Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Nggak pernah ada perpisahan yang menyenangkan. Sejauh ini satu-satunya perpisahan yang bisa menghasilkan rasa bahagia adalah berpisah dari kebiasaan buruk. Apalagi jika harus berpisah dengan orang yang betul-betul kita sukai, betul-betul kita sayangi. Jangankan harus berpisah selamanya, ia sedikit menjauh saja, gua sudah pusing karena merindu.
Yang gua alami jauh lebih parah dari sekedar pusing karena merindu.
“Kak, Anggi mau dijemput apa mau gua anter?” Tanya Lady ke gua melalui sambungan telepon.
Buat yang belum tau, Lady ini adalah istri dari Jeje. Dan Jeje adalah mantan suami gua. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang ‘merebut’ mantan suami bisa dengan santai menelpon gua?
Kata orang-orang, namanya ilmu ikhlas.
Bullshit!
Coba tempatkan diri lo diposisi gua. Jadi, perempuan yang harus melihat mantan suami yang masih begitu gua cintai menikah dengan perempuan lain. Dimana perempuan tersebut bukanlah orang lain, perempuan yang sempat berada di satu tempat kerja dengan gua. Secara struktur, ia bahkan bawahan gua.
Jadi, gua menunjukkan keikhlasan dan kebaikan seperti yang orang lain harapkan. Terpaksa untuk terlihat ikhlas karena tekanan sosial dari keluarga, teman, atau masyarakat. Meskipun sebenarnya mereka nggak merasakannya.
Di sisi lain, ada semacam dorongan bersikap ikhlas hanya sekedar untuk menghindari perasaan negatif. Menghindari penyakit hati kayak cemburu dan dendam. Mengakui ke orang lain kalau gua masih merasa cemburu tentu sesuatu yang sulit dan menyakitkan. Jadi, gua lebih memilih menunjukkan keikhlasan meskipun gua yakin kalau hati ini nggak 100% merasakan hal yang sama, nggak benar-benar ikhlas.
Tapi, bukannya gua nggak mau untuk benar-benar mengikhlaskan Jeje. Gua mau, mau banget. Hanya saja, sampai saat ini, gua masih belum tau bagaimana caranya.
Bahkan beberapa kerabat dekat dan sahabat terus ‘memaksa’ gua untuk kembali membuka hati untuk menjalin hubungan baru. Caranya? Bermacam-macam. Ada yang secara diam-diam menjodohkan gua dengan cowok kenalannya. Ada yang dengan terang-terangan memperkenalkan gua dengan cowok pilihannya. Dan tentu saja semuanya gua tolak mentah-mentah. Saat ini biarlah gua terus berusaha membenahi diri untuk benar-benar belajar ikhlas.
Lalu, bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintai?
Tentu saja rasanya sakit luar biasa. Saking sakitnya, gua bahkan nggak mau kembali menjalin hubungan dengan pria manapun; takut mengalami rasa sakit yang sama.
“Gua jemput aja nanti pulang kantor, Lad…” Jawab gua.
“Ok, Jangan kemaleman ya Kak” Ucapnya.
“Iya” Balas gua singkat lalu mengakhiri panggilan.
Sebuah notifikasi pengingat muncul di sudut kanan atas layar laptop. Meeting lain yang harus gua hadiri.
Salah satu cara melupakan perpisahan adalah dengan menyibukkan diri. Selain bertanggung jawab sebagai komisaris di sebuah perusahaan multinasional, saat ini gua juga tengah merintis sebuah perusahaan baru. Perusahaan rintisan yang bergerak dibidang teknologi, sebuah perusahaan agensi teknologi.
Gua nggak memulai semua ini dari nol. Beberapa waktu yang lalu, seorang CEO perusahaan datang ke gua, menawarkan konsep baru perusahaan rintisan miliknya yang hampir kolaps karena kekurangan sumber daya dan manajemen yang kacau.
Setelah berdiskusi dengan Jeje dan Claire; rekan sesama investor, kami akhirnya memutuskan untuk ‘chip-in’ di perusahaan tersebut.
Menginvestasikan sejumlah besar uang ke perusahaan tersebut. Tentu saja dengan berbagai syarat. Salah satunya adalah perombakan besar-besaran di sisi manajemen, termasuk memasukkan gua dan Claire ke dalam jajaran BoD (Board of Director).
Untuk menandai awal yang baru, kami lalu sepakat untuk mengganti nama perusahaan dan merubah sudut pandang dari sisi klien. Dimana sebelumnya perusahaan ini disebut sebagai ‘software house’ kini agar lebih relate dengan kondisi teknologi jaman sekarang, kami melabeli diri sendiri sebagai ‘Technology Agency’. Dimana perusahaan ini akan membantu klien untuk membuat sebuah aplikasi. Nggak hanya itu, rencananya kami akan mulai menyediakan berbagai service untuk para klien. Dari mulai pembuatan aplikasi, kebutuhan sales-marketing, hingga kreatif-nya.
Jam menunjukkan pukul 7 malam saat tim marketing baru saja keluar dari ruangan. Saat itu, kami baru saja menyelesaikan penyesuaian budget untuk divisi marketing yang menurut gua selama ini terlalu ‘Overspent’.
Gua meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak diatas meja, melirik ke layarnya yang menunjukkan beberapa panggilan tak terjawab; dari Jeje. Gua menekan ikon bergambar telepon berwarna hijau dan mulai menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali, lau suara Jeje menyambut gua; “Halo…”
“Halo…”
“Dimana?” Tanyanya singkat.
“Masih di kantor, baru selesai meeting” Jawab gua.
“Oh… Jadi jemput Anggi?” Tanyanya lagi.
“Jadi, kalau masih boleh” Ucap gua, merasa bersalah karena terlalu larut jika ingin menjemputnya. Padahal, Lady tadi sudah mengingatkan agar jangan terlalu malam jika ingin menjemput Anggi. Khawatir kalau, Anggi malah terus terjaga dan nggak bisa tidur nantinya.
“Apaan sih lo”
“Mana Angginya?”
Lalu terdengar samar suara Jeje memanggil Anggi pada latar suara. Beberapa detik berikutnya, Anggi menyapa gua dengan suaranya yang riang; “Halo Mommy. Mommy jadi jemput Anggi kan?”
“Jadi dong sayang. Anggi udah ngantuk belum?”
“Belum”
“Ok, tunggu ya. Mommy berangkat sekarang nih” Jawab gua.
“Okay, take care ya mommy” Balasnya. Gua lantas tersenyum, begitu mendengar ucapannya.
Kini, Jeje kembali mengambil alih panggilan. “Ce… Jangan buru-buru, jangan ngebut” Ucapnya pelan.
“Iya…”
“Atau, gua anterin aja deh Anggi-nya, daripada lo bolak-balik” Jeje memberikan usulan.
“Nggak usah, udah gapapa, gua jemput aja…” Jawab gua, lalu mengakhiri panggilan dan bersiap untuk segera pergi.
Ditengah perjalanan, gua mampir sebentar untuk membeli kopi dan tiga kotak donat. Sekotak untuk Jeje dan keluarga kecilnya, sekotak sisanya untuk Gua dan Anggi nanti dirumah. Hampir setengah jam berikutnya, gua tiba di depan sebuah toko plastik yang masih terlihat cukup ramai. Setelah memarkir mobil, gua meraih sekotak donat dari tumpukan di atas kursi penumpang dan keluar.
Tanpa banyak bicara, gua meletakkan sekotak donat di atas etalase toko dan bersiap kembali pergi.
“Woy…” Panggil seorang pria si penjaga toko plastik yang menyempatkan waktunya disela-sela melayani pelanggan.
Gua menoleh sebentar.
“Apaan nih? Ngomong dong jangan kayak orang gagu” Serunya.
Gua menghentikan langkah, lalu kembali mendekat ke arah toko. Tanpa banyak bicara, gua meraih kotak berisi donat, berniat mengambilnya kembali. Namun, dengan cepat pria si penjaga toko menahan kotak tersebut dengan tangannya.
“Kenapa diambil lagi?” Tanyanya.
“Ck… Mau nggak?” Gua balik bertanya.
Pria itu lalu tersenyum dan mengangguk.
“Lagian orang ngasih makanan tapi nggak ngomong sama sekali” Ucapnya.
“Males gua ngomong sama orang bodoh” Balas gua, seraya melotot ke arahnya. Masih marah kepadanya karena beberapa hari yang lalu ia sempat memberikan nomor ponsel gua ke salah satu kenalannya. Berniat untuk menjodohkan gua, yang tentu saja langsung gua tolak mentah-mentah.
“Emang lo masih marah ya Ce?” Tanyanya.
“Ya lo pikir aja, kimak!” Seru gua.
“Emang kenapa sih, gua kan cuma berbaik hati aja” Ia berusaha berkelit.
“Tajir, bapak kau kencing salto” Seru gua, lalu berbalik dan bergegas kembali ke mobil.
Tempat tinggal Jeje dari Toko plastik yang juga merupakan miliknya ini hanya berjarak beberapa menit dengan berjalan kaki. Begitu pula dengan rumah tempat tinggal saat gua kecil dulu yang juga berdekatan, rumah yang saat ini kosong, karena Bapak lebih memilih tinggal di kampung daripada sendirian di rumah yang besar.
Dari jalan besar, gua melambatkan laju mobil saat mendekat ke sebuah gang dengan gapura bercat merah dan putih, kemudian memutar kemudi ke kiri masuk ke dalam gang. Nggak seberapa jauh dari jalan utama, terlihat sebuah rumah sederhana dengan halaman parkir yang luas dengan sebuah sedan mewah eropa berwarna hitam terparkir tepat di muka rumah.
Gua memarkir mobil di belakang sedan hitam tersebut, mematikan mesin, meraih sekotak donat dari tumpukan di atas kursi penumpang dan bersiap untuk keluar. Dari dalam mobil terlihat, pintu rumah terbuka, disusul seorang anak perempuan yang langsung menghambur keluar dan melompat-lompat kegirangan begitu menyadari kedatangan gua.
“Mommy…” Serunya.
Anggi mengenakan sandalnya dan mendekat ke arah pintu mobil bersiap menyambut gua.. Begitu keluar dari dalam mobil, ia langsung menerjang dan memeluk gua; “Mommy.. Mommy kok lama banget?” Tanyanya.
“Iya, tadi kan mampir beli ini dulu” Jawab gua seraya mengangkat kotak berisi donat.
“Asyik, Anggi mau dong Mom” Pintanya.
“Ih, nanti. Buat Anggi ada tuh, di dalam mobil. Ini buat Sere” Jawab gua.
“Sere lagi batuk mommy, nggak boleh makan yang manis-manis” Ucapnya, sambil mulai menggandeng tangan gua yang bebas menuju ke dalam rumahnya.
Terlihat, Jeje menyusul keluar. Dengan gelas berisi kopi dan sebatang rokok di jarinya ia duduk di kursi bambu di depan teras. “Apaan tuh?” Tanyanya begitu melihat kotak di tangan gua.
Belum sempat menjawab, Lady ikut menyusul keluar, di tangannya terlihat ia membawa sebuah tas berwarna pink dengan motif yang Hello Kitty. Gua mengenalinya sebagai tas milik Anggi; tas yang biasa digunakan untuknya bersekolah.
Iya, karena gua dan Jeje berpisah. Kami memutuskan untuk ‘berbagi’ asuhan Anggi. Sejauh ini, Jeje memang jauh lebih banyak mengambil porsi tanggung jawab daripada gua; nyokapnya. Walaupun begitu, Jeje nggak sama sekali membatasi gua untuk bertemu atau menghabiskan waktu bersama dengan Anggi. Kapanpun gua mau bertemu, atau sebaliknya; Anggi yang ingin bertemu dengan gua, ia selalu memberikan izin.
Biasanya Anggi akan tinggal dan menginap di tempat gua selama satu minggu setiap awal bulan. Atau bisa juga di waktu-waktu lain saat Jeje ada keperluan mendesak atau saat ia harus berangkat ke Kanada untuk mengurus bisnisnya.
“Donat, buat Sere…” Jawab gua, seraya menyerahkan kotak donat ke Lady.
Lady meletakkan tas milik Anggi di lantai, lalu menerima kotak pemberian gua sambil bicara; “Thank you…”
“Sere mana?” Tanya gua, merujuk ke anak perempuan pertama Lady dan anak perempuan kedua Jeje.
“Udah Bobo, lagi demam kak” Jawab Lady.
“Yaah… Udah ke dokter?”
“Udah kak, Tadi sore…”
“Apa kata dokter?”
“Biasa flu. Tuh kemarin diajak sama kakaknya main hujan-hujanan” Jawab Lady, seraya menunjuk ke arah Anggi dengan dagunya. Yang lantas direspon Anggi dengan senyuman tanpa rasa bersalah.
“Ini Tas nya Anggi ya Kak. Dia ada PR Bahasa Inggris yang belum dikerjain” Lady menambahkan.
Gua lantas, menoleh ke arah Anggi; “Kenapa belum dikerjain?” Tanya gua.
“Itu PR nya masih lama, Mommy..” Jawabnya sambil pasang tampang lugu.
Sementara, Jeje terlihat ikut nimbrung bicara. Seraya mencubit lembut pipi Anggi yang menggemaskan; “Makanya jangan main melulu…”
Setelah berbincang sebentar, gua pamit dan mengajak Anggi pergi.
Sebelum kami benar-benar pergi. Jeje terlihat keluar menyusul kami, seraya membawa sebuah kardus pipih berwarna coklat. Ia mengetuk kaca mobil sisi pengemudi, dan langsung menyerahkan kardus pipih tersebut begitu gua menurunkan kaca.
“Apa nih?” Tanya gua, sambil ragu-ragu meraih pemberiannya.
“Titip buat bapak” Jawabnya singkat.
“Kirain buat gua”
Jeje nggak merespon, hanya tersenyum. Ia lalu beralih ke Anggi, melambai dan bicara, memberi pesan ke Anggi; “Anggi, nurut ya sama Mommy…”
“Iya Papah…” Jawab Anggi sambil tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Jeje.
Di dalam mobil, ditengah perjalanan menuju ke apartemen, Gua menyerahkan kardus pemberian Jeje ke Anggi.
“Mommy minta tolong boleh?” Tanya gua ke Anggi yang lantas diresponnya dengan anggukan kepala.
“... Boleh minta tolong bukain kardusnya?”
“Okay” Seru Anggi seraya mulai membuka plastik yang menyegel kardus pipih pemberian Jeje.
Walau dengan sedikit kesulitan, Anggi akhirnya berhasil membuka segel penutup kardus dan mulai mengeluarkan isinya. Sambil menyetir, gua melirik ke arah Anggi yang tengah berusaha mengeluarkan isi dari dalam kardus.
Terlihat sebuah frame kayu berwarna hitam yang membungkus sketsa. Sketsa berisi gambar tiga sosok yang gua kenali sebagai Bapak, Mamak dan gua yang berada di tengah-tengah mereka.
“Ini Opung!” Seru Anggi begitu melihat frame berisi sketsa di genggamannya.
“...”
“... Ini Mommy” Tambahnya.
Ia lalu menunjuk ke sosok perempuan yang tersisa, menoleh ke arah gua lalu bertanya; “Ini siapa Mom? Opung bou ya?”
Gua mengangguk pelan. “Iya, itu Opung Boru nya Anggi. Cantik kan?”
“Iya Cantik. Kayak Mommy, cantik”
—
Di dalam kamar Anggi yang dihiasi dengan nuansa pastel yang lembut, dindingnya dipenuhi poster-poster karakter princess favoritnya. Sementara, boneka-boneka tertata rapi di rak, dengan lampu tidur berbentuk bintang memancarkan cahaya yang membuat kamar terasa hangat dan nyaman.
Gua duduk di tepi tempat tidur Anggi, mengusap lembut rambutnya yang halus dan berwarna hitam pekat. Wajahnya yang lembut dan polos, seakan melihat bayangan masa lalu gua yang kelam. Mengutuk diri sendiri, merasa bodoh karena sempat menyia-nyiakan Anggi —sebuah campuran emosi yang kompleks.
Perlahan gua mengecup dahinya, lalu dengan berhati-hati beranjak dari ranjang, mematikan lampu dan berjingkat keluar dari kamarnya.
Kemudian mulai membereskan sisa makanan dan snack yang berantakan di atas meja tempat gua dan Anggi tadi menghabiskan waktu menonton televisi.
Gua menghentikan kegiatan saat melihat frame dengan sketsa Bapak, Mamak dan Gua yang tergeletak di atas sofa. Gua meraih frame tersebut dan memandangnya, seraya menyusuri permukaan kaca pelapis frame tepat di wajah Mamak; Rindu dan penyesalan berkutat menjadi satu. Rasa-rasanya, gua memang pantas mendapat ‘hukuman’ seperti ini, karena sempat meninggalkan Anggi dulu semasa bayi, dan menyia-nyiakan Mamak bahkan hingga akhir hayatnya.
Di sudut kanan bawah sketsa, terlihat sebuah signature berbentuk huruf M beserta tanggal dibuatnya sketsa ini.
Gua meraih ponsel, mengambil foto dari signature tersebut dan mengirimkannya ke salah satu kenalan yang bekerja di dunia seni. ‘Ko, bisa minta tolong cariin orang yang gambar pake signature ini?’
—
There She Goes - The La's
There she goes
There she goes again
Racing through my brain
And I just can't contain
This feeling that remains
There she goes
There she goes again
Pulsing through my veins
And I just can't contain
This feeling that remains
There she goes (There she goes again)
There she goes again (There she goes again)
Racing through my brain (There she goes again)
And I just can't contain
This feeling that remains
There she goes
There she goes again
She calls my name
Pulls my train
No one else could heal my pain
And I just can't contain
This feeling that remains
There she goes (She calls my name)
There she goes again (She calls my name)
Chasing down my lane (She calls my name)
And I just can't contain
This feeling that remains
There she goes (There she goes again)
There she goes (There she goes again)
There she goes