- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
medina12 dan 182 lainnya memberi reputasi
183
308.4K
Kutip
4.5K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1453
Part 59 - Gemintang
Spoiler for Part 59 - Gemintang:
Gegara Poppy minta prosesi lamaran diulang, gua sekarang malah jadi punya PR buat mempersiapkan hal itu. Buat gua yang nggak punya pengalaman sama sekali tentu merencanakan prosesi lamaran bukan hal gampang. Gua sempat berkonsultasi ke Ketu tentang masalah ini, tapi sepertinya gua datang ke orang yang salah.
“Halah, mbok yo sing biasa-biasa wae” Gumam Ketu.
“Lha, ya orangnya nggak mau. Kemaren gua ngomong di tukang bakso, kurang biasa apa coba?” Gua bicara, mengeluh kepadanya.
Akhirnya, Ketu memanggil Nina, Adam dan Andika untuk turut serta menyumbangkan ide. Tentu saja tanpa sepengetahuan Poppy yang sama sekali nggak menaruh curiga ketika kami semua ngobrol diam-diam tanpa mengajaknya turut serta. Atau, bisa saja ia sudah tau akan hal ini tapi sengaja berpura-pura untuk menjaga elemen kejutan? Entahlah.
Atas saran dari Nina, Adam dan Andika, akhirnya kami sepakat untuk melamar Poppy di sebuah restoran yang berada di pusat kota Jakarta. Gua tentu saja menolak lokasi restoran yang diajukan, selain karena jauh, gua merasa restoran sepertinya kelewat formal dan mewah.
“Lah terus mau dimana?” Tanya Nina.
“Di sini aja emang nggak bisa?” Gua balik bertanya, sambil menunjuk ke bawah, ke rumah kontrakan yang saat ini kami gunakan sebagai studio, sebagai tempat kerja.
“Yah, masa disini sih, kak. Nggak jauh beda sama di tukang bakso dong” Nina memberi respon yang kemudian langsung diamini oleh Ketu dan yang lainnya.
“...”
“Bisa sih di sini Mas, asal…” Adam bicara, ikut nimbrung memberikan ide.
Namun, belum selesai ia bicara, Ketu sudah memberi tatapan tajam ke arahnya, membuat Adam langsung diam seketika.
“Asal apa, Dam?” Tanya gua ke Adam, memintanya untuk melanjutkan kalimatnya yang sempat tertunda.
Penuh keraguan, Adam melirik ke arah Ketu sebelum mulai bicara. Gua yang menyadari hal itu lantas mencoba meyakinkannya; “Ngomong aja, Dam. Nggak usah takut…”
Adam lantas berdiri dari duduknya, mendekat ke arah gua dan bicara sambil berbisik.
“Jadi gini mas, Mas Marshall bisa bikin acara ‘propose’ di sini. Bikin aja candle light dinner sederhana, di atas, di rooftop” Ucapnya.
“...”
“... Tapi, ide itu mau dipake sama Mas Ketu duluan” Adam menambahkan.
Selesai mendengar penjelasan Adam, gua lantas berpaling ke arah Ketu yang kini pasang tampang khawatir, kemudian kembali ke Adam dan bicara padanya sambil berbisik; “Yaudah gua mau pake cara itu aja, urusan Ketu biar gua yang ngurus”
Akhirnya setelah perdebatan ‘rebutan’ ide lamaran dengan Ketu. Ia pun akhirnya mengalah; “Nih gua kasih duit buat ngelamar Nina di tempat lain…”
“Siaap!!” Serunya sambil nyengir.
“Lagian emang lo udah mau ngelamar Nina juga?” Tanya gua ke Ketu.
“Nggak, belum, masih lama…”
“Ya terus kenapa gua nggak boleh pake ide sama tempatnya?” Tanya gua lagi.
“Ya, nanti aku disangka plagiat ide mu dong” Jawabnya.
“Oh… Oiya, Tu. Emang di rumah ini ada rooftopnya?” Gua bertanya ke Ketu perihal lokasi yang kami bicarakan sebelumnya.
“Ada. Nina yang ngasih tau…”
“Lewat mana?”
Ketu lantas menarik tangan gua, mengajak ke bagian belakang lantai dua rumah. Terdapat sebuah pintu yang mengarah ke balkon belakang. Dengan sedikit tenaga, ia mendorong pintu tersebut yang disusul suara berdecit kemudian terbuka. Terlihat area balkon sempit yang mungkin hanya seukuran 1x1,5 meter dengan sebuah tangga besi permanen pada bagian dindingnya. Ketu lantas naik ke atas dengan menggunakan tangga tersebut, gua lalu menyusulnya.
Di atas, nggak ada apapun di tempat yang Ketu sebut sebagai rooftop ini. Hanya terlihat cor-coran lantai tak beratap yang kotor dan berlumut, sedangkan di salah satu sudut dekat tangga tempat kami naik barusan terdapat tandon air berukuran besar.
“Bawa meja sama kursi makan kesini gimana caranya?” Tanya gua ke Ketu.
“Mbuh”
“Terus masa gua ngajak Poppy naik tangga curam begitu?” Tanya gua lagi, kali ini sambil menunjuk ke arah tangga besi.
“Ya tinggal naik aja” Ketu menjawab asal.
Muncul keraguan dari dalam hati untuk melamar Poppy di sini. Tapi, membayangkan lokasi ini setelah dibersihkan dan diberi sedikit dekorasi, gua rasa tempat ini bakal jadi tempat yang romantis dan spesial.
“Ini tinggal di bersihkan, terus dikasih lampu-lampu ala kafe-kafe kekinian ngono lho, sal” Ketu menambahkan, yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
“... Nanti tak suruh bantuin anak-anak buat bersihin deh” Tambahnya.
“Nggak usah, ngerepotin. Nanti gua sendiri aja yang bersihin” Jawab gua. Nggak mau membebani yang lain untuk mengerjakan sesuatu diluar jobdesk mereka.
“Tapi kan..”
“Paling gua minta tolong buat beliin lampu-lampunya aja, Tu” Gua bicara, memotong kalimatnya yang belum selesai.
“Oh, yowis…”
Nggak menunggu lama, besoknya, selepas bekerja, dengan berbekal cangkul, sendok semen hasil meminjam dari keluarganya Nina dan lampu emergency, gua mulai membersihkan area rooftop. Baru sebentar gua membersihkan area lantai, Ketu, Adam dan Andika menyusul naik. Masing-masing membawa perkakas apapun yang tersedia yang diambil dari dapur dan tanpa banyak bicara mulai membantu gua.
Dengan bantuan dari mereka bertiga, pekerjaan bersih-bersih rooftop menjadi cepat selesai dalam sekejap. Hanya butuh waktu kurang dari dua jam untuk kami berempat membersihkan area tersebut sampai benar-benar kinclong.
Kini kami duduk berempat mengelilingi lampu emergency yang berpendar semakin redup karena baterainya yang hampir habis. Sama-sama menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok, seraya bertukar cerita pengalaman selama di penjara. Hanya saja, Ketu yang diam sambil melongo mendengar cerita kami bertiga.
“Lampunya udah dibeli, Tu?” Tanya gua ke Ketu, merujuk ke lampu bohlam gantung yang nanti bakal dipasang pada dua dinding milik tetangga sebelah.
“Besok” Jawabnya singkat.
Setelah merasa angin luar semakin terasa dingin dan jahat, kami memutuskan untuk kembali turun ke bawah; takut masuk angin.
Besoknya.
Gua tengah mengerjakan salah satu ilustrasi medis, sementara Poppy duduk di sebelah gua; mengerjakan hal yang sama. Matanya fokus menatap ke arah layar monitor, tangan kanannya yang menggenggam pensil digital menari di atas tablet gambar, sementara tangan kirinya berada di keyboard, tepat di atas tombol spasi yang biasa ia gunakan untuk menggeser kanvas.
“Sibuk?” Tanya gua sambil bertopang dagu, tersenyum dan menatapnya.
Tanpa memalingkan wajah dari layar monitor ia mengangguk pelan.
“Mau makan siang apa?” Tanya gua lagi.
Masih tanpa memalingkan wajah dari layar monitor ia mengangkat tangan kirinya, menempelkan jari telunjuk di depan bibir; “Ssstt…”
Gua berdiri, bersiap ke luar untuk merokok. Di saat yang sama, Ketu terlihat baru saja masuk ke dalam, dengan bahunya ia mendorong pintu karena kedua tangannya sibuk memegang sebuah kardus berukuran besar.
“Apaan tuh?” Tanya gua.
“Lampu” Jawabnya singkat, kemudian masuk dan langsung membawanya ke lantai dua.
Gua membatalkan rencana merokok di teras dan menyusul Ketu ke atas; mengecek lampu yang baru saja dibeli olehnya.
“Ini tinggal di colok doang kan, Tu?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah lampu dan kabel-kabel yang sudah menjadi satu di dalam kardus.
“Ho oh, Tadi pagi Adam wis masang soket karo saklar” Jawabnya seraya menunjuk ke arah atas.
“Yaudah taro situ aja, nanti gua pasang sendiri”
“Oke”
Menjelang makan siang, gua sengaja pergi keluar dengan alasan ingin membeli makanan. “Tumben?” Tanya Poppy sambil pasang tampang curiga.
“Ya lagi pengen aja” Jawab gua singkat sambil memakai helm.
“Gua ikut” Ucapnya.
“Nggak usah. Panas”
“Gapapa…”
“Nggak usah, Pop”
Poppy lantas menghentakkan kakinya ke lantai; Merajuk. Ia lalu kembali masuk ke dalam, duduk di meja kerjanya, memasang headphone dan menatap layar laptop. Sementara, gua nggak menggubris amarahnya dan kembali bersiap lalu pergi.
Setengah jam berikutnya gua sudah berada di ITC BSD Serpong. Berkeliling lorong dengan banyak toko yang berjejer, mendengar tawaran pramuniaga yang saling bersahutan; “Boleh kaka, cari apa?”, “Boleh HP-nya Kak”. Gua mengabaikan tawaran dari mereka sambil tersenyum dan terus berjalan.
Langkah gua lalu berhenti tepat di depan sebuah toko yang menjual aneka perhiasan emas. “Boleh kak, liat-liat dulu” Ucap si pria setengah baya yang sepertinya pemilik toko.
Gua mendekat ke arah etalase kaca yang didalamnya banyak berjejer berbagai jenis perhiasan emas. Mata gua langsung tertuju ke sebuah cincin emas tanpa motif dengan sebuah permata kecil di bagian tengahnya. Tanpa banyak pertimbangan, gua menunjuk ke arah cincin tersebut.
“Boleh liat yang itu” Ucap gua pelan.
Pria pemilik toko lalu membuka etalase dari sisi dalam dan mengambil cincin yang gua maksud, lalu menyerahkannya ke gua.
“Buat, lamaran?” Tanyanya.
“Iya” Jawab gua singkat.
“Harus sepasang dong, kak” Ucapnya seraya mengambil satu lagi cincin dengan motif sejenis.
Gua menggeleng dan memberi jawaban kalau hanya butuh satu cincin saja; “Nggak usah, Koh. Satu aja… Saya nggak pake cincin”
“Lho, kenapa?” Tanyanya.
“Nggak betah” Gua memberi alasan. Iya, gua merasa aneh saat ada sesuatu ‘benda asing’ yang melingkar di jari. Ada sensasi rasa gatal dan nggak nyaman, rasa yang sulit dijelaskan.
Setelah melihat-lihat beberapa jenis cincin dengan berbagai motif yang berbeda, akhirnya gua memutuskan untuk membeli cincin pilihan pertama gua. Dan menurut si pria pemilik toko, jika ingin ukuran custom, maka harus melalui proses pemesanan yang mana gua harus menunggu sekitar 2 sampai 3 hari.
“Udah, itu aja gapapa” Ucap gua sambil menyelesaikan pembayaran. Merasa kalau cincin tersebut pasti pas di jari manisnya.
Agar semakin meyakinkan dan Poppy nggak menaruh curiga. Gua sengaja mampir ke toko frame dan toko kertas untuk membeli beberapa barang, lalu ke rumah makan padang membeli beberapa bungkus nasi dan kembali ke studio.
Di studio, Poppy masih terlihat duduk di meja kerjanya. Masih belum bergerak dari tempatnya, duduk sambil menatap layar laptop dengan headphone di kedua telinganya. Ia melirik, begitu gua masuk ke dalam kemudian dengan cepat kembali berpaling saat tau gua juga tengah menatapnya.
“Makan dulu…” Ucap gua seraya meletakkan satu bungkus nasi padang di atas meja kerjanya. Poppy nggak merespon, ia tetap diam sambil menonton serial favoritnya.
“Makan dulu, Pop” Gua menambahkan. Lalu membuka bungkusan nasi miliknya.
Poppy menoleh ke gua, melepas headphone dan menghela nafas; “Lo dari mana?”
“Beli kertas sama frame” Gua menjawab seraya menunjuk ke arah tumpukan kertas dan frame yang tergeletak di meja sudut ruangan.
“Kenapa gua nggak boleh ikut?” Tanyanya lagi.
“Panas, Pop” Jawab gua.
“Halah, alesan…”
“Biasanya beli kertas juga gua ikut”
“Ya biasanya kan nggak panas kayak sekarang” Jawab gua beralasan.
Mendengar alasan gua barusan, Poppy kembali menghela nafas panjang. Ia lalu berdiri, menuju ke dapur untuk mencuci tangan, duduk dan mulai makan.
Dengan mulut penuh makanan, ia menoleh ke arah gua lalu bertanya; “Lo nggak makan?”
“Nanti aja” Jawab gua sambil tersenyum dan terus memandangi wajahnya yang tengah makan.
“Nanti, nanti, makan sekarang. Ntar sakit…” Serunya sambil pasang tampang sangar.
Gua lantas mengangguk, meraih salah satu bungkusan nasi padang, menyerahkan sisanya ke yang lain, lalu kembali duduk di sebelah Poppy dan mulai makan.
Poppy ini salah satu tipikal wanita yang ‘hard to please’ kalau kita nggak benar-benar mengenalnya. Padahal, ia bisa dengan mudah merasa happy dan keluar dari kesedihan hanya dengan diajak makan. Dan tentu saja nggak perlu makanan mahal untuk membuatnya gembira.
Menjelang sore, selepas Poppy pulang, gua langsung bergegas ke atas, ke rooftop untuk memasang lampu yang tadi dibeli Ketu. Adam dan Andika mengikuti gua ke atas, ingin membantu, padahal gua sudah bilang ke mereka ingin melakukan ini sendiri, nggak mau merepotkan. Tapi, keduanya memaksa.
“Ah, daripada bengong” Ujarnya.
Kami bertiga mulai memasang lampu, salah satu ujung kabel dipasang Adam di tembok luar milik tetangga, sementara ujung satunya lagi dipasang di sisi sebelah kiri rumah; juga di tembok luar milik tetangga. Kebetulan, rumah kontrakan ini diapit oleh dua bangunan berlantai tiga.
Saat semua hampir saja selesai, ponsel milik Andika berdering. Ia menjawabnya dan langsung memanggil Adam. Rupanya, Ketu yang menelpon, memberi kabar kalau mereka berdua diminta menyusul Ketu ke sebuah Mall yang khusus menjual aneka perabotan yang terletak di bilangan Alam Sutera.
“Di suruh gotong lemari…” Seru Andika.
“Yaudah sana, tinggal aja…” Ucap gua ke mereka berdua yang lalu pergi.
Gua beristirahat sejenak sebelum melanjutkan memasang lampu, duduk sambil menatap ke arah langit yang mulai memerah, sementara sinar matahari perlahan menghilang dan gelap gulita. Di dalam kegelapan, Gua merogoh saku celana, mengambil sebuah kotak berlapis beludru berwarna merah berisi cincin untuk Poppy yang baru saja gua beli tadi siang.
Saat tengah memandangi cincin di dalam kotak tersebut, terlihat sebuah bayangan berdiri tepat di belakang gua yang tengah duduk.
Gua menoleh dan mendapati Poppy berdiri, ia baru saja menaiki tangga dan menatap sekeliling.
“Ngapain gelap-gelapan?” Tanyanya
“...”
“... Baru tau gua, nih tempat ada rooftop nya…” Tambahnya.
Saat menyadari ada lampu-lampu yang terpasang di sana, ia mulai menelusuri kabel dan melihat ujung stop kontak yang sengaja belum gua pasang. Poppy mendekat dan langsung menyambungkan colokan lampu ke stop kontak.
Seketika, lampu-lampu bohlam yang menggantung, menyala satu persatu, membuat area rooftop yang sebelumnya gelap kini mulai bercahaya.
Poppy melompat dan bersorak, kagum dengan apa yang dilihatnya.
Sementara, gua yang tenggelam dalam lamunan sambil menatapnya tertawa dan bergembira, mulai lupa untuk menyembunyikan kotak berisi cincin untuknya.
Karena kondisi sudah terang, Poppy dengan cepat menyadari keberadaan cincin tersebut yang berada di tangan gua. Ia mendekat, membungkuk lalu menatap ke arah cincin.
“Punya siapa?” Tanyanya, seraya menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ekspresi wajahnya nampak kaget dan nggak percaya.
Di sisi lain, gua mulai menghela nafas panjang. Nggak habis pikir gimana jadinya kalau rencana ini gagal. ‘Masa iya ngelamar aja harus sampe diulang dua kali?’ batin gua dalam hati.
“Buat lo” Jawab gua seraya menyerahkan kotak berisi cincin tersebut kepadanya.
Poppy lalu duduk tepat di sebelah gua, sambil tersenyum, ia terus memandang cincin tersebut.
“Tadinya gua mau bikin surprise” Gua mulai buka suara.
“Buat ngelamar gua?” Tanyanya, tanpa berpaling dari cincin.
“Iya..”
“Ini? Di Sini?” Tanyanya lagi, kini seraya menatap ke arah lampu-lampu yang terpasang.
“Iya…”
“Kapan?”
“Rencananya sih Besok”
“Terus?”
“Ya lo udah kesini duluan, cincinnya juga udah lo pake tuh…” Ucap gua seraya menunjuk ke arah cincin yang kini sudah berada di jari manisnya. Sesuai dengan tebakan gua; pas di jarinya.
Poppy membentangkan jemarinya, menatapnya sambil tersenyum. Ia lalu menoleh ke arah gua dan bicara; “Makasih ya, Sal”
“Iya, sama-sama. Sekarang, lo udah mau kan?” Tanya gua.
“Mau apa?” Ia balik bertanya.
“Nikah sama gua?”
Poppy terdiam sejenak. Lalu memutar tubuhnya, yang kini membuat kami berdua duduk berhadapan. Kemudian ia meletakkan tangan kirinya, dimana cincin barunya terpasang di atas genggaman gua. “Iya, Sal.. Gua mau. Mau banget” Ucapnya sambil tersenyum.
Tanpa aba-aba, Poppy lantas memberikan pelukan.
“Sekali lagi makasih ya, Sal” Ucapnya pelan.
“Gua kali yang harusnya bilang makasih ke lo” Balas gua.
Poppy nggak merespon. Ia kembali menggeser duduknya, kini kepalanya ia rebahkan di bahu gua. Kami sama-sama menatap ke atas, ke langit yang penuh bintang dan tenggelam dalam diam.
“Kalo di Jakarta kenapa bintang nggak sebanyak ini ya” Tanya Poppy seraya menatap ke arah langit.
“Polusi cahaya, di Jakarta terlalu banyak lampu jalan, gedung, billboard, dan sumber cahaya lain. Bikin langit jadi terang dan bintang-bintang yang redup nggak kelihatan…” Jawab gua, menyadur dari buku yang pernah gua baca.
“Jadi sebenarnya di Jakarta, bintang-bintang juga sebanyak ini ya. Tapi, nggak keliatan aja?”
“Iya, kayaknya…” Jawab gua, menebak.
Setelahnya, nggak ada kata-kata yang terucap. Kami kembali tenggelam dalam diam sambil saling berpegangan tangan.
—
Beberapa hari setelah prosesi lamaran yang terjadi begitu saja, kami berdua mulai mempersiapkan acara pernikahan. Mulai dari mencari gedung untuk resepsi, memilih katering, menyortir tamu undangan hingga mempersiapkan rencana bulan madu. Semua berjalan mulus dan hampir nggak ada kendala. Tentu saja dengan mengesampingkan ribetnya kedua orang tua kami yang selalu ingin dilibatkan dalam segala hal.
Tapi, sekali lagi. Manusia hanya bisa berkehendak, sementara Tuhan yang mengurus sisanya.
Malam itu, ponsel gua berdering tanpa henti. Gua yang masih berdiri, merokok di balkon apartemen lalu masuk ke dalam dan melirik ke arah layar ponsel yang menampilkan nama nyokap.
“Halo, ya Mah” Sapa gua.
“Sal.. Sal.. Liat berita nggak?” Tanyanya, dengan nada suara yang terdengar sedikit panik.
“Nggak, Mah.. kenapa?” Gua balik bertanya. Kemudian meraih remot dan mulai menyalakan televisi.
“Coba nyalain” Titahnya.
“Ini lagi dinyalain. Channel apa, Mah?” Tanya gua lagi.
“Channel apa aja, beritanya sama semua” Jawab nyokap, masih dengan nada suara yang sama.
Layar televisi berpendar sesaat, kemudian menampilkan breaking news yang berisi tentang kasus pertama penyebaran virus Covid di Indonesia.
“Sal… Jangan kemana-mana dulu ya” Nyokap menambahkan.
“Iya…” Jawab gua.
“Nanti Mamah kirimin, masker, hand sanitizer sama vitamin buat kamu ya..” Ucapnya
“Iya, Mah” Jawab gua lagi.
Di momen ini, gua merasa kalau ke khawatiran nyokap terlalu berlebihan. Tapi ternyata gua salah.
—
“Halah, mbok yo sing biasa-biasa wae” Gumam Ketu.
“Lha, ya orangnya nggak mau. Kemaren gua ngomong di tukang bakso, kurang biasa apa coba?” Gua bicara, mengeluh kepadanya.
Akhirnya, Ketu memanggil Nina, Adam dan Andika untuk turut serta menyumbangkan ide. Tentu saja tanpa sepengetahuan Poppy yang sama sekali nggak menaruh curiga ketika kami semua ngobrol diam-diam tanpa mengajaknya turut serta. Atau, bisa saja ia sudah tau akan hal ini tapi sengaja berpura-pura untuk menjaga elemen kejutan? Entahlah.
Atas saran dari Nina, Adam dan Andika, akhirnya kami sepakat untuk melamar Poppy di sebuah restoran yang berada di pusat kota Jakarta. Gua tentu saja menolak lokasi restoran yang diajukan, selain karena jauh, gua merasa restoran sepertinya kelewat formal dan mewah.
“Lah terus mau dimana?” Tanya Nina.
“Di sini aja emang nggak bisa?” Gua balik bertanya, sambil menunjuk ke bawah, ke rumah kontrakan yang saat ini kami gunakan sebagai studio, sebagai tempat kerja.
“Yah, masa disini sih, kak. Nggak jauh beda sama di tukang bakso dong” Nina memberi respon yang kemudian langsung diamini oleh Ketu dan yang lainnya.
“...”
“Bisa sih di sini Mas, asal…” Adam bicara, ikut nimbrung memberikan ide.
Namun, belum selesai ia bicara, Ketu sudah memberi tatapan tajam ke arahnya, membuat Adam langsung diam seketika.
“Asal apa, Dam?” Tanya gua ke Adam, memintanya untuk melanjutkan kalimatnya yang sempat tertunda.
Penuh keraguan, Adam melirik ke arah Ketu sebelum mulai bicara. Gua yang menyadari hal itu lantas mencoba meyakinkannya; “Ngomong aja, Dam. Nggak usah takut…”
Adam lantas berdiri dari duduknya, mendekat ke arah gua dan bicara sambil berbisik.
“Jadi gini mas, Mas Marshall bisa bikin acara ‘propose’ di sini. Bikin aja candle light dinner sederhana, di atas, di rooftop” Ucapnya.
“...”
“... Tapi, ide itu mau dipake sama Mas Ketu duluan” Adam menambahkan.
Selesai mendengar penjelasan Adam, gua lantas berpaling ke arah Ketu yang kini pasang tampang khawatir, kemudian kembali ke Adam dan bicara padanya sambil berbisik; “Yaudah gua mau pake cara itu aja, urusan Ketu biar gua yang ngurus”
Akhirnya setelah perdebatan ‘rebutan’ ide lamaran dengan Ketu. Ia pun akhirnya mengalah; “Nih gua kasih duit buat ngelamar Nina di tempat lain…”
“Siaap!!” Serunya sambil nyengir.
“Lagian emang lo udah mau ngelamar Nina juga?” Tanya gua ke Ketu.
“Nggak, belum, masih lama…”
“Ya terus kenapa gua nggak boleh pake ide sama tempatnya?” Tanya gua lagi.
“Ya, nanti aku disangka plagiat ide mu dong” Jawabnya.
“Oh… Oiya, Tu. Emang di rumah ini ada rooftopnya?” Gua bertanya ke Ketu perihal lokasi yang kami bicarakan sebelumnya.
“Ada. Nina yang ngasih tau…”
“Lewat mana?”
Ketu lantas menarik tangan gua, mengajak ke bagian belakang lantai dua rumah. Terdapat sebuah pintu yang mengarah ke balkon belakang. Dengan sedikit tenaga, ia mendorong pintu tersebut yang disusul suara berdecit kemudian terbuka. Terlihat area balkon sempit yang mungkin hanya seukuran 1x1,5 meter dengan sebuah tangga besi permanen pada bagian dindingnya. Ketu lantas naik ke atas dengan menggunakan tangga tersebut, gua lalu menyusulnya.
Di atas, nggak ada apapun di tempat yang Ketu sebut sebagai rooftop ini. Hanya terlihat cor-coran lantai tak beratap yang kotor dan berlumut, sedangkan di salah satu sudut dekat tangga tempat kami naik barusan terdapat tandon air berukuran besar.
“Bawa meja sama kursi makan kesini gimana caranya?” Tanya gua ke Ketu.
“Mbuh”
“Terus masa gua ngajak Poppy naik tangga curam begitu?” Tanya gua lagi, kali ini sambil menunjuk ke arah tangga besi.
“Ya tinggal naik aja” Ketu menjawab asal.
Muncul keraguan dari dalam hati untuk melamar Poppy di sini. Tapi, membayangkan lokasi ini setelah dibersihkan dan diberi sedikit dekorasi, gua rasa tempat ini bakal jadi tempat yang romantis dan spesial.
“Ini tinggal di bersihkan, terus dikasih lampu-lampu ala kafe-kafe kekinian ngono lho, sal” Ketu menambahkan, yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
“... Nanti tak suruh bantuin anak-anak buat bersihin deh” Tambahnya.
“Nggak usah, ngerepotin. Nanti gua sendiri aja yang bersihin” Jawab gua. Nggak mau membebani yang lain untuk mengerjakan sesuatu diluar jobdesk mereka.
“Tapi kan..”
“Paling gua minta tolong buat beliin lampu-lampunya aja, Tu” Gua bicara, memotong kalimatnya yang belum selesai.
“Oh, yowis…”
Nggak menunggu lama, besoknya, selepas bekerja, dengan berbekal cangkul, sendok semen hasil meminjam dari keluarganya Nina dan lampu emergency, gua mulai membersihkan area rooftop. Baru sebentar gua membersihkan area lantai, Ketu, Adam dan Andika menyusul naik. Masing-masing membawa perkakas apapun yang tersedia yang diambil dari dapur dan tanpa banyak bicara mulai membantu gua.
Dengan bantuan dari mereka bertiga, pekerjaan bersih-bersih rooftop menjadi cepat selesai dalam sekejap. Hanya butuh waktu kurang dari dua jam untuk kami berempat membersihkan area tersebut sampai benar-benar kinclong.
Kini kami duduk berempat mengelilingi lampu emergency yang berpendar semakin redup karena baterainya yang hampir habis. Sama-sama menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok, seraya bertukar cerita pengalaman selama di penjara. Hanya saja, Ketu yang diam sambil melongo mendengar cerita kami bertiga.
“Lampunya udah dibeli, Tu?” Tanya gua ke Ketu, merujuk ke lampu bohlam gantung yang nanti bakal dipasang pada dua dinding milik tetangga sebelah.
“Besok” Jawabnya singkat.
Setelah merasa angin luar semakin terasa dingin dan jahat, kami memutuskan untuk kembali turun ke bawah; takut masuk angin.
Besoknya.
Gua tengah mengerjakan salah satu ilustrasi medis, sementara Poppy duduk di sebelah gua; mengerjakan hal yang sama. Matanya fokus menatap ke arah layar monitor, tangan kanannya yang menggenggam pensil digital menari di atas tablet gambar, sementara tangan kirinya berada di keyboard, tepat di atas tombol spasi yang biasa ia gunakan untuk menggeser kanvas.
“Sibuk?” Tanya gua sambil bertopang dagu, tersenyum dan menatapnya.
Tanpa memalingkan wajah dari layar monitor ia mengangguk pelan.
“Mau makan siang apa?” Tanya gua lagi.
Masih tanpa memalingkan wajah dari layar monitor ia mengangkat tangan kirinya, menempelkan jari telunjuk di depan bibir; “Ssstt…”
Gua berdiri, bersiap ke luar untuk merokok. Di saat yang sama, Ketu terlihat baru saja masuk ke dalam, dengan bahunya ia mendorong pintu karena kedua tangannya sibuk memegang sebuah kardus berukuran besar.
“Apaan tuh?” Tanya gua.
“Lampu” Jawabnya singkat, kemudian masuk dan langsung membawanya ke lantai dua.
Gua membatalkan rencana merokok di teras dan menyusul Ketu ke atas; mengecek lampu yang baru saja dibeli olehnya.
“Ini tinggal di colok doang kan, Tu?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah lampu dan kabel-kabel yang sudah menjadi satu di dalam kardus.
“Ho oh, Tadi pagi Adam wis masang soket karo saklar” Jawabnya seraya menunjuk ke arah atas.
“Yaudah taro situ aja, nanti gua pasang sendiri”
“Oke”
Menjelang makan siang, gua sengaja pergi keluar dengan alasan ingin membeli makanan. “Tumben?” Tanya Poppy sambil pasang tampang curiga.
“Ya lagi pengen aja” Jawab gua singkat sambil memakai helm.
“Gua ikut” Ucapnya.
“Nggak usah. Panas”
“Gapapa…”
“Nggak usah, Pop”
Poppy lantas menghentakkan kakinya ke lantai; Merajuk. Ia lalu kembali masuk ke dalam, duduk di meja kerjanya, memasang headphone dan menatap layar laptop. Sementara, gua nggak menggubris amarahnya dan kembali bersiap lalu pergi.
Setengah jam berikutnya gua sudah berada di ITC BSD Serpong. Berkeliling lorong dengan banyak toko yang berjejer, mendengar tawaran pramuniaga yang saling bersahutan; “Boleh kaka, cari apa?”, “Boleh HP-nya Kak”. Gua mengabaikan tawaran dari mereka sambil tersenyum dan terus berjalan.
Langkah gua lalu berhenti tepat di depan sebuah toko yang menjual aneka perhiasan emas. “Boleh kak, liat-liat dulu” Ucap si pria setengah baya yang sepertinya pemilik toko.
Gua mendekat ke arah etalase kaca yang didalamnya banyak berjejer berbagai jenis perhiasan emas. Mata gua langsung tertuju ke sebuah cincin emas tanpa motif dengan sebuah permata kecil di bagian tengahnya. Tanpa banyak pertimbangan, gua menunjuk ke arah cincin tersebut.
“Boleh liat yang itu” Ucap gua pelan.
Pria pemilik toko lalu membuka etalase dari sisi dalam dan mengambil cincin yang gua maksud, lalu menyerahkannya ke gua.
“Buat, lamaran?” Tanyanya.
“Iya” Jawab gua singkat.
“Harus sepasang dong, kak” Ucapnya seraya mengambil satu lagi cincin dengan motif sejenis.
Gua menggeleng dan memberi jawaban kalau hanya butuh satu cincin saja; “Nggak usah, Koh. Satu aja… Saya nggak pake cincin”
“Lho, kenapa?” Tanyanya.
“Nggak betah” Gua memberi alasan. Iya, gua merasa aneh saat ada sesuatu ‘benda asing’ yang melingkar di jari. Ada sensasi rasa gatal dan nggak nyaman, rasa yang sulit dijelaskan.
Setelah melihat-lihat beberapa jenis cincin dengan berbagai motif yang berbeda, akhirnya gua memutuskan untuk membeli cincin pilihan pertama gua. Dan menurut si pria pemilik toko, jika ingin ukuran custom, maka harus melalui proses pemesanan yang mana gua harus menunggu sekitar 2 sampai 3 hari.
“Udah, itu aja gapapa” Ucap gua sambil menyelesaikan pembayaran. Merasa kalau cincin tersebut pasti pas di jari manisnya.
Agar semakin meyakinkan dan Poppy nggak menaruh curiga. Gua sengaja mampir ke toko frame dan toko kertas untuk membeli beberapa barang, lalu ke rumah makan padang membeli beberapa bungkus nasi dan kembali ke studio.
Di studio, Poppy masih terlihat duduk di meja kerjanya. Masih belum bergerak dari tempatnya, duduk sambil menatap layar laptop dengan headphone di kedua telinganya. Ia melirik, begitu gua masuk ke dalam kemudian dengan cepat kembali berpaling saat tau gua juga tengah menatapnya.
“Makan dulu…” Ucap gua seraya meletakkan satu bungkus nasi padang di atas meja kerjanya. Poppy nggak merespon, ia tetap diam sambil menonton serial favoritnya.
“Makan dulu, Pop” Gua menambahkan. Lalu membuka bungkusan nasi miliknya.
Poppy menoleh ke gua, melepas headphone dan menghela nafas; “Lo dari mana?”
“Beli kertas sama frame” Gua menjawab seraya menunjuk ke arah tumpukan kertas dan frame yang tergeletak di meja sudut ruangan.
“Kenapa gua nggak boleh ikut?” Tanyanya lagi.
“Panas, Pop” Jawab gua.
“Halah, alesan…”
“Biasanya beli kertas juga gua ikut”
“Ya biasanya kan nggak panas kayak sekarang” Jawab gua beralasan.
Mendengar alasan gua barusan, Poppy kembali menghela nafas panjang. Ia lalu berdiri, menuju ke dapur untuk mencuci tangan, duduk dan mulai makan.
Dengan mulut penuh makanan, ia menoleh ke arah gua lalu bertanya; “Lo nggak makan?”
“Nanti aja” Jawab gua sambil tersenyum dan terus memandangi wajahnya yang tengah makan.
“Nanti, nanti, makan sekarang. Ntar sakit…” Serunya sambil pasang tampang sangar.
Gua lantas mengangguk, meraih salah satu bungkusan nasi padang, menyerahkan sisanya ke yang lain, lalu kembali duduk di sebelah Poppy dan mulai makan.
Poppy ini salah satu tipikal wanita yang ‘hard to please’ kalau kita nggak benar-benar mengenalnya. Padahal, ia bisa dengan mudah merasa happy dan keluar dari kesedihan hanya dengan diajak makan. Dan tentu saja nggak perlu makanan mahal untuk membuatnya gembira.
Menjelang sore, selepas Poppy pulang, gua langsung bergegas ke atas, ke rooftop untuk memasang lampu yang tadi dibeli Ketu. Adam dan Andika mengikuti gua ke atas, ingin membantu, padahal gua sudah bilang ke mereka ingin melakukan ini sendiri, nggak mau merepotkan. Tapi, keduanya memaksa.
“Ah, daripada bengong” Ujarnya.
Kami bertiga mulai memasang lampu, salah satu ujung kabel dipasang Adam di tembok luar milik tetangga, sementara ujung satunya lagi dipasang di sisi sebelah kiri rumah; juga di tembok luar milik tetangga. Kebetulan, rumah kontrakan ini diapit oleh dua bangunan berlantai tiga.
Saat semua hampir saja selesai, ponsel milik Andika berdering. Ia menjawabnya dan langsung memanggil Adam. Rupanya, Ketu yang menelpon, memberi kabar kalau mereka berdua diminta menyusul Ketu ke sebuah Mall yang khusus menjual aneka perabotan yang terletak di bilangan Alam Sutera.
“Di suruh gotong lemari…” Seru Andika.
“Yaudah sana, tinggal aja…” Ucap gua ke mereka berdua yang lalu pergi.
Gua beristirahat sejenak sebelum melanjutkan memasang lampu, duduk sambil menatap ke arah langit yang mulai memerah, sementara sinar matahari perlahan menghilang dan gelap gulita. Di dalam kegelapan, Gua merogoh saku celana, mengambil sebuah kotak berlapis beludru berwarna merah berisi cincin untuk Poppy yang baru saja gua beli tadi siang.
Saat tengah memandangi cincin di dalam kotak tersebut, terlihat sebuah bayangan berdiri tepat di belakang gua yang tengah duduk.
Gua menoleh dan mendapati Poppy berdiri, ia baru saja menaiki tangga dan menatap sekeliling.
“Ngapain gelap-gelapan?” Tanyanya
“...”
“... Baru tau gua, nih tempat ada rooftop nya…” Tambahnya.
Saat menyadari ada lampu-lampu yang terpasang di sana, ia mulai menelusuri kabel dan melihat ujung stop kontak yang sengaja belum gua pasang. Poppy mendekat dan langsung menyambungkan colokan lampu ke stop kontak.
Seketika, lampu-lampu bohlam yang menggantung, menyala satu persatu, membuat area rooftop yang sebelumnya gelap kini mulai bercahaya.
Poppy melompat dan bersorak, kagum dengan apa yang dilihatnya.
Sementara, gua yang tenggelam dalam lamunan sambil menatapnya tertawa dan bergembira, mulai lupa untuk menyembunyikan kotak berisi cincin untuknya.
Karena kondisi sudah terang, Poppy dengan cepat menyadari keberadaan cincin tersebut yang berada di tangan gua. Ia mendekat, membungkuk lalu menatap ke arah cincin.
“Punya siapa?” Tanyanya, seraya menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ekspresi wajahnya nampak kaget dan nggak percaya.
Di sisi lain, gua mulai menghela nafas panjang. Nggak habis pikir gimana jadinya kalau rencana ini gagal. ‘Masa iya ngelamar aja harus sampe diulang dua kali?’ batin gua dalam hati.
“Buat lo” Jawab gua seraya menyerahkan kotak berisi cincin tersebut kepadanya.
Poppy lalu duduk tepat di sebelah gua, sambil tersenyum, ia terus memandang cincin tersebut.
“Tadinya gua mau bikin surprise” Gua mulai buka suara.
“Buat ngelamar gua?” Tanyanya, tanpa berpaling dari cincin.
“Iya..”
“Ini? Di Sini?” Tanyanya lagi, kini seraya menatap ke arah lampu-lampu yang terpasang.
“Iya…”
“Kapan?”
“Rencananya sih Besok”
“Terus?”
“Ya lo udah kesini duluan, cincinnya juga udah lo pake tuh…” Ucap gua seraya menunjuk ke arah cincin yang kini sudah berada di jari manisnya. Sesuai dengan tebakan gua; pas di jarinya.
Poppy membentangkan jemarinya, menatapnya sambil tersenyum. Ia lalu menoleh ke arah gua dan bicara; “Makasih ya, Sal”
“Iya, sama-sama. Sekarang, lo udah mau kan?” Tanya gua.
“Mau apa?” Ia balik bertanya.
“Nikah sama gua?”
Poppy terdiam sejenak. Lalu memutar tubuhnya, yang kini membuat kami berdua duduk berhadapan. Kemudian ia meletakkan tangan kirinya, dimana cincin barunya terpasang di atas genggaman gua. “Iya, Sal.. Gua mau. Mau banget” Ucapnya sambil tersenyum.
Tanpa aba-aba, Poppy lantas memberikan pelukan.
“Sekali lagi makasih ya, Sal” Ucapnya pelan.
“Gua kali yang harusnya bilang makasih ke lo” Balas gua.
Poppy nggak merespon. Ia kembali menggeser duduknya, kini kepalanya ia rebahkan di bahu gua. Kami sama-sama menatap ke atas, ke langit yang penuh bintang dan tenggelam dalam diam.
“Kalo di Jakarta kenapa bintang nggak sebanyak ini ya” Tanya Poppy seraya menatap ke arah langit.
“Polusi cahaya, di Jakarta terlalu banyak lampu jalan, gedung, billboard, dan sumber cahaya lain. Bikin langit jadi terang dan bintang-bintang yang redup nggak kelihatan…” Jawab gua, menyadur dari buku yang pernah gua baca.
“Jadi sebenarnya di Jakarta, bintang-bintang juga sebanyak ini ya. Tapi, nggak keliatan aja?”
“Iya, kayaknya…” Jawab gua, menebak.
Setelahnya, nggak ada kata-kata yang terucap. Kami kembali tenggelam dalam diam sambil saling berpegangan tangan.
—
Beberapa hari setelah prosesi lamaran yang terjadi begitu saja, kami berdua mulai mempersiapkan acara pernikahan. Mulai dari mencari gedung untuk resepsi, memilih katering, menyortir tamu undangan hingga mempersiapkan rencana bulan madu. Semua berjalan mulus dan hampir nggak ada kendala. Tentu saja dengan mengesampingkan ribetnya kedua orang tua kami yang selalu ingin dilibatkan dalam segala hal.
Tapi, sekali lagi. Manusia hanya bisa berkehendak, sementara Tuhan yang mengurus sisanya.
Malam itu, ponsel gua berdering tanpa henti. Gua yang masih berdiri, merokok di balkon apartemen lalu masuk ke dalam dan melirik ke arah layar ponsel yang menampilkan nama nyokap.
“Halo, ya Mah” Sapa gua.
“Sal.. Sal.. Liat berita nggak?” Tanyanya, dengan nada suara yang terdengar sedikit panik.
“Nggak, Mah.. kenapa?” Gua balik bertanya. Kemudian meraih remot dan mulai menyalakan televisi.
“Coba nyalain” Titahnya.
“Ini lagi dinyalain. Channel apa, Mah?” Tanya gua lagi.
“Channel apa aja, beritanya sama semua” Jawab nyokap, masih dengan nada suara yang sama.
Layar televisi berpendar sesaat, kemudian menampilkan breaking news yang berisi tentang kasus pertama penyebaran virus Covid di Indonesia.
“Sal… Jangan kemana-mana dulu ya” Nyokap menambahkan.
“Iya…” Jawab gua.
“Nanti Mamah kirimin, masker, hand sanitizer sama vitamin buat kamu ya..” Ucapnya
“Iya, Mah” Jawab gua lagi.
Di momen ini, gua merasa kalau ke khawatiran nyokap terlalu berlebihan. Tapi ternyata gua salah.
—
Sorry Seems To Be The Hardest Word
What have I gotta do to make you love me?
What have I gotta do to make you care?
What do I do when lightning strikes me?
And I wake to find that you're not there
What do I do to make you want me?
What have I gotta do to be heard?
What do I say when it's all over?
And sorry seems to be the hardest word
It's sad, (so sad) so sad
It's a sad, sad situation
And it's getting more and more absurd
It's sad, (so sad) so sad
Why can't we talk it over?
Oh, it seems to me
That sorry seems to be the hardest word
It's sad, (so sad) so sad
It's a sad, sad situation
And it's getting more and more absurd
It's sad, (so sad) so sad
Why can't we talk it over?
Oh, it seems to me
That sorry seems to be the hardest word
What do I do to make you love me?
Oh, what have I gotta do to be heard?
What do I do when lightning strikes me?
What have I gotta do?
What have I gotta do?
Ooh, and sorry seems to be the hardest word
Herisyahrian dan 41 lainnya memberi reputasi
42
Kutip
Balas
Tutup