- Beranda
- Komunitas
- News
- Melek Hukum
MK: BP Migas Inkonstitusional


TS
yimir
MK: BP Migas Inkonstitusional
Quote:
Berdiri sejak tahun 2002, umur Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) sepertinya akan berhenti di tahun kesepuluh. Pasalnya, MK baru saja membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas.
Mahkamah juga membatalkan frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 UU Migas.
Pasal-pasal serta frasa yang dibatalkan MK tersebut berkaitan dengan kewenangan, tugas dan fungsi pengelolaan migas yang dijalankan BP Migas dari hulu hingga hilir.
“Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, tugas dan fungsi BP Migas dilaksanakan pemerintah cq menteri terkait sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut,” urai Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD membacakan putusan di Gedung MK, Selasa (13/11).
Mahkamah menegaskan BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan migas dan tidak melakukan pengelolaan secara langsung. Pengelolaan migas pada sektor hulu baik eksplorasi maupun eksploitasi dilakukan oleh BUMN berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, efisien, dan transparan.
“Pihak yang secara langsung dapat mengelola sumber daya alam migas menurut UU Migas hanya Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap,” kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Menurut Mahkamah, model hubungan antara BP Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam pengelolaan migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam migas. Hal ini bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
“Konstruksi penguasaan migas melalui BP Migas, negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola sumber daya alam Migas. Padahal pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki Pasal 33 UUD 1945,” kata Hamdan.
Pemerintah dapat melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa BUMN untuk mengelola kegiatan usaha migas pada sektor hulu. BUMN itulah yang akan melakukan KKS (Kontrak Kerjasama) dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap.
Di bagian akhir putusan, MK menyatakan BP Migas inkonstitusional. Uniknya, salah satu pertimbangan majelis MK adalah karena keberadaan BP Migas dinilai sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
“Sekiranya pun dikatakan bahwa belum ada bukti bahwa BP Migas telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, maka cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa keberadaan BP Migas inkonstitusional karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, sesuatu yang berpotensi melanggar konstitusi pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas,” demikian bunyi pertimbangan putusan majelis MK.
Dalam putusan, MK memang tidak definitif menyatakan “membubarkan” BP Migas. Namun, MK tetap menyediakan langkah antisipasi untuk mengisi kekosongan hukum. Menurut MK, fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru harus dilaksanakan oleh Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dalam hal ini Kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas.
“Segala hak serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah.”
Dissenting Opinion
Dalam putusan ini, Hakim Konstitusi Harjono mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Harjono mempersoalkan dasar majelis MK terkait kedudukan pemohon. Menurut dia, majelis MK tidak mengemukakan argumentasi yang sangat mendasar, yaitu bagaimana hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas yang dimohonkan untuk diuji.
“Argumentasi Mahkamah dalam memberikan legal standing sangatlah penting sekali, karena menyangkut hal yang sangat esensial dalam proses peradilan, yaitu bahwa hanya yang punya kepentingan secara langsung sajalah yang dapat mengajukan perkara ke pengadilan,” papar Harjono.
Lebih lanjut, Harjono berpendapat Padahal, menurutnya, pembentukan badan pemerintah cq BP Migas tidak bertentangan dengan struktur UUD 1945. BP Migas memiliki kadar entitas negara yang cukup kuat karena dibentuk berdasarkan UU. Terlebih, penunjukan BP Migas melibatkan dua lembaga negara yang dipilih langsung oleh rakyat (Presiden dan DPR).
“Mahkamah juga belum cukup mempertimbangkan kerugian konstitusional apa sebenarnya yang dialami para pemohon. Karenanya, permohonan para pemohon seharusnya ditolak,” katanya.
Usai persidangan, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddinmenyambut baik putusan MK. Dia meminta agar putusan MK ini segera direspon oleh pemerintah dan DPR untuk menindaklanjuti. “Menyangkut peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan sumber daya alam yang kaya raya ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Din.
Dia berharap dengan putusan ini akan memunculkan perbaikan yang signifikan terhadap pengelolaan migas dalam negeri. “Kami harap dengan adanya putusan ini, sumber daya migas kita dapat dikelola dengan baik,” ujar Din.
Untuk diketahui, permohonan ini diajukan oleh sejumlah ormas dan warga negara. Ormas yang turut menjadi pemohon adalah PP Muhammadiyah, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, PP Persaudaraan Muslimin Indonesia, PP al-Irsyad al-Islamiyah, PB Pemuda Muslimin Indonesia, al Jami’yatul Washliyah, dan Solidaritas Juru Parkir.
Pemohon yang mengatasnamakan pribadi antara lain Achmad Hasyim Muzadi, H. Amidhan, Prof Komaruddin Hidayat, Eggi Sudjana, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Moch. Iqbal Sullam, Ichwan Sam, Salahuddin Wahid, Nirmala Chandra Dewi, Ali Karim OEI, Adhie M. Massardi, Ali Mochtar Ngabalin, Hendri Yosodiningrat, Laode Ida, Sruni Handayani, Juniwati T. Maschun S, Nuraiman, Sultana Saleh, Marlis, Fauziah Silvia Thalib, King Faisal Sulaiman, Soerasa, Mohammad Hatta, M. Sabil Raun, Edy Kuscahyanto, Yudha Ilham, Joko Wahono, Dwi Saputro Nugroho, A.M Fatwa, Elly Zanibar Madjid, dan Jamilah.
Mahkamah juga membatalkan frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 UU Migas.
Pasal-pasal serta frasa yang dibatalkan MK tersebut berkaitan dengan kewenangan, tugas dan fungsi pengelolaan migas yang dijalankan BP Migas dari hulu hingga hilir.
“Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, tugas dan fungsi BP Migas dilaksanakan pemerintah cq menteri terkait sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut,” urai Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD membacakan putusan di Gedung MK, Selasa (13/11).
Mahkamah menegaskan BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan migas dan tidak melakukan pengelolaan secara langsung. Pengelolaan migas pada sektor hulu baik eksplorasi maupun eksploitasi dilakukan oleh BUMN berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, efisien, dan transparan.
“Pihak yang secara langsung dapat mengelola sumber daya alam migas menurut UU Migas hanya Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap,” kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Menurut Mahkamah, model hubungan antara BP Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam pengelolaan migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam migas. Hal ini bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
“Konstruksi penguasaan migas melalui BP Migas, negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola sumber daya alam Migas. Padahal pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki Pasal 33 UUD 1945,” kata Hamdan.
Pemerintah dapat melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa BUMN untuk mengelola kegiatan usaha migas pada sektor hulu. BUMN itulah yang akan melakukan KKS (Kontrak Kerjasama) dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap.
Di bagian akhir putusan, MK menyatakan BP Migas inkonstitusional. Uniknya, salah satu pertimbangan majelis MK adalah karena keberadaan BP Migas dinilai sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
“Sekiranya pun dikatakan bahwa belum ada bukti bahwa BP Migas telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, maka cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa keberadaan BP Migas inkonstitusional karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, sesuatu yang berpotensi melanggar konstitusi pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas,” demikian bunyi pertimbangan putusan majelis MK.
Dalam putusan, MK memang tidak definitif menyatakan “membubarkan” BP Migas. Namun, MK tetap menyediakan langkah antisipasi untuk mengisi kekosongan hukum. Menurut MK, fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru harus dilaksanakan oleh Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dalam hal ini Kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas.
“Segala hak serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah.”
Dissenting Opinion
Dalam putusan ini, Hakim Konstitusi Harjono mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Harjono mempersoalkan dasar majelis MK terkait kedudukan pemohon. Menurut dia, majelis MK tidak mengemukakan argumentasi yang sangat mendasar, yaitu bagaimana hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas yang dimohonkan untuk diuji.
“Argumentasi Mahkamah dalam memberikan legal standing sangatlah penting sekali, karena menyangkut hal yang sangat esensial dalam proses peradilan, yaitu bahwa hanya yang punya kepentingan secara langsung sajalah yang dapat mengajukan perkara ke pengadilan,” papar Harjono.
Lebih lanjut, Harjono berpendapat Padahal, menurutnya, pembentukan badan pemerintah cq BP Migas tidak bertentangan dengan struktur UUD 1945. BP Migas memiliki kadar entitas negara yang cukup kuat karena dibentuk berdasarkan UU. Terlebih, penunjukan BP Migas melibatkan dua lembaga negara yang dipilih langsung oleh rakyat (Presiden dan DPR).
“Mahkamah juga belum cukup mempertimbangkan kerugian konstitusional apa sebenarnya yang dialami para pemohon. Karenanya, permohonan para pemohon seharusnya ditolak,” katanya.
Usai persidangan, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddinmenyambut baik putusan MK. Dia meminta agar putusan MK ini segera direspon oleh pemerintah dan DPR untuk menindaklanjuti. “Menyangkut peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan sumber daya alam yang kaya raya ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Din.
Dia berharap dengan putusan ini akan memunculkan perbaikan yang signifikan terhadap pengelolaan migas dalam negeri. “Kami harap dengan adanya putusan ini, sumber daya migas kita dapat dikelola dengan baik,” ujar Din.
Untuk diketahui, permohonan ini diajukan oleh sejumlah ormas dan warga negara. Ormas yang turut menjadi pemohon adalah PP Muhammadiyah, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, PP Persaudaraan Muslimin Indonesia, PP al-Irsyad al-Islamiyah, PB Pemuda Muslimin Indonesia, al Jami’yatul Washliyah, dan Solidaritas Juru Parkir.
Pemohon yang mengatasnamakan pribadi antara lain Achmad Hasyim Muzadi, H. Amidhan, Prof Komaruddin Hidayat, Eggi Sudjana, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Moch. Iqbal Sullam, Ichwan Sam, Salahuddin Wahid, Nirmala Chandra Dewi, Ali Karim OEI, Adhie M. Massardi, Ali Mochtar Ngabalin, Hendri Yosodiningrat, Laode Ida, Sruni Handayani, Juniwati T. Maschun S, Nuraiman, Sultana Saleh, Marlis, Fauziah Silvia Thalib, King Faisal Sulaiman, Soerasa, Mohammad Hatta, M. Sabil Raun, Edy Kuscahyanto, Yudha Ilham, Joko Wahono, Dwi Saputro Nugroho, A.M Fatwa, Elly Zanibar Madjid, dan Jamilah.
Diubah oleh yimir 14-11-2012 02:08
0
1.4K
Kutip
5
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan