

TS
holspec123
MAGDALENA
Aku punya pacar, sebut saja dia 'Magdalena'. Aku mencintainya setengah mati. Dia gadis berperawakan sedang--seksi. Dia berkulit putih, mulus tanpa cela. Pokoknya, pake daster pun dia always seksi. Entah di kehidupan mana aku bisa dapat cewek seperti dia? Yang jelas dia milikku, saat itu.
Setiap hari, sepulang sekolah, aku selalu mengunjunginya. Dia selalu ramah menyambutku. Segelas ale-ale untuknya, dan segelas untukku adalah minuman yang aku suguhkan tiap harinya.
Magdalena ini tipe cewek pendiam.
Untuk bicara saja, harus aku yang mewakilkan.
Hari ini dia tampak berbeda. Sejak ayah dan ibu mengundang seorang pemuka agama, sikap Magda berubah 90 derajat (gak pake selsius). Dia jadi angkuh, sombong serta semakin pendiam.
Kecewa, aku lantas pulang. Serasa menelan pil pahit melihat sikap Magdalena.
Setibanya di rumah, aku langsung melemparkan ransel ke atas sofa. Ibu yang kebetulan lewat pun terkejut. "Apa-apaan kamu, Arath?!" bentak ibu.
"Gak apa-apa, Bu," jawabku setengah hati.
Aku menyandarkan diri di atas sofa yang bukanya bikin nyaman, justru malah bikin sakit sekujur badan. Aku memperhatikan gelagat ibu yang aneh. Dia seperti merasa bersalah tiap kali menatapku. Aku semakin curiga, jangan-jangan, ini ada hubungannya sama Magdalena? Bisa jadi.
"Ibu..," kataku, suaraku mendadak serak, "ibu tau kenapa sikap Magda hari ini aneh?"
Ibu gelagapan saat aku bertanya seperti itu. "I-Ibu mana tau...." kilahnya.
Aku terus menyudutkan ibu, "Apa Bapak tau?"
"Bapak juga gak bakal tau, Arath..." geram ibu.
"Siapa yang tau perihal Magda?!"
Aku berdiri, menampilkan wajah tersangarku. Ibu mundur satu langkah ke belakang, sampai tak sadar dia membentur dinding.
"Mungkin pak ustadz Syamsir yang tau," Ibu membual.
Atau memang Ustadz Syamsir tau perihal perubahan sikap Magda? batinku.
Aku bergegas menuju pintu. Kubuka pintu dengan tenaga penuh. Ku banting daun pintu itu sekeras-kerasnya. Mungkin saat ini ibu sedang melompat saking kagetnya.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah pak ustadz Syamsir, aku menggerutu, "Sialan, Pak ustadz. Berani-beraninya ikut campur urusan ku."
Rumah pak ustadz Syamsir ini tidak jauh dari rumahku. Hanya terpaut dua rumah saja.
Kebetulan, dia ada di halaman rumahnya. Sepertinya dia sedang menyiram bunga kertas.
"Bugenvil, Pak ustadz?" tanyaku, tanpa memberi salam. "Bagus."
Padahal isi hatiku mencemooh.
"Eh, Arath?" sambut pak ustadz. "Masuk, Nak."
Penuh emosi, aku menuding, "Bapak yang udah bikin sikap Magda berubah?"
"Magda?" selidik pak ustadz. "Maksudmu... Magdalena yang itu?"
"Iya!"
Pak ustadz berdiri. Kini kami saling berhadapan. Aku mengira-ngira, pak ustadz mungkin lebih tinggi lima senti dariku. Aku bisa membantingnya ke belakang.
"Jangan asal banting," kata pak ustadz seolah tahu isi kepalaku.
Aku berjinjit ke belakang. Aku tahu, dia bukan lawan sepadan denganku. Aku pun langsung menurunkan nada suaraku.
"Apa maksud bapak membuat Magda seperti itu?" kataku. Ketimbang tegas, aku lebih mirip orang dicekik. "Bapak sudah menghancurkan hubungan kami."
Tanpa basa-basi, pak ustadz menarik tanganku. "Ikut bapak," ajaknya.
Aku diseret ke tempat yang mengarah pada kediaman Magdalena. Tak perlu bertanya, aku sudah tahu ini mengarah ke mana.
Jelas, aku melihat rumah Magdalena. Pagar besi dan gerbang besi berwarna abu-abu menyambut kami. Aku membayangkan Magda berdiri di ambang pintu, sambil tersenyum menyambutku.
Tidak. Tidak ada Magdalena di sana. Yang ada hanya pintu besar--angkuh--menyambut kedatanganku.
"Bismillahirrahmanirrahim," gumam pak ustadz, membaca doa seraya mengusap wajahku, tanpa meminta izin. "Lihat baik-baik, Arath," tandasnya.
Pak ustadz menyuruhku untuk melihat sesuatu yang jelas-jelas nyata. Aku membuka mata perlahan. Ingin rasanya aku tersenyum dan merayakan kemenangan.
Aku tahu kalau di rumah itu ada Magda....
Tunggu...
Mana rumah itu?
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Tak ada rumah di depan sana. Yang ada hanya sebidang tanah lapang, terabaikan. Ditumbuhi rerumputan liar, ilalang dan beberapa pohon akasia duri.
"Pak ustadz menyihir saya, ya?" dengusku.
"Mana ada ustadz main sihir? Bisa kualat," geram pak ustadz.
"Terus..," kataku lagi, "di mana rumah Magdalena?"
Pak ustadz sampai geleng-geleng kepala. "Dari dulu juga gak ada rumah di sini, Arath...."
Aku tertegun, mencerna peristiwa yang aku alami saat ini.
Jadi, siapa sih si Magdalena ini? Kenapa dia hadir dalam hidupku setelah aku putus sama si Wasem?
o-oOo-o
Setiap hari, sepulang sekolah, aku selalu mengunjunginya. Dia selalu ramah menyambutku. Segelas ale-ale untuknya, dan segelas untukku adalah minuman yang aku suguhkan tiap harinya.
Magdalena ini tipe cewek pendiam.
Untuk bicara saja, harus aku yang mewakilkan.
Hari ini dia tampak berbeda. Sejak ayah dan ibu mengundang seorang pemuka agama, sikap Magda berubah 90 derajat (gak pake selsius). Dia jadi angkuh, sombong serta semakin pendiam.
Kecewa, aku lantas pulang. Serasa menelan pil pahit melihat sikap Magdalena.
Setibanya di rumah, aku langsung melemparkan ransel ke atas sofa. Ibu yang kebetulan lewat pun terkejut. "Apa-apaan kamu, Arath?!" bentak ibu.
"Gak apa-apa, Bu," jawabku setengah hati.
Aku menyandarkan diri di atas sofa yang bukanya bikin nyaman, justru malah bikin sakit sekujur badan. Aku memperhatikan gelagat ibu yang aneh. Dia seperti merasa bersalah tiap kali menatapku. Aku semakin curiga, jangan-jangan, ini ada hubungannya sama Magdalena? Bisa jadi.
"Ibu..," kataku, suaraku mendadak serak, "ibu tau kenapa sikap Magda hari ini aneh?"
Ibu gelagapan saat aku bertanya seperti itu. "I-Ibu mana tau...." kilahnya.
Aku terus menyudutkan ibu, "Apa Bapak tau?"
"Bapak juga gak bakal tau, Arath..." geram ibu.
"Siapa yang tau perihal Magda?!"
Aku berdiri, menampilkan wajah tersangarku. Ibu mundur satu langkah ke belakang, sampai tak sadar dia membentur dinding.
"Mungkin pak ustadz Syamsir yang tau," Ibu membual.
Atau memang Ustadz Syamsir tau perihal perubahan sikap Magda? batinku.
Aku bergegas menuju pintu. Kubuka pintu dengan tenaga penuh. Ku banting daun pintu itu sekeras-kerasnya. Mungkin saat ini ibu sedang melompat saking kagetnya.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah pak ustadz Syamsir, aku menggerutu, "Sialan, Pak ustadz. Berani-beraninya ikut campur urusan ku."
Rumah pak ustadz Syamsir ini tidak jauh dari rumahku. Hanya terpaut dua rumah saja.
Kebetulan, dia ada di halaman rumahnya. Sepertinya dia sedang menyiram bunga kertas.
"Bugenvil, Pak ustadz?" tanyaku, tanpa memberi salam. "Bagus."
Padahal isi hatiku mencemooh.
"Eh, Arath?" sambut pak ustadz. "Masuk, Nak."
Penuh emosi, aku menuding, "Bapak yang udah bikin sikap Magda berubah?"
"Magda?" selidik pak ustadz. "Maksudmu... Magdalena yang itu?"
"Iya!"
Pak ustadz berdiri. Kini kami saling berhadapan. Aku mengira-ngira, pak ustadz mungkin lebih tinggi lima senti dariku. Aku bisa membantingnya ke belakang.
"Jangan asal banting," kata pak ustadz seolah tahu isi kepalaku.
Aku berjinjit ke belakang. Aku tahu, dia bukan lawan sepadan denganku. Aku pun langsung menurunkan nada suaraku.
"Apa maksud bapak membuat Magda seperti itu?" kataku. Ketimbang tegas, aku lebih mirip orang dicekik. "Bapak sudah menghancurkan hubungan kami."
Tanpa basa-basi, pak ustadz menarik tanganku. "Ikut bapak," ajaknya.
Aku diseret ke tempat yang mengarah pada kediaman Magdalena. Tak perlu bertanya, aku sudah tahu ini mengarah ke mana.
Jelas, aku melihat rumah Magdalena. Pagar besi dan gerbang besi berwarna abu-abu menyambut kami. Aku membayangkan Magda berdiri di ambang pintu, sambil tersenyum menyambutku.
Tidak. Tidak ada Magdalena di sana. Yang ada hanya pintu besar--angkuh--menyambut kedatanganku.
"Bismillahirrahmanirrahim," gumam pak ustadz, membaca doa seraya mengusap wajahku, tanpa meminta izin. "Lihat baik-baik, Arath," tandasnya.
Pak ustadz menyuruhku untuk melihat sesuatu yang jelas-jelas nyata. Aku membuka mata perlahan. Ingin rasanya aku tersenyum dan merayakan kemenangan.
Aku tahu kalau di rumah itu ada Magda....
Tunggu...
Mana rumah itu?
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Tak ada rumah di depan sana. Yang ada hanya sebidang tanah lapang, terabaikan. Ditumbuhi rerumputan liar, ilalang dan beberapa pohon akasia duri.
"Pak ustadz menyihir saya, ya?" dengusku.
"Mana ada ustadz main sihir? Bisa kualat," geram pak ustadz.
"Terus..," kataku lagi, "di mana rumah Magdalena?"
Pak ustadz sampai geleng-geleng kepala. "Dari dulu juga gak ada rumah di sini, Arath...."
Aku tertegun, mencerna peristiwa yang aku alami saat ini.
Jadi, siapa sih si Magdalena ini? Kenapa dia hadir dalam hidupku setelah aku putus sama si Wasem?
o-oOo-o


kyaikanjeng77 memberi reputasi
1
357
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan