“Mah” sapa Marshall sambil berdiri, diam, mematung. Sementara pandangannya ia arahkan ke arah nyokapnya.
“Baru bangun?” Tanya nyokapnya yang lantas menerobos, mendekat ke arah anaknya itu. Ia lalu berjinjit dan mengecup kedua pipinya.
Sementara bokapnya ikut di belakangnya, nggak mendekat ke arah Marshall melainkan langsung menuju ke ujung ruangan, ke arah meja kerja Marshall. Ia berdiri, menatap sekeliling sambil berkacak pinggang.
Melihat sikap suaminya, nyokap Marshall ikut menyusul dan bertanya; “Mana kamar mu, Sal?”
Marshall kembali dan langsung membuka pintu kamarnya. Begitu pintu terbuka, Nyokap dan Bokapnya masuk ke dalam kamar, melakukan inspeksi. Sementara, Marshall keluar dan menuju ke kamar mandi, hal yang tadi sempat tertunda.
“Gua mandi dulu dah” Bisiknya ke arah gua.
“Jangan lama-lama” Balas gua, lalu menyusul nyokap dan bokapnya yang sudah berada di dalam kamar.
Di dalam kamar, Bokap dan Nyokapnya terlihat duduk di sisi ranjang sambil menatap sekeliling ruangan.
“Berapa harga kost satu kamar gini, Pop?” Tanya nyokapnya begitu menyadari kehadiran gua di ambang pintu.
“Ini bukan kost, Tan. Tapi, rumah kontrakan. Marshall sewa bareng sama temennya yang tadi ada di bawah” gua memberi penjelasan.
“Oh gitu. Berapa harga sewanya? Tahunan atau bulanan?” Tanyanya lagi.
“Wah kalo itu, aku juga nggak begitu tau Tan” Gua merespon seraya mengangkat bahu.
Setelah puas mengecek kamar anaknya, bokap dan nyokapnya keluar, kembali menuju ke meja kerja Marshall. Mereka memandangi lembaran-lembaran kertas yang tergeletak di atas meja sambil sesekali menyunggingkan senyumnya.
Nggak lama berselang, Marshall keluar dari kamar mandi.
“Di bawah aja Mah, Pah, disini nggak ada tempat duduk” ucap Marshall, yang lantas direspon dengan anggukan kepala dari keduanya.
Di lantai bawah, kami bertiga duduk di sofa, sementara Marshall terdengar sibuk di dapur.
“Marshall ngapain sih Pop?” Tanya bokapnya ke gua.
“Nggak tau, bikin minum kali Om” gua menebak.
“Udah nggak usah, panggil aja. Kita pesen aja. Kesini mau ngobrol sama dia kok malah sibuk di dapur” keluh bokapnya.
Gua langsung berdiri dan memghampiri Marshall yang berada di dapur.
“Ngapain?”
“Bikin Teh” Jawabnya.
“Udah nggak usah, kata bokap lo nanti pesen aja” ucap gua, menyampaikan pesan.
Awalnya Marshall sempat ingin memberi bantahan, tapi gua dengan cepat menarik tangan, dan membawanya ke depan.
Di ruang tamu, Ketu terlihat berdiri sambil tersenyum ke arah bokap dan nyokap Marshall. Sepertinya ia baru saja kembali dari mengantar pulang Nina.
“Mah, Pah, kenalin ini Ketu…” ujar Marshall.
Terlihat perubahan ekspresi di wajah Ketu begitu mendengar Marshall memanggil mereka dengan sebutan “Mah” dan “Pah”.
Ia berpaling dan bicara tanpa suara ke Marshall; “Nyokap Bokap kamu?”
Marshall terlihat mengangguk.
Ketu kembali berpaling, lalu dengan cepat membungkuk, menyalami nyokap dan bokapnya Marshall kemudian mulai menyebutkan nama asli dan aliasnya.
Kami bertiga: gua, nyokap dan bokapnya Marshall duduk di atas sofa. Sementara Marshall dan Ketu sengaja duduk di lantai dekat dengan pintu dan jendela: agar asap rokoknya nggak mengganggu. Kami ngobrol, saling bertukar cerita dan bercanda bersama.
Nggak lama berselang, makanan dan minuman yang dipesan oleh nyokapnya Marshall datang. Bersama, kami makan sambil tetap berbincang. Ditengah obrolan gua terus memperhatikan dan menatap wajah Marshall yang kini terlihat berbeda. Ia tampak ceria dan tanpa beban; nggak seperti biasanya. Mungkin momen seperti ini membuatnya bahagia, bisa berkumpul bersama kedua orang tuanya, berbincang, bercanda dan menikmati makanan bersama. Hal yang selama ini nggak pernah didapatnya.
“Sal, kamu bener mau tinggal disini aja? Nggak mau pulang ke rumah?” Tanya nyokapnya di sela-sela obrolan.
Marshall tersenyum sebentar kemudian menggelengkan kepalanya.
“… kan kamar kamu juga kosong, Sal” tambah nyokapnya.
Mendengar hal tersebut, bokapnya Marshall kini gantian angkat bicara; “Udah, Mah. Gapapa biarin aja Marshall di sini. Biar sekalian belajar mandiri…”
Ketu lalu spontan merespon ucapan bokapnya Marshall; “Ah kalo urusan Mandiri sih Marshall udah nggak usah belajar lagi om, wis lihai dia”
Sontak, bokap dan nyokapnya langsung saling pandang begitu mendengar perkataan Ketu barusan.
“Ya kalau mau tinggal sendiri, carilah rumah yang lebih besar, lebih bagus” tambah Bokapnya.
Lagi, Ketu kembali merespon ucapan dari bokapnya; “Wah, ini sih mendingan Om. Kontrakan kita sebelumnya malah luwih cuilik dari iki. Cuma tiga petak” Ujar Ketu sambil terus mengunyah makanan.
Mendengar ucapan Ketu, gua jadi ketrigger untuk ikutan nimbrung, nggak mau kalah; “Apalagi pas masih di slipi. Kost-an Marshall ada di lantai tiga, cuma satu petak dan nggak ada ventilasinya”.
Bokapnya Marshall terlihat kaget ketika mendengar cerita dari kami berdua. Sementara, nyokapnya terlihat nggak kalah terkejut, ia bahkan sampai memegangi dadanya.
“Bener Sal?” Tanya nyokapnya ke Marshall, yang lantas diresponnya dengan anggukan kepala.
Melihat respon sari Marshall, sontak nyokapnya langsung turun dari sofa, mendekat ke Marshall dan memberikan pelukan. Dari ekspresi wajahnya terlihat ada penyesalan yang mendalam. Mungkin ia merasa telah gagal membesarkan anak satu-satunya itu.
Mendapat perlakuan seperti itu di depan gua dan Ketu, Marshall terlihat salah tingkah. Dengan gaya yang kaku, ia membalas pelukan nyokapnya sambil memberikan beberapa kali tepukan di punggung.
“Makanya ayo ikut Mamah pulang aj, Sal” Ajak nyokapnya.
Lagi, Marshall memberikan jawaban dengan gelengan kepala sambil tersenyum.
“… Tapi, kalau Mamah telepon harus langsung kamu jawab ya, Sal” tambah nyokapnya.
“Iya, Mah” Marshall menjawab singkat.
Intermezo sedih-sedihan selesai, kami semua lalu kembali larut dalam obrolan lain. Sementara kami berbincang, Marshall terlihat membereskan sisa sampah kemasan makanan, mengumpulkannya ke dalam plastik dan membawanya ke tempat sampah di luar.
Cukup lama ia berada di luar dan kembali ke dalam. Namun, saat kembali terlihat ada perubahan ekspresi terpancar dari wajahnya. Kini ia lebih sering terlihat diam dan bingung, seakan pikirannya tengah berada di tempat lain.
Gua menggeser duduk mendekat ke arahnya.
“Sal…” Panggil gua.
“…” Ia nggak memberi respon, hanya terdiam, bengong.
“Sal…” Gua mengulang panggilan, kini sambil mencolek bahunya. Barulah Marshall menoleh ke arah gua.
“Ya…”
“Lo kenapa, bengong aja” Tanya gua penasaran.
“Gapapa” Jawabnya.
Dari tatapan matanya, gua bisa langsung tau kalau dia tengah menyembunyikan sesuatu. Tapi, apa yang ditutupinya. ‘Perasaan sebelum buang sampah tadi, ia masih terlihat ceria dan baik-baik saja’ batin gua dalam hati.
Untuk sementara ini, gua akan diam. Tapi, nanti gua akan mencoba mencari tau penyebabnya.
Sore menjelang Magrib, nyokap dan bokapnya Marshall sudah bersiap untuk pulang.
“Ayo Pop…” Ajak nyokap ke Gua.
Gua menggeleng, ingin pulang belakangan, masih ada yang perlu gua tanyakan ke Marshall.
Melihat penolakan gua, Marshall mengernyitkan dahi dan bicara ke gua; “Udah sana bareng aja”
Kini gantian, gua yang mengernyitkan dahi begitu mendengar ucapan darinya.
“Orang gua masih mau sama elo” Jawab gua.
“Ya tapi kan abis ini gua juga langsung mau kerja” Ujar Marshall, sambil menggaruk kepalanya tanpa berani menatap ke arah gua.
Jujur, gua begitu kesal saat mendengar jawabannya tadi. Rasanya seperti di usir, rasanya seperti nggak merasa diterima. Nggak menerima penolakan, gua langsung menghentakkan kaki, meraih tas dan menyusul bokap nyokapnya ke arah mobil.
Setelah berpamitan kami bertiga pun pergi. Dari kursi belakang mobil, aku menengok ke belakang, melihat Marshall yang masih berdiri menatap kepergian kami dengan ekspresi sama seperti sebelumnya; nampak kebingungan.
Saat mobil yang kami tumpangi berbelok ke kanan. Pandangan gua tertuju ke arah deretan ruko yang berada tepat di sisi jalan. Tanpa sengaja, gua melihat sosok perempuan tengah duduk di kursi besi di depan sebuah minimarket yang berada di deretan ruko.
Gua bergeser ke sisi jendela, ingin mencoba melihat dengan lebih jelas. “Anjir!”
Gua menggumam pelan saat menyadari kalau perempuan tersebut adalah Tata.
‘Bisa-bisanya Marshall ‘ngusir’ gua buat dia’ gua membatin dalam hati sambil mengepalkan kedua tangan.
“Kenapa Pop?” Tanya nyokapnya Marshall yang duduk di kursi depan, mungkin mendengar gumaman gua barusan.
“Gapapa, tan” gua menjawab singkat.
—
Rasanya ingin buru-buru sampai di rumah. Ingin segera menghubungi Marshall dan meminta penjelasan darinya. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya; bokap nyokapnya Marshall mengajak gua mampir ke sebuah restoran sebelum pulang.
Nggak punya kuasa memberi penolakan, gua akhirnya mengangguk; setuju.
Hari sudah sangat larut saat gua akhirnya bisa pulang. Begitu sudah berada di dalam kamar, tanpa mandi dan beres-beres, gua mengambil ponsel, mengecek layarnya; masih belum ada balasan dari Tata.
Gua lalu mencari nama Marshall dan mencoba menghubunginya.
Nggak ada nada sambung yang terdengar, hanya suara datar milik operator yang memberitahu kalau nomor sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan.
Sempat terpikir untuk menghubungi Tata, namun gua urungkan. Nggak mau terlihat ‘lemah’ di hadapannya.
Sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar, gua berpikir, mencoba mencari cara untuk menghubungi Marshall; ‘Ah, Ketu’ batin gua. Karena nggak punya nomor ponselnya, gua lantas membuka akun media sosial Marshall yang dikelola oleh Ketu. Pada profil media sosialnya terdapat nomor ‘contact person’ yang gua yakini adalah milik Ketu.
Gua menyalin nomor tersebut dan menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali namun tak ada jawaban darinya. Setelah mencoba 2 sampai 3 kali gua akhirnya menyerah. Lalu melempar ponsel ke atas ranjang dan menjatuhkan diri di kursi meja belajar.
Gua menunduk dengan kedua tangan menopang kepala di atas meja belajar, mengingat ucapan Marshall tadi; ‘Udah sana bareng aja’ dan ‘abis ini gua juga langsung mau kerja’. Padahal gua yakin kalau, Marshall sudah tau ada Tata menunggunya di sana, di depan minimarket.
Hati ini terasa panas, lagi-lagi terbakar api cemburu, api yang membakar lebih hebat daripada sebelumnya. Karena menebak kalau tadi, Marshall ‘mengusir’ gua untuk bertemu dengannya.
Gua memukul permukaan meja belajar dengan kepalan tangan; kesal, karena nggak bisa berbuat apa-apa. Kemudian berdiri dan menjatuhkan tubuh di atas ranjang, meraih ponsel dan kembali memeriksa pesan dari Tata yang masih tanpa balasan.
‘Jadi gini rasanya? Jadi gini rasanya jadi Tata; gini rasanya diabaikan’ gua membatin dalam hati.
Selama ini gua selalu berfikir kalau Tata adalah sosok yang sudah menghancurkan kehidupan Marshall. Dan mengesampingkan kenyataan kalau sebelum ada kejadian di gudang olah raga mereka adalah sepasang kekasih. Nggak pernah sekalipun, gua mencoba ‘memakai sepatu’ milik Tata dan berjalan dengan ‘sepatu’ itu.
Gua yang sudah dibutakan oleh kebencian hanya merasa kebenaran ada disini; di pihak gua sendiri. Tanpa memikirkan alasan Marshall melakukan hal itu; membela Tata, bahkan enggan membencinya. Dulu, ia pastilah sangat memuja Tata dan begitu pula sebaliknya.
Menyadari hal itu, tentu saja dengan menyingkirkan kasus di gudang olahraga, kini rasanya tiba-tiba gua merasa zalim. Masuk ke dalam hubungan mereka berdua, seakan merebut Marshall dari Tata.
Seketika gua merasa seperti kehilangan. Sambil menutupi kepala dengan tumpukan bantal, gua berteriak.
Lama gua berbaring dengan posisi seperti ini. Hingga akhirnya rasa kantuk menyerang, gua pun terlelap.
Suara dering ponsel membahana, membuat gua terjaga. Dengan ujung tangan gua meraba area di atas ranjang mencari ponsel. Begitu ponsel gua dapatkan, gua langsung menjawab, mengabaikan nama pada layarnya.
“Halo..”
“Halo.. Pop, Kamu udah tidur ya?” Terdengar suara Tata di ujung sana. Gua menjauhkan posisi ponsel, menatap ke arah layarnya; terlihat nama ‘Gadis Karbol’.
“Aduh, Ta… Jam berapa ini? Ada apaan sih?” Tanya gua, dengan nada sedikit kesal. ‘Iya, gua memang mau bicara dengannya. Tapi ya jangan mengganggu waktu tidur gua lah’ batin gua dalam hati.
“Aku mau ngobrol” Jawabn Tata.
“Bisa besok aja nggak sih? Ah, gila lo ya, udah jam 2 pagi lho ini…” Gua berseru, sambil melihat jam pada layar ponsel.
“Sebentar aja, Pop” Pintanya.
“Ck..”
“...”
“... Yaudah buruan”
“Pop, aku cuma mau ngasih tau, kalau aku menyerah…”
“Hah?”
“Iya, Aku sadar kalau kayaknya kamu memang orang yang tepat buat Marshall”.
“...”
“... Aku titip Marshall ya”
“Apaan sih lo, kayak mau pergi kemana aja…” Seru Gua dengan nada suara sedikit meninggi. Rasanya baru saja gua merasakan empati yang dalam buatnya, Dan tiba-tiba, saat ini, ia sudah bicara tentang ‘menyerah’. Dan kalimatnya yang terakhir, justru terdengar seperti orang yang berniat ‘pergi jauh’.
“Udah itu aja ya Pop…” Jawab Tata. lalu dengan cepat mengakhiri panggilan, sama sekali nggak memberikan gua kesempatan untuk bicara.
Begitu panggilan berakhir, gua langsung mencoba menghubunginya kembali namun gagal. Sepertinya ia sengaja mematikan ponsel.
—
Tepukan di kepala membangunkan gua. Begitu membuka mata, terlihat Dinar sudah duduk di kursi meja belajar sambil menatap laptop gua yang layarnya kini menampilkan ‘Login screen’.
Ia menoleh dan bertanya; “Pinjem laptop dong’ mau nyari tiket kereta” ucapnya.
“Pake aja” Jawab gua sambil menarik selimut.
“Passwordnya apa?” Tanyanya lagi.
“Poppy123” gua menjawab dari balik selimut, disusul suara jarinya mengetik pada keyboard.
“Hape lo bunyi tuh dari tadi” Ucap Dinar.
Gua lantas bangkit dan mulai mencari-cari ponsel di atas ranjang.
Layar pada ponsel menunjukkan beberapa notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab. Gua mengeceknya satu per satu.
Sebuah pesan dari Marshall yang sepertinya masuk semalam; ‘Lo udah sampe rumah Pop? Kok tumben nggak ngabarin?’
Dan sisanya adalah panggilan masuk dari Marshall yang nggak terjawab beberapa menit yang lalu. Gua bersiap menelponnya, tapi karena ada Dinar di dalam kamar, jadi gua perlu menyingkirkan manusia satu ini dulu sebelum menelponnya.
Gua berdiri, menepuk pundak Dinar dan bicara; “Sana-sana, gua mau nelpon”
“Ih, yaudah telpon aja” Jawabnya.
“Ogah. Lo sana balik ke kamar lo sendiri”
“Ih apaan sih, gua kan lagi pake laptop”
“Yaudah bawa aja sana”
Dinar lalu berdiri, sambil menenteng laptop milik gua ia keluar, gua mengikutinya dan menutup pintu kamar rapat-rapat, barulah mulai menghubungi Marshall.
Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suaranya menyambut gua dari ujung sana.
“Halo, Pop?”
“Ya…”
“Baru bangun?” Tanyanya.
“Iya, kenapa?” Gua balik bertanya.
“Semalem nyampe jam berapa? Kok tumben nggak ngabarin?”
“Jam berapa ya? Lupa. Abis itu langsung tidur, ngantuk banget” gua menjawab, dengan sedikit berbohong.
“Oh… yaudah kalo gitu, gua pikir lo sakit”
Besar hasrat gua untuk langsung bertanya perihal kemarin. Tentang ia yang tiba-tiba berubah sikap dan tentang sosok Tata yang nggak sengaja gua lihat di minimarket dekat rumahnya. Ditambah lagi, tentang kejadian semalam, saat Tata menelpon gua. Duh, sepertinya terlalu banyak hal yang perlu dikonfirmasi.
“Sal… Kemarin lo kenapa?” Tanya gua, akhirnya memberanikan diri mengkonfirmasi semuanya satu persatu.
“Kenapa apanya?” Ia balik bertanya.
“Kemaren abis buang sampah, tiba-tiba sikap lo berubah” Gua bicara, mencoba mengingatkannya akan hal tersebut.
“Oh, gak ada apa-apa kok” Jawabnya.
“Terus pas pulang, nggak sengaja gua ngeliat Tata di Minimarket depan” Gua menambahkan.
“...” Marshall nggak merespon, ia hanya diam.
“... Dan tadi malam, Tata telepon gua, dia pamitan, katanya menyerah dan menitipkan lo ke gua. Kayak pengen pergi” Gua menjawab dan kemudian memberi penjelasan lebih detail tentang panggilan telepon Tata semalam. Setelah mendengar penjelasan dari gua, Marshall nggak memberi respon apapun, ia hanya terdiam.
“...”
“... Ada penjelasan?” Tanya gua, karena nggak mendapat respon darinya.
“Nggak ada. Nggak ada yang harus dijelaskan” Jawab Marshall.
“Oh okay then. Kalo gitu nggak ada yang perlu dibahas lagi” Ucap gua, berusaha mengakhiri panggilan. Saat ini gua merasa begitu kesal dengannya. Kesal karena kemungkinan besar ia berbohong. Kemana komitmen tentang ‘saling terbuka’ yang pernah kita ikrarkan.
“Pop…” Tiba-tiba, ia memanggil nama gua.
“Apa?”
“Sekarang lo mau gua gimana?” Tanyanya. Yang lantas gua jawab dengan nada suara serendah mungkin; “Gua mau lo jujur”
Marshall lalu terdiam sebentar, setelah beberapa detik barulah ia kembali bicara; “Iya, kemaren gua ketemu sama Tata, setelah kalian pulang.”
“Oh…” Gua merespon singkat sambil memegangi dada yang tiba-tiba terasa sesak.
“Dia juga ngomong hal yang sama kayak yang dia omongin ke elo” Tambahnya.
“Terus?”
“Udah, gitu aja” Jawabnya.
“Thank you ya, Sal. Udah mau jujur…” Ucap gua pelan.
“Sorry Pop..”
Gua lalu memanggil namanya; “Sal…”
“Ya…” Jawabnya, seperti baru saja tersadar dari lamunan.
“…”
“… kenapa Pop?”
“Lo tau nggak gimana caranya agar nggak kehilangan sesuatu?” Tanya gua, pelan dan lirih.
Dengan cepat Marshall lalu memberi jawaban. Jawaban yang tentu saja membuat gua tertegun; “Ya, jangan memilikinya”
—