

TS
rumah.KENYOT
[Politik dan Keamanan Aceh] HUT TNI dan Agenda Reformasi
HUT TNI dan Agenda Reformasi
Jum`at, 12 Oktober 2012 10:07 WIB
http://www.theglobejournal.com/Opini...masi/index.php
Bertambah usia Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke 67 tahun pada tanggal 5 Oktober 2012 semakin berat beban kerja dan tanggung jawabnnya. Di usia itu, bisa diartikan jalan panjang dari sisi pengalaman dalam melindungi negara ini dan pada usia yang matang tersebut, tentu menuntut TNI harus benar-benar menjalankan amanah reformasi berdasarkan TAP MPR VI/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dilanjutkan oleh TAP MPR VII/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara RI. Bahkan diperkuat lagi melalui UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Tentunya setelah diamanahkan reformasi TNI melalui rangkaian regulasi dan ketatapan itu, dimana sangat diperlukan evaluasi dalam implementasinya. Di hari Hut institusi TNI ke 67 menjadi momentum bagi kita semua termasuk dari Pemerintah Indonesia sendiri melakukan evaluasi jalannya agenda reformasi. Jangan sampai agenda reformasi hanya di atas kertas saja.
Ada lima agenda reformasi di institusi TNI, jika kita ingin melakukan evaluasi pertama; profesonalitas, kedua; bisnis militer, ketiga; netralitas politik, keempat; kesejahteraan, dan kelima peradilan militer. Keseluruhan itu tidak saya jelaskan dalam tulisan hanya 2 indikator saja. Batasan menilai bukan skala nasional, tetap pada konteks lokal Aceh.
Profesionalitas TNI
Berbicara profesionalitas dari institusi TNI belum maksimal berjalan. Hal terbukti dari anggota TNI di Aceh yang masih melakukan tindakan kekerasan berupa pemukulan, intimiasi, dll. Hasil tracking media menujukan jumlah kasus yang relatif besar. Saya mengambil beberapa saja dijadikan contoh seperti pemukulan warga Gampong Pulo Kecamatan Peudada, Birueun. Belum lagi penembakan warga di Aceh Besar, kasus pemukulan wartawan Simeulu, dll.
Bila merujuk terhadap kasus, jelas penilaian dari publik masih cukup banyak anggota TNI yang melanggar prinsip profesionalitas. Berarti ada kelemahan pembinaan, kontrol serta pengawasan yang dilakukan institusi TNI terhadap anggotanya. Dikarenakan kelamahan itulah membuat degradasi profesionalisme dan disiplin anggota (prajurit TNI). secara harfiahnya mekanisme atau sistem harus mampu melakukan tiga hal itu dengan terukur, terencana, dan terevaluasi. Tidak terlupakan yang harus dilakukan perubahan untuk mewujudkan profesionalitas TNI membuat tindakan tegas, bilamana tidak menjalankan sesuai aturan tertera dalam regulasi dan aturan di internal (institusinya).
Kalaupun ada upaya memberikan efek jerah bagi anggota TNI yang tidak profesionalitas dengan memberikan hukuman. Namun putusan hukuman yang diberikan institusi TNI terhadap anggotanya masih dikatagorikan setengah hati. Publik menilai institusi TNI hanya sanksi etika atau disiplin tanpa sanksi tegas langsung melakukan pemecatan tanpa kompromi. Kalau itu pun tidak berjalan ataupun sudah berjalan lantas apa yang menjadi akar masalahnya sehingga tindakan penyimpangan marak dilakukan anggota TNI bagi di Aceh maupun di Indonesia?
Cara pandang lainnya dari saya menilai banyak tindakan anggota TNI yang melakukan kekerasan, pemukulan, penembakan, dll. Disebabkan masih sangat lemahnya doktrin pemahaman fungsi dan tugasnya melindungi rakyat bukan malahan rakyat di jadikan korban atas tindakan anggota TNI. Percuma pembinaan serta pemberian pemahaman akan hak asasi manusia, karena tidak menginfiltrasi ke dalam dirinya selanjutnya dipraktekan dalam perilaku keseharian.
Belum lagi perilku personal mengatasnamakan institusi mendapatkan dana dari APBA Provinsi Aceh. Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota mendapatkan dana dari aliran APBA dan APBK. Teman itu berdasarkan hasil kajian Kontras Aceh, LBH Banda Aceh, dan Gerak Aceh. Seharusnya tidak boleh dialokasikan bagi institusi vertikal. Ini jelas-jelas melanggar aturan undang-undang, dimana hanya dari anggaran APBN institusi vertikal mendapatkan anggaran termasuk TNI. Berarti harus ada tindakan tegas dari stakeholder yang memiliki otoritas menghentikan aliran dana tersebut.
Bisnis Militer di Aceh
Menurut pemikiran saya masalah pengambilalihan bisnis militer TNI, hingga kini belum menujukan kejelasan serius tanpa harus bertele tele. Baru baru ini koran Kompas (23/12/09 hal : 5) membenarkan pernyataan saya, dimana tim pengendali bisnis TNI baru mengharapkan pengambilalihan bisnis TNI segera dilaksanakan pada tenggat di pertengahan 2010. Faktanya keseluruhan bisnis TNI di pusat ibukota hingga ke daerah-daerah belum tuntas di ambil ahli Pemerintah Pusat.
Umumnya petinggi militer beralasan, TNI terpaksa berbisnis guna meningkatkan kesejahteraan prajurit. Ini gara-gara anggaran militer yang minim. Masalahnya, mengurus bisnis dengan skala demikian besar tentu butuh perhatian tersendiri. Aktivitas ini jelas mengusik profesionalitas militer yang tugas utamanya membela kedaulatan bangsa. Tapi, untuk sampai ke sana, perlu ada dukungan pemerintah lewat penyediaan anggaran militer yang memadai. Soalnya, anggaran TNI selama ini tidak cukup untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit plus memenuhi kesiapan alat utama sistem senjata (alusista) dan alat utama system komunikasi (alutkom) yang canggih.
Bicara kelokalan Aceh pasca perdamaian, dimana secara kasat mata bermunculan bisnis-bisnis baru yang dikelola institusi TNI seperti cafe, percetakan, restoran, bisnis senam, swalayan, dll. Kesemuan itu apakah dibawah kendali manajemen Puskopad (koperasi tingkat KODAM) Primkopad (koperasi tingkat KODIM) ?. Seharusnya keberadaan koperasi itu, hanya mencukupi kebutuhan dasar (sembako) dan simpan pinjam dari prajurit, bukan malahan membangun kerajaan bisnisnya. Bila terjadi maka ini bentuk keunikan tersendiri dari bisnis militer di Aceh, dimana tidak dikelola sebuah yayasan seperti di provinsi lainnya.
Kalau pun mau dikroscek dan dikaji riset lebih jauh lagi, pasti ditemukan anggota TNI yang membuka bisnis seperti menjadi kontraktor. Ini mengingkari semangat profesionalitas sekaligus amanah dalam regulasi. Modus menjalankan bisnis dilakoni anggota TNI banyak cara seperti membuka perusahan, bekerjasama dengan pengusaha tertentu, dll.
Solusi mengatasi anggota TNI yang berbisnis negara harus bertanggung jawab menjamin kesejahteraannya. Caranya melalui nasionalisasi aset negara serta secepat mungkin melakukan pengambilan ahli bisnis yang masih dikelola TNI secara institusi, yayasan, maupun koperasinya. Lalu lakukan peningkat kesejahteraan secara maksimal mulai dari struktur level bawah sampai level atas.
Menjaga Perdamaian Aceh
Kondisi kekinian TNI di Aceh dituntut tugas dan tanggung jawab menjaga perdamaian dari gangguan pihak tertentu yang memicu stabilitas Aceh menjadi kacau. Tentunya kerja menjaga perdamaian di Aceh bukan semata menjadi tugas utama TNI saja, akan tetapi masyarakat Aceh secara keseluruhan harus terlibat bersinergis dengan TNI. Dengan demikian kelanggengan perdamaian bagi generasi ke depannya tetap terjaga. Kalau ditanyakan bentuk kongkrit menjaga perdamaian yang bisa dilakukan TNI di Aceh antara lain; tidak melakukan tindakan kekerasan secara terorganisir dan sistematis yang memicu kebencian masyarakat, tidak membuat perpecahan antara kelompok satu dengan lainnya, tidak menerapkan operasi atau menggerakan anggota TNI diluar instruksi dari institusi, dll.
Mengakhiri tulisan ini pada usia TNI ke-67, reformasi yang sudah berjalan masih memiliki pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Untuk memaksimalkan berjalannya reformasi di institusi TNI dibutuhkan keterlibatan dari kita semua memberikan dukungan terhadap perubahan institusi tersebut. TNI yang kuat ketika seluruh amanah reformasi dan mandat pada regulasi terimplementasi secara benar. Dirgahayu TNI!.
--------------------------------------------------------------------------
Bisnis legal apa ilegal
Jum`at, 12 Oktober 2012 10:07 WIB
http://www.theglobejournal.com/Opini...masi/index.php
Bertambah usia Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke 67 tahun pada tanggal 5 Oktober 2012 semakin berat beban kerja dan tanggung jawabnnya. Di usia itu, bisa diartikan jalan panjang dari sisi pengalaman dalam melindungi negara ini dan pada usia yang matang tersebut, tentu menuntut TNI harus benar-benar menjalankan amanah reformasi berdasarkan TAP MPR VI/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dilanjutkan oleh TAP MPR VII/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara RI. Bahkan diperkuat lagi melalui UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Tentunya setelah diamanahkan reformasi TNI melalui rangkaian regulasi dan ketatapan itu, dimana sangat diperlukan evaluasi dalam implementasinya. Di hari Hut institusi TNI ke 67 menjadi momentum bagi kita semua termasuk dari Pemerintah Indonesia sendiri melakukan evaluasi jalannya agenda reformasi. Jangan sampai agenda reformasi hanya di atas kertas saja.
Ada lima agenda reformasi di institusi TNI, jika kita ingin melakukan evaluasi pertama; profesonalitas, kedua; bisnis militer, ketiga; netralitas politik, keempat; kesejahteraan, dan kelima peradilan militer. Keseluruhan itu tidak saya jelaskan dalam tulisan hanya 2 indikator saja. Batasan menilai bukan skala nasional, tetap pada konteks lokal Aceh.
Profesionalitas TNI
Berbicara profesionalitas dari institusi TNI belum maksimal berjalan. Hal terbukti dari anggota TNI di Aceh yang masih melakukan tindakan kekerasan berupa pemukulan, intimiasi, dll. Hasil tracking media menujukan jumlah kasus yang relatif besar. Saya mengambil beberapa saja dijadikan contoh seperti pemukulan warga Gampong Pulo Kecamatan Peudada, Birueun. Belum lagi penembakan warga di Aceh Besar, kasus pemukulan wartawan Simeulu, dll.
Bila merujuk terhadap kasus, jelas penilaian dari publik masih cukup banyak anggota TNI yang melanggar prinsip profesionalitas. Berarti ada kelemahan pembinaan, kontrol serta pengawasan yang dilakukan institusi TNI terhadap anggotanya. Dikarenakan kelamahan itulah membuat degradasi profesionalisme dan disiplin anggota (prajurit TNI). secara harfiahnya mekanisme atau sistem harus mampu melakukan tiga hal itu dengan terukur, terencana, dan terevaluasi. Tidak terlupakan yang harus dilakukan perubahan untuk mewujudkan profesionalitas TNI membuat tindakan tegas, bilamana tidak menjalankan sesuai aturan tertera dalam regulasi dan aturan di internal (institusinya).
Kalaupun ada upaya memberikan efek jerah bagi anggota TNI yang tidak profesionalitas dengan memberikan hukuman. Namun putusan hukuman yang diberikan institusi TNI terhadap anggotanya masih dikatagorikan setengah hati. Publik menilai institusi TNI hanya sanksi etika atau disiplin tanpa sanksi tegas langsung melakukan pemecatan tanpa kompromi. Kalau itu pun tidak berjalan ataupun sudah berjalan lantas apa yang menjadi akar masalahnya sehingga tindakan penyimpangan marak dilakukan anggota TNI bagi di Aceh maupun di Indonesia?
Cara pandang lainnya dari saya menilai banyak tindakan anggota TNI yang melakukan kekerasan, pemukulan, penembakan, dll. Disebabkan masih sangat lemahnya doktrin pemahaman fungsi dan tugasnya melindungi rakyat bukan malahan rakyat di jadikan korban atas tindakan anggota TNI. Percuma pembinaan serta pemberian pemahaman akan hak asasi manusia, karena tidak menginfiltrasi ke dalam dirinya selanjutnya dipraktekan dalam perilaku keseharian.
Belum lagi perilku personal mengatasnamakan institusi mendapatkan dana dari APBA Provinsi Aceh. Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota mendapatkan dana dari aliran APBA dan APBK. Teman itu berdasarkan hasil kajian Kontras Aceh, LBH Banda Aceh, dan Gerak Aceh. Seharusnya tidak boleh dialokasikan bagi institusi vertikal. Ini jelas-jelas melanggar aturan undang-undang, dimana hanya dari anggaran APBN institusi vertikal mendapatkan anggaran termasuk TNI. Berarti harus ada tindakan tegas dari stakeholder yang memiliki otoritas menghentikan aliran dana tersebut.
Bisnis Militer di Aceh
Menurut pemikiran saya masalah pengambilalihan bisnis militer TNI, hingga kini belum menujukan kejelasan serius tanpa harus bertele tele. Baru baru ini koran Kompas (23/12/09 hal : 5) membenarkan pernyataan saya, dimana tim pengendali bisnis TNI baru mengharapkan pengambilalihan bisnis TNI segera dilaksanakan pada tenggat di pertengahan 2010. Faktanya keseluruhan bisnis TNI di pusat ibukota hingga ke daerah-daerah belum tuntas di ambil ahli Pemerintah Pusat.
Umumnya petinggi militer beralasan, TNI terpaksa berbisnis guna meningkatkan kesejahteraan prajurit. Ini gara-gara anggaran militer yang minim. Masalahnya, mengurus bisnis dengan skala demikian besar tentu butuh perhatian tersendiri. Aktivitas ini jelas mengusik profesionalitas militer yang tugas utamanya membela kedaulatan bangsa. Tapi, untuk sampai ke sana, perlu ada dukungan pemerintah lewat penyediaan anggaran militer yang memadai. Soalnya, anggaran TNI selama ini tidak cukup untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit plus memenuhi kesiapan alat utama sistem senjata (alusista) dan alat utama system komunikasi (alutkom) yang canggih.
Bicara kelokalan Aceh pasca perdamaian, dimana secara kasat mata bermunculan bisnis-bisnis baru yang dikelola institusi TNI seperti cafe, percetakan, restoran, bisnis senam, swalayan, dll. Kesemuan itu apakah dibawah kendali manajemen Puskopad (koperasi tingkat KODAM) Primkopad (koperasi tingkat KODIM) ?. Seharusnya keberadaan koperasi itu, hanya mencukupi kebutuhan dasar (sembako) dan simpan pinjam dari prajurit, bukan malahan membangun kerajaan bisnisnya. Bila terjadi maka ini bentuk keunikan tersendiri dari bisnis militer di Aceh, dimana tidak dikelola sebuah yayasan seperti di provinsi lainnya.
Kalau pun mau dikroscek dan dikaji riset lebih jauh lagi, pasti ditemukan anggota TNI yang membuka bisnis seperti menjadi kontraktor. Ini mengingkari semangat profesionalitas sekaligus amanah dalam regulasi. Modus menjalankan bisnis dilakoni anggota TNI banyak cara seperti membuka perusahan, bekerjasama dengan pengusaha tertentu, dll.
Solusi mengatasi anggota TNI yang berbisnis negara harus bertanggung jawab menjamin kesejahteraannya. Caranya melalui nasionalisasi aset negara serta secepat mungkin melakukan pengambilan ahli bisnis yang masih dikelola TNI secara institusi, yayasan, maupun koperasinya. Lalu lakukan peningkat kesejahteraan secara maksimal mulai dari struktur level bawah sampai level atas.
Menjaga Perdamaian Aceh
Kondisi kekinian TNI di Aceh dituntut tugas dan tanggung jawab menjaga perdamaian dari gangguan pihak tertentu yang memicu stabilitas Aceh menjadi kacau. Tentunya kerja menjaga perdamaian di Aceh bukan semata menjadi tugas utama TNI saja, akan tetapi masyarakat Aceh secara keseluruhan harus terlibat bersinergis dengan TNI. Dengan demikian kelanggengan perdamaian bagi generasi ke depannya tetap terjaga. Kalau ditanyakan bentuk kongkrit menjaga perdamaian yang bisa dilakukan TNI di Aceh antara lain; tidak melakukan tindakan kekerasan secara terorganisir dan sistematis yang memicu kebencian masyarakat, tidak membuat perpecahan antara kelompok satu dengan lainnya, tidak menerapkan operasi atau menggerakan anggota TNI diluar instruksi dari institusi, dll.
Mengakhiri tulisan ini pada usia TNI ke-67, reformasi yang sudah berjalan masih memiliki pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Untuk memaksimalkan berjalannya reformasi di institusi TNI dibutuhkan keterlibatan dari kita semua memberikan dukungan terhadap perubahan institusi tersebut. TNI yang kuat ketika seluruh amanah reformasi dan mandat pada regulasi terimplementasi secara benar. Dirgahayu TNI!.
--------------------------------------------------------------------------
Bisnis legal apa ilegal

0
1.3K
0
Thread Digembok
Thread Digembok
Komunitas Pilihan