Mengenang Kembali Norman Edwin & Mengembangkan Semangat Menulis
TS
EcL4
Mengenang Kembali Norman Edwin & Mengembangkan Semangat Menulis
Salam rimba,
Tentunya para penggiat alam bebas masih inget sama salah satu mapala hebat yang d miliki Indonesia ini kan?
Ya bener banget. Bang Norman Edwin. Salah satu pendahulu Mapala UI yang juga merupakan salah satu orang yang memperkenalkan Biospeleology (Ilmu Biologi Gua) di Indonesia.
Meskipun sibuk bergiat di alam bebas, dia selalu menuliskan pengalamannya kepada orang lain agar orang lain bisa belajar & ikut merasakan pengalamannya. Berikut ane tampilin lagi salah satu tulisannya agar temen2 semangat menulis. Paling ngga d Kaskus ini:
Spoiler for "Norman":
Di Kegelapan Itu Ada Ketenangan
Oleh Norman Edwin
review artikel majalah Suara Alam no. 62, September 1988, hal 28-35
Gua akan terus cerita tentang pengalaman gua karena lo suka, dan saatnya gua mati giliran lo yang akan cerita tentang gua (N. Edwin)
Lubang itu begitu kecil dan pasti dalam sekali. Entah berapa pula dalamnya. Tapi tadi, batu sekepalan yang saya lempar kelubang itu mendesing masuk beberapa detik lamanya sebelum terdengar benturan-benturan keras. Dari pengalaman, saya menduga-duga paling sedikit dalamnya sama dengan tinggi sebuah gedung bertingkat sepuluh. Dan siapapun tahu, bahwa dasar lubang itu gelap bukan main, dan tentu tak menyenangkan. Meskipun demikian, saya tetap mendekati mulut lubang itu dengan seutas tali yang terpancang erat di batu.
Kalau mau jujur, harus saya akui bahwa kali ini pun hati saya agak cemas. Memang selalu begitu. Setiap kali hendak menuruni lubang seperti itu, hati saya selalu bergetar, seolah tak percaya pada kekuatan tali yang menurut pabrik pembuatnya bisa menahan bobot hingga dua ton itu. Alat-alat khusus lainnya yang dibuat dari logam campuran aluminium itu pun tak mampu membuat hati saya seratus persn tentram. Padahal tali yang kuat itu terpancang baik sekali, tidak menggesek-gesek pinggiran batu sehingga bisa membuat pabrik pembuat tali itu disebut membual. Tali temali tampak manis sekali, alat-alat lainnya yang terbuat dari logam kuat itu juga tak terlihat janggal letaknya. Tak ada alasan untuk khawatir lagi.
Saya membuka simpul tali yang mengunci descendeur, satu alat yang khusus dirancang untuk menuruni tebing terjal. Alat ini berupa potongan logam yang membentuk suatu system geseran untuk menahan berat badan yang bergelantungan di tali, sehingga penurunan ke lubang curam itu menjadi dan nyaman aman. Tali pengaman lain sudah pula lepas dari penambatnya. Bukan waktunya lagi untuk memperdebatkan apakah betul tali ini kuat atau tidak. Seluruh berat badan saya sekarang tergantung di sana. Dengan mengendurkan genggaman tali di tangan kanan, perlahan badan saya melorot di tali menuju kegelapan di bawah.
Api yang menyulut gas acetylene yang keluar dari lubang kecil di helm saya sedikit demi sedikit menyibak kegelapan itu. Gas ini terbentuk dari karbit dan air yang ada di tabung logam di pinggang saya.. Sinar api dari gas ini terang sekali. Jelas sekali bentuk lubang ini sekarang. Lubang ini memang sempit dan pengap. Kalau sudah begitu, saya jadi sulit mengerti mengapa sekarang saya ada di sini. Saya pun jadi paham, mengapa penduduk di kampong di atas tadi bertanya-tanya perihal maksud dan tujuan kami menuruni lubang-lubang gelap di sini.
Sepuluh meter di bawah, tali yang saya gantungi itu terasa menyentuh dinding lubang. Tak begitu terasa gesekannya, tetapi itu sudah cukup membuat hati saya gelisah. Aneh sekali, sekarang mudah sekali saya khawatir. Dulu tidak begitu. Tahun 1980, bersama beberapa teman lainnya, saya ikut mengembangkan olahraga petualangan jenis bawah tanah ini pertama kali di Indonesia. Waktu itu tak ada takut seperti sekarang. Tali tergesek-gesek tepian batu, itu kejadian biasa. Mungkin usia yang makin bertambah yang menyebabkan saya begini sekarang. Tetapi mungkin juga karena saya makin paham tentang bahaya yang bisa ditimbulkannya. Semakin banyak tahu, semakin mudah orang menjadi takut. Saya piker rasa takut memang harus ada, karena inilah yang akan membuat saya bersikap hati-hati.
Mengenai ini, peristiwa yang nyaris membuat saya celaka bukan tidak ada. Dulu, tahun 1981, tali yang saya gantungi di Luweng Ombo, Pacitan nyaris putus tergesek inggiran batu tajam. Saya waktu itu baru saja melampaui ketinggian labih dari seratus meter dari dasar lubang yang besar itu. Saya ingat, seribu petir rasanya menyambar ketika beberapa meter di atas. Separuh bagian tali yang saya panjat itu terlihat terkelupas, bagian dalamnya terurai ke luar! Keringat dingin terasa mengalir. Bukan main takutnya saya waktu itu. Untunglah, tali itu masih cukup kuat untuk dilalui hingga saya mencapai bibir lubang besar itu. Kalau tidak, pasti saya tidak ada di sini dan bergantung lagi di tali.
Lanjutannya ada d bawah gan.
Ada yang mo nyendolin?