Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Saat hendak merapikan laptop dan barang-barang lain dari atas meja ruang tamu, ponsel gua bergetar. Memunculkan sebuah notifikasi pesan. Gua melihat sekilas notifikasi tersebut yang sepertinya berasal dari Aldina, namun karena sibuk beres-beres, gua mengabaikan pesan tersebut.
Setelah selesai beres-beres barang, mencuci piring dan akhirnya malah sekalian mencuci pakaian, gua meraih ponsel, bungkusan rokok, dan gelas berisi kopi sisa, kemudian menuju ke balkon.
Layar ponsel terlihat menampilkan beberapa notifikasi pesan dari grup chat studio yang sepertinya baru saja masuk; Ketu dan Adam yang mengabarkan kalau besok di studio bakal ada pemadaman listrik akibat pemeliharaan.
Sementara, pada bagian bawah list pesan, terlihat sebuah pesan yang belum terbaca; dari Aldina. Gua lantas membuka pesan tersebut; ‘Kenapa lo nggak left room??’
Gua lantas membalasnya; ‘Emang harus?’
Nggak lama, ia kembali mengirim balasan; ‘Jangan bilang lo denger gua nyanyi?’
‘Ngeliat dan denger’ Balas gua lagi, yang lalu mendapat balasan darinya; ‘Sial, jangan diingat-ingat sal, Lupain aja kalo lo pernah liat kejadian tadi’.
—
Seminggu berselang, semua hasil feedback dari meeting sebelumnya sudah kami selesaikan. Beberapa hari setelahnya, pembayaran termin terakhir pun kami terima.
Merasa sudah cukup lama studio kami nggak mendapat bayaran sebesar sekarang, Ketu lalu berinisiatif untuk ‘merayakannya’ dengan makan-makan diluar.
“Emang udah ada resto yang buka?” Tanya Adam ke Ketu.
Ketu lalu beralih ke laptopnya, mengetikkan sesuatu dan menunjukkan layar hasil pencariannya ke arah kami yang berada di ruangan. Layarnya menampilkan berita tentang beberapa Mall dan resto yang sudah buka di tengah-tengah pandemi. Tentu saja dengan alasan agar sektor ekonomi nggak semakin kolaps.
Syaratnya tentu saja pengunjung harus sudah vaksin atau hasil swab antigen yang menunjukkan hasil negatif. Dan tentu saja dengan menerapkan protokol yang berlaku; menjaga jarak juga mengenakan masker.
Walau kurang setuju dengan ide Ketu yang mengharuskan kami keluar; ke tempat ramai, namun begitu melihat ekspresi rekan-rekan lain yang kegirangan tentu saja gua jadi berubah pikiran. Bukan, bukan, gua bukan nggak setuju dengan ide Ketu yang mengajak kami makan-makan karena pelit. Tapi, gua nggak mau mengambil resiko salah satu dari kami terpapar covid hanya gara-gara pergi makan diluar.
Akhirnya setelah berunding perkara lokasi dan tempat makan, mereka memutuskan untuk menuju ke salah satu mall yang berada di bilangan Jakarta Selatan; ‘Sekalian jalan-jalan’ mereka beralasan.
Secara bergantian, kami memesan taksi online menuju ke stasiun Cisauk. Dengan KRL kami akan menuju ke stasiun Kebayoran Lama dan kembali naik taksi online menuju ke mall tersebut.
Setelah melewati pemeriksaan yang ketat, seperti pengecekan suhu tubuh dan dokumen vaksin atau bukti swab antigen, satu persatu kami masuk ke area mall kemudian langsung menuju ke salah satu resto yang sebelumnya sudah disepakati.
Gua duduk, menatap ke arah meja dan kursi resto all you can eat tempat dimana kami sekarang berada, kursi dan meja yang hampir semuanya terisi penuh.
‘Mana protokol yang selama ini digaung-gaungkan?’ Batin gua dalam hati, melihat ke arah orang-orang yang tengah makan yang tentu saja tanpa masker, bahkan sambil ngobrol berdekatan.
“Makan kak?” Ucap Dinar seraya meletakkan beberapa potong daging diatas piring di hadapan gua.
Gua mengangguk pelan, menurunkan masker, memasukkan potongan daging ke mulut dengan sumpit lalu kembali menaikkan masker. Melihat sikap gua yang dianggap terlalu berlebihan, rekan-rekan yang lain langsung tertawa. Apalagi saat melihat permukaan masker yang gua kenakan saat ini penuh noda dari daging yang gua makan.
Dinar dengan cepat mengeluarkan ponsel dan memotret gua. Kemudian menunjukkan hasilnya. Melihat diri sendiri dengan masker penuh noda, gua juga jadi ikut tertawa. Kemudian mulai melepas masker dan bersikap seperti yang lain.
Kami ngobrol tentang pekerjaan, tentang kisah konyol Adam di studio, tentang banyak kisah lainnya yang selama ini jarang diceritakan.
Saat tengah asik berbincang, ponsel gua berdering, layarnya menampilkan nama nyokap. Agar nggak berisik, gua berdiri sedikit menjauh dari meja untuk menjawab panggilan.
“Halo, Mah” Sapa gua.
“Halo, Sal. Kamu dimana?” Tanyanya.
“Lagi makan bareng sama temen-temen studio” jawab gua.
“Di mana? Di mall?” Tanyanya lagi.
“Iya” Jawab gua singkat.
“Lho, kami gimana sih. Sebaran covid masih tinggi lho sal. Kamu malah keluar, ke mall lagi”
“…”
“… sama Dinar juga?” Tambahnya.
“Iya”
“Mana orangnya, Mamah mau ngomong” ucap nyokap.
Gua lantas kembali ke meja lalu menyodorkan ponsel ke arah Dinar sambil berbisik pelan; “Nyokap”.
Dinar lalu meraih ponsel gua, berdiri dan melakukan hal yang sama dengan yang gua lakukan sebelumnya; sedikit menjauh dari meja. Sementara gua kembali ngobrol dan makan bersama yang lain.
Beberapa saat kemudian, Dinar kembali kini dengan kondisi ponsel sudah tak lagi terhubung dengan nyokap.
“Ngomong apa nyokap?” Tanya gua ke Dinar, merujuk ke obrolan mereka melalui sambungan ponsel barusan.
Dinar nggak langsung menjawab, ia hanya tersenyum kemudian duduk.
“Rahasia…” Jawabnya pelan.
Sementara yang lain masih makan dan ngobrol, Dinar sudah bersiap pulang. Ia terlihat memakai sweaternya dan meraih tas.
“Balik Nar?” Tanya Andika, yang lantas dijawab dengan anggukan kepala.
Gua ikut berdiri, berniat mengantarnya. Merasa penyebab kepergiannya ini akibat ucapan nyokap barusan. Jadi, paling nggak gua harus mengorek sesuatu darinya, apakah ada sesuatu yang mereka berdua rahasiakan dari gua?
Dalam perjalanan menuju ke lobby mall, gua kembali bertanya ke Dinar perihal obrolan mereka berdua tadi. Kali ini, Dinar langsung menjawab dan bercerita; “Disuruh ke tempat tante” Ucapnya.
“Sekarang?” Tanya gua, penasaran.
“Iya” Jawabnya.
“Lah, gua kan masih belum selesai ngobrol sama yang lain. Terus masa yang lain langsung ditinggalin gitu aja?” Tanya gua lagi.
“Idih, orang yang disuruh kesana cuma aku doang. Kak Marshall nggak usah ikut” Jawabnya sambil tersenyum.
“Lah, gua kan anaknya”
Dinar nggak merespon, ia hanya terdiam sambil terus tertawa. Sambil menunggu dan menemani Dinar hingga ia mendapat taksi online yang sudah dipesannya, gua berdiri dan bersandar pada pilar lobby mall, sambil menikmati sebatang rokok. Sementara, Dinar kini mulai bercerita tentang nyokap gua yang selama ini tanpa gua ketahui kerap menghubunginya, menanyakan kabar, mengirim vitamin hingga makanan kesukaannya. Hal yang selama ini sudah jarang ia lakukan ke gua.
“Lah, gua kan anaknya”
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya taksi online yang dipesan oleh Dinar tiba. Ia berpamitan, lalu masuk ke dalam mobil. Sebelum pergi ia masih sempat-sempatnya menggoda gua; “Mau titip salam nggak buat mamah aku?”
Gua tersenyum lalu mengangguk pelan.
Begitu taksi yang membawa Dinar pergi, gua masih berdiri disana, menghabiskan rokok yang masih tersisa setengah. Setelah puas dengan rokok, gua kembali ke dalam mall, kembali melewati pemeriksaan protokol dan menyusul rekan-rekan lain yang masih berada di resto.
Tapi, siapa sangka di tengah ratusan atau mungkin ribuan orang yang berada di sana, diantara jutaan kemungkinan yang hampir mustahil, kami tanpa sengaja bertemu. Ini untuk pertama kalinya lagi sejak proyek pertama, kami bertemu, bertatap muka secara langsung.
“Ngapain Lo?” Tanyanya ketus.
Gua menatapnya, Aldina terlihat tengah menenteng kantong plastik berlogo supermarket di kedua tangannya.
“Lo ngapain?” Gua balik bertanya.
“Gua nanya duluan” Jawabnya.
Nggak ingin berdebat, gua bersiap pergi meninggalkannya menuju ke resto dimana yang lain sudah menunggu.
Namun, baru beberapa langkah gua pergi, dari pantulan kaca toko terlihat ia kepayahan dengan barang bawaannya. Nggak tega, gua lalu kembali, mengambil alih plastik besar belanjaan dari tangannya.
“Emang Jeje kemana sih? Sampe lo belanja sendirian?” Tanya gua.
Aldina yang terkejut melihat gua kembali sedikit mundur ke belakang, mungkin dikiranya gua adalah orang asing yang berniat merebut belanjaannya.
“Kaget gua” Serunya.
“Emang suami lo kemana, sampe bawa belanjaan sendiri?” Gua mengulang pertanyaan yang sebelumnya nggak dijawab.
“Di bawah, Basement” Jawab Aldina, seraya menunjuk ke arah bawah.
Gua lantas berjalan menuju ke arah eskalator, menuju ke lantai bawah ke basement. Sementara, ia mengikuti gua dari belakang.
“Dimana?” Tanya gua begitu kami sudah berada di lobby eskalator basement. Merujuk ke lokasi mobilnya, agar gua bisa membawa belanjaan ini dan kembali ke resto.
“Apanya?” Aldina balik bertanya.
“Mobil lo?”
“Di sana” Jawabnya sambil menunjuk ke arah selatan.
Saat gua bersiap pergi menuju ke arah yang ditunjukkannya. Ia dengan cepat meraih bahu gua dan bicara pelan; “Yang bilang gua mau pulang siapa?”
“Hah!?” Gua langsung tertegun begitu mendengar pertanyaan darinya.
“...”
“... Tadi bukannya lo..” Gua nggak menyelesaikan kalimat, lalu mencoba mengingat-ingat kapan ia pernah bilang kalau minta dibawakan belanjaannya ke tempat parkir. Dan, seingat gua, ia memang nggak pernah mengucapkan hal itu.
Gua terdiam, meletakkan plastik belanjaan milik Aldina di lantai, lalu berniat untuk pergi.
Aldina berteriak; “Marshall”
Gua berhenti.
“... Bawain belanjaan gua balik ke atas”
Gua menghela nafas, kembali, mengambil plastik tersebut dan kembali ke atas. Sambil terus berjalan, gua menggumam pelan; “Kenapa nggak pake troli aja sih”
“Bawel” Seru Aldina.
“Lagian, ini kan bisa di simpen di mobil lo dulu. Kalo lo masih mau belanja lagi” Gua memberi usul.
“Nggak mau!, Bawa lagi ke atas” Tambahnya kemudian pergi lebih dulu ke lantai atas.
Sekembalinya ke tempat awal pertemuan kami tadi, gua langsung meletakkan plastik belanjaan di lantai dan pergi, menyusul ke arah resto tempat kami tadi berkumpul. Dari pantulan cermin salah satu toko, gua dapat melihat Aldina meraih plastik yang gua tinggalkan dan menyusul sambil memanggil; “Sal, Marshall!”
Panggilannya yang keras dan lantang membuat suaranya menggema, dan beberapa mata langsung tertuju ke arah kami. Nggak mau menjadi pusat perhatian, gua buru-buru mendekat ke arahnya.
“Jangan teriak-teriak sih” Bisik gua pelan.
“Gua nggak teriak-teriak, emang suara gua kenceng” Jawabnya tanpa sedikitpun ada raut penyesalan di wajahnya.
“...”
“... Gua traktir kopi yuk” Ajaknya.
“Nggak ah” Gua menolak ajakannya.
Ada dua alasan yang membuat gua menolak ajakan tersebut. Alasan pertama, gua harus kembali ke rekan-rekan yang lain, yang mungkin masih menunggu gua. Alasan kedua adalah; nggak mungkin gua ngopi berduaan dengan istri orang.
Tapi, Aldina bergeming. Ia terus mengikuti langkah gua hingga kami tiba di resto tempat sebelumnya gua dan rekan-rekan yang lain makan. Tapi, setelah gua mengecek dari luar, nggak nampak keberadaan yang lain. Gua meraih ponsel dan mendapati beberapa panggilan tak terjawab juga pesan dari Ketu yang isinya mengabarkan kalau mereka saat ini tengah berada dalam perjalanan pulang, karena mengira gua pergi bersama dengan Dinar.
“Nyari siapa sih?” Tanya Aldina.
“Temen-temen. Tadi, kita makan disini. Cuma gara-gara kelamaan mondar-mandir ke basement untuk hal yang nggak berguna, mereka udah pulang sekarang” Jawab gua, satir.
“Ye, kan bukan salah gua…”
“Terus salah siapa? Gua?” Tanyanya.
“Gua” Jawab gua nggak kalah ketus.
“Yaudah ayo makannya gua traktir kopi”
“Nggak mau!!”
“Sal, gua juga males ngobrol sama lo. Ayo gua beliin kopi, take away. Abis itu lo cabut, gua cabut…” Ucapnya.
Mendengar penjelasan darinya, gua lantas berpaling dan mengangguk pelan.
Menit berikutnya, kami sudah berada di sebuah kedai kopi. Sementara Aldina memesan di konter, gua duduk di salah satu sudut ruangan. Beberapa saat kemudian ia datang dengan dua gelas besar americano dingin lalu meletakkannya di atas meja.
Nggak seperti yang ia katakan tadi, saat ini kami malah berakhir duduk sama-sama enggan beranjak dan pergi dari tempat ini.
Kami hanya sama-sama terdiam, duduk saling membelakangi seakan dua orang asing yang nggak mengenal satu sama lain. Sesekali, terlihat Aldina mengecek ponselnya, dimana layarnya terlihat foto ia berdua dengan anak perempuannya menjadi latar layar.
“Umur berapa?” Tanya gua, merujuk ke foto anak di layar ponselnya.
Aldina menoleh ke arah gua, ia lalu menunjuk foto pada layar ponselnya. Kemudian menggeser duduknya mendekat lalu berbisik, mengucapkan usianya yang ternyata ia seusia dengan gua.
“Bukan. Bukan elo. Tapi anak lo?” Tanya gua lagi.
“Oh… Rahasia” Jawabnya.
Berawal dari obrolan salah paham tersebut, kami akhirnya lanjut ngobrol ngalor ngidul. Kebanyakan pembahasan kami adalah tentang bisnis. Gua justru yang lebih banyak mengajukan pertanyaan tentang bisnisnya, hingga ia bisa sukses seperti sekarang ini. Tapi, jawaban darinya nggak pernah jelas. Saat memberi penjelasan, Aldina seringkali bicara ‘menggantung’, nggak menyelesaikan ucapannya, terkesan seperti ada yang tengah ia sembunyikan.
Sementara, ia juga banyak mengajukan pertanyaan tentang profesi yang gua tekuni dan bagaimana gua bisa sampai diposisi sekarang. Tentu saja, gua enggan kalau harus bercerita panjang lebar, gua hanya memberi penjelasan singkat yang cepat dan masuk akal.
Terkadang,
nggak,
bukan-bukan,
Seringkali, opini dan pendapat kami berdua tentang berbagai hal bertentangan.
Seperti, pendapatnya tentang pandemi, tentang kegiatan dikala pandemi.
“Ya, wajar kali mall, resto, tempat makan udah pada buka. Mereka kan juga butuh makan, butuh gaji” Ucap Aldina seraya menunjuk ke salah satu kasir di kedai kopi.
“...”
“... Lagian, kalo kelamaan tutup, ekonomi bisa lumpuh. Perputaran uang nggak berjalan, lama-lama inflasi” Tambahnya.
“Ya daripada kita pada mati, terpapar covid” Gua membantah.
“Buat mereka, buat orang-orang ‘dibawah’, miskin dan kelaparan lebih menakutkan, Sal. Daripada virus dan pandemi ini” Jawabnya.
“Iya, gua ngerti. Tapi kan harus tetap taat protokol juga. Coba tuh lu liat, banyak yang udah pada lepas masker, duduk dempet-dempetan” Ucap gua seraya memberi contoh beberapa pelanggan yang berada dekat dengan kami.
“Nah, elo gimana? Studio lo gimana? Mereka masih pada kerja remote atau udah mulai datang ke kantor?” Tanyanya.
“Udah pada mulai datang ke studio” Jawab gua.
“Tuh kan… Tebang pilih lo. Giliran usaha yang model kayak kalian boleh datang ke kantor, Kalau usaha kayak gini nggak boleh, gitu?”
“Ya bukan gitu… Tapi” Belum selesai gua bicara, ia sudah memotong kalimat gua dengan mengibaskan tangannya.
“Alaah, banyak alasan lo!” Ucapnya.
Ingin menghindari perdebatan, gua lalu diam. Merasa kalau melayani orang gila berarti kita sama gilanya.
Ia juga ikut terdiam, lalu kami kembali ke kesibukan masing-masing; menatap layar ponsel.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ia menatap layarnya, lalu dengan cepat ekspresi wajahnya berubah, yang sebelumnya datar kini penuh senyuman.
“Halo cantik” Sapanya melalui sambungan telepon.
“Iya, Mommy lagi belanja. Mau dijemput sekarang?” Tanyanya.
“Yaudah Mommy, berangkat sekarang ya” Ucapnya, kemudian mengakhiri panggilan.
Ia lalu berdiri dan bersiap untuk pergi.
Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh ke arah gua dan bicara; “Sekarang mau nggak bawain lagi ke basement?”
Gua menghela nafas panjang. Lalu tanpa menjawab permintaannya, gua berdiri, meraih plastik belanjaan miliknya dan pergi menuju ke basement.
“Emang anak lo udah mulai sekolah? Kan masih Pandemi?” Tanya gua, saat kami berdua berjalan menuju ke basement.
“Nggak” Jawabnya singkat.
“Lah terus, lo jemput dia dari mana?” Tanya gua lagi, penasaran.
“Dari rumah Papahnya” Jawabnya lagi. Sebuah jawaban yang membuat gua menghentikan langkah dan tertegun sejenak.
—
Alkaline Trio - Mercy Me
It's been a long day living with this
It's been a long time since I felt so sick
I took a long walk straight back home
I could've walked back to San Francisco
I used to long for time alone
I used to long for a place of my own
Now I'm losing faith in everything
I'm lost, so lost, I'm lost at sea, you see
I used to long for broken bones
I used to long for a casket to call my own
I never had a problem facing fear
But I'm done, over and out, my dear, and
Oh, mercy me
God bless catastrophe
'Cause there's no way in hell
We'll ever live to see through this
So drive yourself insane tonight, it's not that far away
And I just filled up your tank earlier today, yeah
It's been a long day living with this
It's been a long time since I felt so sick
I took a long walk straight back home
I could've walked back to Chicago
I used to long for time alone
I used to long for a place of my own
And I've lost faith in everything
I'm lost, so lost, I'm lost without you
Oh, mercy me
God bless catastrophe
Well there's no way in hell
We'll ever live to see through this
So drive yourself insane tonight, it's not that far away
And I just filled up your tank earlier today, yeah
So drive yourself insane tonight, it's not that far away
And I just filled up your tank earlier today, yeah, yeah