BERlSlKAvatar border
TS
BERlSlK
Jangan belajar dari Jokowi
Anda mau jadi kandidat Cagubsu namun tidak punya duit atau tidak mau keluar duit? Saya berdoa, mudah-mudahan tidak ada kandidat yang berpikiran seperti itu. Semestinya ada banyak hal menarik untuk diamati dari pemilihan gubernur (Pilgub) Jakarta, terutama oleh Parpol dan bakal calon gubenur Sumut (Balon Gubsu): ada yang bisa ditiru, dan ada yang tidak.

Pertama, para Balon sebaiknya menjadikan Parpol hanya sebatas ‘perahu’ untuk mengantarnya ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Jangan berharap banyak, bahwa Parpol juga akan mengantarnya ke Jalan Diponegoro Medan. Sebab, Pilgub Jakarta telah memberi contoh yang baik, bagaimana Parpol terutama Demokrat, Golkar, PKS, PAN dan PPP tak bisa berperan memenangkan kandidat yang didukungnya.

Hasil putaran pertama Pilgub DKI menghasilkan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Demokrat, PPP, PAN) meraih 1.476.648 suara (34,05%), pasangan Hidayat Nurwahid-Didiek J Rachbini (PKS) 508.113 suara (11.72%), pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono(Golkar) meraih 202.643 suara (4,67%). Mestinya, perolehan Foke-Nara pada putaran kedua minimal adalah gabungan suara-suara ini, dan itu artinya Foke-Nara menjadi pemenang. Tapi hasil Pilgub Jakarta tidak seperti itu.

Partai bukan menjadi faktor satu-satunya bagi rakyat di dalam menentukan pilihan. Termasuk juga PDI-P dan Gerindra sebagai pendukung Jokowi-Ahok, masih perlu dikaji apakah kedua partai itu menjadi faktor utama rakyat memilih Jokowi-Ahok. Dengan demikian, kemungkinan perahu yang anda sewa adalah ‘perahu bocor’.

Pilgub Jakarta mengajarkan, bahwa apa yang menjadi pilihan elit partai selalu tidak sama bahkan sering bertentangan dengan pilihan anggota, simpatisan dan masyarakat. Karenanya masih perlu dipertanyakan, apakah alasan massa PDI-P dan Gerindra memilih Jokowi-Ahok semata karena partai, atau semata karena figur. Atau karena alasan partai sekaligus figur.

Itu artinya, para Cagubsu yang diusung partai harus tetap membangun simpul jaringan dari berbagai elemen hingga ke akar rumput. Jangan sepenuhnya berharap dari jaringan partai pendukung, sebab massa partai pendukung belum tentu akan mendukung anda, sebab, sekali lagi, elit partai yang menjatuhkan pilihannya kepada Anda belum tentu sama dengan pilihan massa partai.

Masih ada waktu untuk membangun atau memperkuat jaringan. Mudah-mudahan, jaringan yang telah dibangun dan diperkuat itu mampu bekerja maksimal. Mudah-mudahan pula jaringan partai yang ada mampu bekerja bekerja maksimal, sehingga jaringan itu bisa menghantarkan anda ke kursi mobil BK-1.

Akan halnya partai yang telah mengusung kandidat, boleh saja ngotot memperjuangkan kandidatnya untuk menang. Sebab, memang demikianlah seharusnya. Namun boleh juga untuk bersikap santai-santai saja. Apalagi partai yang ‘melepas’ perahunya lengkap dengan kuncinya kepada kandidat. Tokh, di negeri tercinta ini, moralitas adalah kebutuhan nomor sekian.

Fenomena Jokowi
Hal kedua yang menarik dari Pilgub Jakarta, adalah kemampuan menjadi media darling. Menjadi media darling berarti juga menjadi kesayangan publik. Dan keberhasilan menjadi kesayangan publik, membuka peluang untuk menjadi pemenang pada Pilkada.

Ada beberapa cara agar seorang kandidat bisa menjadi media darling. Yakni, karakter pribadi, jejak rekam dan by design. Dalam kasus Pilgub Jakarta pasti juga di daerah lain karakter pribadi yang dibutuhkan adalah karakternya rakyat. Mampu berbahasa dengan bahasa rakyat, berperilaku rakyat, gerak tubuh rakyat, tersenyum sebagai senyum rakyat. Dan kesemuanya ini muncul dari hati nurani : berhati nurani rakyat.

Jika perilaku mentang-mentang: mentang-mentang lagi pejabat, mentang-mentang pengusaha, mentang-mentang ketua, lantas seenaknya terutama saat berinteraksi dengan rakyat pemilih atau saat tampil di publik, maka dipastikan kandidat akan ditolak rakyat. Jika kandidat memang tak punya karakter yang merakyat, itupun sesungguhnya bisa diubah-bentuk sedemikian rupa. Namun, hati-hati, jika salah mendisain maka yang muncul kemudian adalah perilaku yang lebay.

Setelah karakter kandidat bisa dianggap pas, maka tentunya kandidat punya jejak rekam yang bisa menyentuh rakyat. Kandidat harus punya kejelian untuk memilih mana jejak rekamnya yang layak dijual kepada publik, untuk kemudian di-eksploitasi sedemikian rupa.

Bagi para kandidat yang mempunyai karakter pribadi dan jejak rekam yang pas di hati rakyat, kemudian harus mau di-disain sedemikian rupa untuk bisa menjadi media darling. Jika kandidat berkarakter rakyat mau jalan sendiri, jangan-jangan malah berubah menjadi ‘Mr. Bean’.

Dan ketiga, hal menarik yang bisa dipelajari dari Pilgub Jakarta adalah duit atau kemampuan memobilisasi duit. Artinya, bisa duit sendiri, bisa pula duit dari berbagai kalangan. Anda mau jadi kandidat Cagubsu namun tidak punya duit atau tidak mau keluar duit? Saya berdoa, mudah-mudahan tidak ada kandidat yang berpikiran seperti itu. Jikapun ada yang demikian, mohon dikoreksi lagi kemauan tersebut. Sebab, ikut Pilkada tanpa duit di negeri yang masih dilanda korup semacam Indonesia, itu sama dengan tindakan gila dan sebuah keniscayaan.

Artinya, kandidat Cagubsu harus punya duit, baik untuk membeli perahu, untuk membangun jaringan, untuk sosialisasi, untuk menggelar kegiatan dan lain sebagainya. Kita bisa tanya kepada beberapa kandidat Cagubsu tahun 2008 lalu, berapa duit yang telah mereka habiskan untuk pekerjaan mulia ini. Pelajaran terakhir, ini yang paling penting, para kandidat Cagubsu jangan pernah semenitpun beranggapan bahwa fenomena Jokowi bisa terjadi di daerah ini. Ada banyak perbedaan antara Jakarta dan Sumatera Utara, terutama adalah tingkat kecerdasan pemilih.

Para pemilih cerdas menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan rasional. Pemilih cerdas mampu menentukan kriteria kandidat yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Para pemilih cerdas mampu memilih kandidat ideal untuk Sumut lima tahun ke depan. Namun, seberapa banyakkah jumlah pemilih cerdas dari 12 juta penduduk Provinsi Sumatera Utara ini ? Jangan-jangan mayoritas pemilih Sumatera Utara adalah pemilih yang menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan transaksional-pragmatisme.

Dan sikap semacam ini adalah lumrah semata, karena masyarakat mencontoh perilaku transaksional-pragmatisme itu dari para politisi dan pejabat. Meski sesungguhnya partai punya tanggungjawab mendidik kesadaran politik masyarakat.

Pemilih cerdas juga sangat menentukan besar-kecilnya peran masyarakat dalam melakukan pengawasan. Semakin besar peran serta masyarakat melakukan pengawasan Pilkada, maka semakin besar peluang terciptanya pilkada yang jujur dan bersih. Polling yang dilakukan beberapa media di Jakarta tentang Pilgub Jakarta, menyebutkan masyarakat menilai Pilgub Jakarta berlangsung jujur dan bersih.

Kondisi geografis Sumatera Utara menjadi salah satu penyebab tidak memungkinkannya fenomena Jokowi bisa terjadi di sini. Antara lain dikarenakan hambatan komunikasi maupun transportasi antar kawasan, yang berdampak pada tingkat kecerdasan pemilih.

Dengan demikian, kandidat Cagubsu jangan berharap bisa menang dengan duit tipis, sebagaimana halnya Jokowi karena kemampuannya tampil memikat publik. Walhasil, silahkan berupaya menjadi media darling, namun harus tetap menyediakan duit yang banyak karena mayoritas pemilih di daerah ini belum se-cerdas pemilih Jakarta. Artinya, kalau tidak ingin menyesal, janganlah sekali-kali para kandidat Cagubsu belajar dari Jokowi!

EMBER

Quote:
0
6.6K
58
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan