mahendrapermanaAvatar border
TS
mahendrapermana
[HOT HISTORY +PIC ] Peranan orang TIonghoa dalam Kemerdekaan Republik Indonesia
Kita semua tahu bahwa perkembangan masyarakat Cina (Tionghoa) untuk melakukan perjalanan keluar dari daratan tanah airnya sudah dimulai amat lama sekali. Masyarakat Cina merantau meninggalkan tanah air mereka menuju hampir ke seluruh pelosok dunia. Mereka membangun koloni dengan warna-warni budayanya yang khas.

Lantas bagaimana dengan etnis Tionghoa yang ada di Indonesia? Bagaimana pula dengan peran Tionghoa dalam revolusi kemerdekaan Indonesia?

Kemarin, (Jum’at 16 Juli) saya berkesempatan hadir pada seminar “Etnis Tionghoa Dalam Pergolakan Revolusi Indonesia”. Seminar tersebut diselenggarkan oleh Perhimpunan Persahabatan Indonesia–Tiongkok(PPIT) bekerja sama dengan Mahasiswa Peminat Sejarah FIB UI. Seminar yang dihadiri kurang lebih oleh 200 peserta berlangsung di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia dari pukul 14.00 hingga pukul 17.00. Pembicara dalam seminar tersebut adalah Dr. dr. Husein Rusdy, Bondan Kanumoyoso dan Didi Kwartanada.

Sebelum saya menceritakan tentang subtansi dari seminar tersebut. Saya ingin berbagi mengenai apa yang pernah saya baca mengenai terminologi Tionghoa dan Tiongkok yang setelah era reformasi baru digunakan kembali.

Dalam penulisan sejarah secara internasional banyak yang menggunakan istilah Cina atau China dari pada istilah Tionghoa atau Tiongkok. Walaupun sampai sekarang masih banyak tempat, restaurant atau mall yang menggunakan nama Cina Town ataupun Cina Emporium.

Bahkan dekat kampus saya di kota Depok (yang ketika jaman kolonial merupakan daerah pemukiman orang Kristen. Banyak versi tentang nama Depok salah satunya DEPOK akronim dari De Eerste Protestante Onderdaan Kerk ’ Gereja Abdi Protestan Pertama’; DEPOK =Deze Eenheid Predikt Ons Kristus ‘ Persekutuan ini mengabarkan Kristus kita ; De Eerste Protestantse Onderdaanse Kristenen) dahulu ditempat tersebut pernah berdiri kleteng besar dan permukiman etnis Tionghoa. Tempat tersebut adalah Pondok Cina dan Lenteng Agung, namun sekarang sudah tidak lagi, paling yang tersisa tinggal mahasiswa-mahasiswa keturunan Tionghoa yang wara-wiri mau ke kampus.

Kembali ke istilah Tionghoa da Tiongkok, yang saya tahu dari sudut pandang filsafat politik, Tiong adalah tengah, Hoa adalah bangsa, artinya bangsa yang ditengah. Dan Tiong artinya tengah, Kok adalah kerajaan. Maksudanya secara idealisme kerajaan yang berpengaruh kekuasaan meliputi di seluruh dunia. Oleh karena itu pada masa penjajahan Belanda karena merasa sebagai warga kelas dua, di antara Vreemde Oosterlingen—Bangsa Timur Asing (Cina, Arab dan India), bangsa Tionghoa harus dipanggil prianya dengah Engkoh—kakak, atau Encim untuk wanitanya.

Sedangkan China atau Cina sebutan emigrant yang datang dari daratan Cina, pada saat itu rajanya bernama Chin. Jadi Cina lebih netral, tidak berpengertian politik sebagai pengembangan kekuasaan, seperti Tionghoa. Dengan demikian Cina artinya hanya sebagai emigrant pendatang semata. Sehingga pribumi menggangap akrab dan sederajat. Tidak ekslusif sebagai Bangsa Timur Asia sejalan dengan yang dikehendaki oleh penjajah Belanda.

Masuk kedalam isi dari seminar tersebut. periode revolusi kemerdekaan merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia yang berisikan kisah perjuangan diberbagai bidang seperti diplomasi, militer, jurnalisme, sastra, kesehatan, dan lain sebagainya. Di antara komponen bangsa yang turut berjuang dalam revolusi kemerdekaan adalah masyarakat Tionghoa. Peran serta mereka di dalam tahap awal berdirinya Republik Indonesia menunjukan bahwa orang Tionghoa, seperti juga kelompok masyarakat lain, merasa Indonesia adalah tanah air mereka yang kedaulatanya wajib mereka bela.

Namun menurut sejarawan Mary Somers-Heidhues dalam analisa peranan etnis Tionghoa yaitu, pertama etnis Tionghoa tidak ingin berpihak dalam konflik Indonesia-Belanda. Karena mereka bukan Indonesia dan juga bukan Belanda.

Kedua, disana-sini terdapat beberapa Tionghoa peranakan dan totok yang bersimpati dan berjuang dipihak Republik Indonesia.
Di antara para tokoh Tionghoa tersebut yang paling vokal barangkali Liem Koen Hian. Dalam rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Liem Koen Hian sering mengemukakan pendapatnya yang bercorak nasionalis dan mendukung secara penuh kemerdekaan Indonesia. Liem menekankan bahwa masyarakat Tionghoa telah lebih menjadi Indonesia dari pada China . meskipun demikian dia mengidentifikasi adanya perubahan situasi baik nasional maupun internasional. Dalam pandangan Liem, Republik Indonesia haruslah mengakui semua orang Tionghoa di Indonesia sebagai warga Negara Indonesia.

Ketiga, sikap mayoritas etnis Tionghoa adalah mengharapakan perlindungan Republik Tiongkok, yang selepas Perang Dunia II ikut menjadi salah satu anggota “The Big Five”, lima Negara pemenang perang. Dengan demikian, mayoritas etnis Tionghoa akhirnya memilih sikap netral dalam konflik Indonesia Belanda.

Dalam seminar tersebut selain Liem Koen Hian yang pro terhadap perjuangan banyak lagi perjuangan dari etnis Tionghoa, namun jika dijabarkan satu persatu mungkin akan sangat panjang jadinya tulisan ini.

alah satu yang paling spektakuler dalam bidang militer adalah Mayor (AL ) John Lie. Sebagai nakhoda, John Lie dipercaya pemerintah Republik untuk menjual komoditas Indonesia untuk ditukar dengan persenjataan yang amat dibutuhkan melawan Belanda.
Sejarawan Asvi Warman di awal 2004 menominasiakan John Lie (yang kemudian pensiun sebagai Laksamana dan berganti nama Jahja Daniel Dharma) sebagai pahlawan nasional atas jasa-jasanya kepada Negara Republik Indonesia. Akhirnya John Lie diakui sebagai pahlawan nasional pada tahun 2009, sebagai pengakuan pemerintah RI atas jasa-jasanya yang luar biasa.



John Lie adalah sosok legendaris dalam organisasi penyelundup senjata yang terentang dari Filipina sampai India. Jaringan ini punya kantor rahasia di Manila, Singapura, Penang, Bangkok, Rangon dan New Delhi.

Untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang masih sangat muda, kepemilikan senjata api adalah hal mutlak. Bahkan dalam perjanjian gencatan senjata Agresi Militer Belanda I, Perdana Menteri Hatta menegaskan bahwa gencatan senjata tidak termasuk impor dan ekspor senjata oleh Republik.

Belanda tetap memberlakukan blokade terhadap Indonesia dalam rangka menghalangi kemerdekaan bekas jajahannya. Menyiasatinya, senjata diperjualbelikan dengan menembus blokade Belanda itu. Dari sanalah karier penyelundup John Lie mencapai puncaknya. Meskipun Republik muda itu tak punya dana, Lie berhasil mendapatkan senjata dengan cara barter dengan hasil bumi.

Menurut buku “The Indonesian Revolution and The Singaporean Connection”, harga senjata bervariasi. Tahun 1948, penyelundup menjual dua karabin dan ribuan magasin dengan bayaran satu ton teh. Satu senapan mesin dan ribuan magasin dihargai 2,5 ton teh, enam ton teh bisa digunakan untuk membeli enam senjata anti pesawat udara beserta ribuan magasinnya.

John Lie adalah legenda. Menurut laporan majalah Life yang terbit pada 26 September 1949, kapal Lie yang panjangnya 110 kaki (34 meter) selalu lolos dari patroli Belanda. Mengingat kapal itu tak dilengkapi senjata, meloloskan diri bukan perkara mudah. Kapal kerap dikejar sepanjang Selat Malaka, tak jarang dibombardir dengan peluru dan bom. Empat kapal lain yang sejenis telah dihancurkan Belanda.

Kapten Lie yang saat itu berusia 39 tahun, punya siasat. Kapal hitam dengan nomor registrasi PPB 58 LB itu disembunyikannya di teluk-teluk kecil sepanjang Sumatera dengan ditutupi dedaunan. Lie dan krunya lalu menunggu dalam diam hingga kapal dan pesawat Belanda menghentikan pencariannya.

Lie bergerak dengan bantuan belasan krunya, semuanya anak muda dengan usia rata-rata 21 tahun. Mereka bekerja tanpa dibayar demi patriotisme kepada Republik Indonesia. Mereka bolak -balik membeli senjata, dan menukarnya dengan hasil bumi, seperti teh, karet dan kopi.

John Lie adalah penganut Kristen yang taat. Dalam misinya dia selalu membawa dua Injil. Satu berbahasa Inggris dan satu Belanda. Meski demikian dia tak pilih-pilih; sering juga dia memasok senjata bagi para pejuang Muslim di Aceh.

Kepada wartawan majalah Life, Roy Rowan, Lie menyatakan sumpahnya "menjalankan kapal ini untuk Tuhan, negara dan kemanusiaan." Cita-citanya hanya satu: mengubah Indonesia yang saat itu adalah hutan belantara, menjadi taman surga. Menurutnya, tugas mengubah Indonesia menjadi surga adalah takdir Tuhan untuknya.

Pada Desember 1966 Lie mengakhiri kariernya di TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. Sebelum itu, pada Agustus 1966 dia mengganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma. Lie meninggal karena sakit pada 27 Agustus 1988.

Tahun 2009, 21 tahun setelah kematiannya, John Lie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Gelar pahlawan nasional pertama bagi pejuang keturunan Cina.





Meskipun masyarakat Tionghoa memiliki aspirasi politik berbeda-beda, namun ada satu ciri kesamaan di atara mereka, yaitu kesadaran sebagai kelompok minoritas yang hidup di tengah suatu bangsa yang sedang membentuk jati dirinya.

Semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dan membuka wawasan sejarah bagi pembaca sekalian. Saya juga tidak bermaksud tulisan menyinggung SARA.

0
8.1K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan