapa.
Fallen terlalu khusus untuk menempati posisi kakak. Ini gila ketika angan ini berandai jika ia menempati tempat yang lebih khusus lagi untukku. Jika ia bukanlah kakaku. Jika saja darah kami berbeda. Jika dia bukanlah Fallen dan aku bukanlah Kara. Semua itu akan jauh lebih baik. Tapi takdir tetaplah takdir. Itu sudah terlukis rapi di telapat tangan.
Bahkan jika aku merobek telapak tangan ini dan menghilangkan garis nyatanya, garisan abstrak yang tak berwujud tetap tercacat di tangan yang masa kuasa. Ketika aku dan dia baru saja mengerjapkan mata untuk pertama kalinya, takdir itu sudah ada. Aku tak memiliki kuasa.
Setahun sudah aku memiliki perasaan yang semestinya tak kumiliki. Sampai suatu saat aku menemukan selembar kertas di atas mejaku. Kertas itu tak polos, ia dihiasi tinta hitam yang pekat.
maaf jika diawal tulisanku terlihat kaku. Aku bingung, Kara.
Maaf juga apabila kata-kata yang kutuliskan sedikit berebihan atau bahkan sangat berlebihan
Jika ada seribu kata terindah yang dapat kugunakan untuku, aku akan menggunakannya
Tapi aku terlampau dangkal dan picisan. Sehingga ku tak dapat menemukan kata yang pantas
Aku menyukaimu dengan rebuan kata yang tak dapat terucap.
Aku menyukaimu. Dan itu membuat siang dan malamku terasa tak ada beda.
Tapi sulit Kara. kurasa kamu tau apa yang membat ini terasa sulit.
Entah berapa frekuensi getara jantung ini ketika membaca rantaian kalimat indah yang menyesakkan itu. ini nyata dan Fallen mempunyai perasaan yang sama—perasaan yang salah.
Apa ini jawaban dari anganku yang selalu memerintah asaku untuk menatap jendela kamar Fallen sampai lampu yang menyala dikamar itu padam. Kamarku dan Fallen berseberangan. Terhalang sebuah kolam renang mini berisi air yang teramat tenang.
Aku tak kuasa menatap kearah kamarnya lagi saat itu. rasanya akan lebih baik jika aku terlelap sambil menggenggam erat kertas bersejarah itu. kertas itu akan selalu kujaga.
“Kara, kamu mau ke kampus? Bareng aja sana sama Fallen.”
Ucapan Mama membuat gerakanku terhenti disaat aku hendak melewati ruang makan. Aku melikir kearah Fallen yang baru saja mengelap mulutnya dengan serbet. Ia menggeser kursinya lalu berdiri. Sungguh, gerakan demi gerakan kecil itu membuat detak jantungku makin berpacu secara bertahap.
“Aku salah ya Ra?” Fallen yang pertama membuka suara setelah keheningan panjang dalam mobil yang aku tumpangi bersamanya.
Kita berdua salah Fall
“Aku Cuma coba jujur.” Nada suaranya terdengar makin pelan dan melemah.
Aku diam. Dan berusaha untuk mengunci mulut. Tapi aku tak kuasa menutup pendengaranku.
“Terkadang jujur bukan jadi pilihan terbaik. Jujur malah bikin kita terlihat totol.”
Aku masih diam.
“Tapi, kalau aku ga jujur, ga tau sampai kapan aku akan tersiksa karena rasa ini.”
Aku masih dengan diamku. Namun kini, airmataku yang bicara. Seolah kutakdapat menahan sakit yang sedari tadi merogoh jantung dan menjalar di aliran dalahku. Itu semua terasa makin menyakitkaan kini.
Aku terlambat, Fallen sudah lebih dulu mendengar isakku. Dia menepuk bahuku.
“Terus menurut kamu kita harus gimana?” tanyaku, parau. Suasana dikala itu sontak bergeming.
***
“Jangan gila kamu Fallen! Kara itu adik kamu!” teriakan mama terdengar serak ditengah ekspresinya yang mngeras itu.
Pandanganku sudah mengembun. Tinggal menunggu dalam hitungan detik saja, pasti air mata ini akan tumpah.
“Tapi aku sama Kara saling sayang, mah.” Suara Fallen terdengar bergetar.
“Plakkk!” satu tamparan dari Papa menghantam Fallen. Aku dapat membaca ekspresi shock dari wajahnya.
“Fallen!” teriaku, menghampirinya. Tapi ditahan oleh Mama.
***
Setelah kejadian itu, Fallen kembali dipindahkan ke Amsterdam dan aku tetap disini. Sendiri dikelilingi atmosfer kekecewaan yang mendalam dan tak mendasar. Aku tidak pernah tahun lagi hidup Fallen disana. Kami putus kontak untuk waktu yang cukup lama.
lambat laun, seiring dengan waktu yang terus berputar, aku mengingatnya hanya mentari terbit, dan dengan mudah melupakanku disaat mentari telah tenggelam. Wlau tidak mudah. Tapi begitu jalannya. Waktu seolah dapat menghapus segalanya. Seiring dengan pudarnya warna jingga di langit, seiring dengan munculnya kegelapan malam yang menyelimuti angkasa, detik demi detik itu seikit demi sedikit waktu yang bergulit, aku mulai melupakannya dan akhirnya tak mengingatnya sama sekali.
Hingga beberapa tahun kemudian, tepat hari ini aku melihatnya kembali setelah sekian lama. ia berdiri tegak dihadapanku. masih dengan senyumannya.

Polling
0 suara
Menurut agan, cerpen ane gimana?
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
825
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan