- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Bupati dan Walikota Terbaik Di Indonesia


TS
Krabberz
Bupati dan Walikota Terbaik Di Indonesia
Quote:
Nama mereka tersembunyi dari halaman muka media massa nasional. Wilayah yang mereka pimpin pun jauh dari gemerlap Jakarta. Tapi gagasan dan tindakan tujuh kepala daerah ini telah menumbuhkan inspirasi
Sawahlunto, dari Kota Hantu Jadi Kota Nyaman
Setelah ekonomi Kota Sawahlunto bergeliat dari sebelumnya seperti mati suri, Wali Kota Sawahlunto, Amran Nur, 67 tahun, menarik orang-orang dari luar Sawahlunto untuk datang. Obyek-obyek wisata baru dibangun. Terowongan tambang yang sudah ditinggalkan dibuka lagi. Setelah diperbaiki dan standar keselamatannya dijamin, terowongan itu juga dijadikan daya tarik.
Bangunan-bangunan peninggalan Belanda direnovasi sesuai bentuk aslinya.
Khusus di bidang pariwisata, menurut Amran, “Ini bisnis, bukan program. Sawahlunto harus untung,” katanya. Keuntungan itu untuk menggenjot pendapatan asli daerah. Sebelum menjabat wali kota, Amran memang adalah pengusaha Jakarta. Salah satu jenis usahanya adalah menjadi pemasok alat penyulingan air bersih.
Ia jeli melihat peluang. Pada 2006, di Sawahlunto ia bangun water boom, yang pertama di Sumatera Barat. Tiga tahun kemudian, pemerintah Sawahlunto mulai menangguk laba.
Dalam mengelola Sawahlunto, ia menerapkan gaya manajer perusahaan. Investasi pemerintah daerah, seperti pembangunan water boom, tadi dihitung betul kapan balik modal, kapan mulai untung. “Bedanya, perusahaan mencari profit untuk pemilik saham, Sawahlunto mencari benefit untuk masyarakat.”
Walhasil, di bawah sang manajer, angka kemiskinan merosot tajam. Dari 17,18 persen pada 2005, tinggal 2,42 persen pada 2009—terendah kedua di Indonesia setelah Denpasar. Sawahlunto pun kini dikenal sebagai kota wisata.
Kendati begitu, gaya kepemimpinannya bukan tak mengundang kritik. Amran dianggap sering memutasi bawahan. Soal ini, kata Amran yang Sarjana Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung ini, “Saya keras. Kalau tak mau kerja, saya parkir mereka ke tempat lain.”
Amran adalah salah satu dari tujuh bupati/wali kota yang dipilih majalah Tempo dalam Liputan Khusus Kepala Daerah Pilihan 2012.
Penyulap Kota, memanusiakan Warga–dia mengubah kota penuh polusi menjadi taman yang hijau dan resik, menghadapi persoalan dengan pendekatan kemanusiaan
Tukang tidur yang membangunkan Enrekang–dia membuka akses bagi kampung-kampung yang terpisah gunung dgn jalan beton, setelah membebaskan biaya kesehatan dan pendidikan , ditahun terakhirnya ia fokus pada penataan kota
Selengkapnya disini
http://www.tempo.co/read/flashgrafis...n-Bupati-Biasa
[url]http://edsus.tempo.co/Bukan-bupati-biasa
[/url]
Spoiler for Sawahlunto:
Sawahlunto, dari Kota Hantu Jadi Kota Nyaman
Setelah ekonomi Kota Sawahlunto bergeliat dari sebelumnya seperti mati suri, Wali Kota Sawahlunto, Amran Nur, 67 tahun, menarik orang-orang dari luar Sawahlunto untuk datang. Obyek-obyek wisata baru dibangun. Terowongan tambang yang sudah ditinggalkan dibuka lagi. Setelah diperbaiki dan standar keselamatannya dijamin, terowongan itu juga dijadikan daya tarik.
Bangunan-bangunan peninggalan Belanda direnovasi sesuai bentuk aslinya.
Khusus di bidang pariwisata, menurut Amran, “Ini bisnis, bukan program. Sawahlunto harus untung,” katanya. Keuntungan itu untuk menggenjot pendapatan asli daerah. Sebelum menjabat wali kota, Amran memang adalah pengusaha Jakarta. Salah satu jenis usahanya adalah menjadi pemasok alat penyulingan air bersih.
Ia jeli melihat peluang. Pada 2006, di Sawahlunto ia bangun water boom, yang pertama di Sumatera Barat. Tiga tahun kemudian, pemerintah Sawahlunto mulai menangguk laba.
Dalam mengelola Sawahlunto, ia menerapkan gaya manajer perusahaan. Investasi pemerintah daerah, seperti pembangunan water boom, tadi dihitung betul kapan balik modal, kapan mulai untung. “Bedanya, perusahaan mencari profit untuk pemilik saham, Sawahlunto mencari benefit untuk masyarakat.”
Walhasil, di bawah sang manajer, angka kemiskinan merosot tajam. Dari 17,18 persen pada 2005, tinggal 2,42 persen pada 2009—terendah kedua di Indonesia setelah Denpasar. Sawahlunto pun kini dikenal sebagai kota wisata.
Kendati begitu, gaya kepemimpinannya bukan tak mengundang kritik. Amran dianggap sering memutasi bawahan. Soal ini, kata Amran yang Sarjana Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung ini, “Saya keras. Kalau tak mau kerja, saya parkir mereka ke tempat lain.”
Amran adalah salah satu dari tujuh bupati/wali kota yang dipilih majalah Tempo dalam Liputan Khusus Kepala Daerah Pilihan 2012.
Spoiler for Kubu Raya:
Sudah hampir lima tahun menjadi Bupati Kubu Raya, Kalimantan Barat, tak sekalipun Muda Mahendrawan tidur di rumah dinas. Sebab, sebagai daerah pemekaran Kabupaten Pontianak pada 2007, Kubu Raya memang belum memiliki rumah dinas bagi bupati dan wakil bupatinya.
Sebetulnya, Muda mendapatkan dana sebesar Rp 11 miliar guna membangun rumah dinas. Namun, dia menolak pembangunan itu. Muda pun membatalkan pengadaan mobil dinas bupati dan wakil bupati masing-masing senilai Rp 1 miliar.
Di Majalah Tempo Edisi Khusus Kepala Daerah Pilihan 2012, Muda mengatakan bila sebetulnya dia tidak menolak pemberian mobil itu. “Cuma takut kalau saya terima, pejabat lain di daerah ini minta ganti mobil dan rumah dinas juga,” kata Muda.
Tak cuma itu, Muda juga mencoret alokasi Rp 21 miliar untuk pembangunan kantor bupati berbiaya total Rp 36 miliar--sisanya dibantu anggaran pusat. Dia memutuskan pembangunan dikerjakan bertahap selama empat tahun. “Agar irit anggaran tahunan,” ujar Muda.
Sepanjang menunggu proses pembangunan kantor permanen, Muda menumpang bekerja di Gedung Pramuka Provinsi Kalimantan Barat, Jalan Arteri Soekarno-Hatta, Kubu Raya. Sedangkan 23 satuan kerja perangkat daerah berkantor terpencar. Mereka menyewa sejumlah rumah toko, tak jauh dari Gedung Pramuka.
Selama itu pula, Muda jarang ke kantor. Ia lebih memilih kerja dari rumah warisan orang tua, di kompleks Universitas Tanjungpura. (Baca selengkapnya di: Bupati Kubu Raya Pilih di Rumah daripada ke Kantor). “Kini kantor baru sudah berdiri di sebelah kiri Gedung Pramuka, mulai ditempati tahun depan.”
Di samping tak ingin terburu-buru membenahi kantor pemerintahannya, Muda bertekad mendahulukan program belanja publik, terutama layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan. Alasan Muda, sebagai kabupaten baru, birokrat Kubu Raya harus mengalah pada kebutuhan masyarakat. “Enggak enak kalau sebagian besar duit dihabiskan untuk aparat,” kata ayah tiga anak ini
Sebetulnya, Muda mendapatkan dana sebesar Rp 11 miliar guna membangun rumah dinas. Namun, dia menolak pembangunan itu. Muda pun membatalkan pengadaan mobil dinas bupati dan wakil bupati masing-masing senilai Rp 1 miliar.
Di Majalah Tempo Edisi Khusus Kepala Daerah Pilihan 2012, Muda mengatakan bila sebetulnya dia tidak menolak pemberian mobil itu. “Cuma takut kalau saya terima, pejabat lain di daerah ini minta ganti mobil dan rumah dinas juga,” kata Muda.
Tak cuma itu, Muda juga mencoret alokasi Rp 21 miliar untuk pembangunan kantor bupati berbiaya total Rp 36 miliar--sisanya dibantu anggaran pusat. Dia memutuskan pembangunan dikerjakan bertahap selama empat tahun. “Agar irit anggaran tahunan,” ujar Muda.
Sepanjang menunggu proses pembangunan kantor permanen, Muda menumpang bekerja di Gedung Pramuka Provinsi Kalimantan Barat, Jalan Arteri Soekarno-Hatta, Kubu Raya. Sedangkan 23 satuan kerja perangkat daerah berkantor terpencar. Mereka menyewa sejumlah rumah toko, tak jauh dari Gedung Pramuka.
Selama itu pula, Muda jarang ke kantor. Ia lebih memilih kerja dari rumah warisan orang tua, di kompleks Universitas Tanjungpura. (Baca selengkapnya di: Bupati Kubu Raya Pilih di Rumah daripada ke Kantor). “Kini kantor baru sudah berdiri di sebelah kiri Gedung Pramuka, mulai ditempati tahun depan.”
Di samping tak ingin terburu-buru membenahi kantor pemerintahannya, Muda bertekad mendahulukan program belanja publik, terutama layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan. Alasan Muda, sebagai kabupaten baru, birokrat Kubu Raya harus mengalah pada kebutuhan masyarakat. “Enggak enak kalau sebagian besar duit dihabiskan untuk aparat,” kata ayah tiga anak ini
Spoiler for Banjar:
Bersepeda adalah kegiatan yang bisa dianggap sebagai olahraga sekaligus metode transportasi untuk menuju suatu tempat. Tapi bagi Bupati Banjar Herman Sutrisno, aktivitas ini multiguna. Selain untuk menyalurkan hobi, Ia bisa menengok langsung kemajuan kotamadya yang dipimpinnya, Banjar, Jawa Barat. Tempo memuat kisahnya dalam Edisi Khusus Bukan Bupati Biasa, pada Senin, 12 Desember 2012.
Matahari belum lagi menyengatkan sinarnya. Jumat pagi akhir November 2012, sekitar pukul 06.15, delapan puluhan sepeda meluncur dari alun-alun Kota Banjar, Jawa Barat. Herman Sutrisno memimpin di barisan paling depan. Berkecepatan tak kurang dari 22,5 kilometer per jam, Wali Kota Banjar itu mengambil “rute datar” menuju Kecamatan Langensari. “Kami harus selalu menempel. Kalau tidak, tertinggal jauh,” kata Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Yayan Heriana, yang berada di posisi buncit bersama Tempo, yang juga ikut bersepeda.
Menurut Yayan, sepeda ria ini kegiatan rutin Pak Wali Kota saban Jumat. Jalur putar yang tadi dilewati, sekitar 35 kilometer, merupakan rute normal. Kadang Herman mencari rute lain: jalan sempit, naik-turun, masuk-keluar desa. Bagi Herman, olahraga ini bukan sekadar menyalurkan hobi, tapi juga untuk melihat dari dekat perkembangan kota yang dipimpinnya. “Saya bisa tahu apa ada jalan yang sudah rusak. Kalau naik mobil, belum tentu terasa,” ujar Herman.
Lelaki kelahiran Tasikmalaya ini mengenal seluk-beluk Banjar sejak tiga dekade lalu. Selepas kuliah pada 1979, dia ditugasi di Cisaga, Kabupaten Ciamis, sebagai dokter kecamatan. Wilayah ini berbatasan dengan Banjar--waktu itu masih satu kabupaten. Ia kerap blasak-blusuk ke pelosok, termasuk ke Banjar. Ketika itu, desa-desa masih gelap dan banyak jalan berupa tanah merah atau kerikil. Listrik baru masuk pada pertengahan 1980-an. Ia makin mengenal daerah tersebut saat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Ciamis pada 1987.
Ketika Banjar mandiri sebagai kota pada 2003, Herman, yang menjadi formatur pemekaran, terpilih memimpin wilayah tersebut. Harapan masyarakat terhadap daerah yang terletak di ujung tenggara Jawa Barat--sekitar tiga jam perjalanan dari Bandung--itu begitu besar. Berbekal pengalaman mengelola Ciamis, dia menyiapkan segudang rencana. Selain membangun infrastruktur kota, seperti pengembangan jalan dan jembatan, dia berfokus pada peningkatan layanan dasar, yaitu kesehatan dan pendidikan
Matahari belum lagi menyengatkan sinarnya. Jumat pagi akhir November 2012, sekitar pukul 06.15, delapan puluhan sepeda meluncur dari alun-alun Kota Banjar, Jawa Barat. Herman Sutrisno memimpin di barisan paling depan. Berkecepatan tak kurang dari 22,5 kilometer per jam, Wali Kota Banjar itu mengambil “rute datar” menuju Kecamatan Langensari. “Kami harus selalu menempel. Kalau tidak, tertinggal jauh,” kata Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Yayan Heriana, yang berada di posisi buncit bersama Tempo, yang juga ikut bersepeda.
Menurut Yayan, sepeda ria ini kegiatan rutin Pak Wali Kota saban Jumat. Jalur putar yang tadi dilewati, sekitar 35 kilometer, merupakan rute normal. Kadang Herman mencari rute lain: jalan sempit, naik-turun, masuk-keluar desa. Bagi Herman, olahraga ini bukan sekadar menyalurkan hobi, tapi juga untuk melihat dari dekat perkembangan kota yang dipimpinnya. “Saya bisa tahu apa ada jalan yang sudah rusak. Kalau naik mobil, belum tentu terasa,” ujar Herman.
Lelaki kelahiran Tasikmalaya ini mengenal seluk-beluk Banjar sejak tiga dekade lalu. Selepas kuliah pada 1979, dia ditugasi di Cisaga, Kabupaten Ciamis, sebagai dokter kecamatan. Wilayah ini berbatasan dengan Banjar--waktu itu masih satu kabupaten. Ia kerap blasak-blusuk ke pelosok, termasuk ke Banjar. Ketika itu, desa-desa masih gelap dan banyak jalan berupa tanah merah atau kerikil. Listrik baru masuk pada pertengahan 1980-an. Ia makin mengenal daerah tersebut saat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Ciamis pada 1987.
Ketika Banjar mandiri sebagai kota pada 2003, Herman, yang menjadi formatur pemekaran, terpilih memimpin wilayah tersebut. Harapan masyarakat terhadap daerah yang terletak di ujung tenggara Jawa Barat--sekitar tiga jam perjalanan dari Bandung--itu begitu besar. Berbekal pengalaman mengelola Ciamis, dia menyiapkan segudang rencana. Selain membangun infrastruktur kota, seperti pengembangan jalan dan jembatan, dia berfokus pada peningkatan layanan dasar, yaitu kesehatan dan pendidikan
Spoiler for Wonosobo:
Gesekan antar-umat beragama rawan terjadi di sejumlah wilayah di Tanah Air. Di Nusa Tenggara Barat dan Bogor, misalnya, sejumlah penganut Ahmadiyah diusir dari wilayah mereka. Begitu pula yang terjadi di Sampang, Madura, ketika penganut Sunni mengusir warga Syiah. Namun di Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat yang memeluk berbagai macam keyakinan bisa hidup berdampingan.
Bupati Wonosobo, Abdul Kholiq Arif, menyilakan semua umat beragama untuk melakukan ibadah menurut keyakinannya. “Nabi saja menghormati kaum Yahudi. Saya pun harus berperilaku sewajarnya terhadap umat yang tak seiman,” kata Bupati Kholiq yang terpilih menjadi kepala daerah pilihan Tempo tahun 2012.
Menurut dia, sebagai warga negara, kelompok minoritas sama-sama membayar pajak. Karena itu, ia menegaskan pemerintah bertanggung jawab dalam memberikan rasa aman bagi semua warga pada saat mereka beribadah, tak terkecuali penganut Ahmadiyah.
Di Wonosobo, kota yang membentang di lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, terdapat setidaknya 6.000 penganut Ahmadiyah. Mubaligh jemaah Ahmadiyah, Sajid Ahmad Sutikno, mengatakan ketegasan Bupati membuat mereka aman. “Kami tidak punya masalah di sini,” kata dia.
Begitu pula dengan penganut Konghucu, Tao, dan Buddha. Mereka merayakan hari besar agama tanpa rasa takut. Selain memberikan rasa aman pada saat menjalankan ibadah, pemerintah kabupaten memudahkan umat beragama yang hendak mendirikan tempat ibadah.
Tentunya dengan melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama, wadah dialog antar-iman kota itu. Warga suku Tionghoa, Imam Darmadi, mengatakan, toleransi beragama di kotanya tinggi. “Sejumlah kiai dan habib kerap menghadiri undangan kami di kelenteng ini,” kata Imam.
Membangun kerukunan antar-umat beragama tentu bukan pekerjaan mudah. Bupati Kholiq menceritakan selama awal kepemimpinannya di 2004, berbagai masalah sosial muncul ke permukaan. Mulai dari tawuran antar-kampung, kerusuhan, hingga angka kriminalitas cukup tinggi pada hingga 2010.
Pada periode ini, kebakaran hebat juga menghanguskan pasar induk Wonosobo. Pencuri dibakar, perkelahian terjadi, lalu toko-toko tutup lebih awal. Untuk mengatasi persoalan kemanan ini, Sang Bupati merangkul para preman. “Mereka tidak boleh dibuang, kecuali melanggar hak orang lain,” ujarnya.
Kholiq punya cara unik. Ia melibatkan para preman dalam kegiatan keagaman juga tradisi macapatan-tembang tradisional Jawa. Ia juga menggandeng Komando Distrik Militer untuk memberikan terapi kepada para jawara itu
Bupati Wonosobo, Abdul Kholiq Arif, menyilakan semua umat beragama untuk melakukan ibadah menurut keyakinannya. “Nabi saja menghormati kaum Yahudi. Saya pun harus berperilaku sewajarnya terhadap umat yang tak seiman,” kata Bupati Kholiq yang terpilih menjadi kepala daerah pilihan Tempo tahun 2012.
Menurut dia, sebagai warga negara, kelompok minoritas sama-sama membayar pajak. Karena itu, ia menegaskan pemerintah bertanggung jawab dalam memberikan rasa aman bagi semua warga pada saat mereka beribadah, tak terkecuali penganut Ahmadiyah.
Di Wonosobo, kota yang membentang di lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, terdapat setidaknya 6.000 penganut Ahmadiyah. Mubaligh jemaah Ahmadiyah, Sajid Ahmad Sutikno, mengatakan ketegasan Bupati membuat mereka aman. “Kami tidak punya masalah di sini,” kata dia.
Begitu pula dengan penganut Konghucu, Tao, dan Buddha. Mereka merayakan hari besar agama tanpa rasa takut. Selain memberikan rasa aman pada saat menjalankan ibadah, pemerintah kabupaten memudahkan umat beragama yang hendak mendirikan tempat ibadah.
Tentunya dengan melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama, wadah dialog antar-iman kota itu. Warga suku Tionghoa, Imam Darmadi, mengatakan, toleransi beragama di kotanya tinggi. “Sejumlah kiai dan habib kerap menghadiri undangan kami di kelenteng ini,” kata Imam.
Membangun kerukunan antar-umat beragama tentu bukan pekerjaan mudah. Bupati Kholiq menceritakan selama awal kepemimpinannya di 2004, berbagai masalah sosial muncul ke permukaan. Mulai dari tawuran antar-kampung, kerusuhan, hingga angka kriminalitas cukup tinggi pada hingga 2010.
Pada periode ini, kebakaran hebat juga menghanguskan pasar induk Wonosobo. Pencuri dibakar, perkelahian terjadi, lalu toko-toko tutup lebih awal. Untuk mengatasi persoalan kemanan ini, Sang Bupati merangkul para preman. “Mereka tidak boleh dibuang, kecuali melanggar hak orang lain,” ujarnya.
Kholiq punya cara unik. Ia melibatkan para preman dalam kegiatan keagaman juga tradisi macapatan-tembang tradisional Jawa. Ia juga menggandeng Komando Distrik Militer untuk memberikan terapi kepada para jawara itu
Spoiler for Surabaya:
Penyulap Kota, memanusiakan Warga–dia mengubah kota penuh polusi menjadi taman yang hijau dan resik, menghadapi persoalan dengan pendekatan kemanusiaan
Spoiler for Enrekang:
Tukang tidur yang membangunkan Enrekang–dia membuka akses bagi kampung-kampung yang terpisah gunung dgn jalan beton, setelah membebaskan biaya kesehatan dan pendidikan , ditahun terakhirnya ia fokus pada penataan kota
Spoiler for Keerom:
Sinterklas di tapal batas–dia membagikan uang Rp.1 M langsung ke kampung-kampung, memilih menjadi ayah bagi warganya ketimbang jadi pemerintah
Selengkapnya disini
http://www.tempo.co/read/flashgrafis...n-Bupati-Biasa
[url]http://edsus.tempo.co/Bukan-bupati-biasa
ini baru mantab, ga perlu penghargaan walikota terbaik sedunia, ga perlu jual mobil2an karena yg dicari emang pengabdian bukan publikasi

Diubah oleh Krabberz 17-12-2012 22:14


tien212700 memberi reputasi
1
15.1K
Kutip
107
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan